7
Hanif memeluk Adia dari belakang, menghirup tengkuk wanita itu, mencium bahu mulusnya dengan gemas. Adia melenguh kecil. Membuat Hanif semakin merapatkan dirinya, lalu menutup mata, Adia mengusap tangan Hanif yang melingkar. Menolehkan kepala, napas keduanya menderu, Adia melumat bibir Hanif. Mata lelaki itu terbuka. Langsung beradu dengan bola mata Indah Adia.
"Hai," bisik Adia mesra.
Kembali Adia menautkan bibirnya, mengecap rasa manis dan bau sisa isapan rokok di bibir Hanif. Adia terengah-engah, tangannya mengusap setiap inci wajah Hanif, lantas mendorong tubuh itu sampai terjatuh di sofa.
Mata Adia berkedip, menggoda Hanif yang berusaha duduk tenang. Kimono berbahan satin itu perlahan diloloskan. Tersisa dres transparan berwarna hitam selutut, Adia terlihat seksi nan menggemaskan. Hanif melambaikan tangan, tapi Adia hanya berdiam di tempat, sehingga Hanif berinisiatif membawa perempuan itu ke pangkuannya. Namun, Adia memerintahkan untuk duduk kembali. Mau tidak mau Hanif menurut, setengah kesal.
Hanif tercengang sekali lagi melihat aksi yang dilakukan Adia. Istrinya itu meloloskan g-string berukat dari pahanya. Tidak bisa berkata-kata, Hanif hanya melenguh, membayangkan di balik dres itu tidak ada apa-apa sekarang. Sesuatu di balik celananya memberontak, Hanif mendesah memanggil nama Adia beberapa kali.
Melihat suaminya tersiksa, Adia segera duduk di pangkuan Hanif, meremas rambut lelaki itu. Tangan Adia turun ke bawah, meremas sesuatu yang tegang nan keras milik suaminya. Mengocoknya perlahan.
"Sayang ...."
"Ya?" Adia menatap netra sayu Hanif.
Tangan Hanif menyingkap dres, lalu sesuatu yang sudah mengeras itu dimasukkan perlahan, hati-hati.
Mendesah, melenguh, Adia menggigit bibir bawahnya. Hanif menatap dari bawah. Adia benar-benar seksi, dan Hanif tidak bisa menahan diri lagi untuk mendorong sesuatu itu lebih dalam.
Adia menggerakan pinggulnya, mengikuti permainan Hanif. Keduanya bersahutan, memanggil nama masing-masing untuk mencapai puncak kenikmatan.
Bibir Hanif mengecap leher Adia, meninggalkan bercak kemerahan di dadanya. Meremas dada itu untuk dijadikan pegang. Sementara Adia semakin kuat menggoyangkan pinggulnya.
Keduanya melenguh panjang, mencapai klimaks bersama. Setelah itu saling berpandangan, tersenyum malu-malu. Hanif membawa Adia ke ranjang, mengusap peluh dan menyelimutinya.
"Terima kasih, Sayang." Hanif mengecup dahi Adia sekali lagi.
Adia melingkarkan tangannya di perut Hanif. Matanya menyapu pada laut lepas di luar sana. Merasakan damai melihat ombak yang berlarian. Ingatan Adia kembali pada saat Hanif mengungkapkan perasaannya beberapa tahun yang lalu. Di sebuah pantai yang ada di Jawa Barat. Hanif belum seganteng sekarang, ia hanya mengenakan boxer dan kemeja pantai, serta sendal jepit dekil.
"Nif, sebenarnya kita ini apa?" Adia melirik Hanif yang sedang menatap matahari tenggelam.
Hanif membalas tatapan Adia, sedikit ragu untuk menyatakan apa yang selama ini menjadi beban dalam hatinya.
"Aku gak mau kita jalan terus tanpa ada ikatan yang jelas, Nif. Aku gak mau cuma jadi teman penghilang bete kamu doang. Sebenarnya aku ini siapa kamu?"
"Aku bingung, Di ...." Hanif mendesah.
"Bingung kenapa? Kamu tinggal jawab jujur ke aku. Kalau memang cuma mau sekadar jadi teman, kamu jangan sok memperlakukan aku istimewa. Kamu bisa langsung bilang!" Adia menaikkan nada suaranya. Adia kesal karena takut Hanif memberikan jawaban yang tidak memuaskan.
"Memangnya kalau lebih dari teman kamu mau?"
"MAU!" seru Adia cepat.
Mengingat hari itu, Adia malu dan kesal sendiri. Namun, jika tidak ditegaskan, sampai hari ini mungkin keduanya tidak akan menjadi pasangan suami-istri. Hanif begitu plin-plan dan penakut dulu. Saat Adia tanya, kenapa tidak mengungkapkan perasaan dari dulu, Hanif hanya menjawab, "Yang suka ke kamu banyak, Di. Aku mundur aja lah," Adia menyubit perutnya, sebal. Hanif bahkan mundur sebelum persaingan dimulai.
"Tapi pada akhirnya kamu milih aku, Di. Gak nyangka banget, padahal aku gak ganteng-ganteng banget."
"Maka dari itu, aku mau bantu kamu supaya ganteng banget, Hanif!"
Kembali ke hari ini, Adia menelungkupkan wajahnya, merasa malu mengingat kejadian beberapa tahun lalu.
Hanif mengisap rokok, sebelah tangannya mengusap punggung telanjang Adia.
"Aku lapar, Nif." Adia mendongak.
"Apa tadi menggunakan cukup banyak energi, Sayang?"
"Hanif!" Adia menyembunyikan wajahnya di dada Hanif, malu.
Kenapa Hanif senang menggodanya sih?
****
"Are you ready?"
Adia menoleh disertai anggukan mantap. Kali ini perempuan itu sudah berhadapan dengan Hanif, suaminya menatap intens, satu alisnya terangkat.
Tatapan Hanif membuat Adia salah tingkah. Adia menunduk, bingung.
"Di ...." Hanif mendongakkan dagu Adia, mereka berhadapan kembali.
"Kenapa? Make up aku terlalu menor, ya?" Pertanyaan Adia membuat Hanif menyeringai. Digelengkan kepala sebagai jawaban, lantas tangan kiri menarik pinggang Adia untuk merapat ke tubuhnya.
Adia berdebar, Hanif mengejutkannya sekarang.
"Kenapa perempuan suka sekali overthinking?" bisik Hanif mesra. Deruan napas hangatnya sukses membuat bulu kuduk Adia meremang.
"Di ...." Hanif membisik lagi, mencium aroma parfum yang Adia semprotkan ke belakang lehernya.
"Ya?" jawab Adia, debaran di dadanya sudah tidak sekencang tadi. Adia lebih tenang kali ini.
"Jangan khawatirkan sesuatu yang jelas-jelas tidak terjadi!"
Hanif meremas bahu Adia. Menatap wajah cantik itu tanpa bosan. Seolah sayang untuk dilewatkan walau hanya satu detik.
"Kamu cantik, cantik sekali."
Lagi-lagi Adia terdiam, tidak tahu harus membalas apa. Namun, jujur saja bulu kuduk Adia selalu meremang saat Hanif memuji kecantikannya. Entah benar atau tidak pernyatannya tersebut, tapi Hanif sukses membuat Adia senang. Senang sekali. Karena terlalu senang, Adia hanya bisa pasrah saat Hanif menaruh bibirnya di tengkuk mulus Adia.
Hanif menggerakan jemarinya di wajah Adia. Mengusap setiap inci karya indah Tuhan. Berhenti di bibir, Hanif mengusap bibir bergincu merah itu, kemudian dipagutnya pelan. Adia terlihat kaget, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Namun, sigap Hanif menangkapnya.
Lidah Hanif bergerilya di mulut Adia. Menghisap, menggigit, memagut kembali. Sampai Adia melepaskan diri dan terengah-engah.
Hanif bertanya lewat alisnya yang diangkat tinggi-tinggi.
"Kita mau dinner," desah Adia.
"Eh, maaf ...!" Hanif terkekeh kecil.
"Lipstik aku luntur gak?" Pertanyaan Adia dijawab gelengan. Adia menggandeng Hanif mesra, siap pergi ke restaurant yang langsung menghadap pantai.
"Sedikit luntur, Di. Mungkin bisa dioleskan sedikit lagi," ucap Hanif ragu.
Adia mendengus sembari kembali ke meja riasnya.
Dres sabrina berwarna putih menemani makan malam Adia. Dia terlihat senang saat pelayan mempersilakan duduk di kursi yang langsung menghadap pantai. Cahaya lilin membuat suasana romantis. Adia tidak berhenti tersenyum, tangannya menggenggam Hanif, seolah tidak sebentar saja untuk dilepaskan.
Kemudian hidangan datang, dan mereka menikmatinya. Sesekali saling beradu pandang dan mengobrol ringan.
"Senang gak?" tanya Hanif.
Adia mengangguk setelah menandaskan minum.
"Nanti kita ke Bali, ke Dubai, ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Doain aku biar bisa wujudin itu semua," lanjut Hanif lagi.
"Aku selalu doain kamu, Nif. Selalu ...." Adia tersenyum hangat. Menggenggam tangan Hanif, mengecupnya pelan.
Hanif melenguh, diusapnya bahu Adia.
"Makasih, Adia."
"Sama-sama, Hanif."
Adia dan Hanif bergandengan untuk kembali ke hotel, Hanif memberikan jasnya untuk Adia kenakan. Perempuan itu tampak kedinginan dan sedikit menyesal menggunakan dres tipis nan terbuka.
"Nif, kayaknya aku masuk angin deh!" keluh Adia.
Hanif buru-buru mendekat, memegang dahi Adia, lalu berdecak.
"Iya, harusnya kamu pakai dres yang agak tebal. Angin pantai kencang, Di." Hanif berlalu ke lemari, memberikan piyama bermotif sapi. "Mau kerokan gak biar enakan?"
"Kamu juga milih restaurant yang kayak begitu, harusnya kita makan malam di hotel aja. Nah, besok lunch baru di restaurant itu," balas Adia, "Nif, ini resleting aku nyangkut. Bantuin!" Adia merengek, Hanif mendengus dan segera meloloskan dres Adia.
"Adia ...."
"Hanif?"
"Tapi kamu senang, kan, tadi?"
"Tapi aku masuk angin udahnya!" Adia bersembunyi di balik selimut.
Mata Hanif membulat, selanjutnya melenggang ke kamar mandi sambil menikmati sebatang rokok. Tak lama terdengar ketukan memanggil-manggil namanya.
"Katanya mau kerokin aku?"
"Iya, Sayang. Hayuk!" Kepala Hanif nongol di pintu, tersenyum. Adia mendesis.
"Kayak kepaksa gitu?"
"Nggak, Sayang. Tadi aku ngerokok bentar ...."
Sebelum Hanif melanjutkan perkataannya, Adia sudah berlalu.
"Udah, ya, aku gak mau dengerin penjelasan kamu!"
"Ini Om Andi, suami baru bude."Bude Asih menunjuk lelaki berkacamata dengan rambut dicukur rapi."Adia sini, Sayang. Boleh nggak bantu-bantu bude?"Adia mengangguk, mengikuti bude Asih ke dapur. Sementara Hanif mengobrol dengan om Andi."Kata bude Asih, om pisikiater. Benar?" Hanif melirik lelaki berkacamata itu. Dijawab anggukan oleh om Andi. Hanif merogoh ponsel dari sakunya. "Ini ibu saya, Om. Sudah lebih dari 10 tahun di rumah sakit jiwa. Kemarin saya dengar pernyataan dari beliau, ibu bilang, sebenarnya dia tidak sakit. Bahkan beberapa tahun lalu dokter sudah memperbolehkan ibu pulang, dengan syarat harus didampingi pisikiater."Om Andi membenarkan kacamata yang bertengger di hidungnya, mengambil ponsel dari tangan Hanif, mengamati foto perempuan dengan rambut tergelung dan sebuah buku di tangan. Kepala om Andi diangguk-anggukan, selanjutnya berdehem seraya kembali menatap keponakann
Cuaca cerah di akhir pekan, Hanif mengajak Adia motoran keliling-keliling. Menikmati kuliner, foto-foto, ngobrol banyak hal selama di perjalanan. Menyenangkan sekali. Mereka seperti kembali ke masa-masa pacaran beberapa tahun lalu. Dan memang jalan-jalan di akhir pekan selalu dilakukan sejak mereka pacaran. Hanya saja setelah menikah, Hanif dan Adia lebih banyak menggunakan akhir pekan dengan beberes rumah atau sekadar menikmati bakso di alun-alun. Tidak perlu jalan jauh-jauh. Namun, kali ini Hanif mengajak kembali."Panas!" Adia mengeluh saat motor berhenti di lampu merah.Hanif menoleh, helm mereka terbentur, keduanya terkekeh bersamaan. Tangan Hanif mengelus lutut Adia, memintanya sabar, sebentar lagi. Akhirnya perempuan itu mengangguk, meski mulutnya tidak berhenti bersungut.Setelah puas berkeliling, menjelang sore, Hanif dan Adia berhenti di sebuah taman luas. Mereka melepas penat dengan merebahkan badan di rerumputan hijau yang membentang."N
Adia menarik napas panjang setelah menerima telepon dari Hanif. Suaminya itu akan pulang telat karena beberapa alasan. Sembari menunggu, Adia memilih melanjutkan novel yang sedang dikerjakannya.Jemarinya menekan keyboard dengan tenang, menuliskan kata demi kata, sesekali menyesap teh panas yang tersaji di samping meja.Petir terdengar menyambar-nyambar, Adia melirik jendela sejenak, tak lama hujan sudah turun dengan derasnya. Adia menelungkupkan tangan, mendesah pelan, lalu melepas kacamata.'Sayang, dingin.' Begitu isi pesan yang Adia kirimkan kepada Hanif. Kembali disesapnya teh dengan aroma melati yang menguar.Centang biru, Hanif sudah membaca pesannya. Namun, tidak ada balasan cepat. Sampai Ada kembali mengirimkan pesan dengan kalimat godaan.'Aku pakai baju tidur yang kamu suka loh. Mau foto gak?'Terkirim. Adia terkekeh seraya menaikkan cardigan berbahan satin yang dikenakannya. Menatap pantulan dirinya di cer
Perempuan berusia 50 tahun-an itu mendesah, menatap rintik hujan di balik jendela. Aroma tanah yang menguar memasuki penciumannya. Dingin terasa menembus tulang, kabut tipis membuat pepohonan tidak terlalu tinggi itu bersembunyi. Disesap teh yang sudah mendingin karena terlalu lama didiamkan. Dilirik jurnal tebal dan beberapa buku lainnya di meja. Perempuan itu meniup debu yang menempel di kacamatanya, lalu dikenakan.Jemari halus mengusap sampul jurnal berwarna hitam itu. 'Aku dan diriku' begitu tulisan yang tertera pada halaman pertama. Foto-foto usang dan potongan koran tertempel pada halaman-halaman selanjutnya.'Kriskian Budiman, putra bungsuku yang lucu, cerdas, peka dan manja. Selamat ulang tahun, Nak. Maaf ibu tidak lagi hadir di ulang tahunmu. Semoga panjang umur, semoga Tuhan memberkatimu selalu. Semoga selalu sehat, kuat nan terus bahagia. Semoga dunia membalas doamu dengan segera. Aamiin.'Ungkapan manis disert
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me
Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut
"Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."
Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam
Hanif meradang mendengar ucapan spontan Kian. Memijit pelipis, mondar-mandir, tak sedikitpun ponsel lepas dari tangan. Keresahan demi keresahan mendadak bermunculan di hatinya. Tentang kedua anak mbak Diah yang dititipkan bersama ibu.'Kok ayah tega?' Begitu tanyanya dalam hati. Sementara Hanif dan Kian kecil sengaja dibuang ayah begitu saja. Bahkan ayah tak segan mengatakan kedua putranya beban. Ironis. Hanif menggelengkan kepala sekali lagi.Hanif melirik ke arah pintu yang berderit. Adia datang membawa poci dan dua cangkir cantik, meletakan di meja, memberikan pada Hanif dengan tatapan menenangkan."Kita cari solusi sama-sama, Nif. Kamu tenang dulu, ya." Begitu bisik Adia, tangannya mengelus bahu Hanif.Diterimanya cangkir teh panas itu. Hanif mencium aroma teh hijau sekali lagi, benar-benar harum. Setelah ditiup perlahan, diteguknya. Sesaat setelah teh ditenggak, Hanif merasa jauh lebih baik. Ia membal
Ningrum membawa box paket itu ke dalam kamarnya. Lantas bergegas mandi, setelahnya duduk ditemani secangkir teh, dibuka kembali box itu. Meraih sepucuk surat yang tergeletak. Dengan berdebar, Ningrum membaca surat itu.'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku''Ningrum ... aku tidak baik-baik saja sejak pertama kali aku mencampakanmu. Rasa sesak dan menyesal terus memenuhi rongga dada. Aku ingin meminta maaf, mengakui segala salahku, tapi ... entah kepada siapa. Kedua anakku tumbuh besar, setiap melihat mereka, aku merasa takut, dan sakit. Aku sedih, orang-orang yang aku tinggalkan, aku sakiti, ternyata hidup baik-baik saja tanpaku.Bukan aku mendoakan yang jelek-jelek untuk kamu dan kedua anak kita. Namun, aku pikir kamu akan memohon sampai berlutut meminta kembali padaku. Kenyataannya, kalian bahagia tanpa aku. Oh, aku memang berengsek dan biadab, sudah sepantasnya orang baik dan cerdas seperti kalian mendapatkan kebahagiaan lebih di luaran sana. Bukan terce
Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya. Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja. "Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer. "Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik. "Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya. "Di ...
Adia terbangun dari tidurnya dengan kepala pening. Tangannya meraba sprei samping yang kosong nan dingin, Hanif telah pergi, entah sejak kapan. Bergegas cuci muka dan menggosok gigi, selanjutnya turun ke bawah untuk sarapan. Adia sedikit mengerutkan kening saat melihat rumahnya sudah tertata rapi, tangannya menarik pintu kulkas, mengeluarkan jus lemon darisana. Kemudian Adia duduk sembari menyesap pelan-pelan jusnya, kepalanya menoleh saat mendengar langkah seseorang tergopoh-gopoh.Seorang perempuan berusia empat puluh tahun-an tersenyum menyapanya. Menundukan bahu hormat. Selanjutnya memperkenalkan diri."Saya Asiah, Bu. Asli Majalengka. Pak Hanif meminta saya untuk menjadi assisten rumah tangga di sini, sekaligus menemani ibu jika sedang kesepian, mengingatkan ibu makan, membuatkan kopi sama membantu memasak untuk bapak."Adia tersenyum, dianggukan kepalanya mendengar ucapan lugas pembantu rumah tangganya itu."Nggak terlalu capek kok, Bi. Malah
"Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak
Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam
"Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."
Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me