Jogja selalu istimewa. Luar biasa. Menyenangkan dan menenangkan. Hanif dan Kian pulang ke kota kelahirannya. Bercengkrama hangat dalam sebuah rumah. Menceritakan ramainya kota dan kerinduan akan kampung halaman tercinta. Pelukan dari si mbah, eyang dan bude-bude sekalian membuat suasana menjadi terasa dekat nan rapat.
Sejenak Hanif melupakan kesakitan terdahulu di rumah itu. Hanif sekarang ingin bahagia, seiring dengan berjalannya waktu luka itu akan mengering, dan pelan-pelan Hanif akan membuka hati untuk memaafkan Ayah.
"Ini seblak kering, Bude." Adia menyodorkan oleh-oleh.
"Wah, Adia ini rajin, ya?" Bude tersenyum sembari menerima pemberian Adia. "Bude masak sekarang ah."
"Bude, aku mau."
"Aku juga dong sekalian," teriak yang lainnya.
"Sini ikut sama bude, jangan manja!" Bude Asih mengibaskan rambut, membuat keponakan-keponakannya mendesah dan mau tidak mau mengekor dari belakang.
"Kian kemana, Nif?" Adia celingukan.
"Nduk, sini dulu coba," panggil Bude Wulan tak jauh dari tempat duduk Adia dan Hanif.
"Kenapa, Bude?" Adia bertanya hati-hati.
Bude Wulan mengelus pundak Adia. Menatap mata perempuan itu dengan lembut. Adia beberapa kali mengubah ekspresi wajahnya, pasalnya, Bude Wulan hanya menatap tanpa berbicara sepatah katapun.
"Kamu manggil suamimu cuma menggunakan nama?" Alis bude Wulan yang berwarna hitam pekat itu terangkat.
Meski sedikit ragu, Adia tetap mengangguk. Membenarkan pertanyaan bude suaminya.
Bude Wulan tampak shock. Mengelus dada. Meminum segelas air putih. Memandang Adia. Mengalihkan pandangan. Dan begitu seterusnya.
"Nduk, jangan begitu."
Adia mengernyit. Namun, tidak bertanya lebih lanjut.
"Kita ini Jawa tulen. Wong Jowo itu ciri khasnya lembut, penurut, sopan. Itu kamu manggil suamimu Hanif doang, ndak sopan iku!" Kembali bude Wulan mengelus dada, masih merasa kaget.
"Ma, gak usah lebay, deh!" Ratna, putrinya yang sedari tadi fokus main ponsel akhirnya angkat bicara.
"Mas Hanif, iki kopimu. Aku siap dikeloni, Mas." Bude Wulan tidak menggubris putrinya. Ia malah mencoba mengajari Adia.
"Mungkin manggilnya nggak Mas, Ma. Sayang, Cinta, Beib kali," tambah Ratna lagi seraya menyusul saudaranya yang lain ke dapur.
"Adia manggil aku Sayang, Bude ...."
"Beneran?" Bude Wulan sedikit tidak yakin, meski beberapa kali Hanif dan Adia mengangguk.
"Wulan ... Wulan!" Si mbah berdecak mendengar perkataan bude Wulan ke menantunya.
"Hanif, bawa Adia istirahat ke atas, ya." Eyang tersenyum pada menantunya yang terlihat tidak nyaman dengan perkataan bude Wulan.
"Nif, kamu masih bisa bahasa Jawa, kan?"
"Hanif, ajarin Adia bahasa Jawa. Kita harus melestarikan budaya loh!"
Hanif menoleh dari anak tangga, senyum dengan terpaksa pada bude yang baru terlihat puas sekarang.
****
Selepas makan malam, Adia membantu membersihkan meja makan. Sementara suaminya ngobrol dengan si mbah di teras depan.
"Bagaimana keadaan ibumu, Nif?" tanya mbah, melirik cucunya yang mengangguk.
"Kondisi ibu stabil, Mbah. Alhamdulillah." Kian yang baru tiba langsung ikut nimbrung seraya membawa kopi.
"Kamu darimana aja, Ki? Mbak Adia nyariin loh, dia cemas takut kamu kemana-mana." Hanif berdesis jengkel. Sedangkan sang Adik nyengir tanpa dosa.
"Ini kota kelahiranku, Mas. Aku kangen sekali. Tadi ketemu sama teman-teman lama, hehehe."
Si mbah menyunggingkan senyum melihat kedua cucu lelakinya.
"Mbah, nanti ngobrol lagi, ya. Kian belum mandi, bau asem," ucap Kian lagi, diseruput kopinya sekali lagi sebelum pergi.
"Bapakmu, kamu masih sering ketemu dia, Nif?" tanya si mbah kembali.
"Nggak sesering dulu, Mbah." Hanif menyeruput kopi hitam yang ditinggalkan adiknya. Terasa pahit di tenggorokan, tapi Hanif akan menenggaknya lagi nanti.
"Apa dia sama keluarga barunya baik-baik saja?"
Hanif mengangkat bahu. Karena merasa tidak tahu pasti bagaimana keadaan sang ayah.
"Eh, beberapa minggu setelah Hanif menikah, mbak Diah datang ke rumah, minjam uang sama Adia. Waktu itu aku lagi di kantor, Mbah. Nggak sempat ketemu mbak Diah."
Menatap lurus ke depan, beberapa pertanyaan berkecamuk di pikirannya. Namun, si mbah tidak mau merusak momen kebersamaan ini. Ia kembali menepuk bahu cucunya yang kekar.
"Mbah kangen ibumu, Nif. Pas nikahan kamu ke Jakarta, tapi tidak sempat bertemu ibumu karena eyangmu sakit. Entah kapan lagi mbah bisa ketemu menantu yang satu itu." Si mbah menggeleng-gelengkan kepala.
"Doakan Hanif ada rezeki lebih, Mbah. Nanti ke Jakarta sama-sama." Hanif membisik optimis. Dibalas anggukan oleh si mbah.
Hanif dan si mbah melirik bersamaan pada eyang yang datang sembari membawa sepiring singkong goreng. Menikmati singkong goreng ditemani suara binatang malam, sesekali diseruput kopi pahit, sesekali menatap rembulan pucat yang menggantung di angkasa.
"Ibumu ... tidak bisakah dibawa pulang saja, Nak?" Eyang menggeser cangkir teh.
Hanif memasukkan singkong goreng sekali lagi ke mulutnya sebelum menjawab.
"Mungkin ibumu juga ingin menghirup udara luar rumah sakit, dia pasti bosan sekali di sana," ucap si mbah tanpa mengalihkan pandangan dari rembulan pucat itu.
"Kamu juga sekarang sudah berumah tangga, Nif. Kebutuhan kamu lebih banyak pasti. Kalau terus-terusan ibumu tinggal di sana, berapa perbulannya yang harus kamu keluarkan? Belum lagi Kian, kamu juga harus membayar uang kuliah adikmu." Eyang mengusap tangan yang sudah keriput, mengikuti suaminya menatap bulan.
"Kontrakan ibu masih jalan kok, Mbah. Meski tidak serame dulu." Hanif mendesah. Disandarkan kepala di kursi kayu itu, mulai memikirkan bagaimana jika ibu dibawa pulang?
"Lagipula, kalau ibumu pulang, siapa nanti yang akan menemani dia di rumah?"
"Sebenarnya mas Hanif dan mbak Adia tidak terlalu sibuk, tapi kami masih harus mempertimbangkan itu lagi, Eyang." Kian kembali dengan wajah sumringah.
Eyang membereskan gelas dan piring ke nampan. Sebelum berlalu, ditatap kedua cucunya. Mereka seperti kembar. Ganteng dan berwibawa.
"Ah, kalian ke sini mau berlibur. Seharusnya kami tidak membahas hal ini. Maafkan Eyang dan si mbah, ya, Nak."
Kian mengambil nampan dari tangan Eyang, tanpa permisi disimpannya ke dapur. Eyang menggelengkan kepala melihat perlakuan cucunya itu.
"Eyang gak boleh capek. Sekarang sudah malam, Eyang sudah harus istirahat!" seru Kian, seperti sedang mengobrol dengan seorang anak. "Baiklah, akan Kian antar sampai ke kamar, ya." Kian memegang pundak Eyang, lantas melewati lorong bersamaan untuk masuk ke kamar.
"Kamu tidak mau mendengar dongeng Eyang, Nak?"
Kian tampak menyesal, "Maafkan Kian, Eyang. Tapi Eyang harus sudah tidur jam segini, begitu kata dokter, kan?"
Eyang berdecak jengkel.
"Jangan membantah, Eyang. Harus nurut. Eyang harus sehat dan panjang umur, sampai Kian menikah, sampai Kian punya anak, sampai Kian tua." Kian melambaikan tangan dan menutup pintu. Saat kembali ke teras, si mbah dan kakaknya sudah tidak ada di sana.
Di mana mereka berdua?
****
7Hanif memeluk Adia dari belakang, menghirup tengkuk wanita itu, mencium bahu mulusnya dengan gemas. Adia melenguh kecil. Membuat Hanif semakin merapatkan dirinya, lalu menutup mata, Adia mengusap tangan Hanif yang melingkar. Menolehkan kepala, napas keduanya menderu, Adia melumat bibir Hanif. Mata lelaki itu terbuka. Langsung beradu dengan bola mata Indah Adia."Hai," bisik Adia mesra.Kembali Adia menautkan bibirnya, mengecap rasa manis dan bau sisa isapan rokok di bibir Hanif. Adia terengah-engah, tangannya mengusap setiap inci wajah Hanif, lantas mendorong tubuh itu sampai terjatuh di sofa.Mata Adia berkedip, menggoda Hanif yang berusaha duduk tenang. Kimono berbahan satin itu perlahan diloloskan. Tersisa dres transparan berwarna hitam selutut, Adia terlihat seksi nan menggemaskan. Hanif melambaikan tangan, tapi Adia hanya berdiam di tempat, sehingga Hanif berinisiatif membawa perempuan itu ke pangku
"Ini Om Andi, suami baru bude."Bude Asih menunjuk lelaki berkacamata dengan rambut dicukur rapi."Adia sini, Sayang. Boleh nggak bantu-bantu bude?"Adia mengangguk, mengikuti bude Asih ke dapur. Sementara Hanif mengobrol dengan om Andi."Kata bude Asih, om pisikiater. Benar?" Hanif melirik lelaki berkacamata itu. Dijawab anggukan oleh om Andi. Hanif merogoh ponsel dari sakunya. "Ini ibu saya, Om. Sudah lebih dari 10 tahun di rumah sakit jiwa. Kemarin saya dengar pernyataan dari beliau, ibu bilang, sebenarnya dia tidak sakit. Bahkan beberapa tahun lalu dokter sudah memperbolehkan ibu pulang, dengan syarat harus didampingi pisikiater."Om Andi membenarkan kacamata yang bertengger di hidungnya, mengambil ponsel dari tangan Hanif, mengamati foto perempuan dengan rambut tergelung dan sebuah buku di tangan. Kepala om Andi diangguk-anggukan, selanjutnya berdehem seraya kembali menatap keponakann
Cuaca cerah di akhir pekan, Hanif mengajak Adia motoran keliling-keliling. Menikmati kuliner, foto-foto, ngobrol banyak hal selama di perjalanan. Menyenangkan sekali. Mereka seperti kembali ke masa-masa pacaran beberapa tahun lalu. Dan memang jalan-jalan di akhir pekan selalu dilakukan sejak mereka pacaran. Hanya saja setelah menikah, Hanif dan Adia lebih banyak menggunakan akhir pekan dengan beberes rumah atau sekadar menikmati bakso di alun-alun. Tidak perlu jalan jauh-jauh. Namun, kali ini Hanif mengajak kembali."Panas!" Adia mengeluh saat motor berhenti di lampu merah.Hanif menoleh, helm mereka terbentur, keduanya terkekeh bersamaan. Tangan Hanif mengelus lutut Adia, memintanya sabar, sebentar lagi. Akhirnya perempuan itu mengangguk, meski mulutnya tidak berhenti bersungut.Setelah puas berkeliling, menjelang sore, Hanif dan Adia berhenti di sebuah taman luas. Mereka melepas penat dengan merebahkan badan di rerumputan hijau yang membentang."N
Adia menarik napas panjang setelah menerima telepon dari Hanif. Suaminya itu akan pulang telat karena beberapa alasan. Sembari menunggu, Adia memilih melanjutkan novel yang sedang dikerjakannya.Jemarinya menekan keyboard dengan tenang, menuliskan kata demi kata, sesekali menyesap teh panas yang tersaji di samping meja.Petir terdengar menyambar-nyambar, Adia melirik jendela sejenak, tak lama hujan sudah turun dengan derasnya. Adia menelungkupkan tangan, mendesah pelan, lalu melepas kacamata.'Sayang, dingin.' Begitu isi pesan yang Adia kirimkan kepada Hanif. Kembali disesapnya teh dengan aroma melati yang menguar.Centang biru, Hanif sudah membaca pesannya. Namun, tidak ada balasan cepat. Sampai Ada kembali mengirimkan pesan dengan kalimat godaan.'Aku pakai baju tidur yang kamu suka loh. Mau foto gak?'Terkirim. Adia terkekeh seraya menaikkan cardigan berbahan satin yang dikenakannya. Menatap pantulan dirinya di cer
Perempuan berusia 50 tahun-an itu mendesah, menatap rintik hujan di balik jendela. Aroma tanah yang menguar memasuki penciumannya. Dingin terasa menembus tulang, kabut tipis membuat pepohonan tidak terlalu tinggi itu bersembunyi. Disesap teh yang sudah mendingin karena terlalu lama didiamkan. Dilirik jurnal tebal dan beberapa buku lainnya di meja. Perempuan itu meniup debu yang menempel di kacamatanya, lalu dikenakan.Jemari halus mengusap sampul jurnal berwarna hitam itu. 'Aku dan diriku' begitu tulisan yang tertera pada halaman pertama. Foto-foto usang dan potongan koran tertempel pada halaman-halaman selanjutnya.'Kriskian Budiman, putra bungsuku yang lucu, cerdas, peka dan manja. Selamat ulang tahun, Nak. Maaf ibu tidak lagi hadir di ulang tahunmu. Semoga panjang umur, semoga Tuhan memberkatimu selalu. Semoga selalu sehat, kuat nan terus bahagia. Semoga dunia membalas doamu dengan segera. Aamiin.'Ungkapan manis disert
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me
Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut
"Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."
Hanif meradang mendengar ucapan spontan Kian. Memijit pelipis, mondar-mandir, tak sedikitpun ponsel lepas dari tangan. Keresahan demi keresahan mendadak bermunculan di hatinya. Tentang kedua anak mbak Diah yang dititipkan bersama ibu.'Kok ayah tega?' Begitu tanyanya dalam hati. Sementara Hanif dan Kian kecil sengaja dibuang ayah begitu saja. Bahkan ayah tak segan mengatakan kedua putranya beban. Ironis. Hanif menggelengkan kepala sekali lagi.Hanif melirik ke arah pintu yang berderit. Adia datang membawa poci dan dua cangkir cantik, meletakan di meja, memberikan pada Hanif dengan tatapan menenangkan."Kita cari solusi sama-sama, Nif. Kamu tenang dulu, ya." Begitu bisik Adia, tangannya mengelus bahu Hanif.Diterimanya cangkir teh panas itu. Hanif mencium aroma teh hijau sekali lagi, benar-benar harum. Setelah ditiup perlahan, diteguknya. Sesaat setelah teh ditenggak, Hanif merasa jauh lebih baik. Ia membal
Ningrum membawa box paket itu ke dalam kamarnya. Lantas bergegas mandi, setelahnya duduk ditemani secangkir teh, dibuka kembali box itu. Meraih sepucuk surat yang tergeletak. Dengan berdebar, Ningrum membaca surat itu.'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku''Ningrum ... aku tidak baik-baik saja sejak pertama kali aku mencampakanmu. Rasa sesak dan menyesal terus memenuhi rongga dada. Aku ingin meminta maaf, mengakui segala salahku, tapi ... entah kepada siapa. Kedua anakku tumbuh besar, setiap melihat mereka, aku merasa takut, dan sakit. Aku sedih, orang-orang yang aku tinggalkan, aku sakiti, ternyata hidup baik-baik saja tanpaku.Bukan aku mendoakan yang jelek-jelek untuk kamu dan kedua anak kita. Namun, aku pikir kamu akan memohon sampai berlutut meminta kembali padaku. Kenyataannya, kalian bahagia tanpa aku. Oh, aku memang berengsek dan biadab, sudah sepantasnya orang baik dan cerdas seperti kalian mendapatkan kebahagiaan lebih di luaran sana. Bukan terce
Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya. Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja. "Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer. "Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik. "Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya. "Di ...
Adia terbangun dari tidurnya dengan kepala pening. Tangannya meraba sprei samping yang kosong nan dingin, Hanif telah pergi, entah sejak kapan. Bergegas cuci muka dan menggosok gigi, selanjutnya turun ke bawah untuk sarapan. Adia sedikit mengerutkan kening saat melihat rumahnya sudah tertata rapi, tangannya menarik pintu kulkas, mengeluarkan jus lemon darisana. Kemudian Adia duduk sembari menyesap pelan-pelan jusnya, kepalanya menoleh saat mendengar langkah seseorang tergopoh-gopoh.Seorang perempuan berusia empat puluh tahun-an tersenyum menyapanya. Menundukan bahu hormat. Selanjutnya memperkenalkan diri."Saya Asiah, Bu. Asli Majalengka. Pak Hanif meminta saya untuk menjadi assisten rumah tangga di sini, sekaligus menemani ibu jika sedang kesepian, mengingatkan ibu makan, membuatkan kopi sama membantu memasak untuk bapak."Adia tersenyum, dianggukan kepalanya mendengar ucapan lugas pembantu rumah tangganya itu."Nggak terlalu capek kok, Bi. Malah
"Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak
Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam
"Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."
Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me