"Assalamualaikum," sapa Hanif. Namun, tidak ada jawaban.
"Di ... Adia!" Hanif menaruh sepatu pada rak, berjalan ke ruang tengah yang kosong. Lelaki itu mendesah, kemudian memanggil istrinya lagi.
"Sayang, aku pulang." Matanya menyapu ke seluruh ruangan yang lengang, akhirnya Hanif memutuskan pergi ke dapur. Melihat apa yang tersaji di meja makan.
Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perutnya, dengan aroma shampo yang menguar. Hanif mendesis, sedikit jengkel dengan Adia.
"Kaget gak?" tanya Adia, masih membenamkan kepalanya di punggung Hanif.
Hanif mengelus lengan Adia yang melingkar, lantas menggeleng.
"Panik gak istrinya gak ada? Panik gak?" tanya Adia, kepalanya tiba-tiba muncul di depan Hanif. Kali kedua lelaki itu mengelus dada, kaget.
"Panik lah, masa nggak!" jawab Hanif sekenanya.
Adia melihat Hanif yang makan dengan lahap. Sesekali bibirnya tersungging, senang masakannya diterima di lidah lelaki itu.
"Kamu wangi banget, Di." Hanif menenggak segelas air. Adia cengir, cengengesan.
"Kamu juga wangi," balas Adia.
"Masa sih?" Hanif mengernyit, Adia mengangguk. "Coba sini peluk dulu kalo wangi." Lelaki itu melambaikan tangan, Adia langsung mendekat, bersembunyi di dekapan Hanif. Mencium aroma keringat yang menurutnya seksi.
****
Adia sudah siap mengenakan dres berbahan rayon dengan motif bunga-bunga, dia terlihat ceria sekali hari ini. Pasalnya, Adia akan menemani Hanif dan ayahnya memancing. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Adia mengikuti Hanif menaiki motor menuju rumah ayah.
"Motor disimpan disini aja, Neng." Ibu menyarankan, Adia dan Hanif menyetujui. Kemudian mereka sudah berada satu mobil dengan ayah dan ibu.
"Teteh jualan seblak, ya?" Anisa, biasa dipanggil Ica, adik Adia yang baru masuk SMA tiba-tiba bertanya.
"Iya, Ca. Kenapa, mau bilang suami teteh gak bisa nafkahin?" Adia sedikit sewot menanggapi adiknya, Ibu menengahi dengan memandang Adia dan Anisa bergantian.
"Teteh emang suka jualan aja sih," lanjutnya seraya meremas botol air mineral.
"Betul itu, kamu bagus di bidang marketing, Neng." Ayah menimpali tanpa melirik ke putri-putrinya.
"Dari kecil juga teteh mah gak pernah malu jualan ke sekolah, bahkan sampai kuliah juga." Ibu tersenyum, mengelus pundak Adia, anak gadisnya seketika tersenyum.
"Teteh mah dari jaman SMP udah bisa menghasilkan uang sendiri, Ca. Maaf ya sombong!"
Anisa berdesis, sebal. Lalu ia membuka ponsel, memperlihatkan saldo e-money-nya pada Adia. Sepersekian detik Adia tercengang.
"Aku juga kan, Bu?"
"Darimana kamu punya uang sebanyak itu?" tanya Adia sengit.
"Ica suka main game gitu, Neng. Ibu juga kurang ngerti, tapi dia sampai kebeli PC yang mahal itu loh," ujar ibu.
"Oh, jadi gamers nih." Hanif yang sedang nyetir menyela. Adia dan ibu berpandangan.
"Iya, A. Main game juga?" Anis terlihat lebih tertarik dengan kakak iparnya, sehingga ia mengabaikan ibu dan Adia.
"Kadang, cuma gak terlalu diseriusin sih," balas Hanif disertai senyum.
Anisa mendesah, sedikit kecewa.
"Kamu udah pro nih main game-nya ya? Sampai kebeli PC gitu?" Hanif berdecak kagum. Anisa menggaruk kepala, agak malu.
"Ah, biasa aja."
"Efek sampingnya suka begadang, jadi jarang keluar rumah. Gak baik ah anak gadis begitu." Ibu menggelengkan kepala.
Ayah terkekeh, melepaskan tab dan melirik Anisa yang sedikit mengerucutkan bibir.
"Boleh kok main game, tapi jangan sampai mengganggu sekolah, De. Kamu baru masuk SMA loh, perjuangan kamu masih jauh. Jangan terlalu fokus pada game."
Anisa mengangkat tangannya hormat, "Siap, Bos!"
Adia dan ibu memeluk gadis belia itu. Mencium puncak kepalanya dengan sayang.
Mobil terhenti di depan sebuah danau, mereka serempak keluar dari mobil. Adia dan Hanif memasang tenda, sementara ibu dan Anisa mempersiapkan pemanggangan dan alat makan. Setelah itu, ayah dan Hanif bergegas menuju tepi danau.
"Ca, jangan main hape mulu, bantuin teteh!" Adia berseru, dia sedang memanggang sosis dan frozen food lainnya.
Sedikit malas, tapi akhirnya mendekati kakaknya juga. Anisa mencium bau makanan yang menguar, ia tersenyum dan segera mengambil sosis dari piring.
"Ica ...." Ibu berdecak, anak gadisnya mengangkat bahu.
"Sayang, kamu mau frozen food?"
"Boleh," jawab Hanif dari kejauhan.
Adia tersenyum, menata makanan serta memberi sedikit mayones dan saus.
"Sini biar aku yang antar." Anisa menawarkan diri. Adia sempat mengerutkan dahi, tapi dibalas desisan kesal adiknya. "Aku gak bisa masak memasak, Teh." Akhirnya Adia membiarkan Anisa mengantarkan makanan pada ayah dan Hanif.
Melihat Anisa yang tertawa bebas bersama ayah dan Hanif, membuat ibu dan Adia melorotkan pundak.
"A Hanif minta kopi, Teh." Anisa membuka hodie, tersisa kaus oversize yang menyembunyikan tubuhnya dan sebuh celana pendek.
"Kamu ngomongin apa sama dia?" tanya Adia saat sedang mengaduk kopi.
"Banyak, teteh gak bakalan ngerti," ucap Anisa, menerima kopi panas dari Adia.
"Game?" Adia mengangkat alis, Anisa mengangguk.
"Dan banyak lagi!" Anisa terkekeh dan berlalu.
"Makasih, Ica." Ayah menepuk bahu putri bungsunya.
"Udah dapet, Yah?" Anisa berseru girang saat melihat beberapa ikan berukuran sedang di baskom kecil.
Ayah mengangguk, menyeruput kopinya sebentar, dan kembali memasang umpan.
Anisa berpindah duduk di sisi Hanif, melihat kakak iparnya yang tampak serius menunggu ikan memakan umpan.
"Sejak kapan kamu suka game, Ca?"
Anisa memeluk lututnya, "Dari SMP, hehehe."
Hanif mengangguk, mulutnya sedang mengunyah sosis bakar yang tadi Anisa berikan.
"Nif, aku makan duluan, ya. Lama banget sih!" gerutu Adia. Hanif menoleh, tersenyum dan menyetujui istrinya.
"Ih, makanya buruan. Aku mau bareng makannya!" Adia terlihat jengkel.
"Ayah ngasih ini ke Adia, ya." Ayah membawa ikan-ikan dalam baskom kecil itu.
"Biar Hanif aja."
Ayah mengangkat tangan sembari melangkah. Anisa dan Hanif memandang punggung ayah yang menjauh.
"A, kok mau sih sama teteh Ica?"
Hanif menyeringai, mengangkat pancingan yang terakhir. Setelah mendapatkan ikan dengan ukuran cukup besar, Hanif dan Anisa kembali pada Ibu dan Adia.
"Teh Adia itu cerewet, suka marah-marah gak jelas, kadang juga gak ngomong-ngomong kalau mood-nya lagi gak bagus." Anisa melihat kakaknya dari kejauhan. Adia terlihat kerepotan menata makanan.
"Saya mau sama orang karena tahu orang itu cocok untuk saya, Ca," balas Hanif, seketika langkah Anisa terhenti.
"Gimana? Otak Ica gak sampai, maaf hehehe."
"Coba bayangin gini, kamu pengin punya cowok yang kaya, ganteng, pokoknya perfect lah. Namun, setelah kamu mendapatkan yang seperti itu, ternyata dia tidak membuat kamu nyaman. Percuma dong kamu punya kriteria tinggi-tinggi, tapi akhirnya kayak gitu."
Anisa mengangguk, mulai mengerti pembicaraan Hanif.
"Jadi?" Anisa mengernyit.
"Kesimpulannya, kriteria tinggi tidak ada apa-apanya ketika sudah ditimpa nyaman dan sayang. Tak peduli orang berkata apa, yang penting kamu senang ya udah." Hanif mengangkat bahu, Anisa kembali menyetujui ungkapan kakaknya.
"Teh Adia cocok kah untuk A Hanif?" Anisa bertanya lagi.
"Ya, kami bisa pacaran selama 3 tahun, kemudian sampai di titik ini, karena sama-sama tahu kalau kami cocok, sefrekuensi. Kalau nggak gitu, ya nggak mungkin sampai menikah dong. Mungkin di awal-awal juga udah putus."
Hanif dan Anisa kembali melanjutkan berjalan. Dan, mereka menikmati makanan ditemani semilir angin segar .
"Udah sore nih, pulang yuk!" ajak Anisa.
Ibu dan Adia membenahi makanan dan peralatan lainnya. Setelah selesai segera menaiki mobil untuk pulang.
Perjalanan sore selalu menyenangkan. Di mana langit memberikan semburat jingga. Embusan angin memberantakan rambut. Sebuah lagu indie mengalun dari radio.
Anisa memotret jalanan, mengabadikan setiap sudut dengan ponselnya. Dia tersenyum setelah melihat hasil jepretannya tersebut.
Tiba-tiba Adia menggumam dari samping, "Fotoin teteh dong!" Meski enggan, Anisa memotret kakaknya yang terlanjur narsis.
"Nih, udah!" Anisa memperlihatkan.
"Sekali lagi. Foto ala-ala candid gitu, mumpung suami teteh lagi tidur."
Anisa membulatkan matanya. Namun, tetap menyanggupi permintaan Adia. Adia bersorak girang, meminta adiknya mengirim foto tersebut ke W******p.
"Pasti dibikin story langsung," cibir Anisa. Adia memelotot, tapi disertai seringai.
"Tahu aja kamu, De."
Adia segera mengunggahnya di story W******p dengan caption: 'Lelah banget ya sayang, ututu kasihan.' Setelah diunggah, Adia memandang Hanif sekali lagi. Lelaki itu tampak tidak terganggu, cukup lelap meski Anisa dan Adia kerap beradu argumen di sisinya.
Adia menyandarkan Hanif ke pundaknya. Lantas lelaki itu terdengar mendengkur halus. Adia mengusap lengannya untuk tertidur kembali.
"Romantis banget kalian!" Anisa menyindir.
"Apasih, De." Adia mendelik.
"Itu baru awal-awal aja, lihat nanti deh pas udah 5 tahun. Pasti ogah nih upload foto pake caption alay kayak gini."
"Anisa ...." Ibu menoleh ke belakang, putri bungsunya cengengesan.
"IRI BILANG BOS!" balas Adia sengit.
"Benar kan, Bu?" Anisa memajukan dagunya lagi.
Ibu menghela napas, melirik suaminya yang sedang mengemudi dengan tenang, sesekali mulutnya bersenandung.
"Tidak ada yang berubah kok, masih sama, dengan perasaan yang sama. Eh, jauh berbeda, makin sayang biasanya." Ibu terkekeh. Ayah juga ikut tersenyum.
"Setelah 5 tahun ogah upload foto dengan caption kayak begitu karena terlalu sibuk di dunia nyata, Ca. Ke media sosial hanya sesekali. Selebihnya, lebih asyik bercengkrama di dunia nyata. Setelah 5 tahun, nggak ada jaim-jaiman. Semuanya berjalan apa adanya. Ngobrolin apa aja, dari politik, konspirasi elite global, sampe hal receh, tidak luput dari pembahasan. Dan itu menyenangkan sekali."
Adia dan Anisa terperangah dengan ungkapan ayah.
Ayah melanjutkan, "Makanya, menikah itu harus dengan segala kematangan. Karena bukan hanya setahun-dua tahun, tapi untuk selama-lamanya kalau bisa. Kita mencari teman hidup, dan jangan sampai salah pilih. Mantapkan dulu segalanya, baru menikah."
"Ayah pernah bosan gak ke ibu?" tanya Adia hati-hati.
"Pun dengan ibu, pernah gak ibu ngerasa bosen, monoton gitu-gitu aja selama ini sama ayah?" Anisa ikut bertanya.
Kedua orang tua mereka tersenyum bersamaan. Ibu menjawab terlebih dahulu.
"Bosan itu pasti, kita manusia, mustahil tidak merasa bosan. Tapi ... setiap ibu merasa bosan, ibu selalu mengingat masa-masa menyenangkan saat bersama ayah. Ayah itu baik, penyayang banget, menghargai ibu, tidak ada alasan untuk ibu meninggalkan ayah."
Anisa mengangguk paham.
"Cara mudah menghadapi kebosanan adalah dengan bersyukur, Neng."
Adia mengerutkan kening, "Gimana, Yah?"
"Setiap bosan, coba ingat betapa bersyukurnya kamu punya dia. Betapa pasanganmu anugerah terindah yang Tuhan berikan untukmu. Dia baik, menghargaimu, selalu mengusahakan yang terbaik untukmu, menjadi orang paling khawatir padamu, selalu mendoakan panjang umur disertai kebaikan. Dan yang paling penting, dia mencintaimu. Itu luar biasa 'kan?"
Lagi-lagi ucapan ayah membuat Adia dan Anisa terdiam, mencoba menyerap kata-kata yang barusan dilontarkan.
"Sudah adzan, sholat magrib di masjid terdekat aja, Yah."
Setelah menyelesaikan ibadah, mereka menikmati bakso di depan masjid itu. Lantas melanjutkan perjalanan. Kali ini Hanif yang nyetir. Adia, Anisa dan ibu tertidur di jok belakang.
Hanif terharu karena produk terbarunya diterima, orang-orang berbondong-bondong datang ke outletnya. Hanif dan Kris berpelukan. Perjuangannya tidak sia-sia selama ini. Lelahnya terbayarkan, seluruh team tersenyum lebar nan puas. Setelah ini mereka akan beristirahat, melepaskan penat dengan berlibur."Kamu ikut mas ke Jogja ya, Ki." Hanif menepuk bahu adiknya.Kian mengalihkan pandangan dari laptop. Menyesap kopi sekali lagi dibarengi anggukan sedikit ragu."Kita showan ke si mbah, sudah lama tidak ke sana, kan?" tanya Hanif lagi."Kalau tidak sibuk ya, Mas," jawab Kian."Loh? Eyang kangen sama kamu, Ki. Lagipula kita sudah bekerja keras sampai sukses, sekarang waktunya menikmati hasil. Liburan sekalian ketemu keluarga dari papa juga."Kian menarik napas panjang. Membenarkan ucapan mas-nya dalam hati."Iya juga ya, kita terakhir ke sana lebaran tahun lalu,"
Jogja selalu istimewa. Luar biasa. Menyenangkan dan menenangkan. Hanif dan Kian pulang ke kota kelahirannya. Bercengkrama hangat dalam sebuah rumah. Menceritakan ramainya kota dan kerinduan akan kampung halaman tercinta. Pelukan dari si mbah, eyang dan bude-bude sekalian membuat suasana menjadi terasa dekat nan rapat.Sejenak Hanif melupakan kesakitan terdahulu di rumah itu. Hanif sekarang ingin bahagia, seiring dengan berjalannya waktu luka itu akan mengering, dan pelan-pelan Hanif akan membuka hati untuk memaafkan Ayah."Ini seblak kering, Bude." Adia menyodorkan oleh-oleh."Wah, Adia ini rajin, ya?" Bude tersenyum sembari menerima pemberian Adia. "Bude masak sekarang ah.""Bude, aku mau.""Aku juga dong sekalian," teriak yang lainnya."Sini ikut sama bude, jangan manja!" Bude Asih mengibaskan rambut, membuat keponakan-keponakannya mendesah dan mau tidak mau mengekor dar
7Hanif memeluk Adia dari belakang, menghirup tengkuk wanita itu, mencium bahu mulusnya dengan gemas. Adia melenguh kecil. Membuat Hanif semakin merapatkan dirinya, lalu menutup mata, Adia mengusap tangan Hanif yang melingkar. Menolehkan kepala, napas keduanya menderu, Adia melumat bibir Hanif. Mata lelaki itu terbuka. Langsung beradu dengan bola mata Indah Adia."Hai," bisik Adia mesra.Kembali Adia menautkan bibirnya, mengecap rasa manis dan bau sisa isapan rokok di bibir Hanif. Adia terengah-engah, tangannya mengusap setiap inci wajah Hanif, lantas mendorong tubuh itu sampai terjatuh di sofa.Mata Adia berkedip, menggoda Hanif yang berusaha duduk tenang. Kimono berbahan satin itu perlahan diloloskan. Tersisa dres transparan berwarna hitam selutut, Adia terlihat seksi nan menggemaskan. Hanif melambaikan tangan, tapi Adia hanya berdiam di tempat, sehingga Hanif berinisiatif membawa perempuan itu ke pangku
"Ini Om Andi, suami baru bude."Bude Asih menunjuk lelaki berkacamata dengan rambut dicukur rapi."Adia sini, Sayang. Boleh nggak bantu-bantu bude?"Adia mengangguk, mengikuti bude Asih ke dapur. Sementara Hanif mengobrol dengan om Andi."Kata bude Asih, om pisikiater. Benar?" Hanif melirik lelaki berkacamata itu. Dijawab anggukan oleh om Andi. Hanif merogoh ponsel dari sakunya. "Ini ibu saya, Om. Sudah lebih dari 10 tahun di rumah sakit jiwa. Kemarin saya dengar pernyataan dari beliau, ibu bilang, sebenarnya dia tidak sakit. Bahkan beberapa tahun lalu dokter sudah memperbolehkan ibu pulang, dengan syarat harus didampingi pisikiater."Om Andi membenarkan kacamata yang bertengger di hidungnya, mengambil ponsel dari tangan Hanif, mengamati foto perempuan dengan rambut tergelung dan sebuah buku di tangan. Kepala om Andi diangguk-anggukan, selanjutnya berdehem seraya kembali menatap keponakann
Cuaca cerah di akhir pekan, Hanif mengajak Adia motoran keliling-keliling. Menikmati kuliner, foto-foto, ngobrol banyak hal selama di perjalanan. Menyenangkan sekali. Mereka seperti kembali ke masa-masa pacaran beberapa tahun lalu. Dan memang jalan-jalan di akhir pekan selalu dilakukan sejak mereka pacaran. Hanya saja setelah menikah, Hanif dan Adia lebih banyak menggunakan akhir pekan dengan beberes rumah atau sekadar menikmati bakso di alun-alun. Tidak perlu jalan jauh-jauh. Namun, kali ini Hanif mengajak kembali."Panas!" Adia mengeluh saat motor berhenti di lampu merah.Hanif menoleh, helm mereka terbentur, keduanya terkekeh bersamaan. Tangan Hanif mengelus lutut Adia, memintanya sabar, sebentar lagi. Akhirnya perempuan itu mengangguk, meski mulutnya tidak berhenti bersungut.Setelah puas berkeliling, menjelang sore, Hanif dan Adia berhenti di sebuah taman luas. Mereka melepas penat dengan merebahkan badan di rerumputan hijau yang membentang."N
Adia menarik napas panjang setelah menerima telepon dari Hanif. Suaminya itu akan pulang telat karena beberapa alasan. Sembari menunggu, Adia memilih melanjutkan novel yang sedang dikerjakannya.Jemarinya menekan keyboard dengan tenang, menuliskan kata demi kata, sesekali menyesap teh panas yang tersaji di samping meja.Petir terdengar menyambar-nyambar, Adia melirik jendela sejenak, tak lama hujan sudah turun dengan derasnya. Adia menelungkupkan tangan, mendesah pelan, lalu melepas kacamata.'Sayang, dingin.' Begitu isi pesan yang Adia kirimkan kepada Hanif. Kembali disesapnya teh dengan aroma melati yang menguar.Centang biru, Hanif sudah membaca pesannya. Namun, tidak ada balasan cepat. Sampai Ada kembali mengirimkan pesan dengan kalimat godaan.'Aku pakai baju tidur yang kamu suka loh. Mau foto gak?'Terkirim. Adia terkekeh seraya menaikkan cardigan berbahan satin yang dikenakannya. Menatap pantulan dirinya di cer
Perempuan berusia 50 tahun-an itu mendesah, menatap rintik hujan di balik jendela. Aroma tanah yang menguar memasuki penciumannya. Dingin terasa menembus tulang, kabut tipis membuat pepohonan tidak terlalu tinggi itu bersembunyi. Disesap teh yang sudah mendingin karena terlalu lama didiamkan. Dilirik jurnal tebal dan beberapa buku lainnya di meja. Perempuan itu meniup debu yang menempel di kacamatanya, lalu dikenakan.Jemari halus mengusap sampul jurnal berwarna hitam itu. 'Aku dan diriku' begitu tulisan yang tertera pada halaman pertama. Foto-foto usang dan potongan koran tertempel pada halaman-halaman selanjutnya.'Kriskian Budiman, putra bungsuku yang lucu, cerdas, peka dan manja. Selamat ulang tahun, Nak. Maaf ibu tidak lagi hadir di ulang tahunmu. Semoga panjang umur, semoga Tuhan memberkatimu selalu. Semoga selalu sehat, kuat nan terus bahagia. Semoga dunia membalas doamu dengan segera. Aamiin.'Ungkapan manis disert
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me
Hanif meradang mendengar ucapan spontan Kian. Memijit pelipis, mondar-mandir, tak sedikitpun ponsel lepas dari tangan. Keresahan demi keresahan mendadak bermunculan di hatinya. Tentang kedua anak mbak Diah yang dititipkan bersama ibu.'Kok ayah tega?' Begitu tanyanya dalam hati. Sementara Hanif dan Kian kecil sengaja dibuang ayah begitu saja. Bahkan ayah tak segan mengatakan kedua putranya beban. Ironis. Hanif menggelengkan kepala sekali lagi.Hanif melirik ke arah pintu yang berderit. Adia datang membawa poci dan dua cangkir cantik, meletakan di meja, memberikan pada Hanif dengan tatapan menenangkan."Kita cari solusi sama-sama, Nif. Kamu tenang dulu, ya." Begitu bisik Adia, tangannya mengelus bahu Hanif.Diterimanya cangkir teh panas itu. Hanif mencium aroma teh hijau sekali lagi, benar-benar harum. Setelah ditiup perlahan, diteguknya. Sesaat setelah teh ditenggak, Hanif merasa jauh lebih baik. Ia membal
Ningrum membawa box paket itu ke dalam kamarnya. Lantas bergegas mandi, setelahnya duduk ditemani secangkir teh, dibuka kembali box itu. Meraih sepucuk surat yang tergeletak. Dengan berdebar, Ningrum membaca surat itu.'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku''Ningrum ... aku tidak baik-baik saja sejak pertama kali aku mencampakanmu. Rasa sesak dan menyesal terus memenuhi rongga dada. Aku ingin meminta maaf, mengakui segala salahku, tapi ... entah kepada siapa. Kedua anakku tumbuh besar, setiap melihat mereka, aku merasa takut, dan sakit. Aku sedih, orang-orang yang aku tinggalkan, aku sakiti, ternyata hidup baik-baik saja tanpaku.Bukan aku mendoakan yang jelek-jelek untuk kamu dan kedua anak kita. Namun, aku pikir kamu akan memohon sampai berlutut meminta kembali padaku. Kenyataannya, kalian bahagia tanpa aku. Oh, aku memang berengsek dan biadab, sudah sepantasnya orang baik dan cerdas seperti kalian mendapatkan kebahagiaan lebih di luaran sana. Bukan terce
Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya. Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja. "Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer. "Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik. "Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya. "Di ...
Adia terbangun dari tidurnya dengan kepala pening. Tangannya meraba sprei samping yang kosong nan dingin, Hanif telah pergi, entah sejak kapan. Bergegas cuci muka dan menggosok gigi, selanjutnya turun ke bawah untuk sarapan. Adia sedikit mengerutkan kening saat melihat rumahnya sudah tertata rapi, tangannya menarik pintu kulkas, mengeluarkan jus lemon darisana. Kemudian Adia duduk sembari menyesap pelan-pelan jusnya, kepalanya menoleh saat mendengar langkah seseorang tergopoh-gopoh.Seorang perempuan berusia empat puluh tahun-an tersenyum menyapanya. Menundukan bahu hormat. Selanjutnya memperkenalkan diri."Saya Asiah, Bu. Asli Majalengka. Pak Hanif meminta saya untuk menjadi assisten rumah tangga di sini, sekaligus menemani ibu jika sedang kesepian, mengingatkan ibu makan, membuatkan kopi sama membantu memasak untuk bapak."Adia tersenyum, dianggukan kepalanya mendengar ucapan lugas pembantu rumah tangganya itu."Nggak terlalu capek kok, Bi. Malah
"Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak
Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam
"Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."
Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me