Akhir pekan kali ini Adia dan Hanif memutuskan di rumah saja. Mereka berniat membereskan halaman belakang bersama, setelah itu makan dan rebahan seharian. Adia menggunakan daster selutut dengan rambut tergelung asal-asalan, sibuk bolak-balik memberikan apa yang Hanif butuhkan. Pasalnya, lelaki itu sedang menata tanaman dan bunga-bunga ke dalam pot.
"Aku jadi gak sabar nikmatin teh sore-sore sambil natap tanaman ini," ujar Adia, Hanif menanggapi dengan tersenyum.
Selesai dengan tanaman, Hanif memilih mandi. Dan Adia menyiapkan makanan. Perempuan itu bergelut dengan wajan dan segala tetek bengek lainnya. Baru saja Adia meletakan perabotan kotor di wastafel, terdengar suara ketukan. Adia mengerlingkan mata, siapa yang bertamu siang bolong seperti ini?
Pemandangan yang sangat kontras saat pintu terbuka. Perempuan dengan dres berwarna lilac itu sedikit mengerutkan kening melihat Adia dengan dasternya, tapi beberapa detik setelah itu tersenyum anggun. Mau tidak mau Adia juga tersenyum.
"Selamat ya untuk pernikahan kalian, maaf waktu itu tidak datang," ucapnya ramah.
Adia mengerutkan dahi, tapi juga menganggukan kepala.
"Indira, teman Hanif pas SMA. Pasti gak tahu ya? Iya, awalnya aku kuliah di Jerman, eh keterusan sampai kerja di sana ...." Indira terkekeh, tangannya melambai entah pada siapa. Namun, sebuah box dan beberapa paper bag berukuran sedang kali ini sudah ada di depan Adia. "Ini kado dan oleh-oleh, semoga bisa bermanfaat, ya. Eh siapa nama kamu? Ashila?"
Adia meralat cepat, "Adia." Indira tersenyum lagi sembari melenggang ke ruang tamu.
"Ashila kan mantan Hanif, ya. Eh ...."
"Hah?" Adia melongo, Indira menutupi mulutnya. Mungkin keceplosan, tapi Adia yakin itu sengaja. Tidak tahu tujuannya apa. "Hanif lagi mandi, sebentar ya. Mau minum apa?"
"Air putih aja, nggak apa-apa."
"Kebetulan juga nggak ada apa-apa, hehe." Adia sedikit dongkol setelah mendengar mantan Hanif. Entah kenapa ia menjadi sebal kepada Indira.
"Di, aku cek toko dulu ya bentar. Kamu bersih-bersih deh, istirahat, ya." Hanif menatap istrinya dari anak tangga. Lelaki itu sudah rapi, di tangannya terdengar gemerincing kunci mobil.
Sebelum Adia menjawab, Indira sudah menyambar cepat dari sofa. Adia mendesis seraya membawa minum dan makanan ringan.
"Nif, kamu beda banget, ckckck," kata Indira, berdecak kagum.
"Loh, Indi? Kapan datang?" Hanif tergesa mendekati sahabat lamanya. "Beda gimana? Ah, sama aja perasaan."
Indira tersenyum lagi, tangannya membalas uluran Hanif.
"Kamu makin ganteng, Nif. Gak kelihatan udah punya istri," balasnya tanpa melirik Adia.
Adia mengangkat bahu, sedangkan Hanif tersenyum dan mengelus pundak istrinya dengan sayang.
"Dia Indi, temanku yang kuliah di Jerman."
Kembali Adia mengangguk. Sekarang Hanif dan Indira terlibat perbincangan yang cukup seru. Adia pamit untuk bersih-bersih, terakhir ia mendengar Indira membahas mantan Hanif lagi, Ashila.
"Ashila bisa jadi model buat produk kamu yang baru, Nif. Profesi dia kan influencer, bisa lah kamu endorse dia."
Hanif tampak mengangguk-angguk, "Nanti dipertimbangkan lagi sama yang lain. Soalnya produk baru ini kolaborasi aku sama temanku juga, Di."
"Kayaknya kamu mau pergi, Nif."
"Nggak kok, santai," balas Hanif lagi.
"Nggak apa-apa aku ngobrol sama Adia aja kalau kamu mau pergi."
"Aduh, aku gak enak banget sama kamu, Di. Next time kita ngobrol lagi deh, maaf banget ya," sesal Hanif. Indira mengangguk mantap, tak lama Adia turun, dia terlihat segar setelah mengganti pakaian dan menggerai rambutnya.
"Iya, Sayang. Kris udah chat aku, dia nungguin kamu kayaknya."
"Yaudah, aku pergi dulu, ya. Kamu temanin Indira di sini." Hanif menyodorkan punggung tangan yang langsung Adia sambut dengan hangat.
Baru saja beberapa langkah, Hanif meraba celananya, kemudian berbalik lagi dengan senyuman. Adia mendesah seraya memberikan kunci mobil.
"Aku pulang cepat, Sayang." Hanif mengecup pipi istrinya pelan.
"Pelupa dia tuh. Suami kamu gitu gak?" tanya Adia, mengempaskan pantatnya ke sofa.
"Aku belum nikah, Di." Indira menjawab tenang. "Dan kayaknya emang nggak bakal nikah deh," lanjutnya lagi.
Adia mengerutkan kening, sementara Indira menyilangkan kakinya elegan.
"Aku udah biasa hidup sendiri, Di. Udah nyaman kayak gini, jadi ngerasa ogah aja harus terikat pernikahan." Jawaban Indira membuat Adia terkekeh pelan.
"Tapi suka ngerasa kesepian gak sih?" Adia kembali bertanya, matanya terfokus pada Indira yang cantik.
"Kadang," jawabnya singkat.
"Lihat-lihat ke belakang, yuk. Aku sama Hanif lagi bikin taman gitu ceritanya."
Indira langsung mengiyakan. Ia dan Adia melangkah bersamaan.
"Adia, maaf ya yang tadi."
Adia menoleh, lantas memberikan jus pada Indira. Mereka duduk di kursi kayu yang menghadap taman yang belum selesai itu.
"Aku ngomongin Ashila, aku tahu kamu tadi nguping obrolan aku sama Hanif," ucap Indira lagi.
"Gak apa-apa, Di. Aku udah nggak cemburu lagi sama hal kayak begini. Lagian kan itu masa lalu, semua orang punya itu."
Indira tersenyum senang mendengar respon Adia.
"Tapi kamu harus hati-hati sama Ashila, Di." Kembali Indira menajamkan matanya, Adia tersenyum tidak mengerti.
"Kabarnya, Ashila suka goda-goda suami orang," bisik Indira, Adia mengerutkan dahi.
"Masa sih? Kamu tahu darimana?"
Indira berdecak, diseruputnya jus sampai habis. Mata yang menyorot tajam itu sukses membuat Adia memundurkan wajah.
"Dia simpanan sugar daddy!"
"Bapak gula?" Adia mengernyit.
"Pokoknya gitu-gitu deh." Indira bergidik.
"Kamu juga simpanan sugar daddy?" celetuk Adia. Indira memalingkan muka, sedikit kesal karena Adia kurang ajar.
"Aku mah melihara brondong kinyis-kinyis, Di. Hehehe."
"Sugar baby?" Pertanyaan Adia disambut pelototan Indira.
"Kadang aku kesepian, Di. Aku cari deh brondong-brondong manis gitu," bisik Indira jujur.
"Kamu sama Ashila gak ada bedanya, Indira!" Adia menyeringai.
"Bedanya, aku tiap bulan keluar duit biayain sugar babyku. Kalo si Ashila, dia yang dibiayain."
Adia dan Indira tertawa bersamaan. Lalu, Indira pamit pulang. Sebelum itu memberikan undangan berwarna keemasan kepada Adia.
"Kamu harus datang, Di. Aku bikin syukuran sama reuni kecil-kecilan gitu di rumah." Indira melambaikan tangan sebelum memasuki mobil. "Eh, nanti kita gibah lagi ya, Di."
"Kamu suka gibah juga di Jerman?"
Indira mengelus dada mendengar kelakaran Adia.
"Kadang-kadang sih, Di. Gibah sama pembantu rumah tangga kalau di sana."
"Ngomongin apa sama mereka?"
"Ngomongin aktor yang baru keluar penjara dikalungin bunga bak pahlawan. Kalau dengar yang kayak gitu aku udah bisa tebak, pasti di Indonesia."
****
Jemari Adia masih bergerak lincah di atas keyboard laptop, mengetik kata demi kata dengan seksama, sesekali menyesap kopi yang sudah mulai mendingin. Dilirik jam tangan yang melingkar, Adia mendesah lantas menutup laptop. Sudah waktunya beristirahat.
Sementara itu, Hanif tengah melakukan videocall dengan salah seorang rekan bisnisnya. Saat Adia kembali ke ranjang, Hanif menutup perbincangan, dia tersenyum sekilas pada istrinya yang bersiap tidur.
"Tadi ada undangan dari Indira." Adia memulai pembicaraan. Hanif menoleh dan mengerutkan kening bersamaan.
"Undangan apa?"
"Reuni kecil-kecilan katanya," balas Adia, sedikit tidak tertarik.
Lelaki itu mengangguk, lalu matanya kembali pada laptop. Entah apa yang sedang dikerjakannya itu. Adia menarik selimut menutupi separuh badannya, pelan ia menutup mata. Namun, tiba-tiba saja ucapan Indira siang tadi terngiang. Adia mengangkat kepala, melihat apa yang membuat Hanif fokus.
"Kamu lagi ngapain?" Adia menyipitkan mata.
"Lagi baca-baca berita bola, Di," jawab Hanif sembari cengir.
"Aku kira lagi ngerjain apa gitu!"
"Ini akhir pekan, Adia. Biarin lah kita istirahat dulu, jangan dipaksain kerja. Kamu juga harus begitu besok-besok, ya." Hanif tersenyum, tangannya bergerak kembali di atas mouse.
Adia menyandarkan kepala di pundak Hanif. Tiba-tiba matanya menangkap berita yang cukup menarik. Adia meminta Hanif mengklik artikel berjudul 'Selebgram berinisial SS terjerat kasus prostitusi online di sebuah hotel di Bandung'.
"Ngapain sih baca beginian?" Hanif mengerlingkan mata bosan. Namun, Adia tetap membaca kata demi kata di artikel tersebut.
"Kenapa ya dia melakukan ini?" Adia mendongak pada Hanif, suaminya mengangkat bahu.
"Padahal aku yakin dia kaya loh," sambungnya lagi.
"Kurang bersyukur. Udah dikasih fasilitas, cantik, terkenal, masih aja ngerasa kurang." Hanif mengisap rokoknya dalam.
"Influencer cantik-cantik, ya? Si SS ini pasti cantik banget sih!"
"Kan yang mereka jual itu visual, Di. Kalau good looking ya pasti pas jadi ambassador banyak orang yang tertarik juga, secara yang ngiklanin juga begitu," gumam Hanif, lalu menyimpan laptop di meja. Ia dan Adia sama-sama menatap langit-langit kamar yang remang-remang.
"Eh, mantan kamu juga influencer, kan? Tadi aku sempat dengar Indira ngobrolin itu ke kamu."
"Iya, followersnya 500 ribuan kalau gak salah," balas Hanif lagi.
Adia menarik napas, menganggukan kepala.
"Kamu follow dia?" Adia beringsut, matanya menatap curiga. Hanif mengangkat pundaknya sebagai jawaban. "Apa username-nya? Aku mau follow dia juga," sindirnya lagi.
"Dia sempat DM aku, tapi kita nggak saling follow kok."
Adia membulatkan mulut. Entah kenapa perasaannya agak kurang baik setelah Hanif mengatakan itu.
"DM ngucapin selamat sama pernikahan kita. Terus juga beberapa kali ngajak ngopi," ujar Hanif jujur.
Adia melirik, hatinya langsung merasa kesal. Apa mereka pernah bertemu diam-diam? Memikirkan itu rasanya semakin membuat Adia mual.
"Tapi nggak pernah aku temuin, sibuk. Gak tahu kalau nanti senggang," ungkapnya lagi.
"Cantik dia?" tanya Adia, alisnya terangkat.
Hanif menjawab sambil terkekeh, "Ya gitu deh." Setelah mengatakan itu, Adia tidak merespon apapun. Perempuan itu menarik selimut dan memiringkan tubuhnya.
"Gitu gimana?"
Terdiam, Hanif menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Indira bilang kamu mau jadiin dia ... eh siapa namanya?"
"Ashila."
"Nah itu si Ashila, mau jadi model buat produk baru kamu?"
Hanif melirik istrinya. Hanif mendengar nada suara Adia berubah. Sedikit sewot dan serak. Cemburu? Tumben!
"Aku masih harus meeting lagi sama Kris untuk itu," bisik Hanif.
"Kan kata kamu jadi infulencer harus punya visual yang baik, berarti secara tidak langsung kamu bilang dia cantik!"
Loh? Diam-diam Hanif menyeringai mendengar Adia yang sedikit menggebu-gebu.
"Ya, dia emang cantik sih. Langsing, putih, penghasilannya gede. Pokoknya sempurna deh."
Adia membalikan tubuhnya, dan ia melihat Hanif sedang mengangguk-anggukan kepala pertanda setuju dengan apa yang diucapkan Adia.
"Kayak, jauh banget gitu sama aku. Aku nggak ada apa-apanya sih dibanding Ashilla."
Untuk kesekian kali Hanif mengangguk. Adia menyilangkan tangan, napasnya menderu menahan kekesalan yang memuncak.
"Kamu emang dari dulu senangnya sama cewek berawalan huruf A ya? Ashila, Anya, Ayu, Adia ... A terus huruf pertamanya!"
"Kenapa jadi bahas ini sih?" Adia mengelus dada menyadari ucapannya yang sedikit frontal.
"Makanya, jangan senggol-senggol masa lalu. Giliran udah dibahas malah kamu sendiri yang bete."
Perempuan itu nyengir kuda.
"Kamu yang duluan ngomongin itu, kamu sendiri yang badmood. Cewek!"
Indira menyambut tamunya satu persatu. Menebarkan senyuman pada teman-temannya yang tiba. Tepat saat Adia dan Hanif tiba, Indira berseru girang. Teman-teman yang lain juga mendekat, menyapa Hanif, kemudian mereka berbincang tentang kehidupan dan kerinduan. Indira menarik tangan Adia menjauh dari Hanif, membawa Adia bergabung dengan teman-teman perempuannya."Adia, ya? Kita kemarin ketemu pas kamu nikah hehehe."Adia menganggukan kepala, membalas basa-basi mereka."Hanif gimana, Di? Dia pas jaman SMA nyebelin banget, masa dia nulis 'kutunggu jandamu Bu Endang' di toilet belakang."Semua orang terkekeh mendengar perkataan itu. Lalu saat Adia sedang menyimak obrolan-obrolan yang lain, tiba-tiba saja seorang perempuan dengan tas branded melambaikan tangan. Menyapa dengan percaya diri. Cewek-cewek itu langsung berdiri seraya berdecak melihat siapa yang datang, Ashila."Shila, ya ampun. Kangen b
"Assalamualaikum," sapa Hanif. Namun, tidak ada jawaban."Di ... Adia!" Hanif menaruh sepatu pada rak, berjalan ke ruang tengah yang kosong. Lelaki itu mendesah, kemudian memanggil istrinya lagi."Sayang, aku pulang." Matanya menyapu ke seluruh ruangan yang lengang, akhirnya Hanif memutuskan pergi ke dapur. Melihat apa yang tersaji di meja makan.Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perutnya, dengan aroma shampo yang menguar. Hanif mendesis, sedikit jengkel dengan Adia."Kaget gak?" tanya Adia, masih membenamkan kepalanya di punggung Hanif.Hanif mengelus lengan Adia yang melingkar, lantas menggeleng."Panik gak istrinya gak ada? Panik gak?" tanya Adia, kepalanya tiba-tiba muncul di depan Hanif. Kali kedua lelaki itu mengelus dada, kaget."Panik lah, masa nggak!" jawab Hanif sekenanya.Adia melihat Hanif yang makan dengan lahap. Sesekali b
Hanif terharu karena produk terbarunya diterima, orang-orang berbondong-bondong datang ke outletnya. Hanif dan Kris berpelukan. Perjuangannya tidak sia-sia selama ini. Lelahnya terbayarkan, seluruh team tersenyum lebar nan puas. Setelah ini mereka akan beristirahat, melepaskan penat dengan berlibur."Kamu ikut mas ke Jogja ya, Ki." Hanif menepuk bahu adiknya.Kian mengalihkan pandangan dari laptop. Menyesap kopi sekali lagi dibarengi anggukan sedikit ragu."Kita showan ke si mbah, sudah lama tidak ke sana, kan?" tanya Hanif lagi."Kalau tidak sibuk ya, Mas," jawab Kian."Loh? Eyang kangen sama kamu, Ki. Lagipula kita sudah bekerja keras sampai sukses, sekarang waktunya menikmati hasil. Liburan sekalian ketemu keluarga dari papa juga."Kian menarik napas panjang. Membenarkan ucapan mas-nya dalam hati."Iya juga ya, kita terakhir ke sana lebaran tahun lalu,"
Jogja selalu istimewa. Luar biasa. Menyenangkan dan menenangkan. Hanif dan Kian pulang ke kota kelahirannya. Bercengkrama hangat dalam sebuah rumah. Menceritakan ramainya kota dan kerinduan akan kampung halaman tercinta. Pelukan dari si mbah, eyang dan bude-bude sekalian membuat suasana menjadi terasa dekat nan rapat.Sejenak Hanif melupakan kesakitan terdahulu di rumah itu. Hanif sekarang ingin bahagia, seiring dengan berjalannya waktu luka itu akan mengering, dan pelan-pelan Hanif akan membuka hati untuk memaafkan Ayah."Ini seblak kering, Bude." Adia menyodorkan oleh-oleh."Wah, Adia ini rajin, ya?" Bude tersenyum sembari menerima pemberian Adia. "Bude masak sekarang ah.""Bude, aku mau.""Aku juga dong sekalian," teriak yang lainnya."Sini ikut sama bude, jangan manja!" Bude Asih mengibaskan rambut, membuat keponakan-keponakannya mendesah dan mau tidak mau mengekor dar
7Hanif memeluk Adia dari belakang, menghirup tengkuk wanita itu, mencium bahu mulusnya dengan gemas. Adia melenguh kecil. Membuat Hanif semakin merapatkan dirinya, lalu menutup mata, Adia mengusap tangan Hanif yang melingkar. Menolehkan kepala, napas keduanya menderu, Adia melumat bibir Hanif. Mata lelaki itu terbuka. Langsung beradu dengan bola mata Indah Adia."Hai," bisik Adia mesra.Kembali Adia menautkan bibirnya, mengecap rasa manis dan bau sisa isapan rokok di bibir Hanif. Adia terengah-engah, tangannya mengusap setiap inci wajah Hanif, lantas mendorong tubuh itu sampai terjatuh di sofa.Mata Adia berkedip, menggoda Hanif yang berusaha duduk tenang. Kimono berbahan satin itu perlahan diloloskan. Tersisa dres transparan berwarna hitam selutut, Adia terlihat seksi nan menggemaskan. Hanif melambaikan tangan, tapi Adia hanya berdiam di tempat, sehingga Hanif berinisiatif membawa perempuan itu ke pangku
"Ini Om Andi, suami baru bude."Bude Asih menunjuk lelaki berkacamata dengan rambut dicukur rapi."Adia sini, Sayang. Boleh nggak bantu-bantu bude?"Adia mengangguk, mengikuti bude Asih ke dapur. Sementara Hanif mengobrol dengan om Andi."Kata bude Asih, om pisikiater. Benar?" Hanif melirik lelaki berkacamata itu. Dijawab anggukan oleh om Andi. Hanif merogoh ponsel dari sakunya. "Ini ibu saya, Om. Sudah lebih dari 10 tahun di rumah sakit jiwa. Kemarin saya dengar pernyataan dari beliau, ibu bilang, sebenarnya dia tidak sakit. Bahkan beberapa tahun lalu dokter sudah memperbolehkan ibu pulang, dengan syarat harus didampingi pisikiater."Om Andi membenarkan kacamata yang bertengger di hidungnya, mengambil ponsel dari tangan Hanif, mengamati foto perempuan dengan rambut tergelung dan sebuah buku di tangan. Kepala om Andi diangguk-anggukan, selanjutnya berdehem seraya kembali menatap keponakann
Cuaca cerah di akhir pekan, Hanif mengajak Adia motoran keliling-keliling. Menikmati kuliner, foto-foto, ngobrol banyak hal selama di perjalanan. Menyenangkan sekali. Mereka seperti kembali ke masa-masa pacaran beberapa tahun lalu. Dan memang jalan-jalan di akhir pekan selalu dilakukan sejak mereka pacaran. Hanya saja setelah menikah, Hanif dan Adia lebih banyak menggunakan akhir pekan dengan beberes rumah atau sekadar menikmati bakso di alun-alun. Tidak perlu jalan jauh-jauh. Namun, kali ini Hanif mengajak kembali."Panas!" Adia mengeluh saat motor berhenti di lampu merah.Hanif menoleh, helm mereka terbentur, keduanya terkekeh bersamaan. Tangan Hanif mengelus lutut Adia, memintanya sabar, sebentar lagi. Akhirnya perempuan itu mengangguk, meski mulutnya tidak berhenti bersungut.Setelah puas berkeliling, menjelang sore, Hanif dan Adia berhenti di sebuah taman luas. Mereka melepas penat dengan merebahkan badan di rerumputan hijau yang membentang."N
Adia menarik napas panjang setelah menerima telepon dari Hanif. Suaminya itu akan pulang telat karena beberapa alasan. Sembari menunggu, Adia memilih melanjutkan novel yang sedang dikerjakannya.Jemarinya menekan keyboard dengan tenang, menuliskan kata demi kata, sesekali menyesap teh panas yang tersaji di samping meja.Petir terdengar menyambar-nyambar, Adia melirik jendela sejenak, tak lama hujan sudah turun dengan derasnya. Adia menelungkupkan tangan, mendesah pelan, lalu melepas kacamata.'Sayang, dingin.' Begitu isi pesan yang Adia kirimkan kepada Hanif. Kembali disesapnya teh dengan aroma melati yang menguar.Centang biru, Hanif sudah membaca pesannya. Namun, tidak ada balasan cepat. Sampai Ada kembali mengirimkan pesan dengan kalimat godaan.'Aku pakai baju tidur yang kamu suka loh. Mau foto gak?'Terkirim. Adia terkekeh seraya menaikkan cardigan berbahan satin yang dikenakannya. Menatap pantulan dirinya di cer
Hanif meradang mendengar ucapan spontan Kian. Memijit pelipis, mondar-mandir, tak sedikitpun ponsel lepas dari tangan. Keresahan demi keresahan mendadak bermunculan di hatinya. Tentang kedua anak mbak Diah yang dititipkan bersama ibu.'Kok ayah tega?' Begitu tanyanya dalam hati. Sementara Hanif dan Kian kecil sengaja dibuang ayah begitu saja. Bahkan ayah tak segan mengatakan kedua putranya beban. Ironis. Hanif menggelengkan kepala sekali lagi.Hanif melirik ke arah pintu yang berderit. Adia datang membawa poci dan dua cangkir cantik, meletakan di meja, memberikan pada Hanif dengan tatapan menenangkan."Kita cari solusi sama-sama, Nif. Kamu tenang dulu, ya." Begitu bisik Adia, tangannya mengelus bahu Hanif.Diterimanya cangkir teh panas itu. Hanif mencium aroma teh hijau sekali lagi, benar-benar harum. Setelah ditiup perlahan, diteguknya. Sesaat setelah teh ditenggak, Hanif merasa jauh lebih baik. Ia membal
Ningrum membawa box paket itu ke dalam kamarnya. Lantas bergegas mandi, setelahnya duduk ditemani secangkir teh, dibuka kembali box itu. Meraih sepucuk surat yang tergeletak. Dengan berdebar, Ningrum membaca surat itu.'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku''Ningrum ... aku tidak baik-baik saja sejak pertama kali aku mencampakanmu. Rasa sesak dan menyesal terus memenuhi rongga dada. Aku ingin meminta maaf, mengakui segala salahku, tapi ... entah kepada siapa. Kedua anakku tumbuh besar, setiap melihat mereka, aku merasa takut, dan sakit. Aku sedih, orang-orang yang aku tinggalkan, aku sakiti, ternyata hidup baik-baik saja tanpaku.Bukan aku mendoakan yang jelek-jelek untuk kamu dan kedua anak kita. Namun, aku pikir kamu akan memohon sampai berlutut meminta kembali padaku. Kenyataannya, kalian bahagia tanpa aku. Oh, aku memang berengsek dan biadab, sudah sepantasnya orang baik dan cerdas seperti kalian mendapatkan kebahagiaan lebih di luaran sana. Bukan terce
Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya. Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja. "Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer. "Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik. "Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya. "Di ...
Adia terbangun dari tidurnya dengan kepala pening. Tangannya meraba sprei samping yang kosong nan dingin, Hanif telah pergi, entah sejak kapan. Bergegas cuci muka dan menggosok gigi, selanjutnya turun ke bawah untuk sarapan. Adia sedikit mengerutkan kening saat melihat rumahnya sudah tertata rapi, tangannya menarik pintu kulkas, mengeluarkan jus lemon darisana. Kemudian Adia duduk sembari menyesap pelan-pelan jusnya, kepalanya menoleh saat mendengar langkah seseorang tergopoh-gopoh.Seorang perempuan berusia empat puluh tahun-an tersenyum menyapanya. Menundukan bahu hormat. Selanjutnya memperkenalkan diri."Saya Asiah, Bu. Asli Majalengka. Pak Hanif meminta saya untuk menjadi assisten rumah tangga di sini, sekaligus menemani ibu jika sedang kesepian, mengingatkan ibu makan, membuatkan kopi sama membantu memasak untuk bapak."Adia tersenyum, dianggukan kepalanya mendengar ucapan lugas pembantu rumah tangganya itu."Nggak terlalu capek kok, Bi. Malah
"Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak
Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam
"Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."
Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut
"Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me