Share

TEMAN HIDUP
TEMAN HIDUP
Author: Litani

1.

Author: Litani
last update Last Updated: 2021-09-21 12:27:21

Adia dan Hanif bertatapan. Mereka mantap untuk melangkah ke jenjang pernikahan kali ini. Rasanya lega, sekaligus was-was. Akhirnya setelah segala drama, keduanya bisa memegang buku nikah di pelaminan. Tidak lagi merasa cemas digrebek satpol PP saat chek in di hotel. Adia dan Hanif juga berhasil menampar perkataan orang-orang dengan menikah, kini mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri.

"Happy wedding, Bro. Selamat menempuh hidup baru dan selamat bertemu masalah-masalah baru." Begitu perkataan Ali, sahabat Hanif yang sudah menikah. Hanif dan Adia berpandangan, seperti mengerti dengan apa yang masing-masing pikirkan.

"Gue sama Ali kenal sejak SMA, tetap aja pas udah nikah beda. Sifat sama sikap aslinya dia keluar pas udah tinggal serumah, Di. Lo jangan kaget kalo misal suatu hari nemuin ada yang aneh dari Hanif, karena emang gitu. Nikah itu gak gampang, Di. Lo perlu ...."

"Nad, ayo kita makan." Ali menarik tangan istrinya dan undur diri di hadapan pengantin yang tersenyum kecut.

Setelah semua acara selesai, Adia dan Hanif beristirahat di kamar hotel. Adia sudah mengganti gaunnya dengan setelan baju tidur tipis. Setelah menyemprotkan parfum, Adia menggemingkan Hanif yang sedang bermain ponsel.

"Nif, yuk ...."

Hanif menyimpan ponsel, "Di, ini bukan yang pertama. Aku capek banget nyalamin orang sebanyak itu. Besok, ya. Kita kan mau ke Labuan Bajo, di sana bisa tenang dan bebas. Kalo udah capek gini, aku takut mainku bentar, nanti kamu kecewa." Lelaki yang sudah berstatus sebagai suami itu mengecup kening Adia sebelum melangkah ke kamar mandi.

Adia mengedikkan bahu dan tertidur terlebih dahulu.

****

Jika ditanya kenapa Adia memilih Hanif, maka jawabannya tidak tahu. Dia mencintai Hanif begitu saja. Mencintai segala sifat manis dan menjengkelkan Hanif.

Hanif dan Adia bukan pasangan sempurna. Pertengkaran demi pertengkaran sudah biasa mereka lewati semasa berpacaran. Bahkan sempat putus selama beberapa bulan. Namun, ternyata cinta membawa mereka kembali ke sini, ke pernikahan yang sudah lama dimimpikan.

Hanif selalu percaya Adia akan kembali padanya, seperti hari ini, Adia tampak kesal kepada suaminya itu karena sembarangan menaruh handuk basah.

"Nif, udah aku bilang ya, handuk basah jangan ditaruh di atas kasur!" Adia mendumel.

Hanif tidak memberikan respon apapun, masih tetap fokus pada layar gadget. Adia melirik sinis, "Aku ngambek loh ini!" Perempuan itu mengambil handuk dan menjemurnya.

"Lagian kamu tuh kalau istri lagi kesel, ngapain kek, minta maaf kek, hibur kek, ajak jalan kek. Ini malah diam aja." Adia mendorong pintu kamar mandi dengan keras, hanya dengan itu Hanif mengalihkan pandangan.

"Yaudah, ayo!"

Adia melongokan kepalanya, "Kemana?"

"Katanya mau jalan."

"Sekarang juga?" Adia mengerutkan kening. Hanif mengangguk. "Tapi aku belum ngapa-ngapain, Nif."

Dengan entengnya lelaki itu menjawab, "Emang harus ngapain?" Adia mengerucutkan bibir, gak peka banget jadi cowok. Tentu saja Adia perlu mandi dan memoleskan sedikit make up.

"Aku mandi dulu. Tunggu sebentar," teriaknya seraya menarik kembali pintu.

"Aku juga mau mandi, Di ...."

Sebelum Adia memberikan persetujuan, Hanif sudah terlebih dahulu masuk. Hanif cengir melihat istrinya yang kembali memanyunkan bibir. Tanpa memedulikan itu, Hanif melepas kaus yang dikenakannya.

"Kamu duluan aja," ucap Adia dengan tatapan malas.

"Bareng aja, kan biasanya juga gitu." Hanif melorotkan boxer, kemudian mulai menyalakan shower.

"Malah gak jadi pergi karena kelamaan mandi kalau sama kamu mah."

"Bagus dong," kata Hanif lagi.

Adia menaikkan alisnya, "Kamu niat nggak sih ajak aku jalan?"

Hanif melilitkan handuk di pinggangnya, dicium sekali pipi manis Adia, lalu melongos pergi. 

"Di, masih lama?" tanya Hanif sesaat setelah ia siap berangkat.

Adia muncul dari kamar mandi, mendumel karena Hanif membuatnya tidak tenang. Adia bersolek di depan meja rias, mengukir alis, mencatok rambut, menyemprotkan parfum dan segala tetek bengek lainnya. Adia siap sekarang, ia menoleh dan mendapati Hanif tengah tertidur di sofa.

Astaga!

"Nif, yuk ...."

Hanif mengucek mata dan segera meraih kunci motor. Adia menarik Hanif, dipandangi sekali lagi suaminya itu. Yang benar saja disaat Adia begitu heboh berdandan dan memilih pakaian, Hanif malah mengenakan celana pendek dan kaus berwarna hitam lagi.

"Kenapa sih, Di?"

"Ganti dong baju kamu,"

Hanif mengikuti saran Adia. Istrinya itu memilah pakaian di dalam lemari, dilemparkan kemeja berlengan pendek dan celana panjang pada Hanif yang termangu di kasur.

"Nanti aku dikatain gak bisa ngurus suami kalau kamu pakai bajunya itu-itu aja," desis Adia. Dia menaikkan kepala saat Hanif selesai mengganti baju. Adia berdecak, menyisir rambut Hanif dan menyemprotkan parfum.

"Aku punya kaus hitam 15, Adia."

Adia mengangguk malas, ditarik kembali tangan Hanif. "Kita belum foto."

Hanif sudah biasa menghadapi kerepotan semacam ini. Dan dia hanya mengangguk, setuju dengan apapun yang Adia lakukan untuknya.

"Kita nggak pake mobil aja, Nif. Sayang loh udah mandi, udah cantik gini masa motoran."

"Yaudah."

"Jangan bilang kunci mobilnya di atas? Ah kamu mah, aku gak mau ngambil ya, pegal kaki aku bolak balik tangga."

"Baik, Ndoro." Hanif membungkukan badannya. Adia tertawa dan menyubit pinggang Hanif.

Hanif beberapa kali melirik Adia yang fokus pada ponsel, sesekali tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Ada apa sih, Di?" Hanif memajukan dagunya. Penasaran dengan siapa Adia chattingan.

"Udah kamu fokus nyetir aja, Nif." Adia melirik sebentar dan kembali mengetikkan balasan.

"Di ... kamu chattingan sama siapa?"

"Bukan siapa-siapa," balas Adia cepat.

"Cowok, ya? Balesnya sambil senyum-senyum lagi!"

Adia membulatkan mata, disimpan ponsel dan menatap suaminya lekat. Sebentar, kenapa Adia merasa Hanif semakin ganteng? Apalagi saat bersikap dingin seperti itu. Mulutnya mengulas senyum, Adia menempelkan kepalanya di lengan Hanif, membuat lelaki itu sedikit mengerutkan kening.

"Nif, aku bangga punya kamu," bisik Adia mesra.

Hanif berusaha menahan diri untuk bersikap biasa saja, tapi ia gagal. Hanif akhirnya menyunggingkan bibir mendengar pernyataan tulus Adia, mencium puncak kepala istrinya dengan sayang. Adia mendusel di lengan Hanif, mencium parfum suaminya dengan nyaman.

"Sesekali manggil suami itu yang romantis, Di. Mas kek, Sayang kek, Cintaku kek. Ini mah Nif lagi Nif lagi," ucap Hanif, berpura-pura kesal. Namun, bibirnya tetap mengulas senyum.

"Emang kamu mau dipanggil Cintaku?" Adia menatap Hanif, lelaki itu salah tingkah dan memalingkan wajah.

"Nggak juga, sih." Hanif mengangkat bahu.

Hanif dan Adia melirik bersamaan pada ponsel yang bergetar. Ponsel Adia. Buru-buru perempuan itu raih dan mengetikkan balasan sembari tersenyum.

"Sekarang jujur sama aku, siapa yang chat kamu?"

Adia mengerlingkan matanya, "Apaan sih, Nif ...." Kembali tangannya bergerak lincah di atas layar.

"Aku gak permasalahin ya kamu mau chating sama siapa aja, cuma jangan sok asik di depan aku lah. Hargai aku, Di. Aku kan suami kamu."

Adia mematikan ponsel mendengar Hanif meninggikan suara. Adia menghela napas berat, kemudian menyentuh bahu suaminya. Hanif terlihat sedikit marah, hanya karena Adia sok asik balas-balasan chat. Really? Bahkan lelaki itu tidak pernah berkomentar banyak saat Adia diharuskan mengikuti proses syuting di sebuah kaki gunung bersama banyak pria.

"Ini dari pelangganku, Nif."

Seketika mobil terhenti. Adia mengumpat kaget.

"Pelanggan apaan? Coba sini lihat!" Hanif membuka ponsel Adia, memeriksa riwayat chat. Buru-buru dikembalikan dengan perasaan dongkol.

"Aku mau jualan seblak, Nif. Itu mbak Nita, dia udah beberapa kali mesan seblak sama aku." Adia menggigit bibir melihat ekspresi Hanif yang sulit diartikan. Suaminya itu pasti sudah menyangka yang nggak-nggak.

"Lagian kamu ngapain sih jualan seblak, Adia?"

"Aku jenuh, Nif. Revisi naskah cuma beberapa, aku pulang lebih cepat juga. Daripada nggak ngapa-ngapain?" Adia mengembuskan napas, merasa lega sudah jujur kepada Hanif.

"Nggak, bukan itu maksud aku. Gimana coba stigma orang banyak kalo misal nanti katanya aku gak bisa nafkahin kamu makanya kamu jualan seblak? Kan gak bakal enak didengar. Keluargaku juga pasti ngomongin aku gak becus nyari duit!" Hanif mengacak rambutnya, sedikit kesal dengan pernyataan Adia.

Adia terkekeh. Kembali mengusap bahu tegap Hanif. Jemarinya merapikan kembali rambut Hanif yang acak-acakan. Ditatap suaminya itu sekali lagi, lebih dalam dan lebih intens. Hanif mengernyit, menunduk, memalingkan wajah. Sungguh, ekspresinya lucu sekali. Adia suka melihat Hanif tampak salah tingkah. Itu menjadi jauh lebih menggemaskan. Dan Adia hanya ingin memandangnya dengan puas.

"Siapa yang bilang begitu?" Adia memajukan dagu, Hanif menggeleng. "Orang-orang memang aneh, yang baru menikah terus jualan dikatain suaminya gak bisa nyari duit. Padahal nggak gitu. Pegangan aku dari kamu lebih dari cukup, Nif. Aku yakin sebelum usaha orang besar pun, mereka merintis dari bawah. Jangan jauh-jauh, kamu contohnya. Dari jaman kuliah jualan kaos, tiap ada event-event pasti menjajakan dagangan kamu, sampai sekarang hasilnya. Kamu udah punya beberapa cabang outlet, kita punya rumah, mobil, bisnis kita juga merambah ke proferti. Udah ya jangan terlalu dengerin orang-orang."

"Makasih, Di. Aku cuma gak enak aja kalau nanti ada yang bilang begitu."

Adia mengangguk semangat, tiba-tiba saja Hanif mengecup pipinya singkat. Perempuan itu mengernyit, tapi kemudian terkekeh mendapat perlakukan sweet dari suaminya.

"Di, aku sayang banget sama kamu."

Sungguh, Adia ingin jingkrak-jingkrak saat itu juga mendengar ungkapan Hanif. Sulit dipercaya cowok super cuek itu akhirnya angkat bicara soal perasaannya. Bisa Adia hitung sejak mereka pacaran sampai saat ini, Hanif hanya mengungkapkan perasaan sayangnya 2X. Dan itu sungguh membuat Adia berdebar-debar seperti remaja yang sedang dilanda kasmaran.

"Ya, me too ...."

Perjalanan mereka tampak menyenangkan. Adia menikmati musik yang terputar di radio, sesekali mulutnya mengikuti lirik, sesekali juga matanya beradu pandang dengan Hanif.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • TEMAN HIDUP   2.

    Akhir pekan kali ini Adia dan Hanif memutuskan di rumah saja. Mereka berniat membereskan halaman belakang bersama, setelah itu makan dan rebahan seharian. Adia menggunakan daster selutut dengan rambut tergelung asal-asalan, sibuk bolak-balik memberikan apa yang Hanif butuhkan. Pasalnya, lelaki itu sedang menata tanaman dan bunga-bunga ke dalam pot."Aku jadi gak sabar nikmatin teh sore-sore sambil natap tanaman ini," ujar Adia, Hanif menanggapi dengan tersenyum.Selesai dengan tanaman, Hanif memilih mandi. Dan Adia menyiapkan makanan. Perempuan itu bergelut dengan wajan dan segala tetek bengek lainnya. Baru saja Adia meletakan perabotan kotor di wastafel, terdengar suara ketukan. Adia mengerlingkan mata, siapa yang bertamu siang bolong seperti ini?Pemandangan yang sangat kontras saat pintu terbuka. Perempuan dengan dres berwarna lilac itu sedikit mengerutkan kening melihat Adia dengan dasternya, tapi beberapa detik setela

    Last Updated : 2021-09-21
  • TEMAN HIDUP   3.

    Indira menyambut tamunya satu persatu. Menebarkan senyuman pada teman-temannya yang tiba. Tepat saat Adia dan Hanif tiba, Indira berseru girang. Teman-teman yang lain juga mendekat, menyapa Hanif, kemudian mereka berbincang tentang kehidupan dan kerinduan. Indira menarik tangan Adia menjauh dari Hanif, membawa Adia bergabung dengan teman-teman perempuannya."Adia, ya? Kita kemarin ketemu pas kamu nikah hehehe."Adia menganggukan kepala, membalas basa-basi mereka."Hanif gimana, Di? Dia pas jaman SMA nyebelin banget, masa dia nulis 'kutunggu jandamu Bu Endang' di toilet belakang."Semua orang terkekeh mendengar perkataan itu. Lalu saat Adia sedang menyimak obrolan-obrolan yang lain, tiba-tiba saja seorang perempuan dengan tas branded melambaikan tangan. Menyapa dengan percaya diri. Cewek-cewek itu langsung berdiri seraya berdecak melihat siapa yang datang, Ashila."Shila, ya ampun. Kangen b

    Last Updated : 2021-09-24
  • TEMAN HIDUP   4.

    "Assalamualaikum," sapa Hanif. Namun, tidak ada jawaban."Di ... Adia!" Hanif menaruh sepatu pada rak, berjalan ke ruang tengah yang kosong. Lelaki itu mendesah, kemudian memanggil istrinya lagi."Sayang, aku pulang." Matanya menyapu ke seluruh ruangan yang lengang, akhirnya Hanif memutuskan pergi ke dapur. Melihat apa yang tersaji di meja makan.Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perutnya, dengan aroma shampo yang menguar. Hanif mendesis, sedikit jengkel dengan Adia."Kaget gak?" tanya Adia, masih membenamkan kepalanya di punggung Hanif.Hanif mengelus lengan Adia yang melingkar, lantas menggeleng."Panik gak istrinya gak ada? Panik gak?" tanya Adia, kepalanya tiba-tiba muncul di depan Hanif. Kali kedua lelaki itu mengelus dada, kaget."Panik lah, masa nggak!" jawab Hanif sekenanya.Adia melihat Hanif yang makan dengan lahap. Sesekali b

    Last Updated : 2021-09-24
  • TEMAN HIDUP   5.

    Hanif terharu karena produk terbarunya diterima, orang-orang berbondong-bondong datang ke outletnya. Hanif dan Kris berpelukan. Perjuangannya tidak sia-sia selama ini. Lelahnya terbayarkan, seluruh team tersenyum lebar nan puas. Setelah ini mereka akan beristirahat, melepaskan penat dengan berlibur."Kamu ikut mas ke Jogja ya, Ki." Hanif menepuk bahu adiknya.Kian mengalihkan pandangan dari laptop. Menyesap kopi sekali lagi dibarengi anggukan sedikit ragu."Kita showan ke si mbah, sudah lama tidak ke sana, kan?" tanya Hanif lagi."Kalau tidak sibuk ya, Mas," jawab Kian."Loh? Eyang kangen sama kamu, Ki. Lagipula kita sudah bekerja keras sampai sukses, sekarang waktunya menikmati hasil. Liburan sekalian ketemu keluarga dari papa juga."Kian menarik napas panjang. Membenarkan ucapan mas-nya dalam hati."Iya juga ya, kita terakhir ke sana lebaran tahun lalu,"

    Last Updated : 2021-09-25
  • TEMAN HIDUP   6

    Jogja selalu istimewa. Luar biasa. Menyenangkan dan menenangkan. Hanif dan Kian pulang ke kota kelahirannya. Bercengkrama hangat dalam sebuah rumah. Menceritakan ramainya kota dan kerinduan akan kampung halaman tercinta. Pelukan dari si mbah, eyang dan bude-bude sekalian membuat suasana menjadi terasa dekat nan rapat.Sejenak Hanif melupakan kesakitan terdahulu di rumah itu. Hanif sekarang ingin bahagia, seiring dengan berjalannya waktu luka itu akan mengering, dan pelan-pelan Hanif akan membuka hati untuk memaafkan Ayah."Ini seblak kering, Bude." Adia menyodorkan oleh-oleh."Wah, Adia ini rajin, ya?" Bude tersenyum sembari menerima pemberian Adia. "Bude masak sekarang ah.""Bude, aku mau.""Aku juga dong sekalian," teriak yang lainnya."Sini ikut sama bude, jangan manja!" Bude Asih mengibaskan rambut, membuat keponakan-keponakannya mendesah dan mau tidak mau mengekor dar

    Last Updated : 2021-09-28
  • TEMAN HIDUP   7.

    7Hanif memeluk Adia dari belakang, menghirup tengkuk wanita itu, mencium bahu mulusnya dengan gemas. Adia melenguh kecil. Membuat Hanif semakin merapatkan dirinya, lalu menutup mata, Adia mengusap tangan Hanif yang melingkar. Menolehkan kepala, napas keduanya menderu, Adia melumat bibir Hanif. Mata lelaki itu terbuka. Langsung beradu dengan bola mata Indah Adia."Hai," bisik Adia mesra.Kembali Adia menautkan bibirnya, mengecap rasa manis dan bau sisa isapan rokok di bibir Hanif. Adia terengah-engah, tangannya mengusap setiap inci wajah Hanif, lantas mendorong tubuh itu sampai terjatuh di sofa.Mata Adia berkedip, menggoda Hanif yang berusaha duduk tenang. Kimono berbahan satin itu perlahan diloloskan. Tersisa dres transparan berwarna hitam selutut, Adia terlihat seksi nan menggemaskan. Hanif melambaikan tangan, tapi Adia hanya berdiam di tempat, sehingga Hanif berinisiatif membawa perempuan itu ke pangku

    Last Updated : 2021-09-28
  • TEMAN HIDUP   8.

    "Ini Om Andi, suami baru bude."Bude Asih menunjuk lelaki berkacamata dengan rambut dicukur rapi."Adia sini, Sayang. Boleh nggak bantu-bantu bude?"Adia mengangguk, mengikuti bude Asih ke dapur. Sementara Hanif mengobrol dengan om Andi."Kata bude Asih, om pisikiater. Benar?" Hanif melirik lelaki berkacamata itu. Dijawab anggukan oleh om Andi. Hanif merogoh ponsel dari sakunya. "Ini ibu saya, Om. Sudah lebih dari 10 tahun di rumah sakit jiwa. Kemarin saya dengar pernyataan dari beliau, ibu bilang, sebenarnya dia tidak sakit. Bahkan beberapa tahun lalu dokter sudah memperbolehkan ibu pulang, dengan syarat harus didampingi pisikiater."Om Andi membenarkan kacamata yang bertengger di hidungnya, mengambil ponsel dari tangan Hanif, mengamati foto perempuan dengan rambut tergelung dan sebuah buku di tangan. Kepala om Andi diangguk-anggukan, selanjutnya berdehem seraya kembali menatap keponakann

    Last Updated : 2021-10-02
  • TEMAN HIDUP   9.

    Cuaca cerah di akhir pekan, Hanif mengajak Adia motoran keliling-keliling. Menikmati kuliner, foto-foto, ngobrol banyak hal selama di perjalanan. Menyenangkan sekali. Mereka seperti kembali ke masa-masa pacaran beberapa tahun lalu. Dan memang jalan-jalan di akhir pekan selalu dilakukan sejak mereka pacaran. Hanya saja setelah menikah, Hanif dan Adia lebih banyak menggunakan akhir pekan dengan beberes rumah atau sekadar menikmati bakso di alun-alun. Tidak perlu jalan jauh-jauh. Namun, kali ini Hanif mengajak kembali."Panas!" Adia mengeluh saat motor berhenti di lampu merah.Hanif menoleh, helm mereka terbentur, keduanya terkekeh bersamaan. Tangan Hanif mengelus lutut Adia, memintanya sabar, sebentar lagi. Akhirnya perempuan itu mengangguk, meski mulutnya tidak berhenti bersungut.Setelah puas berkeliling, menjelang sore, Hanif dan Adia berhenti di sebuah taman luas. Mereka melepas penat dengan merebahkan badan di rerumputan hijau yang membentang."N

    Last Updated : 2021-10-02

Latest chapter

  • TEMAN HIDUP   20

    Hanif meradang mendengar ucapan spontan Kian. Memijit pelipis, mondar-mandir, tak sedikitpun ponsel lepas dari tangan. Keresahan demi keresahan mendadak bermunculan di hatinya. Tentang kedua anak mbak Diah yang dititipkan bersama ibu.'Kok ayah tega?' Begitu tanyanya dalam hati. Sementara Hanif dan Kian kecil sengaja dibuang ayah begitu saja. Bahkan ayah tak segan mengatakan kedua putranya beban. Ironis. Hanif menggelengkan kepala sekali lagi.Hanif melirik ke arah pintu yang berderit. Adia datang membawa poci dan dua cangkir cantik, meletakan di meja, memberikan pada Hanif dengan tatapan menenangkan."Kita cari solusi sama-sama, Nif. Kamu tenang dulu, ya." Begitu bisik Adia, tangannya mengelus bahu Hanif.Diterimanya cangkir teh panas itu. Hanif mencium aroma teh hijau sekali lagi, benar-benar harum. Setelah ditiup perlahan, diteguknya. Sesaat setelah teh ditenggak, Hanif merasa jauh lebih baik. Ia membal

  • TEMAN HIDUP   19

    Ningrum membawa box paket itu ke dalam kamarnya. Lantas bergegas mandi, setelahnya duduk ditemani secangkir teh, dibuka kembali box itu. Meraih sepucuk surat yang tergeletak. Dengan berdebar, Ningrum membaca surat itu.'Untuk Ningrum, ibu dari anak-anakku''Ningrum ... aku tidak baik-baik saja sejak pertama kali aku mencampakanmu. Rasa sesak dan menyesal terus memenuhi rongga dada. Aku ingin meminta maaf, mengakui segala salahku, tapi ... entah kepada siapa. Kedua anakku tumbuh besar, setiap melihat mereka, aku merasa takut, dan sakit. Aku sedih, orang-orang yang aku tinggalkan, aku sakiti, ternyata hidup baik-baik saja tanpaku.Bukan aku mendoakan yang jelek-jelek untuk kamu dan kedua anak kita. Namun, aku pikir kamu akan memohon sampai berlutut meminta kembali padaku. Kenyataannya, kalian bahagia tanpa aku. Oh, aku memang berengsek dan biadab, sudah sepantasnya orang baik dan cerdas seperti kalian mendapatkan kebahagiaan lebih di luaran sana. Bukan terce

  • TEMAN HIDUP   18

    Adia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai editor. Ia memilih fokus menekuni usahanya berjualan seblak. Kedai itu dibuka hari ini, Adia mengundang sahabat serta keluarga terdekat. Hanif mengundang kawan-kawan dan rekan bisnisnya. Adia tampil cantik mengenakan setelan berwarna lavender. Hanif dengan kemeja rapi. Keduanya menyapa para sahabat serta customer yang datang ke grand opening Seblak Cinta. Hanif dan Adia dibalas hangat oleh mereka. Kemudian bercengkrama sembari menikmati seblak yang sudah tersaji di meja. "Di ... sumpah, ya. Ini harus dibuat story, sih!" seru Kania, sahabat Adia semasa SMA yang berprofesi sebagai influencer. "Bentar ... bentar, tapi kedai gue baru buka, omzetnya belum mampu buat bayar endorse, Kania!" Adia berpura-pura panik. "Gratis, tapi pas pulang gue harus bawa, ya." Kania mengotak-atik gawai, sedikitpun tidak melirik Adia dan teman-temannya. "Di ...

  • TEMAN HIDUP   17.

    Adia terbangun dari tidurnya dengan kepala pening. Tangannya meraba sprei samping yang kosong nan dingin, Hanif telah pergi, entah sejak kapan. Bergegas cuci muka dan menggosok gigi, selanjutnya turun ke bawah untuk sarapan. Adia sedikit mengerutkan kening saat melihat rumahnya sudah tertata rapi, tangannya menarik pintu kulkas, mengeluarkan jus lemon darisana. Kemudian Adia duduk sembari menyesap pelan-pelan jusnya, kepalanya menoleh saat mendengar langkah seseorang tergopoh-gopoh.Seorang perempuan berusia empat puluh tahun-an tersenyum menyapanya. Menundukan bahu hormat. Selanjutnya memperkenalkan diri."Saya Asiah, Bu. Asli Majalengka. Pak Hanif meminta saya untuk menjadi assisten rumah tangga di sini, sekaligus menemani ibu jika sedang kesepian, mengingatkan ibu makan, membuatkan kopi sama membantu memasak untuk bapak."Adia tersenyum, dianggukan kepalanya mendengar ucapan lugas pembantu rumah tangganya itu."Nggak terlalu capek kok, Bi. Malah

  • TEMAN HIDUP   16

    "Hari ini mau ke mana?" tanya Adia saat Hanif tiba di meja makan.Lelaki itu berpikir sejenak, "Ada admin grup di facebook mau pesan kaus lumayan banyak, paling cuma itu doang." Hanif menggigit roti dengan olesan selai kacang.Adia menandaskan jus alpukatnya, kemudian beranjak dari meja makan. Meraih tas yang tergeletak di sofa."Naskahku diterima salah satu PH, Nif. Mau dijadikan series katanya. Doain lancar, ya." Adia meremas bahu suaminya sebentar."Selalu, Sayang." Hanif mengelus tangan Adia."Setelah meeting aku pergi ngegym, ya. Pulang agak sorean.""Oke, hati-hati." Hanif mengantar Adia sampai ke mobil. Sebelum pergi, Hanif sempat berkata, "Di ... apa nggak sebaiknya beli mobil baru?"Adia menggeleng cepat, "Aku masih bisa pakai ini, Nif. Nggak ada masalah kok. Kalau kamu mau beli lagi, itu terserah kamu, uang kamu juga, 'kan?""Mak

  • TEMAN HIDUP   15

    Bagi Adia, definisi bahagia sederhana, tidak perlu hal-hal rumit. Cukup menikmati secangkir teh di halaman belakang sembari menatap tanaman, bunga-bunga yang bermekaran, kadang rintik hujan jatuh menjadi genangan. Setiap sore mengetikkan rentetan kata, atau merevisi naskah, mata menyapu pada halaman luas, pada kolam ikan yang airnya bergemericik. Teh panas dengan asap yang mengepul tidak pernah absen, selalu menemani di sisi setumpuk buku dan segala tetek bengek lainnya. Tak lama deru suara kendaraan yang Hanif tumpangi terdengar memasuki garasi, dan Adia akan segera beranjak dari duduknya. Mengumpat di balik pintu untuk mengagetkan suaminya. Lantas Hanif akan terperanjat, memeluk Adia erat, memakan masakan hangat sesekali berkomentar soal rasa. Adia akan dengan senang hati menerima kritik dan saran dari suaminya. Namun, tak jarang mengerucutkan bibir sebal. "Chef, gimana review masakan saya?" Adia menelungkupkan jemari, menanti jawaban jujur suam

  • TEMAN HIDUP   14

    "Ayah datang ke rumah ibu," ucap Hanif tiba-tiba, mendesah jengkel setelah Kian memberitahukan hal itu.Adia mengalihkan pandangan dari laptop, dahinya mengerut. Benarkah? Seolah bisa membaca pertanyaan di balik ekspresi itu, Hanif mengangguk, membenarkan."Entah darimana dia tahu rumah ibu," desah Hanif lagi seraya duduk di sofa.Adia menaruh kacamata di atas buku, selanjutnya mendekati Hanif, mengusap dahi lelaki itu, mengelus lengannya. Hanif terlihat lelah, dan moodnya pasti jadi tidak baik setelah menerima telepon dari Kian."Ayah meminta maaf, Di." Bahu Hanif bergetar disertai isakan pelan. Adia refleks mendekap Hanif, menyimpan kepala suaminya itu di dada."Di ....""Ya?" Adia mengelus bahu Hanif yang bergetar hebat. Membiarkan lelaki itu menangis di dadanya"Itu yang kami tunggu dari ayah," balas Hanif, tercekat. "Dia mengakui kesalahannya."

  • TEMAN HIDUP   13.

    Lelaki bertubuh bangkot itu menyipitkan mata dari balik kaca mobil. Tatapannya semakin tajam tatkala orang yang dia perhatikan melewati mobilnya, berbincang-bincang sesekali saling melempari senyum. Ningrum dan Adia. Mantan istrinya itu seperti biasa selalu terlihat berkelas, menenteng tas branded dan jam tangan mahal. Sementara sang menantu mengenakan setelan berwarna peach, kulitnya yang bersih terlihat semakin bersinar. Kedua perempuan itu melenggang masuk ke dalam kafe."Sejak kapan?" Irham bertanya, entah pada siapa.Tertegun cukup lama seraya memokuskan pandangan ke depan kafe yang tidak terlalu ramai. Tak lama dari itu, Adia dan Ningrum keluar dari kafe, memasuki mobil yang berjarak beberapa meter dari parkir mobil Irham. Mobil yang Ningrum dan Adia tumpangi sudah melaju di jalanan, seolah tidak ingin tinggal diam, Irham mengikuti, ingin mengetahui ke mana kedua perempuan itu pergi setelah ini.Irham menolak panggilan istrinya, terus membuntut

  • TEMAN HIDUP   12

    "Dokter, kok Anda bisa membuat vonis palsu? Saya tidak habis pikir!" Andi melemparkan dokumen ke meja. "Anda bisa dituntut, Dok. Saya akan mengajukan ini ke pengadilan!"Kian mengepalkan tangan, geram. Sementara direktur rumah sakit yang sudah menjelang usia senja itu berdehem."Dokter Andi, maafkan kami. Ibu Ningrum memang terkena mental karena pernikahannya. Sehingga setiap hari dia bisa marah dan merusak fasilitas rumah sakit. Pak Irham juga terus membujuk saya untuk membuat vonis gila atas istrinya. Padahal jika diobati dan didampingi pisikiater, kami yakin Ibu Ningrum bisa lebih cepat sehat."Alya menyela cepat, "Pak, Suster bukan memberikan obat agar Ibu Ningrum sehat, tapi sebaliknya." Gadis itu menyodorkan dua botol obat secara bersamaan. Andi dan direktur mengambil masing-masing satu botol. Membaca kandungan yang tersedia dalam obat itu."Ini bukan penenang, Dokter. Ini akan membuat Ibu Ningrum me

DMCA.com Protection Status