Share

Dendam Sang Pewaris
Dendam Sang Pewaris
Penulis: drhell

Bab 1 . Anisa

Pagi itu, Anisa terbangun lebih awal seperti biasa. Jarum jam di dinding masih berdetak dengan lirih terdengar olehnya. Dengan mata yang masih menyipit dia melihat jarum jam menunjukkan pukul lima pagi. 

Ia merapikan tempat tidur dengan hati-hati, memastikan setiap sudut selimut dan bantal berada pada tempatnya. Suaminya, Arif, masih terlelap dengan napas yang terdengar berat. Anisa menatap wajah suaminya sejenak sebelum akhirnya melangkah keluar kamar, menuju dapur.

Rutinitas pagi Anisa selalu dimulai dengan menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Ia tahu betul selera masing-masing anggota keluarganya. Mertuanya, Bu Ratna, menyukai bubur ayam dengan banyak sambal. Arif lebih memilih nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang. Dan Adit, anak semata wayangnya, selalu minta roti panggang dengan selai cokelat. Anisa menikmati setiap langkah proses memasak itu, meski tak pernah ada ucapan terima kasih yang diterimanya.

Suara-suara langkah kaki mulai berdatangan dari segala penjuru kamar. Langkah kaki itu seperti langkah hewan-hewan buas yag sia menerkam dirinya.

Sambil menyiapkan bahan-bahan sarapan, pikiran Anisa melayang ke masa-masa awal pernikahannya. Dulu, ia dan Arif begitu mesra dan saling menyayangi. Mereka berdua punya mimpi besar bersama. 

Namun, seiring berjalannya waktu, segalanya berubah. Arif yang dulu perhatian kini lebih sering pulang larut malam dengan berbagai alasan. Bu Ratna yang awalnya menyambut Anisa dengan hangat kini tak pernah berhenti memberikan perintah dan kritik.

"Anisa! Mana sarapannya? Lama sekali kamu masak!" suara Bu Ratna terdengar dari ruang tengah, memecah lamunan Anisa. Anisa segera mempercepat gerakannya, menyiapkan bubur ayam kesukaan mertuanya.

"Sebentar, Bu. Sudah hampir selesai," jawab Anisa dengan lembut, menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.

Setelah sarapan siap, Anisa mengatur meja makan dengan rapi. Ia memanggil Adit yang masih tertidur di kamarnya. "Adit, bangun nak. Sarapan sudah siap," katanya sambil mengusap lembut kepala anaknya.

Adit mengerjap-ngerjapkan mata, perlahan bangun dari tidurnya. "Iya, Bunda. Adit sudah bangun," jawabnya dengan suara serak karena baru bangun tidur.

Saat semua orang berkumpul di meja makan, Anisa hanya bisa tersenyum melihat keluarganya menikmati sarapan yang disiapkannya. Namun, senyuman itu tak pernah bertahan lama. Selalu ada kritik dari Bu Ratna atau keluhan dari Arif.

"Nasi gorengnya kurang garam, Anisa. Kamu ini bagaimana sih? Masak saja tidak becus," keluh Arif sambil memakan nasi goreng yang dibuatkan Anisa.

Anisa hanya mengangguk dan meminta maaf, meski hatinya terasa perih. Ia sudah terbiasa dengan kata-kata kasar suaminya. Baginya, kebahagiaan Adit adalah yang utama. Selama anaknya bisa makan dengan baik dan tumbuh sehat, Anisa bersedia menahan semua itu.

Selesai sarapan, Arif bergegas pergi ke kantor. Bu Ratna kembali ke kamarnya, meninggalkan Anisa sendirian di dapur untuk membersihkan piring-piring kotor. Setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, Anisa mengantar Adit ke sekolah. Sepanjang perjalanan, mereka berbicara tentang kegiatan Adit di sekolah, teman-temannya, dan pelajaran yang disukainya. Senyum ceria di wajah Adit selalu menjadi penyemangat bagi Anisa.

Setelah mengantar Adit, Anisa pulang ke rumah dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meski lelah, ia selalu berusaha menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Di sela-sela kesibukannya, Anisa sempat merenung. Ia tahu ada yang salah dalam kehidupannya, tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana untuk memperbaikinya. Ia merasa terjebak dalam rutinitas yang tak berujung, tanpa tahu bagaimana keluar dari lingkaran ini.

Hari itu, saat sedang membersihkan kamar tidur, Anisa menemukan ponsel Arif tergeletak di meja rias. Rasa penasaran tiba-tiba menyelimutinya. Ia tahu itu bukan kebiasaan Arif meninggalkan ponselnya sembarangan. Anisa ragu sejenak, tapi akhirnya ia memutuskan untuk memeriksa ponsel itu.

Pesan-pesan yang terbuka di layar ponsel membuat jantung Anisa berdegup kencang. Ada percakapan yang jelas-jelas menunjukkan bahwa Arif memiliki hubungan dengan wanita lain. Rasa sakit yang mendalam merasuki hati Anisa, tapi ia berusaha menenangkan diri. Ia tahu bahwa ini bisa menjadi titik balik dalam kehidupannya.

Malam itu, saat Arif pulang, Anisa berusaha bersikap seperti biasa. Ia menyiapkan makan malam dan memastikan semua berjalan lancar. Namun, hatinya tak bisa tenang. Ia terus memikirkan pesan-pesan yang dilihatnya tadi siang.

Cukup lama Anisa mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya. Tapi dia harus membicarakannya saat ini meski tahu hal in akan diakhiri dengan pertengkaran.

Setelah makan malam, Anisa memberanikan diri untuk mengajak Arif berbicara. "Mas, kita perlu bicara," katanya dengan suara pelan tapi tegas.

Arif mengerutkan kening, tapi ia mengangguk dan mengikuti Anisa ke ruang tamu. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tanpa minat. Matanya tajam menatap Anisa.

Anisa menarik napas dalam-dalam sebelum mengeluarkan ponsel Arif dari saku bajunya. "Aku menemukan ini di kamar tadi siang," katanya sambil menunjukkan pesan-pesan yang dilihatnya.

Wajah Arif berubah seketika. "Kamu memeriksa ponselku?" tanyanya dengan nada marah.

"Aku tidak sengaja menemukannya," jawab Anisa, berusaha tenang. "Tapi yang lebih penting, siapa wanita ini?"

Arif terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Dia bukan urusanmu, Anisa. Kamu tidak perlu tahu," jawabnya dingin meski bola matanya terlihat tidak fokus.

Jawaban itu membuat hati Anisa ragu. Ia merasa dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya. Namun, ia tidak bisa menunjukkan apapun bukti yang lebih kuat untuk mendorong suaminya. "Mas, aku berhak tahu. Kita punya anak bersama. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," katanya dengan suara bergetar.

Arif menggelengkan kepala. "Anisa, hubungan kita sudah lama tidak baik. Aku menemukan kebahagiaan dengan wanita lain. Aku berniat menikahinya," katanya tanpa rasa bersalah.

Kata-kata itu bagaikan pukulan telak bagi Anisa. Seperti godam yang dihentakkan begitu saja ke jantungnya. Ia merasa seluruh dunianya runtuh seketika. Namun, di tengah kepedihannya, Anisa merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tidak bisa terus-menerus menjadi korban. Ia harus bangkit dan melakukan sesuatu.

Malam itu, setelah Arif pergi tidur, Anisa duduk sendirian di ruang tamu. Ia memikirkan masa depan Adit dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Keputusan yang diambilnya malam itu akan mengubah hidupnya selamanya. Ia tidak bisa lagi membiarkan dirinya disia-siakan. Anisa tahu bahwa saatnya telah tiba untuk memperjuangkan kebahagiaannya sendiri.

Pagi berikutnya, Anisa bangun dengan tekad yang baru. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia siap untuk menghadapi segala rintangan. Dengan keberanian yang tumbuh dalam hatinya, Anisa memulai langkah pertama menuju kebebasan dan kehidupan yang lebih baik.

Tapi ia bingung harus memulai darimana. Keluarga suaminya terlalu kuat untuk dilawan atau dia harus menerima semua ini dan bersabar begitu saja untuk kebahagiaan anaknya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status