Pagi itu, Anisa terbangun lebih awal seperti biasa. Jarum jam di dinding masih berdetak dengan lirih terdengar olehnya. Dengan mata yang masih menyipit dia melihat jarum jam menunjukkan pukul lima pagi.
Ia merapikan tempat tidur dengan hati-hati, memastikan setiap sudut selimut dan bantal berada pada tempatnya. Suaminya, Arif, masih terlelap dengan napas yang terdengar berat. Anisa menatap wajah suaminya sejenak sebelum akhirnya melangkah keluar kamar, menuju dapur. Rutinitas pagi Anisa selalu dimulai dengan menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Ia tahu betul selera masing-masing anggota keluarganya. Mertuanya, Bu Ratna, menyukai bubur ayam dengan banyak sambal. Arif lebih memilih nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang. Dan Adit, anak semata wayangnya, selalu minta roti panggang dengan selai cokelat. Anisa menikmati setiap langkah proses memasak itu, meski tak pernah ada ucapan terima kasih yang diterimanya. Suara-suara langkah kaki mulai berdatangan dari segala penjuru kamar. Langkah kaki itu seperti langkah hewan-hewan buas yag sia menerkam dirinya. Sambil menyiapkan bahan-bahan sarapan, pikiran Anisa melayang ke masa-masa awal pernikahannya. Dulu, ia dan Arif begitu mesra dan saling menyayangi. Mereka berdua punya mimpi besar bersama. Namun, seiring berjalannya waktu, segalanya berubah. Arif yang dulu perhatian kini lebih sering pulang larut malam dengan berbagai alasan. Bu Ratna yang awalnya menyambut Anisa dengan hangat kini tak pernah berhenti memberikan perintah dan kritik. "Anisa! Mana sarapannya? Lama sekali kamu masak!" suara Bu Ratna terdengar dari ruang tengah, memecah lamunan Anisa. Anisa segera mempercepat gerakannya, menyiapkan bubur ayam kesukaan mertuanya. "Sebentar, Bu. Sudah hampir selesai," jawab Anisa dengan lembut, menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Setelah sarapan siap, Anisa mengatur meja makan dengan rapi. Ia memanggil Adit yang masih tertidur di kamarnya. "Adit, bangun nak. Sarapan sudah siap," katanya sambil mengusap lembut kepala anaknya. Adit mengerjap-ngerjapkan mata, perlahan bangun dari tidurnya. "Iya, Bunda. Adit sudah bangun," jawabnya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Saat semua orang berkumpul di meja makan, Anisa hanya bisa tersenyum melihat keluarganya menikmati sarapan yang disiapkannya. Namun, senyuman itu tak pernah bertahan lama. Selalu ada kritik dari Bu Ratna atau keluhan dari Arif. "Nasi gorengnya kurang garam, Anisa. Kamu ini bagaimana sih? Masak saja tidak becus," keluh Arif sambil memakan nasi goreng yang dibuatkan Anisa. Anisa hanya mengangguk dan meminta maaf, meski hatinya terasa perih. Ia sudah terbiasa dengan kata-kata kasar suaminya. Baginya, kebahagiaan Adit adalah yang utama. Selama anaknya bisa makan dengan baik dan tumbuh sehat, Anisa bersedia menahan semua itu. Selesai sarapan, Arif bergegas pergi ke kantor. Bu Ratna kembali ke kamarnya, meninggalkan Anisa sendirian di dapur untuk membersihkan piring-piring kotor. Setelah memastikan semuanya bersih dan rapi, Anisa mengantar Adit ke sekolah. Sepanjang perjalanan, mereka berbicara tentang kegiatan Adit di sekolah, teman-temannya, dan pelajaran yang disukainya. Senyum ceria di wajah Adit selalu menjadi penyemangat bagi Anisa. Setelah mengantar Adit, Anisa pulang ke rumah dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meski lelah, ia selalu berusaha menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Di sela-sela kesibukannya, Anisa sempat merenung. Ia tahu ada yang salah dalam kehidupannya, tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana untuk memperbaikinya. Ia merasa terjebak dalam rutinitas yang tak berujung, tanpa tahu bagaimana keluar dari lingkaran ini. Hari itu, saat sedang membersihkan kamar tidur, Anisa menemukan ponsel Arif tergeletak di meja rias. Rasa penasaran tiba-tiba menyelimutinya. Ia tahu itu bukan kebiasaan Arif meninggalkan ponselnya sembarangan. Anisa ragu sejenak, tapi akhirnya ia memutuskan untuk memeriksa ponsel itu. Pesan-pesan yang terbuka di layar ponsel membuat jantung Anisa berdegup kencang. Ada percakapan yang jelas-jelas menunjukkan bahwa Arif memiliki hubungan dengan wanita lain. Rasa sakit yang mendalam merasuki hati Anisa, tapi ia berusaha menenangkan diri. Ia tahu bahwa ini bisa menjadi titik balik dalam kehidupannya. Malam itu, saat Arif pulang, Anisa berusaha bersikap seperti biasa. Ia menyiapkan makan malam dan memastikan semua berjalan lancar. Namun, hatinya tak bisa tenang. Ia terus memikirkan pesan-pesan yang dilihatnya tadi siang. Cukup lama Anisa mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya. Tapi dia harus membicarakannya saat ini meski tahu hal in akan diakhiri dengan pertengkaran. Setelah makan malam, Anisa memberanikan diri untuk mengajak Arif berbicara. "Mas, kita perlu bicara," katanya dengan suara pelan tapi tegas. Arif mengerutkan kening, tapi ia mengangguk dan mengikuti Anisa ke ruang tamu. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tanpa minat. Matanya tajam menatap Anisa. Anisa menarik napas dalam-dalam sebelum mengeluarkan ponsel Arif dari saku bajunya. "Aku menemukan ini di kamar tadi siang," katanya sambil menunjukkan pesan-pesan yang dilihatnya. Wajah Arif berubah seketika. "Kamu memeriksa ponselku?" tanyanya dengan nada marah. "Aku tidak sengaja menemukannya," jawab Anisa, berusaha tenang. "Tapi yang lebih penting, siapa wanita ini?" Arif terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Dia bukan urusanmu, Anisa. Kamu tidak perlu tahu," jawabnya dingin meski bola matanya terlihat tidak fokus. Jawaban itu membuat hati Anisa ragu. Ia merasa dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya. Namun, ia tidak bisa menunjukkan apapun bukti yang lebih kuat untuk mendorong suaminya. "Mas, aku berhak tahu. Kita punya anak bersama. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," katanya dengan suara bergetar. Arif menggelengkan kepala. "Anisa, hubungan kita sudah lama tidak baik. Aku menemukan kebahagiaan dengan wanita lain. Aku berniat menikahinya," katanya tanpa rasa bersalah. Kata-kata itu bagaikan pukulan telak bagi Anisa. Seperti godam yang dihentakkan begitu saja ke jantungnya. Ia merasa seluruh dunianya runtuh seketika. Namun, di tengah kepedihannya, Anisa merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tidak bisa terus-menerus menjadi korban. Ia harus bangkit dan melakukan sesuatu. Malam itu, setelah Arif pergi tidur, Anisa duduk sendirian di ruang tamu. Ia memikirkan masa depan Adit dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Keputusan yang diambilnya malam itu akan mengubah hidupnya selamanya. Ia tidak bisa lagi membiarkan dirinya disia-siakan. Anisa tahu bahwa saatnya telah tiba untuk memperjuangkan kebahagiaannya sendiri. Pagi berikutnya, Anisa bangun dengan tekad yang baru. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia siap untuk menghadapi segala rintangan. Dengan keberanian yang tumbuh dalam hatinya, Anisa memulai langkah pertama menuju kebebasan dan kehidupan yang lebih baik. Tapi ia bingung harus memulai darimana. Keluarga suaminya terlalu kuat untuk dilawan atau dia harus menerima semua ini dan bersabar begitu saja untuk kebahagiaan anaknya?Anisa menghabiskan malam itu dengan gelisah. Pikiran tentang apa yang akan terjadi esok malam terus mengganggu tidurnya. Saat akhirnya pagi menjelang ia harus melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya sebelumnya: mencari tahu kebenaran tentang suaminya.Setelah sarapan dan mengantar Adit ke sekolah, Anisa kembali ke rumah dan mulai merencanakan langkah berikutnya. Ia tahu bahwa tindakan ini berisiko, tetapi ia tidak bisa lagi hidup dalam ketidakpastian. Pikirannya terus berputar, mencari cara terbaik untuk mendapatkan informasi tanpa menimbulkan kecurigaan.Siang itu, Anisa memutuskan untuk menghubungi sahabat lamanya, Sari. Sari adalah satu-satunya orang yang tahu tentang semua masalah rumah tangganya. Meski sudah lama tidak berhubungan, Anisa merasa ini saat yang tepat untuk meminta bantuan."Anisa! Lama tidak ada kabar, ada apa ini tiba-tiba menelepon?" suara ceria Sari terdengar di telepon."Sari, aku butuh bantuanmu. Ini penting," kata Anisa dengan suara serius."Ada apa,
Anisa menutup telepon dengan tangan gemetar. Kata-kata yang baru saja didengarnya masih bergema di kepalanya: "Halo, Anisa. Ini tentang warisan keluargamu. Kita perlu bicara segera." Hati dan pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna informasi yang tiba-tiba ini. Warisan keluarga? Apa maksudnya?Sari yang berada di sebelahnya menatap Anisa dengan cemas. "Siapa yang menelepon, Nis? Apa yang terjadi?"Anisa menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri. "Sepertinya ada yang ingin bicara tentang warisan keluarga. Aku tidak tahu apa ini, tapi aku harus mencari tahu.""Warisan? Maksudmu keluargamu yang dulu?" Sari bertanya dengan kening berkerut."Ya, mungkin. Aku sendiri tidak begitu paham. Tapi aku harus bertemu dengan orang ini dan mendengarkan apa yang dia katakan," jawab Anisa dengan tegas.Setelah meninggalkan hotel, Anisa dan Sari kembali ke mobil. Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Anisa dip
Anisa duduk di meja makan, menatap layar ponselnya yang menunjukkan pesan dari Lina. Di layar, alamat pertemuan besok dan kata-kata misterius "Ada sesuatu yang kamu harus tahu tentang Arif dan keluarganya, sesuatu yang bisa mengubah segalanya" terpampang jelas. Hatinya berdebar-debar, mencoba menangkap arti dari pesan itu. Apa yang sebenarnya Lina ketahui? Apa yang tidak diketahui Anisa tentang Arif?Sekarang, pikiran Anisa berkecamuk dengan pertanyaan tanpa jawaban. Dia tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya besok. Apakah Lina akan membawa bukti? Atau mungkin hanya spekulasi? Apapun itu, Anisa merasa bahwa ini adalah waktu yang krusial untuk mengetahui kebenaran.Esok paginya, Anisa memutuskan untuk mengambil hari libur dari pekerjaannya sebagai asisten administratif di sebuah perusahaan kecil. Ia memberitahu bosnya bahwa ada urusan pribadi mendesak yang perlu diurus. Bosnya m
Anisa meletakkan ponselnya dengan tangan gemetar. Siapa yang menelepon tadi? Mengapa Pak Suryo tidak bisa bicara sendiri? Berbagai pertanyaan berputar di pikirannya. Dia merasa bingung dan cemas. Dia harus mengetahui lebih lanjut tentang apa yang sedang terjadi.Keesokan paginya, Anisa bangun lebih awal. Dia merasa resah dan tidak bisa tidur nyenyak semalam. Adit masih tidur lelap di kamarnya, jadi Anisa memutuskan untuk keluar rumah dan mencari udara segar. Dia berjalan ke taman kecil di dekat rumahnya, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk.Saat duduk di bangku taman, Anisa memikirkan kembali semua yang telah terjadi dalam beberapa hari terakhir. Informasi tentang warisan keluarganya, pertemuan dengan Lina, dan telepon misterius tadi malam semuanya membuat Anisa merasa seakan-akan hidupnya berada di ambang perubahan besar. Namun, dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi semua ini. Haruskah dia mempercayai Lina? Bagaimana dengan Pak Suryo? Dan siapa sebenarnya yang menelep
Anisa bangun dengan perasaan berat di dadanya. Matanya masih tajam menatap langit-langit kamar sambil mengingatp esan dari Pak Herman dan temuan tentang rencana jahat Arif dan keluarganya. Dia terus membayanginya.Hari ini adalah titik balik dalam hidupnya. Setelah mengantar Adit ke sekolah, Anisa langsung menuju kantor Pak Herman. Ia harus memastikan semuanya tertata rapi sebelum melangkah lebih jauh.Setibanya di kantor, Pak Herman sudah menunggunya di ruang pertemuan kecil yang terpencil di ujung gedung. Segelas kopi sudah terhidang di mejanya. Raut wajah yang serius, mencerminkan beratnya situasi yang mereka hadapi. “Anisa, kita perlu mempercepat langkah kita. Arif dan keluarganya semakin dekat dengan tujuan mereka, dan kita harus siap menghadapinya,” kata Pak Herman tanpa basa-basi sambil menyeruput kopinyaAnisa mengangguk tegas. “Saya siap, Pak Herman. Apa langkah pertama kita?”Pak Herman menyerahkan beberapa dokumen kepada Anisa. “Ini adalah surat-surat kepemilikan dan beber
Anisa merasa semakin kuat setiap hari. Dengan bantuan Pak Herman dan dukungan moral dari Lina, ia semakin mantap melanjutkan rencana untuk melindungi dirinya dan Adit. Hari ini, Anisa berencana menemui seorang teman lama ayahnya yang juga seorang ahli keuangan, Bapak Yudi. Dia berharap Bapak Yudi bisa memberikan saran tambahan tentang cara terbaik untuk mengelola dan menyembunyikan aset-asetnya.Setelah mengantar Adit ke sekolah, Anisa pergi ke sebuah kafe mewah di pusat kota, tempat di mana ia dan Bapak Yudi berjanji bertemu. Kafe itu terletak di sebuah gedung perkantoran yang tinggi dengan pemandangan kota yang indah. Anisa tiba lebih awal dan memilih meja di sudut yang agak tersembunyi. Ia memesan secangkir teh dan menunggu dengan sabar.Beberapa menit kemudian, seorang pria tua dengan rambut beruban masuk ke dalam kafe. Matanya segera menemukan Anisa dan ia tersenyum hangat. "Anisa, sudah lama kita tidak bertemu," sapa Bapak Yudi sambil duduk di depan Anisa."Pak Yudi, terima kas
Anisa merasa jantungnya berdebar ketika ia dan Lina melarikan diri dari taman. Mereka menyadari bahwa mereka sedang dalam bahaya dan harus segera mencari tempat yang aman. Dalam perjalanan kembali ke rumah, Anisa berusaha menenangkan diri. Ia tahu bahwa mereka perlu memikirkan langkah berikutnya dengan hati-hati.Setelah memastikan tidak ada yang mengikuti mereka, Anisa dan Lina sampai di rumah. Mereka segera masuk ke dalam dan mengunci pintu. Anisa membuka amplop yang diberikan Lina dan mulai memeriksa foto dan dokumen dengan cermat. Foto-foto itu menunjukkan Arif bersama seorang wanita misterius di lokasi-lokasi yang tidak diketahui. Dokumen-dokumen tersebut memperlihatkan transaksi keuangan yang mencurigakan, dengan jumlah besar yang berpindah dari rekening ke rekening dengan cara yang tidak jelas.Lina memecah keheningan. "Anisa, ini bukan hanya tentang pen