Share

Bab 2. Menemukan Kebenaran

Anisa menghabiskan malam itu dengan gelisah. Pikiran tentang apa yang akan terjadi esok malam terus mengganggu tidurnya. Saat akhirnya pagi menjelang ia harus melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya sebelumnya: mencari tahu kebenaran tentang suaminya.

Setelah sarapan dan mengantar Adit ke sekolah, Anisa kembali ke rumah dan mulai merencanakan langkah berikutnya. Ia tahu bahwa tindakan ini berisiko, tetapi ia tidak bisa lagi hidup dalam ketidakpastian. Pikirannya terus berputar, mencari cara terbaik untuk mendapatkan informasi tanpa menimbulkan kecurigaan.

Siang itu, Anisa memutuskan untuk menghubungi sahabat lamanya, Sari. Sari adalah satu-satunya orang yang tahu tentang semua masalah rumah tangganya. Meski sudah lama tidak berhubungan, Anisa merasa ini saat yang tepat untuk meminta bantuan.

"Anisa! Lama tidak ada kabar, ada apa ini tiba-tiba menelepon?" suara ceria Sari terdengar di telepon.

"Sari, aku butuh bantuanmu. Ini penting," kata Anisa dengan suara serius.

"Ada apa, Nis? Kamu terdengar khawatir," tanya Sari.

Anisa menceritakan semuanya, tentang Arif dan pesan-pesan yang ditemukan di ponselnya. Sari mendengarkan dengan seksama tanpa menyela. Setelah Anisa selesai bercerita, Sari menghela napas panjang.

"Ini serius, Nis. Apa rencanamu?" tanya Sari.

"Aku ingin mengikuti Arif malam ini. Dia berencana bertemu wanita itu di hotel. Aku perlu tahu kebenarannya," jawab Anisa.

"Aku akan ikut. Kamu tidak bisa melakukannya sendirian," kata Sari tegas.

Anisa merasa lega mendengar tawaran Sari. "Terima kasih, Sar. Aku sangat menghargainya."

Setelah menutup telepon, Anisa merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, tetapi dengan dukungan Sari, ia merasa lebih siap.

Hari itu, Anisa mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Ia menyiapkan makan siang dan makan malam untuk keluarganya, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik senyuman palsu. Arif pulang lebih awal dari biasanya, namun ia tetap tidak menunjukkan tanda-tanda bersalah atau cemas.

Malam itu, setelah memastikan Adit sudah tidur, Anisa bersiap untuk pergi. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun nyaman, memastikan bahwa ia bisa bergerak dengan bebas. Ponselnya sudah penuh daya, dan ia menyimpan nomor Sari di daftar panggilan cepat.

"Mas, aku mau ke rumah Sari. Ada urusan mendadak," katanya kepada Arif yang sedang duduk di ruang tamu.

Arif hanya mengangguk tanpa banyak bertanya. "Hati-hati di jalan," katanya singkat.

Anisa keluar dari rumah dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia takut dengan apa yang mungkin ditemukannya malam ini. Di sisi lain, ia merasa ini adalah langkah penting yang harus diambil demi kebenaran. Ia naik ke mobil dan mengarahkan kendaraannya ke rumah Sari.

Saat tiba di rumah Sari, sahabatnya itu sudah siap dengan tas kecil di pundaknya. "Ayo, kita berangkat," kata Sari dengan penuh semangat. Anisa merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Sari yang selalu siap mendukungnya dalam situasi sulit.

Mereka menuju hotel yang disebutkan dalam pesan itu. Hati Anisa berdegup kencang sepanjang perjalanan. Ia tidak bisa berhenti memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Namun, ia terus menguatkan hatinya. Apapun yang terjadi malam ini, ia harus tahu kebenarannya. 

Ketika mereka tiba di hotel, Anisa dan Sari memutuskan untuk menunggu di lobi. Mereka memilih tempat duduk yang strategis, dari mana mereka bisa melihat pintu masuk dan lift dengan jelas. Waktu berjalan lambat, dan setiap detik terasa seperti selamanya. Ia meninggalkan Arif di rumah, tapi apakah suaminya itu akan berangkat ke hotel saat ini.

Anisa memang berencana mendahului semuanya sebelum Arif datang. Satu jam sudah berlalu, keraguan mulai terbersit di kepala sahabatnya, Sari.

“Kita tunggu sebentar lagi, Sar. Aku yakin dengan apa yang kubaca di hape suamiku,” ujar Anisa, menenangkan sahabatnya.

Tidak lama kemudian, penantian itu pun terjawab. Anisa melihat sosok yang sangat dikenalnya memasuki lobi. Arif berjalan dengan seorang wanita yang terlihat cantik dan menawan. Hati Anisa hancur melihat suaminya bersama wanita itu. Tangannya saling meremas dengan kencang menahan kegeramannya.

"Dia datang," bisik Anisa kepada Sari.

"Siap, kita ikuti mereka," jawab Sari dengan tenang.

Mereka berdua mengikuti Arif dan wanita itu dari kejauhan, memastikan bahwa mereka tidak terdeteksi. Anisa merasa jantungnya berdebar semakin kencang setiap kali Arif dan wanita itu semakin dekat dengan lift. Mereka akhirnya masuk ke dalam lift dan Anisa dan Sari menunggu lift lainnya untuk naik ke lantai yang sama.

Setelah beberapa menit, mereka tiba di lantai tempat Arif dan wanita itu berada. Mereka melihat Arif dan wanitaitu.

"Apa rencanamu sekarang?" tanya Sari.

"Aku harus melihatnya dengan mata kepalaku sendiri," jawab Anisa dengan suara gemetar. Sari mengelus punggunnya. Mencoba untuk menenangkan.

Dengan keberanian yang tumbuh dalam hatinya, Anisa mendekati pintu kamar itu. Ia menempelkan telinganya ke pintu, mencoba mendengar percakapan di dalam. Suara tawa dan bisikan mesra terdengar dari dalam kamar, dan hati Anisa terasa seperti ditusuk ribuan pisau.

Anisa mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu bahwa apa yang akan dilakukannya selanjutnya akan mengubah hidupnya selamanya. Dengan tangan yang gemetar, ia mengetuk pintu kamar itu.

Suara ketukan yang begitu keras hingga menembus seluruk pojok koridor lorong hotel.

Suasana hening seketika. Anisa mendengar suara langkah mendekat ke pintu. Jantungnya berdebar semakin kencang. Pintu terbuka perlahan, dan wajah Arif muncul di balik pintu, terkejut melihat Anisa berdiri di sana.

"Anisa? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan nada marah dan cemas.

Anisa menatap Arif dengan mata yang penuh emosi. "Aku ingin tahu kebenarannya, Arif. Siapa wanita ini?" tanyanya tegas, meskipun hatinya terasa hancur.

Arif terdiam, tidak mampu menjawab. Wanita di dalam kamar itu muncul di belakang Arif, menatap Anisa dengan tatapan bingung dan sedikit cemas. Situasi itu membuat segalanya semakin jelas bagi Anisa. 

Anisa menarik napas dalam-dalam, merasa ada kekuatan baru yang tumbuh dalam dirinya. "Kita selesai, Arif. Aku tidak bisa lagi hidup dalam kebohongan ini," katanya dengan suara bergetar namun tegas.

Arif terdiam, dan dalam sekejap, Anisa tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dengan hati yang berat namun tekad yang kuat, Anisa berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Arif dan wanita itu di belakang. Ia tahu bahwa hidupnya akan berubah selamanya, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru.

Saat Anisa berjalan menjauh dari kamar hotel, teleponnya berdering. Anisa mengangkat telepon itu dan mendengar suara yang tak terduga di ujung sana, suara yang akan mengubah arah hidupnya sekali lagi.

"Halo, Anisa. Ini tentang warisan keluargamu. Kita perlu bicara segera."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status