Share

Bab 3. Panggung Kehidupan Baru

Anisa menutup telepon dengan tangan gemetar. Kata-kata yang baru saja didengarnya masih bergema di kepalanya: "Halo, Anisa. Ini tentang warisan keluargamu. Kita perlu bicara segera." Hati dan pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna informasi yang tiba-tiba ini. Warisan keluarga? Apa maksudnya?

Sari yang berada di sebelahnya menatap Anisa dengan cemas. "Siapa yang menelepon, Nis? Apa yang terjadi?"

Anisa menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri. "Sepertinya ada yang ingin bicara tentang warisan keluarga. Aku tidak tahu apa ini, tapi aku harus mencari tahu."

"Warisan? Maksudmu keluargamu yang dulu?" Sari bertanya dengan kening berkerut.

"Ya, mungkin. Aku sendiri tidak begitu paham. Tapi aku harus bertemu dengan orang ini dan mendengarkan apa yang dia katakan," jawab Anisa dengan tegas.

Setelah meninggalkan hotel, Anisa dan Sari kembali ke mobil. Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Anisa dipenuhi oleh berbagai spekulasi. Mengingat kembali masa lalu, Anisa teringat betapa kompleks dan penuh rahasia keluarganya. Keluarganya dulu memang bukan keluarga biasa, tetapi dia tidak pernah menyangka bahwa masih ada hal yang belum diketahuinya.

Saat sampai di rumah, Anisa menemukan Adit sudah tidur lelap di kamarnya. Ia mencium dahi anaknya dengan lembut, merasa bersyukur masih memiliki Adit sebagai sumber kekuatannya. Setelah memastikan Adit nyaman di tempat tidurnya, Anisa duduk di ruang tamu dan menghubungi nomor yang baru saja meneleponnya.

"Ini Anisa. Anda menelepon saya tadi tentang warisan keluarga," kata Anisa saat panggilan tersambung.

"Ya, Anisa. Saya adalah pengacara keluarga Anda, Pak Suryo. Ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Bisakah kita bertemu besok pagi di kantor saya?" suara di ujung telepon terdengar tegas namun sopan.

"Baik, Pak Suryo. Saya akan datang besok pagi," jawab Anisa tanpa ragu.

Setelah menutup telepon, Anisa merenung sejenak. Apapun yang akan terjadi besok, ia harus siap menghadapinya. Ini mungkin adalah kesempatan untuk mengubah hidupnya dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi Adit.

Keesokan paginya, Anisa bangun lebih awal dari biasanya. Setelah menyiapkan sarapan untuk Adit dan memastikan semuanya berjalan lancar, ia berpamitan kepada anaknya dan menuju ke kantor Pak Suryo. Kantor pengacara itu berada di pusat kota, sebuah gedung megah yang membuat Anisa merasa sedikit gugup.

Saat tiba di sana, seorang resepsionis menyambutnya dan mengarahkan Anisa ke ruang tunggu. Tidak lama kemudian, seorang pria paruh baya dengan rambut beruban dan setelan jas rapi datang menghampirinya.

"Anisa, terima kasih telah datang. Saya Suryo. Mari kita masuk ke ruangan saya," kata pria itu dengan senyum ramah.

Di dalam ruangan yang luas dan berdekorasi elegan, Pak Suryo mempersilakan Anisa duduk di kursi empuk di depan mejanya. Setelah beberapa basa-basi, Pak Suryo mulai menjelaskan tujuan pertemuan mereka.

"Anisa, saya telah bekerja dengan keluarga Anda selama bertahun-tahun. Ada beberapa hal penting yang harus Anda ketahui tentang warisan keluarga Anda," kata Pak Suryo sambil membuka sebuah berkas di mejanya.

Anisa mendengarkan dengan seksama saat Pak Suryo menjelaskan bahwa ia adalah pewaris tunggal dari sebuah perusahaan besar yang dulu dimiliki oleh keluarganya. Perusahaan itu bergerak di berbagai bidang, mulai dari properti hingga teknologi, dan memiliki nilai yang sangat besar.

"Keluarga Anda meninggalkan segala sesuatu di bawah nama Anda, Anisa. Selama bertahun-tahun, kekayaan ini dikelola oleh sebuah trust yang dijaga dengan ketat. Namun, sekarang saatnya bagi Anda untuk mengambil alih," jelas Pak Suryo.

Anisa terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Semua ini terasa seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka bahwa kehidupannya yang selama ini penuh dengan kesulitan dan penghinaan akan berubah begitu drastis.

"Jadi, maksud Anda, saya adalah pemilik dari semua ini?" tanya Anisa dengan suara bergetar.

"Benar, Anisa. Anda adalah pemilik sah dari semua aset ini. Dan ini baru permulaan. Ada banyak hal yang perlu Anda pelajari dan atur," kata Pak Suryo dengan tenang.

Anisa merasa campuran antara kegembiraan dan ketakutan. Di satu sisi, ini adalah kesempatan besar untuk mengubah hidupnya dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi Adit. Di sisi lain, tanggung jawab yang begitu besar terasa menakutkan.

"Saya tahu ini banyak untuk diterima sekaligus, Anisa. Tapi saya di sini untuk membantu Anda melalui proses ini," tambah Pak Suryo dengan penuh pengertian.

Anisa mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri. "Terima kasih, Pak Suryo. Saya akan melakukan yang terbaik."

Pak Suryo memberikan beberapa dokumen kepada Anisa untuk ditandatangani. Setelah itu, mereka membicarakan langkah-langkah selanjutnya yang harus diambil Anisa untuk mulai mengelola aset-aset tersebut. Anisa merasa sedikit lega karena tahu bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini.

Setelah pertemuan itu, Anisa merasa beban yang selama ini menghimpitnya mulai berkurang. Ia memiliki harapan baru dan kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar istri yang diabaikan dan menantu yang dihina. Anisa tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan baru, dan ia harus mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Saat perjalanan pulang, Anisa tidak bisa berhenti memikirkan tentang masa depan. Ia harus merahasiakan identitas barunya untuk sementara waktu, terutama dari Arif dan keluarganya. Ini adalah langkah penting dalam rencananya untuk membalas dendam dan mengambil kembali kendali atas hidupnya.

Malam itu, setelah memastikan Adit tidur dengan nyenyak, Anisa duduk di meja makan dan mulai menyusun rencana. Ia tahu bahwa hidupnya akan segera berubah drastis, dan ia harus siap menghadapi segala tantangan yang datang.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Anisa melihat nomor yang tidak dikenal dan merasa sedikit cemas. "Halo, siapa ini?" tanya Anisa dengan hati-hati.

"Anisa, ini Lina. Aku rasa kita perlu bicara," suara wanita itu terdengar di ujung telepon, mengagetkan Anisa. Lina adalah temannya Arif. Namun dia tidak pernah mendengar lagi kabarnya.

"Lina? Apa yang kamu inginkan?" tanya Anisa dengan nada tajam.

"Ada sesuatu yang kamu perlu tahu tentang Arif. Aku tidak bisa membicarakannya di telepon. Bisakah kita bertemu?" jawab Lina dengan nada serius.

Anisa merasa campuran antara kaget dan penasaran. "Baik, kita bisa bertemu. Di mana?"

"Aku akan mengirimkan alamatnya. Sampai jumpa besok," kata Lina sebelum menutup telepon.

Anisa menatap ponselnya dengan pikiran yang berputar-putar. Apa yang akan dikatakan Lina? Apakah ini akan mengubah segalanya? Anisa tahu bahwa besok akan menjadi hari yang sangat penting, dan ia harus siap menghadapi apapun yang akan terjadi.

Saat Anisa menutup telepon, sebuah pesan masuk dari Lina. Pesan itu berisi alamat pertemuan dan satu kalimat yang membuat hati Anisa berdebar: "Ada sesuatu yang kamu harus tahu tentang Arif dan keluarganya, sesuatu yang bisa mengubah segalanya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status