Ketika hadirmu tak lagi diharapkan. Ketika bahagiamu tak lagi diupayakan. Ketika cintamu tak lagi terbalaskan. Tunggu apa lagi sayang? Putar langkahmu! Ambil langkah seribu! Tunjukkan pada suami tak bergunamu itu, jika di luar sana, masih banyak yang menginginkanmu!
View MoreDina duduk di teras belakang rumah orang tuanya, menatap langit sore yang mulai berwarna jingga. Esa tertidur pulas dalam dekapan, tubuh kecilnya bergerak naik turun mengikuti napasnya yang tenang. Semilir angin yang berembus terasa menenangkan, berbeda dengan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya.Sudah tiga hari ia di sini. Tiga hari tanpa Raka. Tiga hari tanpa suara bentakan, tanpa rasa was-was akan amarah yang bisa meledak kapan saja.Tapi juga, tiga hari tanpa jawaban.Selama ini, ia selalu berpikir bahwa rumah tangga mereka masih bisa diselamatkan. Bahwa Raka hanyalah sedang terbebani pekerjaan atau tekanan hidup. Ia terus meyakinkan diri bahwa suatu hari nanti, semuanya akan kembali seperti dulu—seperti saat mereka baru menikah, ketika Raka masih peduli padanya, ketika lelaki itu masih bisa tersenyum dan menggenggam tangannya dengan penuh cinta.Namun, semakin Dina mencoba mencari alasan, semakin ia menyadari sesuatu yang mengerikan.Raka tidak pernah benar-benar menghargainya
Dina tidak menyangka jika ia akan bertemu dengan Reihan secepat ini. Ketika pria itu datang tadi, Dina hanya menyapa dan berbasa-basi sebentar sebelum kemudian membawa Esa ke taman belakang, dengan alasan ingin mencari udara segar. Namun siapa yang menyangka, pria itu ternyata mengikutinya tak lama kemudian. Dina sedang sibuk menimang Esa yang mulai gelisah di pangkuannya ketika suara berat dan familiar itu menyapanya dari belakang. "Dina?" Dina menegang sesaat. Jantungnya berdetak lebih cepat sebelum akhirnya ia menoleh. Berusaha membuat ekspresi wajahnya senormal mungkin. Dan di sanalah dia—Reihan. Pria dari masa lalunya. Lelaki yang dulu begitu akrab dalam hidupnya. Lelaki yang, di masa lalu, mungkin bisa saja menjadi kisah cintanya jika keadaanya sedikit berbeda. Reihan masih terlihat seperti yang terakhir kali ia ingat. Tinggi, gagah, dan masih memiliki sorot mata yang sama—hangat, tetapi terasa begitu dalam. Sudah tiga tahun berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu, d
Pagi itu, suasana di rumah Raka terasa berbeda. Tidak ada suara panci atau wajan yang saling berbenturan. Tidak ada aroma masakan yang senantiasa menyambutnya. Bahkan tak ada lagi suara rengekan bayi yang selama ini seolah menjadi suara wajib untuk menyambut hari. Rumah itu sunyi, terlalu sunyi. Raka melangkah keluar dari kamar tamu dengan santai, mengusap wajahnya yang masih mengantuk. Dia tidur dengan nyenyak semalam, sama sekali tak merasa terbebani atau sekadar memikirkan pertengkarannya dengan Dina. Ia justru merasa cukup rileks karena suasana rumah begitu nyaman tanpa adanya suara rengekan bayi atau ocehan Dina yang sering kali mengganggu paginya. Ia melirik sekilas ke dapur. Kosong. Tidak ada tanda-tanda aktivitas seperti biasanya. Matanya bergerak ke kamar mereka, lalu dengan santai ia berjalan ke sana. Didorongnya pintu yang tak terkunci itu, dan seperti dugaannya, kamar itu kosong. Raka mengerutkan keningnya tak suka. Jadi, Dina memang tidak pulang semalaman? Wanita itu
Pagi datang dengan cepat. Dina membuka matanya perlahan, mendapati Esa masih terlelap di sisinya. Wajah mungil putranya tampak begitu damai, menghapus sebagian rasa lelah yang menumpuk di hatinya. "Mulai hari ini, Kita akan memulai kehidupan yang baru, Nak," bisik Dina, mengecup lembut kening Esa. Ketukan pintu yang lembut memecah keheningan. Pintu kamar terbuka perlahan, menampilkan wajah Celia yang berseri-seri. "Selamat pagi, Sayang. Sudah bangun?" Celia bertanya, suaranya selembut hembusan angin sore. "Sudah, Ma. Terima kasih," jawab Dina seraya merapikan selimut Esa. "Boleh Mama gendong Esa? Mama sudah tidak sabar ingin bermain dengannya," Celia tersenyum penuh harap. Belum sempat Dina menjawab, Darmawan menyusul masuk. Pria paruh baya itu membawa boneka gajah kecil berwarna biru. Senyumnya lebar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah. "Mana cucu Papa? Biar Pa
Dina duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kayu yang dingin. Kamar ini begitu familiar namun terasa asing pada saat yang sama. Semua benda di dalamnya tetap sama, seolah-olah waktu berhenti sejak ia pergi tiga tahun lalu. Poster bunga mawar favoritnya masih terpasang di dinding, boneka beruang besar duduk manis di sudut ruangan, dan meja riasnya tetap tertata rapi, seakan menunggunya kembali.Esa terlelap di sampingnya, wajah mungilnya tampak begitu damai di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Dina mengulurkan tangan, jemarinya yang gemetar perlahan membelai pipi lembut bayinya."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya nyaris tanpa suara.Tidak ada yang bisa ia tutupi di depan bayi kecilnya. Bahkan dalam keheningan, kata-kata yang tak terucap mengalir begitu deras."Seharusnya Ibu tahu lebih baik. Seharusnya Ibu melindungimu sejak awal..."Esa hanya menggeliat pelan, bibirnya yang mungil bergerak seolah masih menyusu dalam tidurnya. Melihatnya, hati Dina mencelos. Betapa ban
Dina berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Udara dingin merayap melalui sela-sela jari kakinya yang hanya terbalut sandal tipis. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin tetapi juga karena gugup. Di sampingnya, Anggara berdiri dengan tenang, memberikan kekuatan melalui genggaman tangannya yang erat. "Siap?" tanya Anggara lembut. Dina tidak menjawab. Bibirnya terasa kelu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. Di gendongannya, Esa, putranya yang baru berusia tiga bulan, terlelap dalam balutan selimut hangat. Dina menyesuaikan posisi bayi mungil itu, memastikan wajahnya tetap hangat dan nyaman. Dengan napas yang ditahan, Anggara mengetuk pintu perlahan. Detik berikutnya, daun pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Celia yang sudah menunggunya. "Dina..." suara Celia terdengar begitu lembut, penuh kerinduan dan kasih sayang. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah sendu ketika mendapati keadaan putrinya. Tampak begitu ringkih dan berantakan. Kehidupan macam apa
"Kakak..." Telepon genggam di tangan Anggara nyaris terlepas saat mendengar suara Dina di seberang sana. Suara adiknya yang biasanya ceria kini terdengar parau, terselip isakan yang berusaha ia sembunyikan namun gagal. "Dina?" Anggara mencoba tetap tenang, meski setiap sarafnya menegang. "Kamu baik-baik saja?" "Ka-kak... Aku..." Hanya itu yang Dina katakan sebelum tenggelam dalam tangis yang terputus-putus. Suara serak, getir, seolah setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Awalnya ia pikir dirinya cukup kuat untuk menyembunyikan tangisan ini dari kakaknya. Namun entah mengapa, begitu mendengar suara lembut Angga memanggil namanya, tembok pertahanan Dina seolah jebol. Air mata yang sejak tadi sempat tertahan, langsung menyeruak ke permukaan. Anggara memejamkan mata, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia tahu pernikahan adiknya ini tidak berjalan mulus. Ia tahu sejak lama, di balik setiap senyum dan kata-kata "Aku baik-baik saja" dari bibir Dina, tersembunyi s
Bibi Safitri terdiam cukup lama setelah mendengar cerita Dina. Wajahnya menunjukkan ekspresi bimbang, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tetapi takut kata-katanya akan semakin melukai hati Dina."Bibi...?" Dina memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh harap. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"Bibi Safitri menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Dina. "Dina, sebelum Bibi cerita... Bibi mohon, kamu tenang, ya?"Dina merasa detak jantungnya semakin cepat. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. "Katakan saja, Bi. Aku... aku harus tahu."Wanita paruh baya itu menelan ludah, seolah kata-kata yang akan keluar begitu berat. "Sebenarnya... Bibi sudah lama mendengar kabar ini. Bukan hanya Bibi, mungkin hampir semua orang di desa ini juga tahu."Dina mengernyit. "Maksud Bibi apa?""Raka... Dia memang sering terlihat bersama wanita lain. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah cukup ser
Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda. Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya. Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar. Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil
"Sudah habis," keluh Dina sambil menguras kaleng susu dalam genggamannya sambil menghela napas panjang. Esa baru tiga bulan, tapi kebutuhannya semakin banyak. Setiap hari, bayi mungil itu menghabiskan susu lebih banyak dari sebelumnya. Awalnya, mereka mampu membeli susu formula merek premium, tapi kini harus beralih ke yang lebih murah karena gaji Raka benar-benar keteteran untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Dina meremas kaleng kosong itu sebelum membuangnya ke tempat sampah. Ia menatap lemari dapur yang semakin kosong. Stok popok Esa juga menipis. Ada banyak hal yang harus mereka beli, tapi uang yang ada hampir habis. Sedangkan ini, baru pertengahan bulan. Dina tahu Raka sudah berusaha, tapi gajinya memang tak pernah cukup. Saat Raka pulang malam itu, Dina segera membuatkan kopi untuknya. Setelah bekerja seharian, suaminya pasti lelah. Tapi susu Esa sudah habis sejak siang tadi, dan ia tidak bisa menunda untuk membicarakannya lagi. "Mas Raka, susunya Esa udah habis," ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments