Share

06 - Akhir Sebuah Kesabaran

Author: Dayu SA
last update Last Updated: 2025-02-19 14:46:14

Pagi itu, udara di desa terasa lebih dingin dari biasanya. Angin sejuk bertiup pelan, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan semalam. Matahari sudah mulai naik, tapi di dalam rumah kecil itu, suasana justru terasa berat dan menyesakkan.

Dina berdiri di dapur, memandangi panci di atas kompor tanpa benar-benar melihatnya. Tangannya menggenggam sendok kayu, tapi pikirannya tidak berada di sana. Ia memikirkan kembali kejadian semalam—pakaian Raka yang beraroma parfum wanita, noda lipstik yang mencolok di kerah bajunya, dan perasaannya yang bercampur aduk antara marah, kecewa, serta sakit hati.

Hari ini, ia akan bertanya langsung. Ia harus mendapatkan jawaban.

Dari dalam kamar, ia bisa mendengar suara Raka yang baru bangun, suara pintu kamar yang terbuka, lalu langkah beratnya menuju ruang tamu. Hari ini adalah Minggu, Raka tidak bekerja. Mertuanya juga sedang pergi membantu tetangga seperti biasa.

Kesempatan ini tidak akan datang dua kali.

Dina menarik napas panjang, menenangkan dirinya sebelum akhirnya melangkah ke ruang tamu. Raka duduk di sofa dengan santai, menggulir layar ponselnya tanpa sedikit pun memperhatikan Dina yang berdiri di depannya.

"Mas Raka," panggil Dina dengan suara tegas.

Raka mengangkat kepala sekilas. "Apa?"

Dina menggigit bibirnya, menahan dorongan untuk langsung meluapkan emosinya. Ia tidak ingin langsung menyerang, ia ingin mendengar apa yang akan dikatakan suaminya terlebih dahulu.

“Aku mau tanya soal baju Mas semalam,” katanya akhirnya.

Raka terlihat terkejut sesaat, tapi dengan cepat ia menguasai dirinya kembali. "Kenapa dengan bajuku?"

"Ada parfum wanita di sana," lanjut Dina. "Dan noda lipstik di kerahnya."

Sejenak, Raka hanya diam. Matanya mengerjap beberapa kali, seolah mencari alasan yang tepat.

"Jangan bilang kalau kamu cuma kebetulan dekat dengan seseorang di kantor dan tanpa sengaja terkena lipstik mereka," tambah Dina sebelum suaminya sempat berbicara.

Kini, ekspresi Raka berubah. Ia tampak sedikit panik, meski berusaha tetap terlihat biasa saja.

"Jadi kamu menguntit aku sekarang?" Raka malah balik bertanya dengan nada tajam.

"Aku cuma bertanya, Mas," Dina menatapnya lekat-lekat. "Aku istrimu, aku punya hak untuk tahu."

Raka menghela napas panjang dan meletakkan ponselnya di meja. "Kamu terlalu curiga, Dina. Kamu selalu berpikiran negatif. Apa kamu tidak bisa menghormati suamimu sedikit saja?"

Dina mengepalkan tangannya. "Menghormati?" ia tertawa sinis. "Mas pikir aku tidak menghormati Mas? Lalu apa yang Mas lakukan kemarin malam itu bentuk penghormatan padaku sebagai istrimu?"

Suasana di dalam ruangan semakin tegang.

"Apa kamu pikir mudah bagiku mencari uang buat kalian berdua?" suara Raka mulai meninggi.

Dina menatap suaminya dengan kening berkerut. "Apa maksudnya?"

"Yang kau lakukan hanya meminta dan meminta! Apa kau pernah bertanya sebelumnya, apa aku punya uang atau tidak?! Kau pikir uang itu jatuh dari langit?!"

Dina terhenyak untuk kesekian kalinya. Ia baru sadar jika Raka memiliki sisi seperti ini dalam dirinya. Apakah ia begitu terpojok sehingga mengalihkan pembicaraan ke arah ini? "Jika bukan padamu, lalu pada siapa aku harus meminta? Mas tahu sendiri aku tidak bekerja!"

"Karena itulah harusnya kau sadar diri! Kau tidak bisa membantu keuangan keluarga, setidaknya jangan menambah beban dengan dugaan-dugaan tak pentingmu itu!"

"Dugaan tak penting? Mas pasti tahu dan sadar jika dugaanku itu beralasan! Aku tidak mengada-ada atau mengarang cerita! Itu juga kan, alasan Mas mengalihkan pembicaraan seperti ini?!"

Raka menghembuskan napas kasar mendengar ucapan Dina. Di matanya, sosok istrinya itu terlihat semakin menyebalkan saja. Apa wanita itu tak memiliki kegiatan lain selain mengeluh dan berprasangka buruk?!

"Kau tahu? Aku sudah benar-benar muak denganmu. Kau tak bisa seperti wanita lain. Mengerti keadaan suami dan tak banyak menuntut!"

Raka kembali menatap Dina dengan tajam. "Syukurlah jika kau sudah menemukan kenyataannya, jadi aku tak harus mencari cara yang rumit untuk menceritakannya padamu."

Di titik ini, Dina merasa matanya mulai memanas. Sepertinya ada sesuatu hal yang besar yang ingin Raka ungkapkan padanya Dan itu jelas bukan hal yang menyenangkan.

"Apa maksudmu?"

"Aku ingin menikah lagi. Aku sedang dekat dengan seorang wanita, dan aku ingin menikahinya."

Dina merasa jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat. Dari mana datangnya topik pembicaraan ini?!

"Apa?"

"Aku mau menikah dengan bosku," Raka melanjutkan dengan nada santai, seolah tidak ada yang salah dengan perkataannya. "Dia seorang janda. Umurnya empat puluh lima tahun."

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar telinga Dina. Dadanya naik-turun dengan cepat, amarahnya semakin membuncah.

"Jadi itu alasan Mas pulang mabuk semalam?" suaranya bergetar. "Itu alasan kenapa baju Mas bau parfum dan ada noda lipstik di sana? Mas sudah selingkuh dengan wanita lain dan sekarang ingin menikahinya?"

Raka tidak menjawab.

"Kenapa?" Dina menuntut. "Kenapa Mas melakukan ini?"

Raka kembali mengembuskan napas dengan kasar. "Kamu pikir dari mana uang yang kupakai untuk membeli susu Esa selama ini? Gajiku jelas tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kita. Aku mendapatkan uang dari dia."

Dina menutup mulutnya dengan tangan. Air mata sudah mulai menggenang di matanya, tapi ia menahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan pria yang sudah mengkhianatinya.

"Jadi Mas menjual harga diri demi uang?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Apa kamu punya pilihan lain?" Raka balas bertanya dengan nada tinggi. "Kamu pikir uang bisa datang sendiri? Aku melakukan ini demi kalian!"

Dina menggeleng tidak percaya. "Jangan bawa-bawa aku dan Esa dalam masalah ini, Mas. Kalau Mas memang tidak bisa mencari uang dengan cara yang benar, itu salah Mas sendiri. Jangan menjadikan aku dan anak kita sebagai alasan!"

Esa yang sedang tidur tiba-tiba mulai menggeliat dan menangis pelan.

Dina menoleh sekilas ke arah kamar, lalu kembali menatap Raka dengan marah. "Mas bahkan tidak peduli pada Esa, kan?"

Raka terdiam.

Dina melangkah mendekat, menatap suaminya dengan penuh kemarahan dan kekecewaan. "Kamu bahkan tidak pulang semalam saat anakmu sakit. Kamu tidak tahu bagaimana aku menggendongnya semalaman, bagaimana aku harus berjalan ke puskesmas sendirian karena kamu tidak ada. Kamu bahkan tidak bertanya bagaimana keadaannya."

Raka mendengus. "Dari awal aku juga ragu kalau dia anakku."

Dina terhenyak.

Darahnya seolah berhenti mengalir.

Matanya membulat, dadanya sesak.

"Apa?" suaranya hampir tidak terdengar.

Raka menatapnya tanpa rasa bersalah. "Aku tidak yakin kalau Esa anakku."

Dina merasa seperti dihantam oleh sesuatu yang besar.

Tangan dan kakinya gemetar.

Ia bisa menerima jika dirinya sendiri yang disakiti, tapi tidak jika Esa yang harus menanggungnya.

Dengan tangan gemetar, ia berbalik dan berjalan cepat ke kamar. Ia mengambil tas besar, lalu mulai memasukkan pakaian Esa ke dalamnya.

Tangan-tangannya bergerak tanpa berpikir, hanya didorong oleh perasaan marah dan sakit hati yang tak tertahankan.

Ia akan pergi dari sini.

Apa lagi yang bisa dipertahankan dari rumah tangga ini sekarang?

Jika sesuatu yang sederhana seperti kepercayaan saja tidak bisa ia dapatkan?

Ketika tangannya menyentuh tubuh mungil Esa, air matanya akhirnya jatuh tanpa bisa dibendung lagi.

Ia menggendong anaknya dengan erat, lalu menatap sekeliling kamar yang sudah menjadi saksi bisu kehidupannya selama ini.

Tidak ada lagi yang tersisa di sini.

Ia harus pergi.

Ia harus menyelamatkan dirinya dan Esa—sebelum semuanya semakin hancur berkeping-keping.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    07 - Masih Berharap

    Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda. Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya. Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar. Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil

    Last Updated : 2025-03-08
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    08 - Sepertinya Tidak Bisa Diperbaiki Lagi

    Bibi Safitri terdiam cukup lama setelah mendengar cerita Dina. Wajahnya menunjukkan ekspresi bimbang, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tetapi takut kata-katanya akan semakin melukai hati Dina."Bibi...?" Dina memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh harap. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"Bibi Safitri menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Dina. "Dina, sebelum Bibi cerita... Bibi mohon, kamu tenang, ya?"Dina merasa detak jantungnya semakin cepat. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. "Katakan saja, Bi. Aku... aku harus tahu."Wanita paruh baya itu menelan ludah, seolah kata-kata yang akan keluar begitu berat. "Sebenarnya... Bibi sudah lama mendengar kabar ini. Bukan hanya Bibi, mungkin hampir semua orang di desa ini juga tahu."Dina mengernyit. "Maksud Bibi apa?""Raka... Dia memang sering terlihat bersama wanita lain. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah cukup ser

    Last Updated : 2025-03-08
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    09 - Aku Ingin Pulang

    "Kakak..." Telepon genggam di tangan Anggara nyaris terlepas saat mendengar suara Dina di seberang sana. Suara adiknya yang biasanya ceria kini terdengar parau, terselip isakan yang berusaha ia sembunyikan namun gagal. "Dina?" Anggara mencoba tetap tenang, meski setiap sarafnya menegang. "Kamu baik-baik saja?" "Ka-kak... Aku..." Hanya itu yang Dina katakan sebelum tenggelam dalam tangis yang terputus-putus. Suara serak, getir, seolah setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Awalnya ia pikir dirinya cukup kuat untuk menyembunyikan tangisan ini dari kakaknya. Namun entah mengapa, begitu mendengar suara lembut Angga memanggil namanya, tembok pertahanan Dina seolah jebol. Air mata yang sejak tadi sempat tertahan, langsung menyeruak ke permukaan. Anggara memejamkan mata, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia tahu pernikahan adiknya ini tidak berjalan mulus. Ia tahu sejak lama, di balik setiap senyum dan kata-kata "Aku baik-baik saja" dari bibir Dina, tersembunyi s

    Last Updated : 2025-03-08
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 10 - Ruang untuk Bernapas

    Dina berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Udara dingin merayap melalui sela-sela jari kakinya yang hanya terbalut sandal tipis. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin tetapi juga karena gugup. Di sampingnya, Anggara berdiri dengan tenang, memberikan kekuatan melalui genggaman tangannya yang erat. "Siap?" tanya Anggara lembut. Dina tidak menjawab. Bibirnya terasa kelu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. Di gendongannya, Esa, putranya yang baru berusia tiga bulan, terlelap dalam balutan selimut hangat. Dina menyesuaikan posisi bayi mungil itu, memastikan wajahnya tetap hangat dan nyaman. Dengan napas yang ditahan, Anggara mengetuk pintu perlahan. Detik berikutnya, daun pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Celia yang sudah menunggunya. "Dina..." suara Celia terdengar begitu lembut, penuh kerinduan dan kasih sayang. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah sendu ketika mendapati keadaan putrinya. Tampak begitu ringkih dan berantakan. Kehidupan macam apa

    Last Updated : 2025-03-09
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 11 - Luka yang Menganga

    Dina duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kayu yang dingin. Kamar ini begitu familiar namun terasa asing pada saat yang sama. Semua benda di dalamnya tetap sama, seolah-olah waktu berhenti sejak ia pergi tiga tahun lalu. Poster bunga mawar favoritnya masih terpasang di dinding, boneka beruang besar duduk manis di sudut ruangan, dan meja riasnya tetap tertata rapi, seakan menunggunya kembali.Esa terlelap di sampingnya, wajah mungilnya tampak begitu damai di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Dina mengulurkan tangan, jemarinya yang gemetar perlahan membelai pipi lembut bayinya."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya nyaris tanpa suara.Tidak ada yang bisa ia tutupi di depan bayi kecilnya. Bahkan dalam keheningan, kata-kata yang tak terucap mengalir begitu deras."Seharusnya Ibu tahu lebih baik. Seharusnya Ibu melindungimu sejak awal..."Esa hanya menggeliat pelan, bibirnya yang mungil bergerak seolah masih menyusu dalam tidurnya. Melihatnya, hati Dina mencelos. Betapa ban

    Last Updated : 2025-03-09
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 12 - Keluarga yang Sesungguhnya

    Pagi datang dengan cepat. Dina membuka matanya perlahan, mendapati Esa masih terlelap di sisinya. Wajah mungil putranya tampak begitu damai, menghapus sebagian rasa lelah yang menumpuk di hatinya. "Mulai hari ini, Kita akan memulai kehidupan yang baru, Nak," bisik Dina, mengecup lembut kening Esa. Ketukan pintu yang lembut memecah keheningan. Pintu kamar terbuka perlahan, menampilkan wajah Celia yang berseri-seri. "Selamat pagi, Sayang. Sudah bangun?" Celia bertanya, suaranya selembut hembusan angin sore. "Sudah, Ma. Terima kasih," jawab Dina seraya merapikan selimut Esa. "Boleh Mama gendong Esa? Mama sudah tidak sabar ingin bermain dengannya," Celia tersenyum penuh harap. Belum sempat Dina menjawab, Darmawan menyusul masuk. Pria paruh baya itu membawa boneka gajah kecil berwarna biru. Senyumnya lebar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah. "Mana cucu Papa? Biar Pa

    Last Updated : 2025-03-10
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 13 - Rumah yang Kini Sepi

    Pagi itu, suasana di rumah Raka terasa berbeda. Tidak ada suara panci atau wajan yang saling berbenturan. Tidak ada aroma masakan yang senantiasa menyambutnya. Bahkan tak ada lagi suara rengekan bayi yang selama ini seolah menjadi suara wajib untuk menyambut hari. Rumah itu sunyi, terlalu sunyi. Raka melangkah keluar dari kamar tamu dengan santai, mengusap wajahnya yang masih mengantuk. Dia tidur dengan nyenyak semalam, sama sekali tak merasa terbebani atau sekadar memikirkan pertengkarannya dengan Dina. Ia justru merasa cukup rileks karena suasana rumah begitu nyaman tanpa adanya suara rengekan bayi atau ocehan Dina yang sering kali mengganggu paginya. Ia melirik sekilas ke dapur. Kosong. Tidak ada tanda-tanda aktivitas seperti biasanya. Matanya bergerak ke kamar mereka, lalu dengan santai ia berjalan ke sana. Didorongnya pintu yang tak terkunci itu, dan seperti dugaannya, kamar itu kosong. Raka mengerutkan keningnya tak suka. Jadi, Dina memang tidak pulang semalaman? Wanita itu

    Last Updated : 2025-03-11
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 14 - Pertemuan Kembali

    Dina tidak menyangka jika ia akan bertemu dengan Reihan secepat ini. Ketika pria itu datang tadi, Dina hanya menyapa dan berbasa-basi sebentar sebelum kemudian membawa Esa ke taman belakang, dengan alasan ingin mencari udara segar. Namun siapa yang menyangka, pria itu ternyata mengikutinya tak lama kemudian. Dina sedang sibuk menimang Esa yang mulai gelisah di pangkuannya ketika suara berat dan familiar itu menyapanya dari belakang. "Dina?" Dina menegang sesaat. Jantungnya berdetak lebih cepat sebelum akhirnya ia menoleh. Berusaha membuat ekspresi wajahnya senormal mungkin. Dan di sanalah dia—Reihan. Pria dari masa lalunya. Lelaki yang dulu begitu akrab dalam hidupnya. Lelaki yang, di masa lalu, mungkin bisa saja menjadi kisah cintanya jika keadaanya sedikit berbeda. Reihan masih terlihat seperti yang terakhir kali ia ingat. Tinggi, gagah, dan masih memiliki sorot mata yang sama—hangat, tetapi terasa begitu dalam. Sudah tiga tahun berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu, d

    Last Updated : 2025-03-12

Latest chapter

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 15 - Meyakinkan Diri

    Dina duduk di teras belakang rumah orang tuanya, menatap langit sore yang mulai berwarna jingga. Esa tertidur pulas dalam dekapan, tubuh kecilnya bergerak naik turun mengikuti napasnya yang tenang. Semilir angin yang berembus terasa menenangkan, berbeda dengan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya.Sudah tiga hari ia di sini. Tiga hari tanpa Raka. Tiga hari tanpa suara bentakan, tanpa rasa was-was akan amarah yang bisa meledak kapan saja.Tapi juga, tiga hari tanpa jawaban.Selama ini, ia selalu berpikir bahwa rumah tangga mereka masih bisa diselamatkan. Bahwa Raka hanyalah sedang terbebani pekerjaan atau tekanan hidup. Ia terus meyakinkan diri bahwa suatu hari nanti, semuanya akan kembali seperti dulu—seperti saat mereka baru menikah, ketika Raka masih peduli padanya, ketika lelaki itu masih bisa tersenyum dan menggenggam tangannya dengan penuh cinta.Namun, semakin Dina mencoba mencari alasan, semakin ia menyadari sesuatu yang mengerikan.Raka tidak pernah benar-benar menghargainya

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 14 - Pertemuan Kembali

    Dina tidak menyangka jika ia akan bertemu dengan Reihan secepat ini. Ketika pria itu datang tadi, Dina hanya menyapa dan berbasa-basi sebentar sebelum kemudian membawa Esa ke taman belakang, dengan alasan ingin mencari udara segar. Namun siapa yang menyangka, pria itu ternyata mengikutinya tak lama kemudian. Dina sedang sibuk menimang Esa yang mulai gelisah di pangkuannya ketika suara berat dan familiar itu menyapanya dari belakang. "Dina?" Dina menegang sesaat. Jantungnya berdetak lebih cepat sebelum akhirnya ia menoleh. Berusaha membuat ekspresi wajahnya senormal mungkin. Dan di sanalah dia—Reihan. Pria dari masa lalunya. Lelaki yang dulu begitu akrab dalam hidupnya. Lelaki yang, di masa lalu, mungkin bisa saja menjadi kisah cintanya jika keadaanya sedikit berbeda. Reihan masih terlihat seperti yang terakhir kali ia ingat. Tinggi, gagah, dan masih memiliki sorot mata yang sama—hangat, tetapi terasa begitu dalam. Sudah tiga tahun berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu, d

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 13 - Rumah yang Kini Sepi

    Pagi itu, suasana di rumah Raka terasa berbeda. Tidak ada suara panci atau wajan yang saling berbenturan. Tidak ada aroma masakan yang senantiasa menyambutnya. Bahkan tak ada lagi suara rengekan bayi yang selama ini seolah menjadi suara wajib untuk menyambut hari. Rumah itu sunyi, terlalu sunyi. Raka melangkah keluar dari kamar tamu dengan santai, mengusap wajahnya yang masih mengantuk. Dia tidur dengan nyenyak semalam, sama sekali tak merasa terbebani atau sekadar memikirkan pertengkarannya dengan Dina. Ia justru merasa cukup rileks karena suasana rumah begitu nyaman tanpa adanya suara rengekan bayi atau ocehan Dina yang sering kali mengganggu paginya. Ia melirik sekilas ke dapur. Kosong. Tidak ada tanda-tanda aktivitas seperti biasanya. Matanya bergerak ke kamar mereka, lalu dengan santai ia berjalan ke sana. Didorongnya pintu yang tak terkunci itu, dan seperti dugaannya, kamar itu kosong. Raka mengerutkan keningnya tak suka. Jadi, Dina memang tidak pulang semalaman? Wanita itu

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 12 - Keluarga yang Sesungguhnya

    Pagi datang dengan cepat. Dina membuka matanya perlahan, mendapati Esa masih terlelap di sisinya. Wajah mungil putranya tampak begitu damai, menghapus sebagian rasa lelah yang menumpuk di hatinya. "Mulai hari ini, Kita akan memulai kehidupan yang baru, Nak," bisik Dina, mengecup lembut kening Esa. Ketukan pintu yang lembut memecah keheningan. Pintu kamar terbuka perlahan, menampilkan wajah Celia yang berseri-seri. "Selamat pagi, Sayang. Sudah bangun?" Celia bertanya, suaranya selembut hembusan angin sore. "Sudah, Ma. Terima kasih," jawab Dina seraya merapikan selimut Esa. "Boleh Mama gendong Esa? Mama sudah tidak sabar ingin bermain dengannya," Celia tersenyum penuh harap. Belum sempat Dina menjawab, Darmawan menyusul masuk. Pria paruh baya itu membawa boneka gajah kecil berwarna biru. Senyumnya lebar, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah. "Mana cucu Papa? Biar Pa

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 11 - Luka yang Menganga

    Dina duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kayu yang dingin. Kamar ini begitu familiar namun terasa asing pada saat yang sama. Semua benda di dalamnya tetap sama, seolah-olah waktu berhenti sejak ia pergi tiga tahun lalu. Poster bunga mawar favoritnya masih terpasang di dinding, boneka beruang besar duduk manis di sudut ruangan, dan meja riasnya tetap tertata rapi, seakan menunggunya kembali.Esa terlelap di sampingnya, wajah mungilnya tampak begitu damai di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Dina mengulurkan tangan, jemarinya yang gemetar perlahan membelai pipi lembut bayinya."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya nyaris tanpa suara.Tidak ada yang bisa ia tutupi di depan bayi kecilnya. Bahkan dalam keheningan, kata-kata yang tak terucap mengalir begitu deras."Seharusnya Ibu tahu lebih baik. Seharusnya Ibu melindungimu sejak awal..."Esa hanya menggeliat pelan, bibirnya yang mungil bergerak seolah masih menyusu dalam tidurnya. Melihatnya, hati Dina mencelos. Betapa ban

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 10 - Ruang untuk Bernapas

    Dina berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Udara dingin merayap melalui sela-sela jari kakinya yang hanya terbalut sandal tipis. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin tetapi juga karena gugup. Di sampingnya, Anggara berdiri dengan tenang, memberikan kekuatan melalui genggaman tangannya yang erat. "Siap?" tanya Anggara lembut. Dina tidak menjawab. Bibirnya terasa kelu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. Di gendongannya, Esa, putranya yang baru berusia tiga bulan, terlelap dalam balutan selimut hangat. Dina menyesuaikan posisi bayi mungil itu, memastikan wajahnya tetap hangat dan nyaman. Dengan napas yang ditahan, Anggara mengetuk pintu perlahan. Detik berikutnya, daun pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Celia yang sudah menunggunya. "Dina..." suara Celia terdengar begitu lembut, penuh kerinduan dan kasih sayang. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah sendu ketika mendapati keadaan putrinya. Tampak begitu ringkih dan berantakan. Kehidupan macam apa

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    09 - Aku Ingin Pulang

    "Kakak..." Telepon genggam di tangan Anggara nyaris terlepas saat mendengar suara Dina di seberang sana. Suara adiknya yang biasanya ceria kini terdengar parau, terselip isakan yang berusaha ia sembunyikan namun gagal. "Dina?" Anggara mencoba tetap tenang, meski setiap sarafnya menegang. "Kamu baik-baik saja?" "Ka-kak... Aku..." Hanya itu yang Dina katakan sebelum tenggelam dalam tangis yang terputus-putus. Suara serak, getir, seolah setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Awalnya ia pikir dirinya cukup kuat untuk menyembunyikan tangisan ini dari kakaknya. Namun entah mengapa, begitu mendengar suara lembut Angga memanggil namanya, tembok pertahanan Dina seolah jebol. Air mata yang sejak tadi sempat tertahan, langsung menyeruak ke permukaan. Anggara memejamkan mata, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia tahu pernikahan adiknya ini tidak berjalan mulus. Ia tahu sejak lama, di balik setiap senyum dan kata-kata "Aku baik-baik saja" dari bibir Dina, tersembunyi s

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    08 - Sepertinya Tidak Bisa Diperbaiki Lagi

    Bibi Safitri terdiam cukup lama setelah mendengar cerita Dina. Wajahnya menunjukkan ekspresi bimbang, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tetapi takut kata-katanya akan semakin melukai hati Dina."Bibi...?" Dina memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh harap. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"Bibi Safitri menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Dina. "Dina, sebelum Bibi cerita... Bibi mohon, kamu tenang, ya?"Dina merasa detak jantungnya semakin cepat. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. "Katakan saja, Bi. Aku... aku harus tahu."Wanita paruh baya itu menelan ludah, seolah kata-kata yang akan keluar begitu berat. "Sebenarnya... Bibi sudah lama mendengar kabar ini. Bukan hanya Bibi, mungkin hampir semua orang di desa ini juga tahu."Dina mengernyit. "Maksud Bibi apa?""Raka... Dia memang sering terlihat bersama wanita lain. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah cukup ser

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    07 - Masih Berharap

    Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda. Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya. Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar. Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status