Share

06 - Akhir Sebuah Kesabaran

Author: Dayu SA
last update Last Updated: 2025-02-19 14:46:14

Pagi itu, udara di desa terasa lebih dingin dari biasanya. Angin sejuk bertiup pelan, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan semalam. Matahari sudah mulai naik, tapi di dalam rumah kecil itu, suasana justru terasa berat dan menyesakkan.

Dina berdiri di dapur, memandangi panci di atas kompor tanpa benar-benar melihatnya. Tangannya menggenggam sendok kayu, tapi pikirannya tidak berada di sana. Ia memikirkan kembali kejadian semalam—pakaian Raka yang beraroma parfum wanita, noda lipstik yang mencolok di kerah bajunya, dan perasaannya yang bercampur aduk antara marah, kecewa, serta sakit hati.

Hari ini, ia akan bertanya langsung. Ia harus mendapatkan jawaban.

Dari dalam kamar, ia bisa mendengar suara Raka yang baru bangun, suara pintu kamar yang terbuka, lalu langkah beratnya menuju ruang tamu. Hari ini adalah Minggu, Raka tidak bekerja. Mertuanya juga sedang pergi membantu tetangga seperti biasa.

Kesempatan ini tidak akan datang dua kali.

Dina menarik napas panjang, menenangkan dirinya sebelum akhirnya melangkah ke ruang tamu. Raka duduk di sofa dengan santai, menggulir layar ponselnya tanpa sedikit pun memperhatikan Dina yang berdiri di depannya.

"Mas Raka," panggil Dina dengan suara tegas.

Raka mengangkat kepala sekilas. "Apa?"

Dina menggigit bibirnya, menahan dorongan untuk langsung meluapkan emosinya. Ia tidak ingin langsung menyerang, ia ingin mendengar apa yang akan dikatakan suaminya terlebih dahulu.

“Aku mau tanya soal baju Mas semalam,” katanya akhirnya.

Raka terlihat terkejut sesaat, tapi dengan cepat ia menguasai dirinya kembali. "Kenapa dengan bajuku?"

"Ada parfum wanita di sana," lanjut Dina. "Dan noda lipstik di kerahnya."

Sejenak, Raka hanya diam. Matanya mengerjap beberapa kali, seolah mencari alasan yang tepat.

"Jangan bilang kalau kamu cuma kebetulan dekat dengan seseorang di kantor dan tanpa sengaja terkena lipstik mereka," tambah Dina sebelum suaminya sempat berbicara.

Kini, ekspresi Raka berubah. Ia tampak sedikit panik, meski berusaha tetap terlihat biasa saja.

"Jadi kamu menguntit aku sekarang?" Raka malah balik bertanya dengan nada tajam.

"Aku cuma bertanya, Mas," Dina menatapnya lekat-lekat. "Aku istrimu, aku punya hak untuk tahu."

Raka menghela napas panjang dan meletakkan ponselnya di meja. "Kamu terlalu curiga, Dina. Kamu selalu berpikiran negatif. Apa kamu tidak bisa menghormati suamimu sedikit saja?"

Dina mengepalkan tangannya. "Menghormati?" ia tertawa sinis. "Mas pikir aku tidak menghormati Mas? Lalu apa yang Mas lakukan kemarin malam itu bentuk penghormatan pada aku sebagai istri?"

Suasana di dalam ruangan semakin tegang.

"Apa kamu pikir mudah bagiku mencari uang buat kalian berdua?" suara Raka mulai meninggi.

Dina menatap suaminya dengan kening berkerut. "Apa maksudnya?"

Raka menatap Dina tajam. "Aku memang ingin menikah lagi."

Dina merasa jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat. Dari mana datangnya topik pembicaraan ini?!

"Apa?"

"Aku mau menikah dengan bosku," Raka melanjutkan dengan nada santai, seolah tidak ada yang salah dengan perkataannya. "Dia seorang janda. Umurnya empat puluh lima tahun."

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar telinga Dina. Dadanya naik-turun dengan cepat, amarahnya semakin membuncah.

"Jadi itu alasan Mas pulang mabuk semalam?" suaranya bergetar. "Itu alasan kenapa baju Mas bau parfum dan ada noda lipstik di sana? Mas sudah selingkuh dengan wanita lain dan sekarang ingin menikahinya?"

Raka tidak menjawab.

"Kenapa?" Dina menuntut. "Kenapa Mas melakukan ini?"

Raka mengembuskan napas dengan kasar. "Kamu pikir dari mana uang yang kupakai untuk membeli susu Esa selama ini? Gajiku jelas tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kita. Aku mendapatkan uang dari dia."

Dina menutup mulutnya dengan tangan. Air mata sudah mulai menggenang di matanya, tapi ia menahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan pria yang sudah mengkhianatinya.

"Jadi Mas menjual harga diri demi uang?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Apa kamu punya pilihan lain?" Raka balas bertanya dengan nada tinggi. "Kamu pikir uang bisa datang sendiri? Aku melakukan ini demi kalian!"

Dina menggeleng tidak percaya. "Jangan bawa-bawa aku dan Esa dalam masalah ini, Mas. Kalau Mas memang tidak bisa mencari uang dengan cara yang benar, itu salah Mas sendiri. Jangan menjadikan aku dan anak kita sebagai alasan!"

Esa yang sedang tidur tiba-tiba mulai menggeliat dan menangis pelan.

Dina menoleh sekilas ke arah kamar, lalu kembali menatap Raka dengan marah. "Mas bahkan tidak peduli pada Esa, kan?"

Raka terdiam.

Dina melangkah mendekat, menatap suaminya dengan penuh kemarahan dan kekecewaan. "Kamu bahkan tidak pulang semalam saat anakmu sakit. Kamu tidak tahu bagaimana aku menggendongnya semalaman, bagaimana aku harus berjalan ke puskesmas sendirian karena kamu tidak ada. Kamu bahkan tidak bertanya bagaimana keadaannya."

Raka mendengus. "Dari awal aku juga ragu kalau dia anakku."

Dina terhenyak.

Darahnya seolah berhenti mengalir.

Matanya membulat, dadanya sesak.

"Apa?" suaranya hampir tidak terdengar.

Raka menatapnya tanpa rasa bersalah. "Aku tidak yakin kalau Esa anakku."

Dina merasa seperti dihantam oleh sesuatu yang besar.

Tangan dan kakinya gemetar.

Ia bisa menerima jika dirinya sendiri yang disakiti, tapi tidak jika Esa yang harus menanggungnya.

Dengan tangan gemetar, ia berbalik dan berjalan cepat ke kamar. Ia mengambil tas besar, lalu mulai memasukkan pakaian Esa ke dalamnya.

Tangan-tangannya bergerak tanpa berpikir, hanya didorong oleh perasaan marah dan sakit hati yang tak tertahankan.

Ia akan pergi dari sini.

Apa lagi yang bisa dipertahankan dari rumah tangga ini sekarang?

Jika sesuatu yang sederhana seperti kepercayaan saja tidak bisa ia dapatkan?

Ketika tangannya menyentuh tubuh mungil Esa, air matanya akhirnya jatuh tanpa bisa dibendung lagi.

Ia menggendong anaknya dengan erat, lalu menatap sekeliling kamar yang sudah menjadi saksi bisu kehidupannya selama ini.

Tidak ada lagi yang tersisa di sini.

Ia harus pergi.

Ia harus menyelamatkan dirinya dan Esa—sebelum semuanya semakin hancur.

Related chapters

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    07 - Masih Berharap

    Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda. Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya. Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar. Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil

    Last Updated : 2025-03-08
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    08 - Sepertinya Tidak Bisa Diperbaiki Lagi

    Bibi Safitri terdiam cukup lama setelah mendengar cerita Dina. Wajahnya menunjukkan ekspresi bimbang, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tetapi takut kata-katanya akan semakin melukai hati Dina."Bibi...?" Dina memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh harap. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"Bibi Safitri menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Dina. "Dina, sebelum Bibi cerita... Bibi mohon, kamu tenang, ya?"Dina merasa detak jantungnya semakin cepat. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. "Katakan saja, Bi. Aku... aku harus tahu."Wanita paruh baya itu menelan ludah, seolah kata-kata yang akan keluar begitu berat. "Sebenarnya... Bibi sudah lama mendengar kabar ini. Bukan hanya Bibi, mungkin hampir semua orang di desa ini juga tahu."Dina mengernyit. "Maksud Bibi apa?""Raka... Dia memang sering terlihat bersama wanita lain. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah cukup ser

    Last Updated : 2025-03-08
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    09 - Aku Ingin Pulang

    "Kakak..." Telepon genggam di tangan Anggara nyaris terlepas saat mendengar suara Dina di seberang sana. Suara adiknya yang biasanya ceria kini terdengar parau, terselip isakan yang berusaha ia sembunyikan namun gagal. "Dina?" Anggara mencoba tetap tenang, meski setiap sarafnya menegang. "Kamu baik-baik saja?" "Ka-kak... Aku..." Hanya itu yang Dina katakan sebelum tenggelam dalam tangis yang terputus-putus. Suara serak, getir, seolah setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Awalnya ia pikir dirinya cukup kuat untuk menyembunyikan tangisan ini dari kakaknya. Namun entah mengapa, begitu mendengar suara lembut Angga memanggil namanya, tembok pertahanan Dina seolah jebol. Air mata yang sejak tadi sempat tertahan, langsung menyeruak ke permukaan. Anggara memejamkan mata, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia tahu pernikahan adiknya ini tidak berjalan mulus. Ia tahu sejak lama, di balik setiap senyum dan kata-kata "Aku baik-baik saja" dari bibir Dina, tersembunyi s

    Last Updated : 2025-03-08
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 10 - Ruang untuk Bernapas

    Dina berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Udara dingin merayap melalui sela-sela jari kakinya yang hanya terbalut sandal tipis. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin tetapi juga karena gugup. Di sampingnya, Anggara berdiri dengan tenang, memberikan kekuatan melalui genggaman tangannya yang erat. "Siap?" tanya Anggara lembut. Dina tidak menjawab. Bibirnya terasa kelu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. Di gendongannya, Esa, putranya yang baru berusia tiga bulan, terlelap dalam balutan selimut hangat. Dina menyesuaikan posisi bayi mungil itu, memastikan wajahnya tetap hangat dan nyaman. Dengan napas yang ditahan, Anggara mengetuk pintu perlahan. Detik berikutnya, daun pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Celia yang sudah menunggunya. "Dina..." suara Celia terdengar begitu lembut, penuh kerinduan dan kasih sayang. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah sendu ketika mendapati keadaan putrinya. Tampak begitu ringkih dan berantakan. Kehidupan macam apa

    Last Updated : 2025-03-09
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 11 - Luka yang Menganga

    Dina duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kayu yang dingin. Kamar ini begitu familiar namun terasa asing pada saat yang sama. Semua benda di dalamnya tetap sama, seolah-olah waktu berhenti sejak ia pergi tiga tahun lalu. Poster bunga mawar favoritnya masih terpasang di dinding, boneka beruang besar duduk manis di sudut ruangan, dan meja riasnya tetap tertata rapi, seakan menunggunya kembali.Esa terlelap di sampingnya, wajah mungilnya tampak begitu damai di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Dina mengulurkan tangan, jemarinya yang gemetar perlahan membelai pipi lembut bayinya."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya nyaris tanpa suara.Tidak ada yang bisa ia tutupi di depan bayi kecilnya. Bahkan dalam keheningan, kata-kata yang tak terucap mengalir begitu deras."Seharusnya Ibu tahu lebih baik. Seharusnya Ibu melindungimu sejak awal..."Esa hanya menggeliat pelan, bibirnya yang mungil bergerak seolah masih menyusu dalam tidurnya. Melihatnya, hati Dina mencelos. Betapa ban

    Last Updated : 2025-03-09
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    01 - Susu Untuk Anakku

    "Sudah habis," keluh Dina sambil menguras kaleng susu dalam genggamannya sambil menghela napas panjang. Esa baru tiga bulan, tapi kebutuhannya semakin banyak. Setiap hari, bayi mungil itu menghabiskan susu lebih banyak dari sebelumnya. Awalnya, mereka mampu membeli susu formula merek premium, tapi kini harus beralih ke yang lebih murah karena gaji Raka benar-benar keteteran untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Dina meremas kaleng kosong itu sebelum membuangnya ke tempat sampah. Ia menatap lemari dapur yang semakin kosong. Stok popok Esa juga menipis. Ada banyak hal yang harus mereka beli, tapi uang yang ada hampir habis. Sedangkan ini, baru pertengahan bulan. Dina tahu Raka sudah berusaha, tapi gajinya memang tak pernah cukup. Saat Raka pulang malam itu, Dina segera membuatkan kopi untuknya. Setelah bekerja seharian, suaminya pasti lelah. Tapi susu Esa sudah habis sejak siang tadi, dan ia tidak bisa menunda untuk membicarakannya lagi. "Mas Raka, susunya Esa udah habis,"

    Last Updated : 2025-02-18
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    02 - Ranjang yang Tak Lagi Hangat

    Dina membetulkan letak selimut di tubuhnya, menghadap punggung suaminya yang sudah terlelap tanpa kata. Matanya masih terbuka, menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang remang-remang. Di sudut ranjang, Esa tidur dengan damai, perut mungilnya naik turun dengan ritme yang tenang. Ia berusaha memejamkan mata, tapi pikirannya terus berputar, mengulang kejadian malam ini. Ketika dirinya sedang bercinta bersama suaminya. Entah masih bisa dibilang bercinta atau tidak, karena yang ia rasakan kini hanya hampa dan perasaan terabaikan. Harusnya ia tak lagi merasa kecewa. Harusnya kini ia justru merasa terbiasa. Karena ini bukan pertama kalinya Raka kehilangan gairah begitu Esa menangis. Bukan pertama kalinya ia merasa diabaikan ketika dirinya belum mencapai puncak kenikmatan. Awalnya, ia berusaha memahami. Bayi mereka masih kecil, tentu butuh perhatian lebih. Ia tidak keberatan jika Raka mengutamakan Esa. Itu memang sudah seharusnya. Tapi, ketika semua ini berulang-ulang terjadi, ketika

    Last Updated : 2025-02-18
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    03 - Cinta Keluarga yang Ditinggalkan

    Setelah sarapan, Raka pergi bekerja seperti biasa. Dina kembali ke rutinitasnya—mencuci baju, merapikan rumah, mengurus Esa. Hingga tanpa terasa langit telah berubah warna menjadi jingga. Rutinitas melelahkan yang terasa terlalu monoton baginya.Dina kembali menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya hari itu, hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya.Ia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan situasi seperti ini.Apakah pernikahan mereka memang sudah berubah?Atau… ia yang terlalu berharap bahwa semuanya masih bisa kembali seperti dulu? Dina tengah menyetrika pakaian di ruang tengah ketika ponselnya yang sederhana bergetar di atas meja. Ia mengerutkan kening. Nomor itu… sudah sangat lama tidak menghubunginya. Dina menatap layar ponselnya, sedikit ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.“Halo?”“Dina,” suara berat di ujung telepon terdengar familiar, membuat hati Dina berdegup lebih cepat dan matanya mulai memanas.“Kak Angga?” tanyanya pelan

    Last Updated : 2025-02-18

Latest chapter

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 11 - Luka yang Menganga

    Dina duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kayu yang dingin. Kamar ini begitu familiar namun terasa asing pada saat yang sama. Semua benda di dalamnya tetap sama, seolah-olah waktu berhenti sejak ia pergi tiga tahun lalu. Poster bunga mawar favoritnya masih terpasang di dinding, boneka beruang besar duduk manis di sudut ruangan, dan meja riasnya tetap tertata rapi, seakan menunggunya kembali.Esa terlelap di sampingnya, wajah mungilnya tampak begitu damai di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Dina mengulurkan tangan, jemarinya yang gemetar perlahan membelai pipi lembut bayinya."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya nyaris tanpa suara.Tidak ada yang bisa ia tutupi di depan bayi kecilnya. Bahkan dalam keheningan, kata-kata yang tak terucap mengalir begitu deras."Seharusnya Ibu tahu lebih baik. Seharusnya Ibu melindungimu sejak awal..."Esa hanya menggeliat pelan, bibirnya yang mungil bergerak seolah masih menyusu dalam tidurnya. Melihatnya, hati Dina mencelos. Betapa ban

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 10 - Ruang untuk Bernapas

    Dina berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Udara dingin merayap melalui sela-sela jari kakinya yang hanya terbalut sandal tipis. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin tetapi juga karena gugup. Di sampingnya, Anggara berdiri dengan tenang, memberikan kekuatan melalui genggaman tangannya yang erat. "Siap?" tanya Anggara lembut. Dina tidak menjawab. Bibirnya terasa kelu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. Di gendongannya, Esa, putranya yang baru berusia tiga bulan, terlelap dalam balutan selimut hangat. Dina menyesuaikan posisi bayi mungil itu, memastikan wajahnya tetap hangat dan nyaman. Dengan napas yang ditahan, Anggara mengetuk pintu perlahan. Detik berikutnya, daun pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Celia yang sudah menunggunya. "Dina..." suara Celia terdengar begitu lembut, penuh kerinduan dan kasih sayang. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah sendu ketika mendapati keadaan putrinya. Tampak begitu ringkih dan berantakan. Kehidupan macam apa

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    09 - Aku Ingin Pulang

    "Kakak..." Telepon genggam di tangan Anggara nyaris terlepas saat mendengar suara Dina di seberang sana. Suara adiknya yang biasanya ceria kini terdengar parau, terselip isakan yang berusaha ia sembunyikan namun gagal. "Dina?" Anggara mencoba tetap tenang, meski setiap sarafnya menegang. "Kamu baik-baik saja?" "Ka-kak... Aku..." Hanya itu yang Dina katakan sebelum tenggelam dalam tangis yang terputus-putus. Suara serak, getir, seolah setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Awalnya ia pikir dirinya cukup kuat untuk menyembunyikan tangisan ini dari kakaknya. Namun entah mengapa, begitu mendengar suara lembut Angga memanggil namanya, tembok pertahanan Dina seolah jebol. Air mata yang sejak tadi sempat tertahan, langsung menyeruak ke permukaan. Anggara memejamkan mata, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia tahu pernikahan adiknya ini tidak berjalan mulus. Ia tahu sejak lama, di balik setiap senyum dan kata-kata "Aku baik-baik saja" dari bibir Dina, tersembunyi s

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    08 - Sepertinya Tidak Bisa Diperbaiki Lagi

    Bibi Safitri terdiam cukup lama setelah mendengar cerita Dina. Wajahnya menunjukkan ekspresi bimbang, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tetapi takut kata-katanya akan semakin melukai hati Dina."Bibi...?" Dina memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh harap. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"Bibi Safitri menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Dina. "Dina, sebelum Bibi cerita... Bibi mohon, kamu tenang, ya?"Dina merasa detak jantungnya semakin cepat. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. "Katakan saja, Bi. Aku... aku harus tahu."Wanita paruh baya itu menelan ludah, seolah kata-kata yang akan keluar begitu berat. "Sebenarnya... Bibi sudah lama mendengar kabar ini. Bukan hanya Bibi, mungkin hampir semua orang di desa ini juga tahu."Dina mengernyit. "Maksud Bibi apa?""Raka... Dia memang sering terlihat bersama wanita lain. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah cukup ser

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    07 - Masih Berharap

    Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda. Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya. Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar. Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    06 - Akhir Sebuah Kesabaran

    Pagi itu, udara di desa terasa lebih dingin dari biasanya. Angin sejuk bertiup pelan, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan semalam. Matahari sudah mulai naik, tapi di dalam rumah kecil itu, suasana justru terasa berat dan menyesakkan. Dina berdiri di dapur, memandangi panci di atas kompor tanpa benar-benar melihatnya. Tangannya menggenggam sendok kayu, tapi pikirannya tidak berada di sana. Ia memikirkan kembali kejadian semalam—pakaian Raka yang beraroma parfum wanita, noda lipstik yang mencolok di kerah bajunya, dan perasaannya yang bercampur aduk antara marah, kecewa, serta sakit hati. Hari ini, ia akan bertanya langsung. Ia harus mendapatkan jawaban. Dari dalam kamar, ia bisa mendengar suara Raka yang baru bangun, suara pintu kamar yang terbuka, lalu langkah beratnya menuju ruang tamu. Hari ini adalah Minggu, Raka tidak bekerja. Mertuanya juga sedang pergi membantu tetangga seperti biasa. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Dina menarik napas panjang, men

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    05 - Menangis Dalam Diam

    Dina berjalan tergesa di sepanjang jalan setapak menuju puskesmas desa, menggendong Esa yang kepalanya bersandar lemah di bahunya. Tubuh kecil itu panas, napasnya sedikit berat, dan sesekali ia merengek pelan. Dina mengecup kening putranya, memastikan suhu tubuhnya tidak semakin tinggi.Setelah hampir lima belas menit berjalan kaki, akhirnya Dina sampai di puskesmas desa. Bangunan itu tidak terlalu besar, tapi cukup memadai untuk menangani pasien dengan keluhan ringan. Ruang tunggu dipenuhi ibu-ibu dengan anak-anak mereka. Beberapa di antara mereka ditemani suami, yang dengan sabar membantu menggendong anak atau sekadar memberikan dukungan.Dina menarik napas dalam dan berjalan ke meja pendaftaran.“Nama pasien?” tanya petugas pendaftaran.“Mahesa Pradana,” jawab Dina. “Demam sejak kemarin sore.”Petugas itu mencatat di buku, lalu memberikan nomor antrean.“Silakan tunggu, Bu. Nanti akan dipanggil.”Dina mengangguk dan berjalan ke bangku panjang yang masih kosong. Ia duduk dengan hati

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    04 - Penyesalan

    Di salah satu kedai kopi di pusat kota, Anggara meletakkan ponselnya di atas meja setelah berbicara dengan Dina. Wajahnya tampak sedikit murung, dan ia masih menatap layar ponsel itu seolah berharap ada pesan masuk dari adiknya.Di seberangnya, Reihan mengaduk kopinya dengan gerakan lambat, lalu mengangkat alis. “Jadi, bagaimana kabarnya?”Anggara menghela napas, menyandarkan punggungnya di kursi. “Dia bilang baik-baik saja.”Reihan menyipitkan mata. “Tapi kamu nggak percaya?”Anggara menatapnya sekilas sebelum mendengus kecil. “Dina terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Dia selalu bilang baik-baik saja, bahkan kalau dia sedang kesulitan.”Reihan ikut terdiam. Dalam hatinya, ia juga sudah menebak hal itu.“Setidaknya dia masih mau mengangkat teleponmu.” Reihan mencoba mencari sisi positif.“Tapi dia buru-buru mematikan telepon saat Raka pulang.” Anggara menatap Reihan dengan ekspresi penuh arti. “Aku nggak tahu apa itu karena dia takut, atau karena dia nggak mau Raka tahu dia men

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    03 - Cinta Keluarga yang Ditinggalkan

    Setelah sarapan, Raka pergi bekerja seperti biasa. Dina kembali ke rutinitasnya—mencuci baju, merapikan rumah, mengurus Esa. Hingga tanpa terasa langit telah berubah warna menjadi jingga. Rutinitas melelahkan yang terasa terlalu monoton baginya.Dina kembali menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya hari itu, hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya.Ia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan situasi seperti ini.Apakah pernikahan mereka memang sudah berubah?Atau… ia yang terlalu berharap bahwa semuanya masih bisa kembali seperti dulu? Dina tengah menyetrika pakaian di ruang tengah ketika ponselnya yang sederhana bergetar di atas meja. Ia mengerutkan kening. Nomor itu… sudah sangat lama tidak menghubunginya. Dina menatap layar ponselnya, sedikit ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.“Halo?”“Dina,” suara berat di ujung telepon terdengar familiar, membuat hati Dina berdegup lebih cepat dan matanya mulai memanas.“Kak Angga?” tanyanya pelan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status