Share

07 - Masih Berharap

Penulis: Dayu SA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-08 04:21:59

Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda. Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya.

Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar.

Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil menggendong anak kecil dan membawa tas besar di pagi hari seperti ini?

Dina merasa dirinya seperti seorang pengemis yang kerap berada di lampu merah. Banyak orang yang menatap iba kepadanya, namun tak jarang juga yang mencibir ketika menyadari jika dirinya adalah istri dari Raka Pradana. Sosok yang terkenal baik, meski terkesan angkuh dan tidak peduli pada sekitar.

Namun, Dina tidak peduli. Yang ada di kepalanya hanya pergi sejauh mungkin, menjauh dari rasa sakit dan pengkhianatan yang ia rasakan.

Kemana ia harus pergi sekarang? Sempat terlintas keinginan untuk pulang ke rumah keluarganya, tapi Dina merasa itu bukanlah hal yang bijak. Setiap rumah tangga pasti pernah mengalami masalah. Dan Dina harap masalah yang saat ini terjadi dalam keluarga kecilnya, akan bisa diperbaiki.

Mereka hanya butuh waktu. Waktu untuk belajar memaafkan dan waktu untuk berdamai dengan perasaan. Ya... semoga saja ini hanyalah kesalahan sesaat yang dilakukan Raka. Pria itu hanya jenuh dan lelah dengan segala beban dalam hidup mereka. Setelah ia sadar, Raka pasti akan mencarinya lagi. Meminta maaf dan memohon Dina untuk kembali.

Karena itulah, sebisa mungkin Dina tidak akan kembali ke rumah orangtuanya, karena jika hal itu sampai terjadi, rumah tangga mereka mungkin tidak akan pernah terselamatkan lagi.

Tanpa Dina sadari, langkah kakinya membawanya ke sebuah rumah kecil dengan pagar hijau dan tanaman bunga yang tertata rapi di depan teras. Rumah Bibi Safitri—saudara dari Ibu Irma, mertuanya.

Mereka memang tak cukup dekat, namun setidaknya Bibi Safitri adalah satu dari sedikit orang dari keluarga Raka yang memperlakukannya dengan baik.

Dina berdiri di depan pagar sejenak, ragu-ragu. Namun, ketika kakinya mulai terasa gemetar dan lelah, ia tahu ia tidak punya pilihan lain.

Dina mengetuk pintu perlahan. Tak lama, pintu terbuka menampilkan sosok Bibi Safitri yang tampak terkejut melihatnya.

"Dina? Ya Tuhan, kenapa kamu di sini pagi-pagi begini?" tanya Bibi Safitri dengan nada khawatir. "Masuk, Nak. Masuk dulu."

Dina mengikuti Bibi Safitri masuk ke dalam rumah. Begitu duduk di ruang tamu, tubuhnya langsung merosot ke sofa. Esa masih tertidur di pelukannya, napasnya teratur namun terasa panas.

"Biar Bibi yang gendong Esa. Kamu istirahat dulu," ujar Bibi Safitri, dengan lembut mengambil Esa dari pelukan Dina.

Dina hanya mengangguk lemah, membiarkan tangan Bibi Safitri mengangkat tubuh kecil anaknya. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir tanpa bisa dibendung lagi.

Setelah membaringkan Esa di kamar belakang, Bibi Safitri kembali dengan segelas es jeruk di tangannya. "Minum dulu, Dina. Kamu kelihatan sangat lelah."

Dina mengambil gelas itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Bi."

Bibi Safitri duduk di samping Dina, memandangnya penuh kekhawatiran. "Sekarang ceritakan pada Bibi, ada apa sebenarnya? Kenapa kamu datang ke sini? Apa Raka melakukan sesuatu padamu?"

Dina menggigit bibirnya, menahan isak. "Aku... aku sudah tidak tahan lagi, Bi."

"Ada apa? Apa kalian bertengkar?"

Dina mengangguk. "Mas Raka... dia selingkuh, Bi. Aku menemukan noda lipstik di bajunya, dan baunya seperti parfum wanita lain."

Bibi Safitri menutup mulutnya, terkejut. "Ya Tuhan, Dina... Kamu sudah bicara padanya?"

"Aku sudah tanya langsung. Awalnya dia mengelak, tapi akhirnya dia mengaku. Katanya... katanya dia memang ingin menikah lagi. Dengan bosnya sendiri."

Bibi Safitri terperangah. "Kenapa bisa begitu? Apa alasannya?"

"Dia bilang, bosnya itu bisa memberikan uang untuk kebutuhan kami. Katanya dia melakukannya demi aku dan Esa. Tapi... bagaimana mungkin? Selama ini aku tidak pernah menuntut apa-apa. Aku tidak pernah meminta lebih dari sekadar kebutuhan sehari-hari," suara Dina bergetar, air matanya kembali mengalir deras.

Bibi Safitri mengusap punggung Dina perlahan. "Dina... Bibi tidak menyangka Raka bisa berpikir sependek itu. Dia seharusnya melindungimu, bukan malah membuatmu menderita."

"Tapi itu belum seberapa Bi, yang paling menyakitkan... dia bilang dia tidak yakin kalau Esa anaknya."

"Astaga!" Bibi Safitri menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Bagaimana mungkin dia mengatakan hal sekejam itu?"

Dina menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Bi. Aku sudah tidak tahu apa-apa lagi. Aku hanya ingin pergi. Aku tidak ingin Esa tumbuh mendengar kata-kata yang menyakitkan dari ayahnya sendiri."

Bibi Safitri menarik napas panjang. "Dina, kamu tenang dulu. Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau. Bibi juga akan bicara pada keluarga, memastikan tidak ada yang mengganggumu untuk sementara waktu."

"Terima kasih, Bi. Aku tidak tahu harus ke mana lagi."

Bibi Safitri memeluknya erat, membiarkan Dina meluapkan semua tangisannya. "Kamu sudah sangat kuat, Dina. Bibi tahu kamu sudah berusaha sebaik mungkin selama ini."

"Tapi aku merasa gagal, Bi. Aku tidak bisa membuat Mas Raka bahagia. Aku bahkan tidak bisa melindungi Esa..."

"Ssst... Jangan bicara begitu. Ini bukan salahmu. Tidak ada yang pantas diperlakukan seperti ini. Apalagi kamu dan Esa."

Dina mengusap wajahnya, mencoba mengembalikan ketenangannya. "Aku hanya ingin Esa tumbuh bahagia. Aku tidak mau dia melihat pertengkaran kami, merasakan kebencian di rumah kami."

Bibi Safitri mengangguk penuh pengertian. "Kamu ibu yang hebat, Dina. Mengambil keputusan untuk pergi bukanlah hal yang mudah. Kamu sudah melindungi Esa dengan cara yang terbaik."

"Sudah, jangan berpikir yang berat-berat dulu. Yang penting sekarang kamu istirahat. Biar Bibi yang urus Esa. Kamu tiduran saja dulu, ya?"

Dina hanya bisa mengangguk. Rasa lelah, bukan hanya di tubuh tapi juga di hatinya, membuatnya tak sanggup berkata-kata lagi.

Sementara itu, Bibi Safitri menatap Dina dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, keputusan Dina bukan hal yang mudah. Tapi ia juga tahu, perempuan itu sudah terlalu lama menahan luka batin yang mendalam.

Bibi Safitri menggigit bibirnya, ragu untuk mengatakan hal itu atau tidak. Ia merasa inilah waktu yang tepat untuk mengatakannya, namun di sisi lain, ia khawatir jika Dina akan semakin terpukul setelah mendengarnya.

Karena kenyataan yang sesungguhnya, bahkan jauh lebih menyakitkan dari apa yang ia kira.

Bab terkait

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    08 - Sepertinya Tidak Bisa Diperbaiki Lagi

    Bibi Safitri terdiam cukup lama setelah mendengar cerita Dina. Wajahnya menunjukkan ekspresi bimbang, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tetapi takut kata-katanya akan semakin melukai hati Dina."Bibi...?" Dina memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh harap. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"Bibi Safitri menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Dina. "Dina, sebelum Bibi cerita... Bibi mohon, kamu tenang, ya?"Dina merasa detak jantungnya semakin cepat. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. "Katakan saja, Bi. Aku... aku harus tahu."Wanita paruh baya itu menelan ludah, seolah kata-kata yang akan keluar begitu berat. "Sebenarnya... Bibi sudah lama mendengar kabar ini. Bukan hanya Bibi, mungkin hampir semua orang di desa ini juga tahu."Dina mengernyit. "Maksud Bibi apa?""Raka... Dia memang sering terlihat bersama wanita lain. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah cukup ser

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-08
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    09 - Aku Ingin Pulang

    "Kakak..." Telepon genggam di tangan Anggara nyaris terlepas saat mendengar suara Dina di seberang sana. Suara adiknya yang biasanya ceria kini terdengar parau, terselip isakan yang berusaha ia sembunyikan namun gagal. "Dina?" Anggara mencoba tetap tenang, meski setiap sarafnya menegang. "Kamu baik-baik saja?" "Ka-kak... Aku..." Hanya itu yang Dina katakan sebelum tenggelam dalam tangis yang terputus-putus. Suara serak, getir, seolah setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Awalnya ia pikir dirinya cukup kuat untuk menyembunyikan tangisan ini dari kakaknya. Namun entah mengapa, begitu mendengar suara lembut Angga memanggil namanya, tembok pertahanan Dina seolah jebol. Air mata yang sejak tadi sempat tertahan, langsung menyeruak ke permukaan. Anggara memejamkan mata, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia tahu pernikahan adiknya ini tidak berjalan mulus. Ia tahu sejak lama, di balik setiap senyum dan kata-kata "Aku baik-baik saja" dari bibir Dina, tersembunyi s

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-08
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 10 - Ruang untuk Bernapas

    Dina berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Udara dingin merayap melalui sela-sela jari kakinya yang hanya terbalut sandal tipis. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin tetapi juga karena gugup. Di sampingnya, Anggara berdiri dengan tenang, memberikan kekuatan melalui genggaman tangannya yang erat. "Siap?" tanya Anggara lembut. Dina tidak menjawab. Bibirnya terasa kelu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. Di gendongannya, Esa, putranya yang baru berusia tiga bulan, terlelap dalam balutan selimut hangat. Dina menyesuaikan posisi bayi mungil itu, memastikan wajahnya tetap hangat dan nyaman. Dengan napas yang ditahan, Anggara mengetuk pintu perlahan. Detik berikutnya, daun pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Celia yang sudah menunggunya. "Dina..." suara Celia terdengar begitu lembut, penuh kerinduan dan kasih sayang. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah sendu ketika mendapati keadaan putrinya. Tampak begitu ringkih dan berantakan. Kehidupan macam apa

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-09
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 11 - Luka yang Menganga

    Dina duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kayu yang dingin. Kamar ini begitu familiar namun terasa asing pada saat yang sama. Semua benda di dalamnya tetap sama, seolah-olah waktu berhenti sejak ia pergi tiga tahun lalu. Poster bunga mawar favoritnya masih terpasang di dinding, boneka beruang besar duduk manis di sudut ruangan, dan meja riasnya tetap tertata rapi, seakan menunggunya kembali.Esa terlelap di sampingnya, wajah mungilnya tampak begitu damai di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Dina mengulurkan tangan, jemarinya yang gemetar perlahan membelai pipi lembut bayinya."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya nyaris tanpa suara.Tidak ada yang bisa ia tutupi di depan bayi kecilnya. Bahkan dalam keheningan, kata-kata yang tak terucap mengalir begitu deras."Seharusnya Ibu tahu lebih baik. Seharusnya Ibu melindungimu sejak awal..."Esa hanya menggeliat pelan, bibirnya yang mungil bergerak seolah masih menyusu dalam tidurnya. Melihatnya, hati Dina mencelos. Betapa ban

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-09
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    01 - Susu Untuk Anakku

    "Sudah habis," keluh Dina sambil menguras kaleng susu dalam genggamannya sambil menghela napas panjang. Esa baru tiga bulan, tapi kebutuhannya semakin banyak. Setiap hari, bayi mungil itu menghabiskan susu lebih banyak dari sebelumnya. Awalnya, mereka mampu membeli susu formula merek premium, tapi kini harus beralih ke yang lebih murah karena gaji Raka benar-benar keteteran untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Dina meremas kaleng kosong itu sebelum membuangnya ke tempat sampah. Ia menatap lemari dapur yang semakin kosong. Stok popok Esa juga menipis. Ada banyak hal yang harus mereka beli, tapi uang yang ada hampir habis. Sedangkan ini, baru pertengahan bulan. Dina tahu Raka sudah berusaha, tapi gajinya memang tak pernah cukup. Saat Raka pulang malam itu, Dina segera membuatkan kopi untuknya. Setelah bekerja seharian, suaminya pasti lelah. Tapi susu Esa sudah habis sejak siang tadi, dan ia tidak bisa menunda untuk membicarakannya lagi. "Mas Raka, susunya Esa udah habis,"

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    02 - Ranjang yang Tak Lagi Hangat

    Dina membetulkan letak selimut di tubuhnya, menghadap punggung suaminya yang sudah terlelap tanpa kata. Matanya masih terbuka, menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang remang-remang. Di sudut ranjang, Esa tidur dengan damai, perut mungilnya naik turun dengan ritme yang tenang. Ia berusaha memejamkan mata, tapi pikirannya terus berputar, mengulang kejadian malam ini. Ketika dirinya sedang bercinta bersama suaminya. Entah masih bisa dibilang bercinta atau tidak, karena yang ia rasakan kini hanya hampa dan perasaan terabaikan. Harusnya ia tak lagi merasa kecewa. Harusnya kini ia justru merasa terbiasa. Karena ini bukan pertama kalinya Raka kehilangan gairah begitu Esa menangis. Bukan pertama kalinya ia merasa diabaikan ketika dirinya belum mencapai puncak kenikmatan. Awalnya, ia berusaha memahami. Bayi mereka masih kecil, tentu butuh perhatian lebih. Ia tidak keberatan jika Raka mengutamakan Esa. Itu memang sudah seharusnya. Tapi, ketika semua ini berulang-ulang terjadi, ketika

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    03 - Cinta Keluarga yang Ditinggalkan

    Setelah sarapan, Raka pergi bekerja seperti biasa. Dina kembali ke rutinitasnya—mencuci baju, merapikan rumah, mengurus Esa. Hingga tanpa terasa langit telah berubah warna menjadi jingga. Rutinitas melelahkan yang terasa terlalu monoton baginya.Dina kembali menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya hari itu, hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya.Ia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan situasi seperti ini.Apakah pernikahan mereka memang sudah berubah?Atau… ia yang terlalu berharap bahwa semuanya masih bisa kembali seperti dulu? Dina tengah menyetrika pakaian di ruang tengah ketika ponselnya yang sederhana bergetar di atas meja. Ia mengerutkan kening. Nomor itu… sudah sangat lama tidak menghubunginya. Dina menatap layar ponselnya, sedikit ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.“Halo?”“Dina,” suara berat di ujung telepon terdengar familiar, membuat hati Dina berdegup lebih cepat dan matanya mulai memanas.“Kak Angga?” tanyanya pelan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    04 - Penyesalan

    Di salah satu kedai kopi di pusat kota, Anggara meletakkan ponselnya di atas meja setelah berbicara dengan Dina. Wajahnya tampak sedikit murung, dan ia masih menatap layar ponsel itu seolah berharap ada pesan masuk dari adiknya.Di seberangnya, Reihan mengaduk kopinya dengan gerakan lambat, lalu mengangkat alis. “Jadi, bagaimana kabarnya?”Anggara menghela napas, menyandarkan punggungnya di kursi. “Dia bilang baik-baik saja.”Reihan menyipitkan mata. “Tapi kamu nggak percaya?”Anggara menatapnya sekilas sebelum mendengus kecil. “Dina terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Dia selalu bilang baik-baik saja, bahkan kalau dia sedang kesulitan.”Reihan ikut terdiam. Dalam hatinya, ia juga sudah menebak hal itu.“Setidaknya dia masih mau mengangkat teleponmu.” Reihan mencoba mencari sisi positif.“Tapi dia buru-buru mematikan telepon saat Raka pulang.” Anggara menatap Reihan dengan ekspresi penuh arti. “Aku nggak tahu apa itu karena dia takut, atau karena dia nggak mau Raka tahu dia men

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18

Bab terbaru

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 11 - Luka yang Menganga

    Dina duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kayu yang dingin. Kamar ini begitu familiar namun terasa asing pada saat yang sama. Semua benda di dalamnya tetap sama, seolah-olah waktu berhenti sejak ia pergi tiga tahun lalu. Poster bunga mawar favoritnya masih terpasang di dinding, boneka beruang besar duduk manis di sudut ruangan, dan meja riasnya tetap tertata rapi, seakan menunggunya kembali.Esa terlelap di sampingnya, wajah mungilnya tampak begitu damai di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Dina mengulurkan tangan, jemarinya yang gemetar perlahan membelai pipi lembut bayinya."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya nyaris tanpa suara.Tidak ada yang bisa ia tutupi di depan bayi kecilnya. Bahkan dalam keheningan, kata-kata yang tak terucap mengalir begitu deras."Seharusnya Ibu tahu lebih baik. Seharusnya Ibu melindungimu sejak awal..."Esa hanya menggeliat pelan, bibirnya yang mungil bergerak seolah masih menyusu dalam tidurnya. Melihatnya, hati Dina mencelos. Betapa ban

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    Bab 10 - Ruang untuk Bernapas

    Dina berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Udara dingin merayap melalui sela-sela jari kakinya yang hanya terbalut sandal tipis. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin tetapi juga karena gugup. Di sampingnya, Anggara berdiri dengan tenang, memberikan kekuatan melalui genggaman tangannya yang erat. "Siap?" tanya Anggara lembut. Dina tidak menjawab. Bibirnya terasa kelu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. Di gendongannya, Esa, putranya yang baru berusia tiga bulan, terlelap dalam balutan selimut hangat. Dina menyesuaikan posisi bayi mungil itu, memastikan wajahnya tetap hangat dan nyaman. Dengan napas yang ditahan, Anggara mengetuk pintu perlahan. Detik berikutnya, daun pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Celia yang sudah menunggunya. "Dina..." suara Celia terdengar begitu lembut, penuh kerinduan dan kasih sayang. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah sendu ketika mendapati keadaan putrinya. Tampak begitu ringkih dan berantakan. Kehidupan macam apa

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    09 - Aku Ingin Pulang

    "Kakak..." Telepon genggam di tangan Anggara nyaris terlepas saat mendengar suara Dina di seberang sana. Suara adiknya yang biasanya ceria kini terdengar parau, terselip isakan yang berusaha ia sembunyikan namun gagal. "Dina?" Anggara mencoba tetap tenang, meski setiap sarafnya menegang. "Kamu baik-baik saja?" "Ka-kak... Aku..." Hanya itu yang Dina katakan sebelum tenggelam dalam tangis yang terputus-putus. Suara serak, getir, seolah setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Awalnya ia pikir dirinya cukup kuat untuk menyembunyikan tangisan ini dari kakaknya. Namun entah mengapa, begitu mendengar suara lembut Angga memanggil namanya, tembok pertahanan Dina seolah jebol. Air mata yang sejak tadi sempat tertahan, langsung menyeruak ke permukaan. Anggara memejamkan mata, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia tahu pernikahan adiknya ini tidak berjalan mulus. Ia tahu sejak lama, di balik setiap senyum dan kata-kata "Aku baik-baik saja" dari bibir Dina, tersembunyi s

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    08 - Sepertinya Tidak Bisa Diperbaiki Lagi

    Bibi Safitri terdiam cukup lama setelah mendengar cerita Dina. Wajahnya menunjukkan ekspresi bimbang, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tetapi takut kata-katanya akan semakin melukai hati Dina."Bibi...?" Dina memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh harap. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"Bibi Safitri menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Dina. "Dina, sebelum Bibi cerita... Bibi mohon, kamu tenang, ya?"Dina merasa detak jantungnya semakin cepat. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. "Katakan saja, Bi. Aku... aku harus tahu."Wanita paruh baya itu menelan ludah, seolah kata-kata yang akan keluar begitu berat. "Sebenarnya... Bibi sudah lama mendengar kabar ini. Bukan hanya Bibi, mungkin hampir semua orang di desa ini juga tahu."Dina mengernyit. "Maksud Bibi apa?""Raka... Dia memang sering terlihat bersama wanita lain. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah cukup ser

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    07 - Masih Berharap

    Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda. Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya. Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar. Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    06 - Akhir Sebuah Kesabaran

    Pagi itu, udara di desa terasa lebih dingin dari biasanya. Angin sejuk bertiup pelan, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan semalam. Matahari sudah mulai naik, tapi di dalam rumah kecil itu, suasana justru terasa berat dan menyesakkan. Dina berdiri di dapur, memandangi panci di atas kompor tanpa benar-benar melihatnya. Tangannya menggenggam sendok kayu, tapi pikirannya tidak berada di sana. Ia memikirkan kembali kejadian semalam—pakaian Raka yang beraroma parfum wanita, noda lipstik yang mencolok di kerah bajunya, dan perasaannya yang bercampur aduk antara marah, kecewa, serta sakit hati. Hari ini, ia akan bertanya langsung. Ia harus mendapatkan jawaban. Dari dalam kamar, ia bisa mendengar suara Raka yang baru bangun, suara pintu kamar yang terbuka, lalu langkah beratnya menuju ruang tamu. Hari ini adalah Minggu, Raka tidak bekerja. Mertuanya juga sedang pergi membantu tetangga seperti biasa. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Dina menarik napas panjang, men

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    05 - Menangis Dalam Diam

    Dina berjalan tergesa di sepanjang jalan setapak menuju puskesmas desa, menggendong Esa yang kepalanya bersandar lemah di bahunya. Tubuh kecil itu panas, napasnya sedikit berat, dan sesekali ia merengek pelan. Dina mengecup kening putranya, memastikan suhu tubuhnya tidak semakin tinggi.Setelah hampir lima belas menit berjalan kaki, akhirnya Dina sampai di puskesmas desa. Bangunan itu tidak terlalu besar, tapi cukup memadai untuk menangani pasien dengan keluhan ringan. Ruang tunggu dipenuhi ibu-ibu dengan anak-anak mereka. Beberapa di antara mereka ditemani suami, yang dengan sabar membantu menggendong anak atau sekadar memberikan dukungan.Dina menarik napas dalam dan berjalan ke meja pendaftaran.“Nama pasien?” tanya petugas pendaftaran.“Mahesa Pradana,” jawab Dina. “Demam sejak kemarin sore.”Petugas itu mencatat di buku, lalu memberikan nomor antrean.“Silakan tunggu, Bu. Nanti akan dipanggil.”Dina mengangguk dan berjalan ke bangku panjang yang masih kosong. Ia duduk dengan hati

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    04 - Penyesalan

    Di salah satu kedai kopi di pusat kota, Anggara meletakkan ponselnya di atas meja setelah berbicara dengan Dina. Wajahnya tampak sedikit murung, dan ia masih menatap layar ponsel itu seolah berharap ada pesan masuk dari adiknya.Di seberangnya, Reihan mengaduk kopinya dengan gerakan lambat, lalu mengangkat alis. “Jadi, bagaimana kabarnya?”Anggara menghela napas, menyandarkan punggungnya di kursi. “Dia bilang baik-baik saja.”Reihan menyipitkan mata. “Tapi kamu nggak percaya?”Anggara menatapnya sekilas sebelum mendengus kecil. “Dina terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Dia selalu bilang baik-baik saja, bahkan kalau dia sedang kesulitan.”Reihan ikut terdiam. Dalam hatinya, ia juga sudah menebak hal itu.“Setidaknya dia masih mau mengangkat teleponmu.” Reihan mencoba mencari sisi positif.“Tapi dia buru-buru mematikan telepon saat Raka pulang.” Anggara menatap Reihan dengan ekspresi penuh arti. “Aku nggak tahu apa itu karena dia takut, atau karena dia nggak mau Raka tahu dia men

  • Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri    03 - Cinta Keluarga yang Ditinggalkan

    Setelah sarapan, Raka pergi bekerja seperti biasa. Dina kembali ke rutinitasnya—mencuci baju, merapikan rumah, mengurus Esa. Hingga tanpa terasa langit telah berubah warna menjadi jingga. Rutinitas melelahkan yang terasa terlalu monoton baginya.Dina kembali menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya hari itu, hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya.Ia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan situasi seperti ini.Apakah pernikahan mereka memang sudah berubah?Atau… ia yang terlalu berharap bahwa semuanya masih bisa kembali seperti dulu? Dina tengah menyetrika pakaian di ruang tengah ketika ponselnya yang sederhana bergetar di atas meja. Ia mengerutkan kening. Nomor itu… sudah sangat lama tidak menghubunginya. Dina menatap layar ponselnya, sedikit ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.“Halo?”“Dina,” suara berat di ujung telepon terdengar familiar, membuat hati Dina berdegup lebih cepat dan matanya mulai memanas.“Kak Angga?” tanyanya pelan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status