Setelah sarapan, Raka pergi bekerja seperti biasa. Dina kembali ke rutinitasnya—mencuci baju, merapikan rumah, mengurus Esa. Hingga tanpa terasa langit telah berubah warna menjadi jingga. Rutinitas melelahkan yang terasa terlalu monoton baginya.
Dina kembali menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya hari itu, hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan situasi seperti ini. Apakah pernikahan mereka memang sudah berubah? Atau… ia yang terlalu berharap bahwa semuanya masih bisa kembali seperti dulu? Dina tengah menyetrika pakaian di ruang tengah ketika ponselnya yang sederhana bergetar di atas meja. Ia mengerutkan kening. Nomor itu… sudah sangat lama tidak menghubunginya. Dina menatap layar ponselnya, sedikit ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan. “Halo?” “Dina,” suara berat di ujung telepon terdengar familiar, membuat hati Dina berdegup lebih cepat dan matanya mulai memanas. “Kak Angga?” tanyanya pelan, nyaris tidak percaya. “Ya. Kamu apa kabar?” Dina menggigit bibirnya. Ia sudah lama tidak mendengar suara kakak tertuanya itu. Sejak menikah dengan Raka, hubungan dengan keluarganya memang merenggang. Keluarga besarnya, terutama ayah dan kakak-kakaknya, tak pernah setuju dengan Raka. Mereka menganggap laki-laki itu tidak pantas untuknya, dan mungkin sekarang… mereka terbukti benar. Tapi Dina tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Ia menelan ludah, mencoba berbicara dengan nada ceria. “Aku baik, Kak. Kakak sendiri gimana?” “Baik. Kamu yakin baik-baik saja?” Dina terdiam. Sepertinya kakaknya masih bisa membaca kebohongannya meskipun hanya lewat suara. “Dina…” suara Anggara terdengar lebih lembut sekarang, seperti sedang menahan diri agar tidak menegur adiknya terlalu keras. “Kakak tahu kamu pasti sedang kesulitan. Kamu bisa cerita apa saja ke kami, Dek. Kami ini keluargamu.” Dina meremas sudut bajunya. Ingin sekali rasanya ia menangis, mengadu pada kakaknya, mengatakan bahwa ia lelah, bahwa hidupnya tidak seperti yang ia bayangkan. Tapi… “Tapi aku baik-baik saja, Kak,” kata Dina akhirnya, memaksa suaranya terdengar mantap. Ada jeda di seberang sana. Lalu Anggara menghela napas panjang. “Dina, kalau kamu butuh sesuatu, pulanglah. Kami saudaramu, Ayah dan Ibu selalu menunggumu. Kamu tidak akan sendirian.” Dina menutup matanya erat. Seandainya semuanya semudah itu. “Dina?” “Iya, Kak.” “Apa Raka memperlakukanmu dengan baik?” Dina terkejut mendengar pertanyaan itu. “Tentu saja,” jawabnya cepat, meskipun hatinya sendiri ragu. Anggara tidak langsung menanggapi, seolah mempertimbangkan sesuatu. “Kakak nggak mau memaksamu untuk cerita, tapi kamu harus tahu, keluarga kita akan selalu ada untukmu.” Dina tersenyum kecil, meskipun air mata sudah menggenang di sudut matanya. “Terima kasih, Kak.” Sebelum percakapan bisa berlanjut lebih jauh, suara pintu depan yang terbuka membuat Dina tersentak. Ia langsung melihat ke arah Raka yang baru saja pulang dengan wajah lelah. Panik, Dina buru-buru mematikan telepon dan menyelipkan ponselnya di bawah lipatan pakaian yang baru disetrikanya. Raka melirik ke arahnya sekilas. “Kamu telepon siapa?” Dina menggeleng cepat. “Bukan siapa-siapa.” Raka tidak langsung menjawab. Matanya menyipit, seolah berusaha mencari kebohongan dalam ekspresi Dina. “Dina…” suaranya mulai terdengar lebih rendah, mengandung ancaman halus. “Jangan bilang kamu masih menghubungi keluargamu di belakangku.” Dina menahan napas, berusaha terlihat santai. “Aku cuma menelepon teman.” Raka mendekat. “Teman? Siapa?” Jantung Dina berdebar kencang. Ia tahu Raka tidak suka jika ia masih berhubungan dengan keluarganya. Pernah suatu kali, di awal pernikahan mereka, Raka memergoki Dina sedang menelepon ibunya. Saat itu, suaminya langsung marah besar, merasa dikhianati. “Kalau kamu lebih memilih keluargamu daripada aku, silakan pergi! Aku nggak butuh istri yang masih bergantung pada orang tuanya!” Kata-kata itu terus terngiang di kepala Dina hingga sekarang. Ia tidak ingin pertengkaran yang sama terulang lagi. Maka dengan suara yang dibuat setenang mungkin, ia berkata, “Aku cuma menerima telepon dari teman lama. Karena sudah jarang bertemu, dia menanyakan kabarku.” Raka masih menatapnya curiga, tapi akhirnya ia menghela napas dan mengacak rambutnya dengan frustrasi. “Aku capek,” katanya akhirnya. “Bikin kopi.” Dina segera mengangguk dan bergegas ke dapur, merasa sedikit lega karena Raka tidak bertanya lebih jauh. Tapi di dalam hatinya, ia masih gelisah. Percakapan dengan Anggara tadi membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Kerinduan. Kepada keluarga yang selama ini ia tinggalkan demi Raka. Kepada kehidupannya dulu yang jauh lebih baik. Dina menggigit bibirnya. Haruskah ia pulang? Setidaknya untuk sementara waktu? Tapi… apakah Raka akan mengizinkannya? Atau, lebih tepatnya… apakah ia masih berani menghadapi keluarganya setelah semua yang terjadi? Dina menghela napas panjang. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia telah menjatuhkan pilihannya untuk pergi bersama Raka. Jadi kini, ia harus menerima konsekuensi dari keputusannya. Setelah menyerahkan secangkir kopi kepada Raka, Dina duduk kembali di ruang tengah, pura-pura sibuk melipat pakaian agar suaminya tidak lagi mencurigainya. Raka menyeruput kopinya perlahan, wajahnya masih menyiratkan kelelahan, tapi juga ketidaksabaran yang samar. Beberapa saat mereka hanya diam. Suara televisi yang menyala tanpa ada yang benar-benar menonton menjadi satu-satunya pengisi ruangan. Dina melirik suaminya dari sudut mata, menimbang-nimbang apakah ia harus kembali membuka pembicaraan atau lebih baik membiarkan malam berlalu begitu saja. Tapi sebelum ia sempat memutuskan, Raka sudah lebih dulu berbicara. “Besok, aku pulang agak larut.” Dina mengangkat kepala. “Kenapa?” “Ada makan malam bisnis. Penting.” Dina menelan ludah. “Sampai jam berapa?” Raka mengangkat bahu. “Nggak tahu. Bisa sampai tengah malam, mungkin lebih.” Dina menggigit bibirnya, berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. “Jadi aku nggak perlu nungguin untuk makan malam?” tanyanya pelan. “Ya. Jangan repot-repot.” Dina mengangguk, meskipun hatinya terasa semakin berat. Bukan sekali dua kali Raka menghadiri acara semacam ini, tapi entah kenapa kali ini perasaannya lebih buruk daripada sebelumnya. Mungkin karena selama ini ia sudah terlalu sering merasa diabaikan. Atau mungkin karena ia takut bahwa ‘makan malam bisnis’ itu bukan sekadar urusan pekerjaan semata. Tapi ia tidak punya keberanian untuk menanyakannya. Raka meletakkan cangkir kopinya, lalu berdiri. “Aku mau istirahat. Jangan berisik.” Dina hanya bisa mengangguk lagi, menunduk dalam diam. Ia mendengar langkah kaki Raka menjauh, suara pintu kamar yang terbuka dan tertutup kembali. Dan di saat itulah, ia menyadari bahwa ia sudah mulai kehilangan tempatnya di sisi Raka. Atau mungkin, ia sudah kehilangan sejak lama. Ia hanya terlalu takut untuk mengakuinya.Di salah satu kedai kopi di pusat kota, Anggara meletakkan ponselnya di atas meja setelah berbicara dengan Dina. Wajahnya tampak sedikit murung, dan ia masih menatap layar ponsel itu seolah berharap ada pesan masuk dari adiknya.Di seberangnya, Reihan mengaduk kopinya dengan gerakan lambat, lalu mengangkat alis. “Jadi, bagaimana kabarnya?”Anggara menghela napas, menyandarkan punggungnya di kursi. “Dia bilang baik-baik saja.”Reihan menyipitkan mata. “Tapi kamu nggak percaya?”Anggara menatapnya sekilas sebelum mendengus kecil. “Dina terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Dia selalu bilang baik-baik saja, bahkan kalau dia sedang kesulitan.”Reihan ikut terdiam. Dalam hatinya, ia juga sudah menebak hal itu.“Setidaknya dia masih mau mengangkat teleponmu.” Reihan mencoba mencari sisi positif.“Tapi dia buru-buru mematikan telepon saat Raka pulang.” Anggara menatap Reihan dengan ekspresi penuh arti. “Aku nggak tahu apa itu karena dia takut, atau karena dia nggak mau Raka tahu dia men
Dina berjalan tergesa di sepanjang jalan setapak menuju puskesmas desa, menggendong Esa yang kepalanya bersandar lemah di bahunya. Tubuh kecil itu panas, napasnya sedikit berat, dan sesekali ia merengek pelan. Dina mengecup kening putranya, memastikan suhu tubuhnya tidak semakin tinggi.Setelah hampir lima belas menit berjalan kaki, akhirnya Dina sampai di puskesmas desa. Bangunan itu tidak terlalu besar, tapi cukup memadai untuk menangani pasien dengan keluhan ringan. Ruang tunggu dipenuhi ibu-ibu dengan anak-anak mereka. Beberapa di antara mereka ditemani suami, yang dengan sabar membantu menggendong anak atau sekadar memberikan dukungan.Dina menarik napas dalam dan berjalan ke meja pendaftaran.“Nama pasien?” tanya petugas pendaftaran.“Mahesa Pradana,” jawab Dina. “Demam sejak kemarin sore.”Petugas itu mencatat di buku, lalu memberikan nomor antrean.“Silakan tunggu, Bu. Nanti akan dipanggil.”Dina mengangguk dan berjalan ke bangku panjang yang masih kosong. Ia duduk dengan hati
Pagi itu, udara di desa terasa lebih dingin dari biasanya. Angin sejuk bertiup pelan, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan semalam. Matahari sudah mulai naik, tapi di dalam rumah kecil itu, suasana justru terasa berat dan menyesakkan. Dina berdiri di dapur, memandangi panci di atas kompor tanpa benar-benar melihatnya. Tangannya menggenggam sendok kayu, tapi pikirannya tidak berada di sana. Ia memikirkan kembali kejadian semalam—pakaian Raka yang beraroma parfum wanita, noda lipstik yang mencolok di kerah bajunya, dan perasaannya yang bercampur aduk antara marah, kecewa, serta sakit hati. Hari ini, ia akan bertanya langsung. Ia harus mendapatkan jawaban. Dari dalam kamar, ia bisa mendengar suara Raka yang baru bangun, suara pintu kamar yang terbuka, lalu langkah beratnya menuju ruang tamu. Hari ini adalah Minggu, Raka tidak bekerja. Mertuanya juga sedang pergi membantu tetangga seperti biasa. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Dina menarik napas panjang, men
Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda. Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya. Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar. Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil
Bibi Safitri terdiam cukup lama setelah mendengar cerita Dina. Wajahnya menunjukkan ekspresi bimbang, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tetapi takut kata-katanya akan semakin melukai hati Dina."Bibi...?" Dina memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh harap. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"Bibi Safitri menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Dina. "Dina, sebelum Bibi cerita... Bibi mohon, kamu tenang, ya?"Dina merasa detak jantungnya semakin cepat. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. "Katakan saja, Bi. Aku... aku harus tahu."Wanita paruh baya itu menelan ludah, seolah kata-kata yang akan keluar begitu berat. "Sebenarnya... Bibi sudah lama mendengar kabar ini. Bukan hanya Bibi, mungkin hampir semua orang di desa ini juga tahu."Dina mengernyit. "Maksud Bibi apa?""Raka... Dia memang sering terlihat bersama wanita lain. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah cukup ser
"Kakak..." Telepon genggam di tangan Anggara nyaris terlepas saat mendengar suara Dina di seberang sana. Suara adiknya yang biasanya ceria kini terdengar parau, terselip isakan yang berusaha ia sembunyikan namun gagal. "Dina?" Anggara mencoba tetap tenang, meski setiap sarafnya menegang. "Kamu baik-baik saja?" "Ka-kak... Aku..." Hanya itu yang Dina katakan sebelum tenggelam dalam tangis yang terputus-putus. Suara serak, getir, seolah setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Awalnya ia pikir dirinya cukup kuat untuk menyembunyikan tangisan ini dari kakaknya. Namun entah mengapa, begitu mendengar suara lembut Angga memanggil namanya, tembok pertahanan Dina seolah jebol. Air mata yang sejak tadi sempat tertahan, langsung menyeruak ke permukaan. Anggara memejamkan mata, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia tahu pernikahan adiknya ini tidak berjalan mulus. Ia tahu sejak lama, di balik setiap senyum dan kata-kata "Aku baik-baik saja" dari bibir Dina, tersembunyi s
Dina berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Udara dingin merayap melalui sela-sela jari kakinya yang hanya terbalut sandal tipis. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin tetapi juga karena gugup. Di sampingnya, Anggara berdiri dengan tenang, memberikan kekuatan melalui genggaman tangannya yang erat. "Siap?" tanya Anggara lembut. Dina tidak menjawab. Bibirnya terasa kelu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. Di gendongannya, Esa, putranya yang baru berusia tiga bulan, terlelap dalam balutan selimut hangat. Dina menyesuaikan posisi bayi mungil itu, memastikan wajahnya tetap hangat dan nyaman. Dengan napas yang ditahan, Anggara mengetuk pintu perlahan. Detik berikutnya, daun pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Celia yang sudah menunggunya. "Dina..." suara Celia terdengar begitu lembut, penuh kerinduan dan kasih sayang. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah sendu ketika mendapati keadaan putrinya. Tampak begitu ringkih dan berantakan. Kehidupan macam apa
Dina duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kayu yang dingin. Kamar ini begitu familiar namun terasa asing pada saat yang sama. Semua benda di dalamnya tetap sama, seolah-olah waktu berhenti sejak ia pergi tiga tahun lalu. Poster bunga mawar favoritnya masih terpasang di dinding, boneka beruang besar duduk manis di sudut ruangan, dan meja riasnya tetap tertata rapi, seakan menunggunya kembali.Esa terlelap di sampingnya, wajah mungilnya tampak begitu damai di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Dina mengulurkan tangan, jemarinya yang gemetar perlahan membelai pipi lembut bayinya."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya nyaris tanpa suara.Tidak ada yang bisa ia tutupi di depan bayi kecilnya. Bahkan dalam keheningan, kata-kata yang tak terucap mengalir begitu deras."Seharusnya Ibu tahu lebih baik. Seharusnya Ibu melindungimu sejak awal..."Esa hanya menggeliat pelan, bibirnya yang mungil bergerak seolah masih menyusu dalam tidurnya. Melihatnya, hati Dina mencelos. Betapa ban
Dina duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kayu yang dingin. Kamar ini begitu familiar namun terasa asing pada saat yang sama. Semua benda di dalamnya tetap sama, seolah-olah waktu berhenti sejak ia pergi tiga tahun lalu. Poster bunga mawar favoritnya masih terpasang di dinding, boneka beruang besar duduk manis di sudut ruangan, dan meja riasnya tetap tertata rapi, seakan menunggunya kembali.Esa terlelap di sampingnya, wajah mungilnya tampak begitu damai di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Dina mengulurkan tangan, jemarinya yang gemetar perlahan membelai pipi lembut bayinya."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya nyaris tanpa suara.Tidak ada yang bisa ia tutupi di depan bayi kecilnya. Bahkan dalam keheningan, kata-kata yang tak terucap mengalir begitu deras."Seharusnya Ibu tahu lebih baik. Seharusnya Ibu melindungimu sejak awal..."Esa hanya menggeliat pelan, bibirnya yang mungil bergerak seolah masih menyusu dalam tidurnya. Melihatnya, hati Dina mencelos. Betapa ban
Dina berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Udara dingin merayap melalui sela-sela jari kakinya yang hanya terbalut sandal tipis. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin tetapi juga karena gugup. Di sampingnya, Anggara berdiri dengan tenang, memberikan kekuatan melalui genggaman tangannya yang erat. "Siap?" tanya Anggara lembut. Dina tidak menjawab. Bibirnya terasa kelu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. Di gendongannya, Esa, putranya yang baru berusia tiga bulan, terlelap dalam balutan selimut hangat. Dina menyesuaikan posisi bayi mungil itu, memastikan wajahnya tetap hangat dan nyaman. Dengan napas yang ditahan, Anggara mengetuk pintu perlahan. Detik berikutnya, daun pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Celia yang sudah menunggunya. "Dina..." suara Celia terdengar begitu lembut, penuh kerinduan dan kasih sayang. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah sendu ketika mendapati keadaan putrinya. Tampak begitu ringkih dan berantakan. Kehidupan macam apa
"Kakak..." Telepon genggam di tangan Anggara nyaris terlepas saat mendengar suara Dina di seberang sana. Suara adiknya yang biasanya ceria kini terdengar parau, terselip isakan yang berusaha ia sembunyikan namun gagal. "Dina?" Anggara mencoba tetap tenang, meski setiap sarafnya menegang. "Kamu baik-baik saja?" "Ka-kak... Aku..." Hanya itu yang Dina katakan sebelum tenggelam dalam tangis yang terputus-putus. Suara serak, getir, seolah setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Awalnya ia pikir dirinya cukup kuat untuk menyembunyikan tangisan ini dari kakaknya. Namun entah mengapa, begitu mendengar suara lembut Angga memanggil namanya, tembok pertahanan Dina seolah jebol. Air mata yang sejak tadi sempat tertahan, langsung menyeruak ke permukaan. Anggara memejamkan mata, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia tahu pernikahan adiknya ini tidak berjalan mulus. Ia tahu sejak lama, di balik setiap senyum dan kata-kata "Aku baik-baik saja" dari bibir Dina, tersembunyi s
Bibi Safitri terdiam cukup lama setelah mendengar cerita Dina. Wajahnya menunjukkan ekspresi bimbang, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tetapi takut kata-katanya akan semakin melukai hati Dina."Bibi...?" Dina memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh harap. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"Bibi Safitri menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Dina. "Dina, sebelum Bibi cerita... Bibi mohon, kamu tenang, ya?"Dina merasa detak jantungnya semakin cepat. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. "Katakan saja, Bi. Aku... aku harus tahu."Wanita paruh baya itu menelan ludah, seolah kata-kata yang akan keluar begitu berat. "Sebenarnya... Bibi sudah lama mendengar kabar ini. Bukan hanya Bibi, mungkin hampir semua orang di desa ini juga tahu."Dina mengernyit. "Maksud Bibi apa?""Raka... Dia memang sering terlihat bersama wanita lain. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah cukup ser
Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda. Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya. Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar. Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil
Pagi itu, udara di desa terasa lebih dingin dari biasanya. Angin sejuk bertiup pelan, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan semalam. Matahari sudah mulai naik, tapi di dalam rumah kecil itu, suasana justru terasa berat dan menyesakkan. Dina berdiri di dapur, memandangi panci di atas kompor tanpa benar-benar melihatnya. Tangannya menggenggam sendok kayu, tapi pikirannya tidak berada di sana. Ia memikirkan kembali kejadian semalam—pakaian Raka yang beraroma parfum wanita, noda lipstik yang mencolok di kerah bajunya, dan perasaannya yang bercampur aduk antara marah, kecewa, serta sakit hati. Hari ini, ia akan bertanya langsung. Ia harus mendapatkan jawaban. Dari dalam kamar, ia bisa mendengar suara Raka yang baru bangun, suara pintu kamar yang terbuka, lalu langkah beratnya menuju ruang tamu. Hari ini adalah Minggu, Raka tidak bekerja. Mertuanya juga sedang pergi membantu tetangga seperti biasa. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Dina menarik napas panjang, men
Dina berjalan tergesa di sepanjang jalan setapak menuju puskesmas desa, menggendong Esa yang kepalanya bersandar lemah di bahunya. Tubuh kecil itu panas, napasnya sedikit berat, dan sesekali ia merengek pelan. Dina mengecup kening putranya, memastikan suhu tubuhnya tidak semakin tinggi.Setelah hampir lima belas menit berjalan kaki, akhirnya Dina sampai di puskesmas desa. Bangunan itu tidak terlalu besar, tapi cukup memadai untuk menangani pasien dengan keluhan ringan. Ruang tunggu dipenuhi ibu-ibu dengan anak-anak mereka. Beberapa di antara mereka ditemani suami, yang dengan sabar membantu menggendong anak atau sekadar memberikan dukungan.Dina menarik napas dalam dan berjalan ke meja pendaftaran.“Nama pasien?” tanya petugas pendaftaran.“Mahesa Pradana,” jawab Dina. “Demam sejak kemarin sore.”Petugas itu mencatat di buku, lalu memberikan nomor antrean.“Silakan tunggu, Bu. Nanti akan dipanggil.”Dina mengangguk dan berjalan ke bangku panjang yang masih kosong. Ia duduk dengan hati
Di salah satu kedai kopi di pusat kota, Anggara meletakkan ponselnya di atas meja setelah berbicara dengan Dina. Wajahnya tampak sedikit murung, dan ia masih menatap layar ponsel itu seolah berharap ada pesan masuk dari adiknya.Di seberangnya, Reihan mengaduk kopinya dengan gerakan lambat, lalu mengangkat alis. “Jadi, bagaimana kabarnya?”Anggara menghela napas, menyandarkan punggungnya di kursi. “Dia bilang baik-baik saja.”Reihan menyipitkan mata. “Tapi kamu nggak percaya?”Anggara menatapnya sekilas sebelum mendengus kecil. “Dina terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Dia selalu bilang baik-baik saja, bahkan kalau dia sedang kesulitan.”Reihan ikut terdiam. Dalam hatinya, ia juga sudah menebak hal itu.“Setidaknya dia masih mau mengangkat teleponmu.” Reihan mencoba mencari sisi positif.“Tapi dia buru-buru mematikan telepon saat Raka pulang.” Anggara menatap Reihan dengan ekspresi penuh arti. “Aku nggak tahu apa itu karena dia takut, atau karena dia nggak mau Raka tahu dia men
Setelah sarapan, Raka pergi bekerja seperti biasa. Dina kembali ke rutinitasnya—mencuci baju, merapikan rumah, mengurus Esa. Hingga tanpa terasa langit telah berubah warna menjadi jingga. Rutinitas melelahkan yang terasa terlalu monoton baginya.Dina kembali menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya hari itu, hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya.Ia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan situasi seperti ini.Apakah pernikahan mereka memang sudah berubah?Atau… ia yang terlalu berharap bahwa semuanya masih bisa kembali seperti dulu? Dina tengah menyetrika pakaian di ruang tengah ketika ponselnya yang sederhana bergetar di atas meja. Ia mengerutkan kening. Nomor itu… sudah sangat lama tidak menghubunginya. Dina menatap layar ponselnya, sedikit ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.“Halo?”“Dina,” suara berat di ujung telepon terdengar familiar, membuat hati Dina berdegup lebih cepat dan matanya mulai memanas.“Kak Angga?” tanyanya pelan