Dina membetulkan letak selimut di tubuhnya, menghadap punggung suaminya yang sudah terlelap tanpa kata. Matanya masih terbuka, menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang remang-remang. Di sudut ranjang, Esa tidur dengan damai, perut mungilnya naik turun dengan ritme yang tenang.
Ia berusaha memejamkan mata, tapi pikirannya terus berputar, mengulang kejadian malam ini. Ketika dirinya sedang bercinta bersama suaminya. Entah masih bisa dibilang bercinta atau tidak, karena yang ia rasakan kini hanya hampa dan perasaan terabaikan. Harusnya ia tak lagi merasa kecewa. Harusnya kini ia justru merasa terbiasa. Karena ini bukan pertama kalinya Raka kehilangan gairah begitu Esa menangis. Bukan pertama kalinya ia merasa diabaikan ketika dirinya belum mencapai puncak kenikmatan. Awalnya, ia berusaha memahami. Bayi mereka masih kecil, tentu butuh perhatian lebih. Ia tidak keberatan jika Raka mengutamakan Esa. Itu memang sudah seharusnya. Tapi, ketika semua ini berulang-ulang terjadi, ketika Raka terus membuatnya merasa tidak diinginkan, bagaimana mungkin Dina tidak mulai mempertanyakan dirinya sendiri? Apakah ia sudah tidak menarik lagi di mata suaminya? Atau… apakah ada hal lain yang berubah dalam hubungan mereka? Dina menelan ludah. Dulu, di awal pernikahan mereka, Raka selalu penuh semangat. Ia tak pernah keberatan jika Esa terbangun di tengah malam. Jika tangisan bayi mereka mengganggu, ia tetap bisa kembali mencarinya setelah situasi terkendali. Tapi sekarang? Setiap kali Esa menangis, Raka seperti kehilangan minat. Ia tidak berusaha lagi. Hanya diam, lalu berbalik, membiarkan Dina mengurus semuanya sendiri. Dina menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah Raka yang tidur memunggunginya. “Mas Raka…” suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Tidak ada jawaban. Dina menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya mungkin sudah benar-benar tertidur, atau pura-pura tidak mendengar. Ia ingin bertanya. Apakah aku masih cukup bagimu? Apakah aku masih istrimu seperti dulu? Tapi suara itu terhenti di tenggorokannya. Mungkin ia terlalu takut mendengar jawabannya. --- Pagi harinya, Dina bangun lebih awal seperti biasa. Langkahnya terasa berat ketika ia pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Ia menyiapkan nasi, sayur bening, dan beberapa lauk sederhana. Tidak ada yang spesial. Sejak menikah, masakannya lebih banyak dibuat dalam versi hemat. Raka sering mengeluh soal uang, jadi Dina harus pandai-pandai mengatur pengeluaran. Mertuanya sudah berangkat pagi-pagi sekali ke rumah tetangga, untuk membantu membuat kue. Biasanya ia mendapatkan upah lima puluh ribu perhari. Lumayan, dari pada tidak sama sekali. Mertuanya yang lelaki sudah lama meninggal, bahkan sebelum Dina mengenal Raka. Entah ini sesuatu yang harus disesalkan atau disyukuri, karena dari ucapan tetangga, rata-rata mengatakan jika ayah mertuanya itu, dulunya adalah seorang pria kasar dan memiliki ego yang tinggi. Saat tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Dina menoleh dan melihat Raka berjalan keluar dari kamar dengan wajah kusut. “Selamat pagi,” sapa Dina pelan. Raka hanya bergumam pendek, lalu duduk di kursi meja makan. Dina meletakkan secangkir teh di depannya. “Aku sudah siapkan sarapan.” Raka hanya mengangguk. Ia menyendok nasi dan mulai makan tanpa berkata apa-apa. Dina ikut duduk di hadapannya, mencoba mencari waktu yang tepat untuk berbicara. “Mas Raka,” panggilnya pelan. “Hm?” “Aku mau tanya sesuatu.” Raka berhenti mengunyah, menatapnya sekilas. “Apa?” Dina menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri. “Apa aku sudah tidak menarik lagi buat kamu?” Kening Raka berkerut. “Apa maksudmu?” Dina menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuannya. “Aku merasa… kamu semakin jauh. Kita semakin jarang bicara. Bahkan ketika kita… bersama, rasanya kamu tidak benar-benar ada di sana.” Suaminya mendengus. “Kamu berpikir terlalu jauh, Dina.” “Benarkah?” Raka meletakkan sendoknya dengan agak kasar. “Dina, aku capek. Aku kerja dari pagi sampai malam, pulang ke rumah aku cuma ingin istirahat. Aku nggak punya waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu.” Dina meremas jemarinya lebih erat. “Jadi… menurutmu ini cuma hal sepele?” Wajah Raka semakin tegang. “Dina, tolonglah! Aku kerja untuk kita, aku capek. Pagi-pagi malah harus dengar keluhan nggak jelas kayak gini!” Dina menatapnya, dadanya terasa sesak. “Aku hanya ingin tahu, Raka. Aku ingin tahu apakah aku masih cukup buat kamu.” “Omong kosong apa lagi ini?” Raka menekan suaranya, tetapi nada marahnya jelas terdengar. “Kalau aku nggak tertarik sama kamu lagi, aku nggak akan pulang tiap malam! Aku nggak akan duduk di sini makan masakanmu! Apa itu belum cukup?” Dina terkesiap. “Jadi menurutmu, cukup dengan pulang ke rumah dan makan di sini sudah membuktikan semuanya?” Raka berdiri tiba-tiba, kursi bergeser kasar di lantai. “Dina, aku nggak punya waktu untuk drama kayak gini! Kalau kamu mau curiga atau merasa nggak puas, ya terserah! Aku udah cukup lelah dengan kerjaan di luar, jangan tambah beban buat aku di rumah!” Dina terdiam. Kata-kata itu terasa seperti tamparan. Raka menatapnya sekilas, lalu mendengus. “Aku berangkat.” Tanpa menunggu respon, ia meraih tas kerjanya, berjalan keluar, dan membanting pintu sedikit lebih keras dari biasanya. Dina masih duduk di tempatnya, jari-jarinya gemetar di atas meja. Ia mengalihkan pandangannya ke cangkir teh Raka yang masih penuh. Pagi ini, sekali lagi, ia merasa bahwa dirinya hanyalah bayangan dalam rumah ini. Hanya seseorang yang ada di sana. Bukan seseorang yang benar-benar berarti.Setelah sarapan, Raka pergi bekerja seperti biasa. Dina kembali ke rutinitasnya—mencuci baju, merapikan rumah, mengurus Esa. Hingga tanpa terasa langit telah berubah warna menjadi jingga. Rutinitas melelahkan yang terasa terlalu monoton baginya.Dina kembali menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya hari itu, hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya.Ia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan situasi seperti ini.Apakah pernikahan mereka memang sudah berubah?Atau… ia yang terlalu berharap bahwa semuanya masih bisa kembali seperti dulu? Dina tengah menyetrika pakaian di ruang tengah ketika ponselnya yang sederhana bergetar di atas meja. Ia mengerutkan kening. Nomor itu… sudah sangat lama tidak menghubunginya. Dina menatap layar ponselnya, sedikit ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.“Halo?”“Dina,” suara berat di ujung telepon terdengar familiar, membuat hati Dina berdegup lebih cepat dan matanya mulai memanas.“Kak Angga?” tanyanya pelan
Di salah satu kedai kopi di pusat kota, Anggara meletakkan ponselnya di atas meja setelah berbicara dengan Dina. Wajahnya tampak sedikit murung, dan ia masih menatap layar ponsel itu seolah berharap ada pesan masuk dari adiknya.Di seberangnya, Reihan mengaduk kopinya dengan gerakan lambat, lalu mengangkat alis. “Jadi, bagaimana kabarnya?”Anggara menghela napas, menyandarkan punggungnya di kursi. “Dia bilang baik-baik saja.”Reihan menyipitkan mata. “Tapi kamu nggak percaya?”Anggara menatapnya sekilas sebelum mendengus kecil. “Dina terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Dia selalu bilang baik-baik saja, bahkan kalau dia sedang kesulitan.”Reihan ikut terdiam. Dalam hatinya, ia juga sudah menebak hal itu.“Setidaknya dia masih mau mengangkat teleponmu.” Reihan mencoba mencari sisi positif.“Tapi dia buru-buru mematikan telepon saat Raka pulang.” Anggara menatap Reihan dengan ekspresi penuh arti. “Aku nggak tahu apa itu karena dia takut, atau karena dia nggak mau Raka tahu dia men
Dina berjalan tergesa di sepanjang jalan setapak menuju puskesmas desa, menggendong Esa yang kepalanya bersandar lemah di bahunya. Tubuh kecil itu panas, napasnya sedikit berat, dan sesekali ia merengek pelan. Dina mengecup kening putranya, memastikan suhu tubuhnya tidak semakin tinggi.Setelah hampir lima belas menit berjalan kaki, akhirnya Dina sampai di puskesmas desa. Bangunan itu tidak terlalu besar, tapi cukup memadai untuk menangani pasien dengan keluhan ringan. Ruang tunggu dipenuhi ibu-ibu dengan anak-anak mereka. Beberapa di antara mereka ditemani suami, yang dengan sabar membantu menggendong anak atau sekadar memberikan dukungan.Dina menarik napas dalam dan berjalan ke meja pendaftaran.“Nama pasien?” tanya petugas pendaftaran.“Mahesa Pradana,” jawab Dina. “Demam sejak kemarin sore.”Petugas itu mencatat di buku, lalu memberikan nomor antrean.“Silakan tunggu, Bu. Nanti akan dipanggil.”Dina mengangguk dan berjalan ke bangku panjang yang masih kosong. Ia duduk dengan hati
Pagi itu, udara di desa terasa lebih dingin dari biasanya. Angin sejuk bertiup pelan, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan semalam. Matahari sudah mulai naik, tapi di dalam rumah kecil itu, suasana justru terasa berat dan menyesakkan. Dina berdiri di dapur, memandangi panci di atas kompor tanpa benar-benar melihatnya. Tangannya menggenggam sendok kayu, tapi pikirannya tidak berada di sana. Ia memikirkan kembali kejadian semalam—pakaian Raka yang beraroma parfum wanita, noda lipstik yang mencolok di kerah bajunya, dan perasaannya yang bercampur aduk antara marah, kecewa, serta sakit hati. Hari ini, ia akan bertanya langsung. Ia harus mendapatkan jawaban. Dari dalam kamar, ia bisa mendengar suara Raka yang baru bangun, suara pintu kamar yang terbuka, lalu langkah beratnya menuju ruang tamu. Hari ini adalah Minggu, Raka tidak bekerja. Mertuanya juga sedang pergi membantu tetangga seperti biasa. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Dina menarik napas panjang, men
Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda. Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya. Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar. Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil
Bibi Safitri terdiam cukup lama setelah mendengar cerita Dina. Wajahnya menunjukkan ekspresi bimbang, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tetapi takut kata-katanya akan semakin melukai hati Dina."Bibi...?" Dina memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh harap. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"Bibi Safitri menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Dina. "Dina, sebelum Bibi cerita... Bibi mohon, kamu tenang, ya?"Dina merasa detak jantungnya semakin cepat. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. "Katakan saja, Bi. Aku... aku harus tahu."Wanita paruh baya itu menelan ludah, seolah kata-kata yang akan keluar begitu berat. "Sebenarnya... Bibi sudah lama mendengar kabar ini. Bukan hanya Bibi, mungkin hampir semua orang di desa ini juga tahu."Dina mengernyit. "Maksud Bibi apa?""Raka... Dia memang sering terlihat bersama wanita lain. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah cukup ser
"Kakak..." Telepon genggam di tangan Anggara nyaris terlepas saat mendengar suara Dina di seberang sana. Suara adiknya yang biasanya ceria kini terdengar parau, terselip isakan yang berusaha ia sembunyikan namun gagal. "Dina?" Anggara mencoba tetap tenang, meski setiap sarafnya menegang. "Kamu baik-baik saja?" "Ka-kak... Aku..." Hanya itu yang Dina katakan sebelum tenggelam dalam tangis yang terputus-putus. Suara serak, getir, seolah setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Awalnya ia pikir dirinya cukup kuat untuk menyembunyikan tangisan ini dari kakaknya. Namun entah mengapa, begitu mendengar suara lembut Angga memanggil namanya, tembok pertahanan Dina seolah jebol. Air mata yang sejak tadi sempat tertahan, langsung menyeruak ke permukaan. Anggara memejamkan mata, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia tahu pernikahan adiknya ini tidak berjalan mulus. Ia tahu sejak lama, di balik setiap senyum dan kata-kata "Aku baik-baik saja" dari bibir Dina, tersembunyi s
Dina berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Udara dingin merayap melalui sela-sela jari kakinya yang hanya terbalut sandal tipis. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin tetapi juga karena gugup. Di sampingnya, Anggara berdiri dengan tenang, memberikan kekuatan melalui genggaman tangannya yang erat. "Siap?" tanya Anggara lembut. Dina tidak menjawab. Bibirnya terasa kelu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. Di gendongannya, Esa, putranya yang baru berusia tiga bulan, terlelap dalam balutan selimut hangat. Dina menyesuaikan posisi bayi mungil itu, memastikan wajahnya tetap hangat dan nyaman. Dengan napas yang ditahan, Anggara mengetuk pintu perlahan. Detik berikutnya, daun pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Celia yang sudah menunggunya. "Dina..." suara Celia terdengar begitu lembut, penuh kerinduan dan kasih sayang. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah sendu ketika mendapati keadaan putrinya. Tampak begitu ringkih dan berantakan. Kehidupan macam apa
Dina duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kayu yang dingin. Kamar ini begitu familiar namun terasa asing pada saat yang sama. Semua benda di dalamnya tetap sama, seolah-olah waktu berhenti sejak ia pergi tiga tahun lalu. Poster bunga mawar favoritnya masih terpasang di dinding, boneka beruang besar duduk manis di sudut ruangan, dan meja riasnya tetap tertata rapi, seakan menunggunya kembali.Esa terlelap di sampingnya, wajah mungilnya tampak begitu damai di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Dina mengulurkan tangan, jemarinya yang gemetar perlahan membelai pipi lembut bayinya."Maafkan Ibu, Nak," bisiknya nyaris tanpa suara.Tidak ada yang bisa ia tutupi di depan bayi kecilnya. Bahkan dalam keheningan, kata-kata yang tak terucap mengalir begitu deras."Seharusnya Ibu tahu lebih baik. Seharusnya Ibu melindungimu sejak awal..."Esa hanya menggeliat pelan, bibirnya yang mungil bergerak seolah masih menyusu dalam tidurnya. Melihatnya, hati Dina mencelos. Betapa ban
Dina berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Udara dingin merayap melalui sela-sela jari kakinya yang hanya terbalut sandal tipis. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin tetapi juga karena gugup. Di sampingnya, Anggara berdiri dengan tenang, memberikan kekuatan melalui genggaman tangannya yang erat. "Siap?" tanya Anggara lembut. Dina tidak menjawab. Bibirnya terasa kelu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. Di gendongannya, Esa, putranya yang baru berusia tiga bulan, terlelap dalam balutan selimut hangat. Dina menyesuaikan posisi bayi mungil itu, memastikan wajahnya tetap hangat dan nyaman. Dengan napas yang ditahan, Anggara mengetuk pintu perlahan. Detik berikutnya, daun pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Celia yang sudah menunggunya. "Dina..." suara Celia terdengar begitu lembut, penuh kerinduan dan kasih sayang. Namun sesaat kemudian ekspresinya berubah sendu ketika mendapati keadaan putrinya. Tampak begitu ringkih dan berantakan. Kehidupan macam apa
"Kakak..." Telepon genggam di tangan Anggara nyaris terlepas saat mendengar suara Dina di seberang sana. Suara adiknya yang biasanya ceria kini terdengar parau, terselip isakan yang berusaha ia sembunyikan namun gagal. "Dina?" Anggara mencoba tetap tenang, meski setiap sarafnya menegang. "Kamu baik-baik saja?" "Ka-kak... Aku..." Hanya itu yang Dina katakan sebelum tenggelam dalam tangis yang terputus-putus. Suara serak, getir, seolah setiap kata yang ingin ia ucapkan tersangkut di tenggorokannya. Awalnya ia pikir dirinya cukup kuat untuk menyembunyikan tangisan ini dari kakaknya. Namun entah mengapa, begitu mendengar suara lembut Angga memanggil namanya, tembok pertahanan Dina seolah jebol. Air mata yang sejak tadi sempat tertahan, langsung menyeruak ke permukaan. Anggara memejamkan mata, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia tahu pernikahan adiknya ini tidak berjalan mulus. Ia tahu sejak lama, di balik setiap senyum dan kata-kata "Aku baik-baik saja" dari bibir Dina, tersembunyi s
Bibi Safitri terdiam cukup lama setelah mendengar cerita Dina. Wajahnya menunjukkan ekspresi bimbang, seolah ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, tetapi takut kata-katanya akan semakin melukai hati Dina."Bibi...?" Dina memandang wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh harap. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"Bibi Safitri menarik napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Dina. "Dina, sebelum Bibi cerita... Bibi mohon, kamu tenang, ya?"Dina merasa detak jantungnya semakin cepat. Perasaan tak nyaman merayapi hatinya. "Katakan saja, Bi. Aku... aku harus tahu."Wanita paruh baya itu menelan ludah, seolah kata-kata yang akan keluar begitu berat. "Sebenarnya... Bibi sudah lama mendengar kabar ini. Bukan hanya Bibi, mungkin hampir semua orang di desa ini juga tahu."Dina mengernyit. "Maksud Bibi apa?""Raka... Dia memang sering terlihat bersama wanita lain. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah cukup ser
Langit semakin terang ketika Dina melangkahkan kakinya tanpa tujuan pasti. Tas besar yang tersampir di bahu kirinya terasa semakin berat, sementara di gendongannya, Esa masih tertidur lelap. Tubuh kecil anaknya terasa hangat, tanda demamnya belum sepenuhnya reda. Dina membetulkan selimut tipis yang menutupi tubuh Esa, berusaha melindunginya dari sengatan matahari yang semakin terik. Dina hanya ingin memastikan jika Esa setidaknya aman dalam pelukannya. Raka sempat memanggilnya ketika ia melangkah keluar dari rumah, tapi Dina tidak menghentikan langkahnya. Suara suaminya itu terdengar lebih seperti peringatan daripada permohonan. Dina tahu, Raka tidak benar-benar ingin ia tetap tinggal—pria itu hanya takut masalah rumah tangga mereka akan menjadi buah bibir tetangga sekitar. Dina terus berjalan, menundukkan kepala setiap kali bertemu orang-orang di jalan. Tatapan mereka yang penuh iba terasa menusuk hatinya. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa seorang wanita muda berjalan sambil
Pagi itu, udara di desa terasa lebih dingin dari biasanya. Angin sejuk bertiup pelan, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan semalam. Matahari sudah mulai naik, tapi di dalam rumah kecil itu, suasana justru terasa berat dan menyesakkan. Dina berdiri di dapur, memandangi panci di atas kompor tanpa benar-benar melihatnya. Tangannya menggenggam sendok kayu, tapi pikirannya tidak berada di sana. Ia memikirkan kembali kejadian semalam—pakaian Raka yang beraroma parfum wanita, noda lipstik yang mencolok di kerah bajunya, dan perasaannya yang bercampur aduk antara marah, kecewa, serta sakit hati. Hari ini, ia akan bertanya langsung. Ia harus mendapatkan jawaban. Dari dalam kamar, ia bisa mendengar suara Raka yang baru bangun, suara pintu kamar yang terbuka, lalu langkah beratnya menuju ruang tamu. Hari ini adalah Minggu, Raka tidak bekerja. Mertuanya juga sedang pergi membantu tetangga seperti biasa. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Dina menarik napas panjang, men
Dina berjalan tergesa di sepanjang jalan setapak menuju puskesmas desa, menggendong Esa yang kepalanya bersandar lemah di bahunya. Tubuh kecil itu panas, napasnya sedikit berat, dan sesekali ia merengek pelan. Dina mengecup kening putranya, memastikan suhu tubuhnya tidak semakin tinggi.Setelah hampir lima belas menit berjalan kaki, akhirnya Dina sampai di puskesmas desa. Bangunan itu tidak terlalu besar, tapi cukup memadai untuk menangani pasien dengan keluhan ringan. Ruang tunggu dipenuhi ibu-ibu dengan anak-anak mereka. Beberapa di antara mereka ditemani suami, yang dengan sabar membantu menggendong anak atau sekadar memberikan dukungan.Dina menarik napas dalam dan berjalan ke meja pendaftaran.“Nama pasien?” tanya petugas pendaftaran.“Mahesa Pradana,” jawab Dina. “Demam sejak kemarin sore.”Petugas itu mencatat di buku, lalu memberikan nomor antrean.“Silakan tunggu, Bu. Nanti akan dipanggil.”Dina mengangguk dan berjalan ke bangku panjang yang masih kosong. Ia duduk dengan hati
Di salah satu kedai kopi di pusat kota, Anggara meletakkan ponselnya di atas meja setelah berbicara dengan Dina. Wajahnya tampak sedikit murung, dan ia masih menatap layar ponsel itu seolah berharap ada pesan masuk dari adiknya.Di seberangnya, Reihan mengaduk kopinya dengan gerakan lambat, lalu mengangkat alis. “Jadi, bagaimana kabarnya?”Anggara menghela napas, menyandarkan punggungnya di kursi. “Dia bilang baik-baik saja.”Reihan menyipitkan mata. “Tapi kamu nggak percaya?”Anggara menatapnya sekilas sebelum mendengus kecil. “Dina terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Dia selalu bilang baik-baik saja, bahkan kalau dia sedang kesulitan.”Reihan ikut terdiam. Dalam hatinya, ia juga sudah menebak hal itu.“Setidaknya dia masih mau mengangkat teleponmu.” Reihan mencoba mencari sisi positif.“Tapi dia buru-buru mematikan telepon saat Raka pulang.” Anggara menatap Reihan dengan ekspresi penuh arti. “Aku nggak tahu apa itu karena dia takut, atau karena dia nggak mau Raka tahu dia men
Setelah sarapan, Raka pergi bekerja seperti biasa. Dina kembali ke rutinitasnya—mencuci baju, merapikan rumah, mengurus Esa. Hingga tanpa terasa langit telah berubah warna menjadi jingga. Rutinitas melelahkan yang terasa terlalu monoton baginya.Dina kembali menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya hari itu, hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya.Ia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan dengan situasi seperti ini.Apakah pernikahan mereka memang sudah berubah?Atau… ia yang terlalu berharap bahwa semuanya masih bisa kembali seperti dulu? Dina tengah menyetrika pakaian di ruang tengah ketika ponselnya yang sederhana bergetar di atas meja. Ia mengerutkan kening. Nomor itu… sudah sangat lama tidak menghubunginya. Dina menatap layar ponselnya, sedikit ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.“Halo?”“Dina,” suara berat di ujung telepon terdengar familiar, membuat hati Dina berdegup lebih cepat dan matanya mulai memanas.“Kak Angga?” tanyanya pelan