Share

Bab 9

Suara ini berbeda dengan suara yang pernah dia dengar sebelumnya.

Evano kelihatannya sangat tulus dan polos, tetapi tidak disangka pergaulannya sangat bebas.

Baru pergi dinas sehari saja dia sudah punya yang baru. Apa dia lupa kalau dia sudah punya pacar?

Ditipu sama perempuan jahat?

Siapa tahu kalau ini hanya semacam permainan saja di dalam hubungan mereka.

Makin dipikirkan, Anzelo jadi makin jijik saja. Saat ini, aura dingin yang dia pancarkan sangat dingin, seakan bisa membekukan.

"Clara."

Merasa terkejut sekaligus senang, Ruisha memeluk balik Clara. "Bukannya kamu masih kerja? Kenapa malah ke mari?"

"Kasih kejutan, dong."

Clara tersenyum sumringah, lalu bertanya, "Senang nggak? Terkejut nggak?"

Saat mengatakan itu, tatapannya beralih tanpa sadar dan dia tidak bisa memalingkan pandangannya lagi setelah itu.

Tampan sekali.

Laki-laki ini bukan hanya tampan, tetapi aura di dalam dirinya yang seakan melarang siapa pun mendekat bahkan lebih menawan.

Jika tidak salah, jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya paling murah seharga sebelas digit. Bagaimana Ruisha bisa mengenal laki-laki luar biasa sepertinya?

"Sa ... Evano."

Clara melepaskan tangannya begitu saja dan merapikan rambutnya. "Apa ini temanmu? Nggak mau ngenalin?"

Ruisha terdiam dan melambaikan tangannya. "Bukan, ini atasanku, Pak Anzelo. Ini ...."

"Nggak semua orang berhak mengenalku."

Anzelo mengaitkan bibirnya, mengejek, "Menurutmu, kamu pikir siapa Evano?"

Ruisha tertegun dan menunduk malu.

Ya, dia hanyalah seorang asisten kecil, bagaimana mungkin punya pengaruh besar?

"Perhatikan batasanmu." Anzelo menegur, "Aku nggak peduli kalaupun kehidupan pribadimu berantakan, tapi jangan mengotori mataku."

Wajah Ruisha memucat. "Maafkan saya, Pak Anzelo."

Melihatnya seperti itu, Anzelo menjadi makin kesal dan kemarahan berkobar di dalam dirinya.

"Pak Anzelo, ada kartu ucapan untuk Anda."

Manajer hotel memecah keheningan dengan menyodorkan sebuah kartu berwarna merah muda kepada Anzelo.

Kartu itu juga bergambar bibir merah yang mencolok, bahkan aromanya sangat harum.

Di bawah dua hati merah yang ambigu itu tertulis beberapa kata, "Malam ini aku tunggu di tempat biasa, ya."

Tanpa melirik kartu ucapan itu lagi, Anzelo mengambil kartu itu dengan wajah cemberut. Wajahnya terlihat tidak suka, tetapi dia tidak membuangnya. "Aku mengerti."

"Wah."

Clara berbisik, "Kartu ini sepertinya berasal dari kenalan dekat. Kartunya mewah, genit dan menggoda. Nggak disangka bosmu suka hal beginian."

Wajah Ruisha menjadi lebih pucat dan hatinya sedikit sakit.

Mata Anzelo begitu dingin. Dia pergi dengan kartu ucapan di tangan..

"Cih, mentang-mentang ada kencan, jadi buru-buru begitu?"

Clara berkata, "Ruisha, bosmu sangat bersemangat."

"Jangan bicara sembarangan." Ruisha menggigit bibirnya. "Apa yang dia lakukan nggak ada hubungannya dengan kita."

"Aku Cuma bilang saja." Clara tersenyum dan memeluk tangannya. "Di sini ada bar dan sangat ramai. Aku secara khusus datang untuk menemuimu, jadi kamu nggak bisa menolakku. Sayang, temenin, ya?"

Keduanya tumbuh bersama, tetapi kepribadian mereka sangat berbeda.

Ruisha adalah seorang gadis berperilaku baik dengan nilai bagus yang tidak memiliki teman. Kesibukannya hanya sekolah dan bekerja.

Clara adalah gadis cantik dan lincah, punya nilai jelek, tetapi punya banyak teman. Saat kuliah dia jadi terkenal karena kecantikan dan keindahan tubuhnya.

Ruisha tidak tertarik dengan tempat-tempat seperti klub.

Namun hari ini, secara ajaib dia tidak menolak.

Clara meningkatkan intensitas belaiannya. "Ruisha sayang, sekali ini saja. Kumohon, kumohon, kumohon, ya?"

Ruisha mengangguk tak berdaya.

*

Di lantai dansa, Clara menggerakkan tubuhnya dan menarik perhatian banyak orang.

Hanya ketika dia kembali ke stan dan duduk di samping seorang laki-laki sederhana, mereka kembali menarik tatapan mereka dengan penuh penyesalan.

"Senang ada kamu di sini."

Clara tersenyum dan mencondongkan kepalanya. "Aku muak sama semua laki-laki bajingan yang menggangguku. Ruisha, untung saja ada kamu."

"Kalau kamu merasa terganggu, ayo kita pergi."

Ruisha tidak menyukai lingkungan yang berisik dan dia melanjutkan sambil cemberut, "Di sini berisik banget."

Wajah Clara menegang. "Jarang-jarang kamu ada di sini, jangan terburu-buru dong. Minuman ini enak, cobalah."

"Aku nggak kuat minum."

"Ini cuma anggur buah, jadi kandungan alkoholnya sangat rendah. Mana puas kalau datang ke bar nggak minum."

Ruisha akhirnya mencicipinya.

Rasanya sangat manis, tidak ada rasa alkohol dan lebih mirip jus buah.

Minuman itu sudah habis sebelum Ruisha menyadarinya.

"Enak nggak?"

Clara menyerahkan gelas lain dan bertanya asal, seolah-olah sedang basa-basi saja, "Ruisha, Pak Anzelo ganteng banget, apa dia punya pacar? Kamu pasti senang bisa kerja sama laki-laki luar biasa seperti dia."

"Jangan bicara omong kosong!" Ruisha menggelengkan kepalanya dengan panik dan berbisik pelan, "Semua orang di perusahaan bilang kalau Pak Anzelo mungkin suka sama laki-laki."

"Hah? Benarkah?"

"Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dia menjebloskan asisten pribadinya yang dulu ke penjara." Ruisha melanjutkan, "Cuma karena perempuan itu menyukainya."

"Menakutkan sekali! Kalau begitu, kamu harus berhati-hati saat bekerja dengannya."

Mata Clara berbinar cerah. "Tapi bukannya hari ini dia ada janji sama perempuan cantik? Mungkin dia nggak suka punya hubungan di kantor?"

"Entahlah."

Ruisha mengernyitkan dahi, sedikit cemberut membayangkan kepergian Anzelo barusan.

Menyesap anggur buah dalam gelasnya, Ruisha berkata dengan tenang, "Dengan statusnya, perempuan mana yang nggak bisa dia dapatkan? Bagaimanapun, itu nggak ada hubungannya sama kita."

Belum tentu seperti itu.

Clara tertawa dan terus menuangkan anggur ke dalam gelas Ruisha. "Bukannya kamu pegawai di sana? Kalau dipromosikan secara tiba-tiba begini, apa kamu nggak takut ketahuan?"

"Aku juga nggak mau sebenarnya."

Memikirkan malam yang kacau itu, Ruisha sedikit pusing. "Itu salahmu karena memaksaku pergi kencan buta. Laki-laki itu bahkan berani memberiku ...."

Ruisha menggigit lidahnya dengan marah.

"Memberimu apa?"

Clara menatapnya dan mendekat. "Ruisha, katakan, apa kamu diganggu sama dia?"

"Nggak, kok."

Ruisha mengerjap dan berkata perlahan, "Menurutku dia sangat menyebalkan."

Dia tidak boleh mengatakannya.

Apa yang terjadi malam itu, dia harus memendamnya dalam-dalam dan tidak akan pernah memberitahukannya kepada orang lain.

"Benarkah?" Clara sepertinya tidak percaya. "Ruisha, kita ini teman baik, jadi kalau kamu diganggu, kamu harus bilang padaku. Aku akan membantumu!"

"Nggak kok, beneran."

Tangan Ruisha sedikit sakit karena dicengkeram. Dia sedikit tersentuh saat mendengar ini.

Setelah menatap Clara sejenak, dia tiba-tiba bertanya, "Clara, apa kamu melakukan operasi plastik lagi? Kamu sudah cantik, jangan operasi apa pun lagi. Ada begitu banyak kasus kegagalan operasi plastik, kamu ...."

"Nggak, kok. Kamu salah lihat."

Wajah Clara berubah murung. "Ruisha, aku nggak suka kalau ada yang bilang masalah operasi plastik. Jadi, tolong jangan katakan itu lagi."

Ruisha menjawab khawatir, "Clara, aku begini karena peduli kepadamu. Banyak artis melakukan operasi plastik, sementara kamu ...."

"Aku bilang berhenti, apa kamu nggak ngerti?"

Emosi Clara tiba-tiba meledak, "Aku melakukan ini demi pekerjaan, kamu ngerti apa! Kamu nggak ngerti apa pun. Bisa nggak, jangan bicarakan hal menyindir seperti itu!"

Dia hampir tidak bisa menahan rasa cemburunya.

Ruisha memiliki paras seperti itu, jadi dia tidak akan mengerti obsesi Ruisha terhadap operasi plastik.

Bagaimanapun juga, Ruisha hanyalah monster yang bukan perempuan ataupun laki-laki, kenapa yang memiliki paras menawan bukan dirinya saja?

Tak menyangka Clara akan bersikap begini, Ruisha menatapnya dengan terkejut. "Aku nggak lagi nyindir, aku cuma peduli denganmu."

Di bawah cahaya lampu bar, matanya berair, makin menguatkan kepolosan dan ketulusannya.

Suasana hati Clara makin memburuk. "Aku nggak butuh perhatianmu! Penampilan palsumu hanya membuatku muak!"

Dia menoleh dan melangkah pergi.

Kenapa dia tiba-tiba marah?

Ruisha merasa cemas, jadi tidak punya waktu untuk memedulikan rasa tidak nyaman yang terasa di perutnya dan langsung mengejar Clara.

Tepat di luar bar, dia melihat beberapa berandal mengelilingi Clara, bersiul menggodanya.

"Cantik, mau ke mana? Mau di antar nggak?"

"Cantik, pakaianmu bagus sekali. Sayang kalau pergi begitu saja. Ayo, aku traktir minum. Temani aku main sebentar, ya?"

...

Dia mengatakan itu dan tangannya terus bergerak tak terkendali.

"Pergi sana! Jangan sentuh aku! Aku nggak mau minum sama kalian!"

Clara berteriak dengan wajah pucat. Begitu melihat Ruisha, dia berteriak dengan mata merah, "Ruisha, selamatkan aku!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status