Share

Bab 10

Para berandal itu melihat dengan garang, lalu tertawa keras.

"Hahaha, menyelamatkanmu? Laki-laki kurus kerempeng ini?"

"Pahanya saja nggak setebal lenganku. Bocah gemulai sepertinya ingin menyelamatkan perempuan cantik?"

"Nak, kemarilah. Biar aku lihat, bagaimana kamu akan menyelamatkannya dengan penampilanmu yang lemah itu!"

"Hahaha ...."

Di tengah-tengah tawa lantang yang menghina, sosok kurus Ruisha bergetar.

Dibandingkan dengan para berandal yang memiliki tubuh besar ini, dia seperti taoge yang belum tumbuh, kurus dan menyedihkan.

"Evano, jangan bilang kamu marah padaku?"

Clara menangis, "Aku cuma emosi sesaat. Jangan abaikan aku, tolong selamatkan aku. Kamu itu teman baikku."

"Menyelamatkanmu? Apa dia berani?" Berandal itu tertawa. "Satu tamparan dariku saja bisa bikin dia terpental jauh."

"Nggak ada gunanya memohon sama sampah sepertinya. Buat kita bahagia, dengan begitu kamu akan tahu seperti apa lelaki sejati itu!"

Para berandal itu tidak menghiraukan Ruisha, mengulurkan tangan mereka untuk mencubit wajah Clara.

"Hentikan!"

Dengan getaran dalam suara laki-lakinya yang jernih, entah keberanian dari mana yang didapatkan Ruisha. Dia bergegas dan menampar tangan berandal itu dengan keras.

Melindungi Clara di belakangnya, dia berkata dengan tubuh gemetar, "Aku, aku sarankan agar kalian pergi dari sini. Kalau nggak, aku akan lapor polisi!"

"Evano!" jerit Clara dengan gemetar sambil menangis. "Bagaimana ini?"

Ruisha juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Dia saja tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun sepanjang hidupnya. Jadi, bagaimana mungkin dia bisa mengalahkan para berandal ini?

Namun, dia tidak bisa hanya duduk diam dan tidak melakukan apa-apa.

Clara pernah membantunya dan mereka adalah sahabat sejati.

"Jangan takut." Dia berbisik pelan, "Nanti kamu lari saja kalau ada bahaya. Jangan pedulikan aku."

Clara bergidik dan matanya berkaca-kaca saat melihat punggung kurus Ruisha. Dia terlihat ragu, tetapi tidak mengucapkan kata-kata penolakan.

"Bocah sialan, beraninya kamu ikut campur!"

Raut wajah berandal itu berubah dan dia berteriak marah, "Mau lapor polisi? Coba tebak, polisi yang akan datang lebih dulu atau tinjuku yang mendarat lebih cepat?"

"Banci sialan, berani merusak kesenanganku! Habisi dia!"

"Biarkan bocah lemah ini tahu kalau dia nggak boleh ikut sampur sama urusan orang lain!"

Tinju dari berandal itu perlahan mendekat.

Ruisha mendorong Clara menjauh. "Cepat lari!"

Dia tetap berdiri di depan berandal itu, menunggu tinjunya mendarat dengan mata tertutup.

"Braak!"

Sebuah benturan keras terdengar, diiringi dengan suara tulang yang menghantam tanah. Namun, Ruisha tidak merasakan sakit.

Ruisha membuka matanya, melihat sosok tinggi yang tidak asing berdiri di depannya. Lampu jalan bersinar dari depan, membuat sosoknya terlihat luar biasa.

Dia seperti seorang penyelamat.

Anzelo.

Apa yang dia lakukan di sini?

Bukankah Anzelo membencinya? Kenapa dia menolongnya?

Ruisha sangat bingung sampai-sampai dia tidak sadar kalau dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari punggung Anzelo.

Ini adalah kedua kalinya Anzelo menyelamatkannya.

Para berandal itu terlihat tangguh, tetapi tetap berteriak kesakitan saat mendapat pukulan Anzelo.

Pada saat Anzelo menoleh dengan sorot dingin, Ruisha bahkan masih belum tersadar dari keterkejutannya.

Clara yang melarikan diri pun sudah kembali entah sejak kapan. Dia menangis dan merengek, "Terima kasih, Pak Anzelo. Kalau bukan karena Pak Anzelo, aku nggak tahu apa yang akan mereka lakukan kepadaku. Kebaikan Pak Anzelo yang luar biasa akan aku ...."

"Kamu mau membalas kebaikanku dengan tubuhmu? Itu bukan ide yang bagus untuk membalas budi."

Sebuah suara genit menyela perkataan Clara.

laki-laki yang mengenakan kemeja ungu lusuh menyisir rambutnya ke belakang, memperlihatkan wajah berandal. Dia melanjutkan sambil tersenyum, "Jangan khawatir, kamu akan baik-baik saja meskipun kami nggak datang. Kamu melarikan diri secepat itu dan nggak akan punya waktu buat ngambil mayat bocah itu kalau dia sampai terbunuh."

Siapa orang ini? Kenapa bicaranya tidak mengenakkan begitu?

Kebencian muncul di bawah mata Clara. Dia menoleh dan menangis sedih. "Evano, aku lagi cari bantuan buat menyelamatkanmu. Kita itu sahabat, aku nggak mungkin meninggalkanmu."

"Sahabat? Sepertinya nggak begitu, tuh."

Laki-laki yang mengenakan kemeja ungu tertawa, lalu melanjutkan, "Lengan laki-laki ini bahkan nggak setebal lenganmu, jadi apa yang kamu pikirkan sebenarnya? Kamu minta tolong kepadanya, atau ingin dia menggantikanmu jadi sandera, dek?"

"Siapa kamu? Siapa adikmu!" Clara berkata dengan marah, "Jangan fitnah!"

"Sudah, Clara, aku tahu kamu nggak mungkin ninggalin aku sendirian."

Ruisha kembali mengatakan, "Begini, kamu sudah salah paham. Aku berteman baik sama Clara, dia nggak punya niat buruk, dia hanya terlalu takut saja."

Bagaimana mungkin Clara tidak peduli padanya?

Tanpa Clara, dia bahkan tidak akan bisa kuliah.

Brandon Ramajati belum pernah melihat orang sebodoh itu, sudah dikhianati, tetapi masih membelanya.

"Anzelo." Dia berdecak, "Kamu bisa pilih asisten pribadi yang benar nggak, sih? Apa dia punya latar belakang yang kuat?"

Apa maksudnya!

Ruisha menyela tidak puas, "Pak Anzelo bisa menilai seperti apa kemampuanku. Kamu tidak berada dalam posisi untuk menilai bagaimana kinerjaku."

"Wah, kamu malah kesal?"

Brandon tersenyum dan menatapnya sampai terhanyut.

Dia banyak berinteraksi dengan perempuan, jadi penglihatannya sangat tajam. Dalam sekejap, dia bisa dengan mudah melihat keindahan yang tersembunyi di balik pakaian sederhana asisten muda di depannya.

Bibirnya merah muda, matanya jernih dan bersih. Bagian terbaiknya adalah tahi lalat kecil di ujung hidungnya, yang menambahkan sedikit godaan pada penampilannya yang polos.

Mata Brandon menatap lurus ke arahnya, lalu berdecak, "Jangan bilang kamu laki-laki jadi-jadian!"

Dia memiliki paras yang rupawan. Kalau dia seorang perempuan, siapa pun pasti akan terpesona oleh kecantikannya.

Sayang sekali.

Entah kenapa Anzelo terlihat sedikit terguncang dan langsung melihat ke arah sini.

Jantung Ruisha rasanya seperti berhenti dan pikirannya menjadi kosong sejenak.

"Omong kosong apa yang kamu bicarakan?"

Clara juga panik. Dia memelototi laki-laki itu dan berteriak, "Siapa yang kasih kamu hak buat menghina orang? Evano itu laki-laki. Aku akan merobek mulutmu kalau kamu terus bicara omong kosong!"

Dengan berat hati, dia melirik laki-laki itu. "Pak Anzelo, karena Evano sangat kurus, apa dia pantas diejek laki-laki jadi-jadian? Ini sudah keterlaluan! Pak Anzelo nggak mungkin punya pemikiran begitu juga, bukan?"

Melihatnya membelanya sampai seperti itu, hati Ruisha menghangat, bahkan matanya berkaca-kaca.

Sikap Clara terlalu tegas, ekspresi Anzelo berubah muram. Dia mengangkat kakinya dan menendang Brandon. "Tutup mulutmu. Kalau kamu suka mengarang, buat buku cerita saja."

"Ya, ya, aku salah."

Brandon juga tahu bahwa dia telah mengatakan hal yang salah dan menepuk mulutnya dua kali. "Aku nggak bermaksud begitu. Hanya saja, dia terlihat lebih ... seperti perempuan."

"Brandon!" kata Anzelo. Sorot matanya tajam, menyalurkan niat mematikan.

Brandon langsung terdiam.

Mulutnya tertutup, ekspresi wajahnya terlihat sedikit bersemangat. Dia mengangkat alisnya, seakan mengatakan, "Sejak kapan Anzelo begitu peduli sama bawahannya? Dia hanya seorang asisten, kenapa melindunginya seperti ini?"

Anzelo mengabaikannya dengan malas, memelototinya dan berbalik untuk pergi.

Setelah mengambil dua langkah, dia menoleh ke samping dan berkata dengan suara dingin, "Kenapa diam saja? Mau main di sini sampai pagi? Kamandjana Group memberimu tunjangan dinas bukan untuk kamu main-main."

"Ya, ya, ya."

Auranya terlalu dingin, membuat Ruisha tidak berani banyak bicara. Dia diam-diam melambaikan tangannya pada Clara, lalu bergegas mengikutinya.

Laki-laki itu tinggi dan kakinya jenjang. Dia punya bahu lebar dan pinggang yang kecil, membuat orang di belakangnya terkesan sangat kurus.

Brandon melirik keduanya, merasa hati nuraninya tertusuk.

Evano memiliki perawakan yang sangat kecil, pasti sering diejek kalau dia bukan laki-laki.

Apa hari ini dia sudah melakukan kesalahan dengan mengorek luka seseorang?

*

Ruisha mengikuti di belakang Anzelo, berjalan dengan kepala tertunduk ke arah hotel.

Sudah larut dan hanya mereka berdua di dalam lift. Aroma seperti pohon cedar yang menguar dari laki-laki itu membuatnya sedikit pusing dan pipinya terasa panas.

Mulutnya kering.

Suasana saat ini sangat sepi, membuat perjalanan di dalam lift terasa sangat lama.

"Pak Anzelo."

Ruisha menelan ludah dengan susah payah dan memecah keheningan, "Orang yang mengajakmu kencan hari ini Pak Brandon?"

"Hmm."

Anzelo menjawab tanpa emosi, lalu bertanya, "Memangnya kamu pikir siapa?"

"Bukan, bukan siapa-siapa."

Ruisha tertawa kering, "Kartu yang dikirim Pak Brandon kenapa sedikit ... bikin orang salah paham?"

Ruisha sendiri bahkan tidak menyadari kalau dia merasa lega setelah mendengar fakta ini.

Kerisauan yang telah menekan hatinya sepanjang malam tanpa disadari telah menghilang.

Anzelo tiba-tiba berbalik dan mendekat.

Dalam keadaan mabuk, otak Ruisha berputar perlahan dan secara naluriah mundur dua langkah.

Tubuhnya terdesak oleh lift, tidak bisa mundur lebih jauh lagi.

Anzelo sepertinya tidak menyadari ketidaknyamanannya dan terus menekan ke arahnya.

Terlalu dekat.

Terkejut, Ruisha tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyandarkan dirinya ke dada laki-laki itu. "Pak Anzelo!"

Dia mencoba untuk mengatakan sesuatu dan sebuah pikiran aneh muncul di otaknya terlebih dahulu. Sangat panas, sangat kencang.

Dia bisa merasakan garis-garis indah dari dada laki-laki itu melalui setelan jas yang dia kenakan. Apalagi kalau ditambah dengan pemandangan keringat yang menggoda, yang pernah dia lihat dengan matanya sendiri.

Ruisha tidak bisa menahan diri dan kembali menelan ludah dengan susah payah. Tindakannya mendahului otaknya, jari-jarinya bergerak untuk menggenggam dan meremas dada Anzelo.

Mata gelap Anzelo tampak seperti mencoba melihat menembus diri Ruisha. Dia bertanya dengan suara dingin, "Nyaman nggak?"

"Nyaman sekali."

Ruisha menjawab, bereaksi terhadap apa yang dikatakannya. Seketika, kepalanya seperti meledak dan wajahnya memerah.

Dia, dia, dia sudah gila!

Dia tidak hanya mencubit dada Anzelo, tetapi dia juga bilang sangat nyaman?

Dia menciut ke arah sudut lift, rasanya ingin sekali meleburkan dirinya ke dalam dinding lift.

Namun, Anzelo tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Dia menangkupkan dagu Ruisha, memaksanya untuk mendongak. Lalu, dia bertanya, "Evano, apa yang kamu pikirkan sebenarnya?"

Wajahnya yang tampan sempurna mendekat. Dari jarak ini, wajahnya bahkan terlihat lebih sempurna, sangat tampan, membuat Ruisha tidak berani bernapas keras-keras.

Ruisha merasa dirinya terbakar dan membuka mulutnya tanpa daya, "Hah?"

"Kamu salah paham?"

Anzelo bertanya perlahan, "Kamu pikir siapa yang akan kutemui malam ini? Seorang perempuan? Seorang kekasih? Atau perempuan sewaan?"

Ruisha seperti ikan yang terdampar, tidak bisa bernapas dengan bebas.

Penciumannya dipenuhi oleh aroma laki-laki itu. Dia terpojok olehnya di sudut kecil ini. Alkohol melumpuhkan otaknya, membuatnya menjadi gila.

Tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, Ruisha mulai teringat pada malam yang kacau dan gila itu, memikirkan keliaran yang bersembunyi di balik penampilan luar Anzelo yang dingin.

Perlahan-lahan, dia mengangkat kepalanya dan memejamkan matanya.

Menunggu sebuah ciuman.

"Ting!"

Suara lift yang terdengar tiba-tiba membuat Ruisha tersentak bangun dengan gelagapan.

Gila! Apa dia sudah gila?

Sekarang, dia adalah Evano, seorang laki-laki!

Bagaimana mungkin dia berpikir untuk mencium Anzelo dalam situasi seperti ini!

Kulit kepala Ruisha kesemutan, tidak berani melihat ekspresi Anzelo. Dia mendorongnya menjauh dan berlari keluar. "Sudah ... sudah malam. Pak Anzelo, saya akan kembali dan beristirahat."

Melompat keluar seperti kelinci, cara Ruisha melarikan diri sungguh luar biasa menyedihkan.

Setelah tertegun, entah kenapa Anzelo ingin tertawa.

Dia mengaitkan bibirnya yang tipis dan menatap punggung Ruisha, pupil matanya tiba-tiba mengecil.

Bersamaan dengan Ruisha yang melarikan diri, sebuah bercak merah besar di celana panjang berwarna terang milik Ruisha mengejutkan penglihatan Anzelo.

Bukankah itu?

Sesuatu melintas di otaknya dan sebuah pemikiran terangkai. Anzelo mengepalkan tinjunya dan berteriak, "Berhenti!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status