Home / Romansa / (Bukan) Gadis Matre sang Juragan / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of (Bukan) Gadis Matre sang Juragan: Chapter 1 - Chapter 10

16 Chapters

1. Awal Mula Bencana.

Di kantor guru, Nia memandangi hujan rintik-rintik yang jatuh meningkahi kaca jendela. Ia sangat menyukai cuaca seperti ini. Di mana udara terasa sejuk, ditingkahi dengan aroma tanah yang khas. "Selamat pagi, Bu Nia. Ini teh manis hangatnya." Pak Udin, penjaga sekolah meletakkan secangkir teh di mejanya. "Terima kasih, Pak Udin. Maaf ya, sudah merepotkan pagi-pagi," ujar Nia sambil tersenyum kecil."Walah, kok repot sih? Lha wong memang sudah menjadi tugas saya." Pak Udin tertawa. Memamerkan sejumlah giginya yang sudah tanggal. "Selamat menikmatinya tehnya, Bu Diah. Saya bekerja dulu." Pak Udin meminta diri. Sepeninggal Pak Udin, Nia kembali melamun. Kenangan akan hujan, mengingatkannya pada sang ayah yang sudah lima belas tahun lamanya tidak pernah lagi ia lihat. Nia memejamkan mata. Terkadang ia sangat merindukan ayahnya. Sayangnya, ayahnya tidak mau lagi berhubungan dengannya setelah ayahnya menikah lagi. "Astaghfirullahaladzim." Nia yang sedang melamun, kaget saat ponselnya ti
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

2. Dikejar Rentenir.

Satu minggu kemudian."Ini sertipikat rumahnya. Sebenarnya rumah ini sudah sah menjadi milik saya sejak setahun yang lalu." Pak Abdi memperlihatkan sertipikat rumah pada Nia. Nia menerima sertipikat dan membalik halaman-halamannya. Pak Abdi tidak bohong. Nama Sahila Rahman telah dicoret. Diganti menjadi nama Abdi Wahab. "Kalau memang sudah dijual, kenapa ibu saya masih tinggal di rumah ini?" tanya Nia heran. "Karena ibumu minta tolong pada saya. Katanya ia tidak mau kamu sedih karena rumah kesayanganmu ini sudah dijual. Makanya saya bolehkan ibumu tinggal sementara di sini." Rumah kesayangannya? Bagaimana bisa ibunya menyebut rumah ini sebagai rumah kesayangannya, sementara dia tidak pernah tinggal di rumah ini. Kalau mau jujur, ia malah sangat tidak betah tinggal di rumah mewah ini. "Kalau kamu mau, kamu boleh kok menempati rumah ini seperti ibumu," tutur Pak Abdi lembut. Nia tidak menjawab. Dirinya bukan orang bodoh. Ia tahu, pasti ada harga yang harus ia tukar demi bisa menemp
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

3. Hidup Dalam Tekanan.

Nia menyeka peluh dengan handuk kecil sebelum meneguk air dingin dengan rakus, langsung dari kemasannya. Rasa dahaganya seketika hilang seiring tubuhnya yang terduduk kelelahan di lantai. Harus mengosongkan rumah dalam waktu tiga hari, sungguh menguras energinya. Padahal ia sudah dibantu oleh Yuyun, Mang Kosim, dan juga Oma Wardah. Yuyun adalah asisten rumah tangga ibunya, Mang Kosim sopir, dan Oma Wardah adalah pemilik panti asuhan Cinta Kasih. Ibunya yang sebatang kara dulu tinggal di panti asuhan Cinta Kasih milik Oma Wardah ini."Mbak Nia, kata bapak-bapak pemulung di depan, majalah-majalah dan koran-koran bekasnya ikut dibuang tidak? Kalau iya, mau mereka angkut sekalian katanya," Yuyun muncul dari teras."Tidak, Yun. Majalah dan koran-koran itu kesayangan Ibu," Nia menggeleng."Lha, kalau tidak diambil, nanti rumah ini tidak bersih, dong. Bukannya Mbak Nia bilang kita harus mengosongkan sekaligus membersihkan rumah ini sampai kilat?" ujar Yuyun bingung."Nanti saya akan menitipk
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

4. Kecewa.

"Ayo, kita obrak-abrik sekolahannya!" Suara-suara itu perlahan menjauh. Dia menarik napas panjang berkali-kali. Paru-parunya baru bisa mengembang setelah tercekat beberapa saat. Terdengar suara langkah-langkah kaki. Yuyun masuk ke dalam kamar."Kamu tidak apa-apa, Yun?" Nia menghampiri Yuyun, seraya mengamati keadaan sang gadis remaja. "Saya tidak apa-apa, Mbak," ucap Yuyun menenangkan. "Mang Kosim?" tanya Nia lagi."Mang Kosim juga baik-baik saja. Mereka semua sudah pergi kok, Mbak. Tapi sebaiknya Mbak tetap di dalam saja. Siapa tahu nanti mereka datang lagi," usul Yuyun. Nia mengangguk setuju. Keadaan sekarang semakin genting."Saya beres-beres di depan lagi ya, Mbak. Nanti kalau teman-teman Mbak datang, saya panggil mereka langsung masuk ke dalam saja.""Iya, Yun. Terima kasih banyak ya?" Nia menggenggam tangan Yuyun tulus."Iya, Mbak. Sama-sama." "Nia, Oma rasa kamu tidak bisa lagi tinggal di kota ini. Nyawamu terancam, Nduk. Apalagi kalau kamu sampai diculik oleh orang-orang j
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

5. Hidup Baru.

"Kamu yakin mau ke Cisarua sendiri, Nia? Naik angkutan umum lagi? Kamu tidak takut nyasar?" Oma Wardah memandangi Nia yang sedang bersiap-siap ke Cisarua."Yakin, Oma. Nia dulu kan pernah tinggal di sana juga. Masa nyasar sih?" tukas Nia sambil menggelung rambutnya menjadi sanggul chignon ala Prancis. Gaya rambut ini membuatnya terlihat rapi dan elegan."Tapi kamu tinggal di sana saat masih berusia sepuluh tahun, Di. Itu artinya lima belas tahun yang lalu. Pasti sudah banyak perubahannya sekarang. Oma telepon ayahmu saja agar menjemputmu, ya?" usul Oma Wardah."Jangan dong, Oma. Nia tidak mau merepotkan Ayah. Nia sudah tahu kok jalannya. Dari sini Nia akan naik bus sampai ke Terminal Baranangsiang, Bogor. Lalu Nia akan melanjutkan perjalanan ke Cisarua dengan angkot kode 02 ke rumah Ayah. Zaman sekarang ke mana-mana itu gampang, Oma. Ada Google Maps, jadi tidak akan nyasar. Nanti, saat Nia sudah dekat dengan rumah Ayah, baru Nia akan menelepon Ayah. Oma tenang saja, Nia sudah besar. O
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

6. Si Pengganggu!

"Maaf, Bapak-Bapak. Bukan rampok rupanya, tapi orang yang diutus untuk menjemput saya," Nia segera mengklarifikasi. Bisa gawat kalau orang utusan ayahnya ini dikeroyok massa."Huuuuu..." Teriakan mencemooh dari para penumpang membuat Nia tersenyum kecut."Lewat sini!" Nia nyaris terjerembab saat pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram erat. Ia ditarik ke arah yang berlawanan. Tersaruk-saruk karena sepatunya yang berhak tujuh senti, ia mengikuti Bayu."Kamu ini hampir saja membuat saya dikeroyok massa. Dasar gadis kota sombong!" desis Bayu geram. Jikalau bukan Pak Suhar yang langsung memintanya untuk menjemput putrinya yang egois ini, ia tidak akan sudi menjadi kacungnya. Lihatlah penampilan gadis kota ini-berdandan seperti layaknya seorang sosialita yang sedang hang out di pusat perbelanjaan. Padahal ia sedang berkunjung ke pegunungan. Luar biasa... bodohnya!"Anda mengambil koper saya begitu saja tanpa pemberitahuan apa pun. Perbuatan Anda itu bisa dikategorikan sebagai aksi pera
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

7. Pertemuan Pertama.

"Astaghfirullahaladzim!" Nia refleks mengucap saat mobil yang ia tumpangi oleng ke kanan dan ke kiri. Belum juga duduk dengan benar, mobil tiba-tiba terjun bebas karena turunan tajam. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan karena indahnya pemandangan tidak bisa ia nikmati karena cara menyetir Bayu yang ugal-ugalan. Alhasil, selama berkendara, Dia terus memejamkan matanya sambil berdoa; semoga anggota tubuhnya tetap utuh sesampainya di rumah sang ayah.Lima belas menit kemudian, mobil berbelok dan langsung berhenti tanpa aba-aba. Akibatnya, tubuhnya melaju ke depan dan nyaris membentur dashboard. Untungnya ada sabuk pengaman yang menahan laju tubuhnya."Buka matamu, kita sudah sampai." Suara dengan nada kesal terdengar dari sampingnya. Bayu memang tidak pernah ramah padanya. "Alhamdulillah hirobbil alamin." Nia membuka mata sambil mengucap syukur. Ia bersyukur karena selamat sampai tujuan dengan anggota tubuh yang masih utuh. Cepatnya mereka tiba membuat Nia penasaran. Dia melirik j
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

8. Kenangan Lama.

"Dahayu, jaga ucapanmu!" Bu Isnaini terperanjat mendengar kata-kata kurang ajar putrinya."Ayo, minta maaf pada tetehmu." Bu Isnaini mendorong bahu sang putri agar menghadap Nia. Ia sama sekali tidak menyangka kalau putrinya akan seberani itu pada Nia."Rumah ini adalah rumah ayah saya, jadi saya boleh datang ke sini kapan pun saya mau," jawab Nia dingin."Mengenai warisan, saya adalah anak kandung beliau. Saya tidak perlu meminta karena memang seyogyanya saya berhak atas warisan itu. Saya adalah seorang Suhardi. Mengerti kamu?" pungkas Nia tegas."Ibu saya adalah istrinya. Ibu saya juga berhak atas warisan ayah," bantah Dahayu sewot."Saya tidak membahas ibumu," ujar Nia datar. Sejujurnya, ia mulai menyesal. Sepertinya, mengungsi ke rumah ayahnya ini tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah yang ada."Cukup, Yu! Kalau kamu tidak bisa bersikap baik, masuk ke kamarmu dan jangan keluar sebelum Ibu izinkan!" seru Bu Isnaini tegas. Ia benar-benar tidak menyangka kalau putri bun
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

9. Bertemu Kembali.

Nia terjaga saat mendengar suara ketukan pintu. Sejenak Nia bingung, karena terbangun di kamar yang asing. Tatkala pandangannya membentur lukisan mural di dinding, ia langsung ingat di mana dirinya berada. Ia sekarang ada di Citeko. Di rumah masa kecilnya."Iya, sebentar," sahut Nia tatkala ketukan pintu kembali terdengar. Ia segera membuka pintu. Ternyata Bik Titin yang mengetuknya."Maaf, Bibik mengganggu istirahatnya Neng Nia. Pak Suhar meminta Bibik memanggil Eneng untuk makan malam." Bik Titin berdiri di ambang pintu dengan jemari saling menjalin."Hah, makan malam? Bukannya ini masih sore?" tanya Nia. Perasaan ia baru memejamkan mata beberapa menit saja."Sekarang sudah pukul tujuh malam, Neng. Makanya Bapak meminta Bibik membangunkan Eneng. Takut Eneng kelaparan dan malamnya tidak bisa tidur." Bik Titin tertawa. "Jam tujuh malam?" Nia terperanjat. Ia pun memindai jam di dinding."Astaga, benar-benar sudah malam rupanya." Nia menepuk keningnya. Ia ketiduran cukup lama rupanya.
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

10. Kalian Jual, Aku Borong!

Senyum Nia mengembang. Ya, ayahnya pasti akan menyayanginya. Selama lima belas tahun tidak mencarinya, pasti itu karena ayahnya sangat sibuk merintis usaha-usahanya. Bukan mengabaikannya karena telah memiliki keluarga baru seperti yang dikatakan ibunya. Ya, pasti begitu!"Apa kabar, Yah?" Nia memecah keheningan dengan menyapa ayahnya penuh kerinduan. "Baik. Ayo, duduk. Kita akan makan malam bersama," sahut ayahnya singkat.Nia terpana. Kedua tangannya yang tadi sedianya ingin memeluk ayahnya, perlahan terkulai di sisi tubuhnya. Ayahnya tidak terlihat antusias menyambutnya. Alih-alih memeluk, ayahnya bahkan tidak bangkit dari kursinya. Baik, ayo duduk. Kita akan makan malam bersama. Seperti inikah reaksi seorang ayah yang tidak bertemu dengan putri kandungnya selama lima belas tahun lamanya? Sepertinya apa yang ibunya katakan memang benar. Istimewa Kencana dan Dahayu tampak tersenyum dengan air muka mengejek. Keduanya seolah-olah mengatakan bahwa dirinya bukan siapa-siapa di mata ayah
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status