Home / Romansa / (Bukan) Gadis Matre sang Juragan / 10. Kalian Jual, Aku Borong!

Share

10. Kalian Jual, Aku Borong!

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2024-12-18 17:44:37

Senyum Nia mengembang. Ya, ayahnya pasti akan menyayanginya. Selama lima belas tahun tidak mencarinya, pasti itu karena ayahnya sangat sibuk merintis usaha-usahanya. Bukan mengabaikannya karena telah memiliki keluarga baru seperti yang dikatakan ibunya. Ya, pasti begitu!

"Apa kabar, Yah?" Nia memecah keheningan dengan menyapa ayahnya penuh kerinduan.

"Baik. Ayo, duduk. Kita akan makan malam bersama," sahut ayahnya singkat.

Nia terpana. Kedua tangannya yang tadi sedianya ingin memeluk ayahnya, perlahan terkulai di sisi tubuhnya. Ayahnya tidak terlihat antusias menyambutnya. Alih-alih memeluk, ayahnya bahkan tidak bangkit dari kursinya. Baik, ayo duduk. Kita akan makan malam bersama. Seperti inikah reaksi seorang ayah yang tidak bertemu dengan putri kandungnya selama lima belas tahun lamanya? Sepertinya apa yang ibunya katakan memang benar. Istimewa Kencana dan Dahayu tampak tersenyum dengan air muka mengejek. Keduanya seolah-olah mengatakan bahwa dirinya bukan siapa-siapa di mata ayah
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   11. Sebuah Penawaran.

    "Boleh Ayah menanyakan sesuatu yang sifatnya pribadi, Nia?" tanya Pak Suhardi. Saat ini dirinya dan Nia tinggal berdua saja di ruang makan. Ia memang meminta waktu untuk berbicara berdua saja dengan Nia. Ada beberapa hal penting yang ingin ia sampaikan pada putrinya."Tanya saja, Yah." Nia memutar-mutar gelas, bersikap seolah-olah tidak peduli, padahal jantungnya berdegup kencang. Ia sangat merindukan momen-momen seperti ini—berduaan saja bersama sang ayah, seperti dulu."Apakah kamu punya pacar di Jakarta saat ini?" tanya Pak Suhardi."Tidak, Yah." Nia menggeleng cepat. Bukan hanya saat ini; sampai di umurnya yang ke-25, dirinya memang belum pernah berpacaran."Bagus." Pak Suhardi mengangguk puas. Rencananya bisa ia jalankan."Berapa nomor rekening bankmu?" tanya Pak Suhardi lagi. Nia mengernyitkan dahi. Cara berbicara ayahnya aneh sekali; langsung berpindah-pindah topik tanpa ada petunjuk terlebih dahulu."Mengapa Ayah menanyakannya? Ayah mau mentransfer dana untuk Nia?" jawab Nia a

    Last Updated : 2024-12-20
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   12. Kebenaran.

    "Jangan mengajari Ayah, Cana. Ayah tahu apa yang Ayah lakukan. Keluarlah dari sini. Bawa Bayu bersamamu." Pak Suhardi memberi tatapan tidak ingin dibantah pada Kencana. Tanpa ba bi bu lagi, Kencana pun berlalu. Untuk pertama kalinya ayahnya marah padanya. Ini semua gara-gara Nia. Kencana semakin membenci kakak tirinya ini.Setelah Kencana dan Bayu pergi, suasana di ruangan itu kembali sunyi. Pak Suhardi dan Nia sama-sama terdiam. Keduanya tenggelam dengan pikiran masing-masing, menimbang-nimbang baik dan buruk keputusan yang akan mereka ambil."Oke, Ayah setuju untuk memberimu gaji dua puluh juta sebulan. Tapi ingat, kamu harus bekerja dengan profesional. Satu hal lagi, jangan sedikit-sedikit membicarakan soal warisan. Harta Ayah adalah milik Ayah sendiri, hasil kerja keras Ayah selama bertahun-tahun. Kalau kamu ingin kaya, maka bekerja keraslah. Lahir sebagai anak Ayah tidak otomatis membuatmu berhak atas sesuatu yang tidak kamu perjuangkan sendiri. Mengerti, Nia?""Baik, Yah. Kalau

    Last Updated : 2024-12-20
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   13. Terungkap.

    "Bagaimana? Masih berani bilang kalau saya bohong?" Bayu bersedekap, sementara Nia masih bersimpuh. Gadis itu memandangi slip setoran di tangannya dengan tatapan kosong."Bukan hanya uang bulanan ini saja yang diupayakan susah payah oleh ayahmu, melainkan hadiah-hadiah ulang tahun yang setiap tahunnya ia kirimkan padamu," desis Bayu getas. Mendengar kata-kata Bayu, Nia tercekat.Kabar apa lagi ini ya, Allah?"Hadiah ulang tahun? Saya tidak pernah menerima hadiah apa pun dari Ayah," Nia menggeleng keras.Mendengar bantahan Nia, Bayu ikut berjongkok di depan Nia.Gadis ini masih belum kapok berbohong, rupanya."Tidak pernah menerimanya? Lantas, giwang ini kamu dapat dari mana, hah?" Bayu menunjuk telinga Nia."Giwang ini milik ibuku." Nia refleks memegang giwang di telinganya. Hanya giwang inilah satu-satunya perhiasan ibunya yang tidak ia jual. Selain ibunya meninggal dengan giwang ini di telinganya, ia juga sangat menyukai bentuknya. Giwang ini berbentuk kelopak bunga dengan sebuah be

    Last Updated : 2024-12-21
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   14. Memperbaiki Kesalahan.

    "Tentu saja boleh, Nak. Besok Ayah sendiri yang akan menyetir. Kita akan jalan-jalan keliling Citeko berdua." Pak Suhardi tersenyum haru. Penantiannya selama 15 tahun telah dibalas dengan manis oleh putri kesayangannya.Sementara Nia dan Pak Suhardi bernostalgia, Kencana dan Dahayu saling berpandangan. Darah memang lebih kental dari air. Ternyata seberapa buruk pun Nia memperlakukan ayahnya, ayahnya tetap mencintai Nia. Kalau begini mereka berdua bisa tersingkir dari hati ayah mereka-ayah yang sudah 11 tahun lamanya menemani hari-hari mereka."Sekarang sebaiknya kamu beristirahat dulu. Besok adalah hari terakhirmu libur, karena setelahnya kamu harus bekerja seperti kesepakatan kita. Setuju, Nia?" tegas Pak Suhardi. Walaupun hatinya berbunga-bunga karena perubahan sikap sang putri, Pak Suhardi tetap dengan keputusan yang telah mereka sepakati bersama. Dia harus belajar mandiri dan bertanggung jawab."Baik, Yah. Nia akan istirahat sekarang. Selamat malam, Ayah." Nia mencium pipi kiri da

    Last Updated : 2024-12-21
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   15. Demonstasi Di Pabrik Susu.

    "Iya, sebentar," sahut Nia saat mendengar suara ketukan pintu. Itu pasti ayahnya yang akan mengajaknya keliling Citeko. Dengan cepat, Nia menguncir rambutnya menjadi ekor kuda yang kuat. Setelahnya, barulah ia membuka pintu. Alih-alih ayahnya, Dia malah mendapati Bik Titin yang berdiri gelisah di ambang pintu."Ayah menyuruh Bibik untuk memanggil saya, ya? Saya sudah siap kok, Bik." Nia menyambar tas ransel mungilnya. Ia siap berpetualang dengan sang ayah."Bukan, Neng. Bapak meminta Bibik menyampaikan ke Eneng kalau jalan-jalan keliling Citeko-nya tidak jadi.""Lho, kok tidak jadi? Bapak sibuk, ya, Bik?" ujar Nia kecewa."Bukan sibuk, Neng, tapi ada huru-hara di pabrik. Pak Karta membawa para peternak ramai-ramai berdemo di pabrik," jelas Bik Titin, menyampaikan apa yang ia tahu."Pak Karta itu siapa, Bik? Terus mengapa mereka demo?" tanya Nia heran.Belum sempat Bik Titin menjawab, terdengar suara langkah-langkah kaki yang mendekat. Bu Isnaini, Kencana, dan Dahayu datang menghampiri

    Last Updated : 2024-12-22
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   16. Pengagum Rahasia.

    "Nia memarkir kendaraan di ujung jalan dan berlari menuju gerbang utama. Ia ingin membantu ayahnya semampunya."Kenapa pabrik tidak mau lagi menerima susu-susu dari kami? Padahal sebelumnya baik-baik saja. Mengapa pabrik tidak mensupport penduduk lokal?""Seperti yang sudah saya katakan berulang kali tadi, kualitas susu Bapak-Bapak semua semakin lama semakin buruk hingga tidak lolos standar pabrik. Protein dan lemaknya rusak karena Bapak-Bapak mencampurnya dengan bahan-bahan lain," jelas Pak Suhardi kepada para peternak."Bukan itu saja. Susu Bapak-Bapak semua telah terkontaminasi dengan bakteri akibat dari campuran bahan-bahan yang tidak dibenarkan. Makanya, pabrik tidak bisa menampungnya karena bisa membahayakan konsumen," tambah Bayu."Halah, itu cuma alasan. Bilang saja kalau kalian lebih suka menggunakan bahan baku susu impor karena bebas pajak! Kalian mau untung besar dengan cara menginjak kepala kami, para peternak lokal. Kalian ingin membuat kami mati pelan-pelan di tanah kami

    Last Updated : 2024-12-22
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   1. Awal Mula Bencana.

    Di kantor guru, Nia memandangi hujan rintik-rintik yang jatuh meningkahi kaca jendela. Ia sangat menyukai cuaca seperti ini. Di mana udara terasa sejuk, ditingkahi dengan aroma tanah yang khas. "Selamat pagi, Bu Nia. Ini teh manis hangatnya." Pak Udin, penjaga sekolah meletakkan secangkir teh di mejanya. "Terima kasih, Pak Udin. Maaf ya, sudah merepotkan pagi-pagi," ujar Nia sambil tersenyum kecil."Walah, kok repot sih? Lha wong memang sudah menjadi tugas saya." Pak Udin tertawa. Memamerkan sejumlah giginya yang sudah tanggal. "Selamat menikmatinya tehnya, Bu Diah. Saya bekerja dulu." Pak Udin meminta diri. Sepeninggal Pak Udin, Nia kembali melamun. Kenangan akan hujan, mengingatkannya pada sang ayah yang sudah lima belas tahun lamanya tidak pernah lagi ia lihat. Nia memejamkan mata. Terkadang ia sangat merindukan ayahnya. Sayangnya, ayahnya tidak mau lagi berhubungan dengannya setelah ayahnya menikah lagi. "Astaghfirullahaladzim." Nia yang sedang melamun, kaget saat ponselnya ti

    Last Updated : 2024-12-18
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   2. Dikejar Rentenir.

    Satu minggu kemudian."Ini sertipikat rumahnya. Sebenarnya rumah ini sudah sah menjadi milik saya sejak setahun yang lalu." Pak Abdi memperlihatkan sertipikat rumah pada Nia. Nia menerima sertipikat dan membalik halaman-halamannya. Pak Abdi tidak bohong. Nama Sahila Rahman telah dicoret. Diganti menjadi nama Abdi Wahab. "Kalau memang sudah dijual, kenapa ibu saya masih tinggal di rumah ini?" tanya Nia heran. "Karena ibumu minta tolong pada saya. Katanya ia tidak mau kamu sedih karena rumah kesayanganmu ini sudah dijual. Makanya saya bolehkan ibumu tinggal sementara di sini." Rumah kesayangannya? Bagaimana bisa ibunya menyebut rumah ini sebagai rumah kesayangannya, sementara dia tidak pernah tinggal di rumah ini. Kalau mau jujur, ia malah sangat tidak betah tinggal di rumah mewah ini. "Kalau kamu mau, kamu boleh kok menempati rumah ini seperti ibumu," tutur Pak Abdi lembut. Nia tidak menjawab. Dirinya bukan orang bodoh. Ia tahu, pasti ada harga yang harus ia tukar demi bisa menemp

    Last Updated : 2024-12-18

Latest chapter

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   16. Pengagum Rahasia.

    "Nia memarkir kendaraan di ujung jalan dan berlari menuju gerbang utama. Ia ingin membantu ayahnya semampunya."Kenapa pabrik tidak mau lagi menerima susu-susu dari kami? Padahal sebelumnya baik-baik saja. Mengapa pabrik tidak mensupport penduduk lokal?""Seperti yang sudah saya katakan berulang kali tadi, kualitas susu Bapak-Bapak semua semakin lama semakin buruk hingga tidak lolos standar pabrik. Protein dan lemaknya rusak karena Bapak-Bapak mencampurnya dengan bahan-bahan lain," jelas Pak Suhardi kepada para peternak."Bukan itu saja. Susu Bapak-Bapak semua telah terkontaminasi dengan bakteri akibat dari campuran bahan-bahan yang tidak dibenarkan. Makanya, pabrik tidak bisa menampungnya karena bisa membahayakan konsumen," tambah Bayu."Halah, itu cuma alasan. Bilang saja kalau kalian lebih suka menggunakan bahan baku susu impor karena bebas pajak! Kalian mau untung besar dengan cara menginjak kepala kami, para peternak lokal. Kalian ingin membuat kami mati pelan-pelan di tanah kami

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   15. Demonstasi Di Pabrik Susu.

    "Iya, sebentar," sahut Nia saat mendengar suara ketukan pintu. Itu pasti ayahnya yang akan mengajaknya keliling Citeko. Dengan cepat, Nia menguncir rambutnya menjadi ekor kuda yang kuat. Setelahnya, barulah ia membuka pintu. Alih-alih ayahnya, Dia malah mendapati Bik Titin yang berdiri gelisah di ambang pintu."Ayah menyuruh Bibik untuk memanggil saya, ya? Saya sudah siap kok, Bik." Nia menyambar tas ransel mungilnya. Ia siap berpetualang dengan sang ayah."Bukan, Neng. Bapak meminta Bibik menyampaikan ke Eneng kalau jalan-jalan keliling Citeko-nya tidak jadi.""Lho, kok tidak jadi? Bapak sibuk, ya, Bik?" ujar Nia kecewa."Bukan sibuk, Neng, tapi ada huru-hara di pabrik. Pak Karta membawa para peternak ramai-ramai berdemo di pabrik," jelas Bik Titin, menyampaikan apa yang ia tahu."Pak Karta itu siapa, Bik? Terus mengapa mereka demo?" tanya Nia heran.Belum sempat Bik Titin menjawab, terdengar suara langkah-langkah kaki yang mendekat. Bu Isnaini, Kencana, dan Dahayu datang menghampiri

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   14. Memperbaiki Kesalahan.

    "Tentu saja boleh, Nak. Besok Ayah sendiri yang akan menyetir. Kita akan jalan-jalan keliling Citeko berdua." Pak Suhardi tersenyum haru. Penantiannya selama 15 tahun telah dibalas dengan manis oleh putri kesayangannya.Sementara Nia dan Pak Suhardi bernostalgia, Kencana dan Dahayu saling berpandangan. Darah memang lebih kental dari air. Ternyata seberapa buruk pun Nia memperlakukan ayahnya, ayahnya tetap mencintai Nia. Kalau begini mereka berdua bisa tersingkir dari hati ayah mereka-ayah yang sudah 11 tahun lamanya menemani hari-hari mereka."Sekarang sebaiknya kamu beristirahat dulu. Besok adalah hari terakhirmu libur, karena setelahnya kamu harus bekerja seperti kesepakatan kita. Setuju, Nia?" tegas Pak Suhardi. Walaupun hatinya berbunga-bunga karena perubahan sikap sang putri, Pak Suhardi tetap dengan keputusan yang telah mereka sepakati bersama. Dia harus belajar mandiri dan bertanggung jawab."Baik, Yah. Nia akan istirahat sekarang. Selamat malam, Ayah." Nia mencium pipi kiri da

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   13. Terungkap.

    "Bagaimana? Masih berani bilang kalau saya bohong?" Bayu bersedekap, sementara Nia masih bersimpuh. Gadis itu memandangi slip setoran di tangannya dengan tatapan kosong."Bukan hanya uang bulanan ini saja yang diupayakan susah payah oleh ayahmu, melainkan hadiah-hadiah ulang tahun yang setiap tahunnya ia kirimkan padamu," desis Bayu getas. Mendengar kata-kata Bayu, Nia tercekat.Kabar apa lagi ini ya, Allah?"Hadiah ulang tahun? Saya tidak pernah menerima hadiah apa pun dari Ayah," Nia menggeleng keras.Mendengar bantahan Nia, Bayu ikut berjongkok di depan Nia.Gadis ini masih belum kapok berbohong, rupanya."Tidak pernah menerimanya? Lantas, giwang ini kamu dapat dari mana, hah?" Bayu menunjuk telinga Nia."Giwang ini milik ibuku." Nia refleks memegang giwang di telinganya. Hanya giwang inilah satu-satunya perhiasan ibunya yang tidak ia jual. Selain ibunya meninggal dengan giwang ini di telinganya, ia juga sangat menyukai bentuknya. Giwang ini berbentuk kelopak bunga dengan sebuah be

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   12. Kebenaran.

    "Jangan mengajari Ayah, Cana. Ayah tahu apa yang Ayah lakukan. Keluarlah dari sini. Bawa Bayu bersamamu." Pak Suhardi memberi tatapan tidak ingin dibantah pada Kencana. Tanpa ba bi bu lagi, Kencana pun berlalu. Untuk pertama kalinya ayahnya marah padanya. Ini semua gara-gara Nia. Kencana semakin membenci kakak tirinya ini.Setelah Kencana dan Bayu pergi, suasana di ruangan itu kembali sunyi. Pak Suhardi dan Nia sama-sama terdiam. Keduanya tenggelam dengan pikiran masing-masing, menimbang-nimbang baik dan buruk keputusan yang akan mereka ambil."Oke, Ayah setuju untuk memberimu gaji dua puluh juta sebulan. Tapi ingat, kamu harus bekerja dengan profesional. Satu hal lagi, jangan sedikit-sedikit membicarakan soal warisan. Harta Ayah adalah milik Ayah sendiri, hasil kerja keras Ayah selama bertahun-tahun. Kalau kamu ingin kaya, maka bekerja keraslah. Lahir sebagai anak Ayah tidak otomatis membuatmu berhak atas sesuatu yang tidak kamu perjuangkan sendiri. Mengerti, Nia?""Baik, Yah. Kalau

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   11. Sebuah Penawaran.

    "Boleh Ayah menanyakan sesuatu yang sifatnya pribadi, Nia?" tanya Pak Suhardi. Saat ini dirinya dan Nia tinggal berdua saja di ruang makan. Ia memang meminta waktu untuk berbicara berdua saja dengan Nia. Ada beberapa hal penting yang ingin ia sampaikan pada putrinya."Tanya saja, Yah." Nia memutar-mutar gelas, bersikap seolah-olah tidak peduli, padahal jantungnya berdegup kencang. Ia sangat merindukan momen-momen seperti ini—berduaan saja bersama sang ayah, seperti dulu."Apakah kamu punya pacar di Jakarta saat ini?" tanya Pak Suhardi."Tidak, Yah." Nia menggeleng cepat. Bukan hanya saat ini; sampai di umurnya yang ke-25, dirinya memang belum pernah berpacaran."Bagus." Pak Suhardi mengangguk puas. Rencananya bisa ia jalankan."Berapa nomor rekening bankmu?" tanya Pak Suhardi lagi. Nia mengernyitkan dahi. Cara berbicara ayahnya aneh sekali; langsung berpindah-pindah topik tanpa ada petunjuk terlebih dahulu."Mengapa Ayah menanyakannya? Ayah mau mentransfer dana untuk Nia?" jawab Nia a

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   10. Kalian Jual, Aku Borong!

    Senyum Nia mengembang. Ya, ayahnya pasti akan menyayanginya. Selama lima belas tahun tidak mencarinya, pasti itu karena ayahnya sangat sibuk merintis usaha-usahanya. Bukan mengabaikannya karena telah memiliki keluarga baru seperti yang dikatakan ibunya. Ya, pasti begitu!"Apa kabar, Yah?" Nia memecah keheningan dengan menyapa ayahnya penuh kerinduan. "Baik. Ayo, duduk. Kita akan makan malam bersama," sahut ayahnya singkat.Nia terpana. Kedua tangannya yang tadi sedianya ingin memeluk ayahnya, perlahan terkulai di sisi tubuhnya. Ayahnya tidak terlihat antusias menyambutnya. Alih-alih memeluk, ayahnya bahkan tidak bangkit dari kursinya. Baik, ayo duduk. Kita akan makan malam bersama. Seperti inikah reaksi seorang ayah yang tidak bertemu dengan putri kandungnya selama lima belas tahun lamanya? Sepertinya apa yang ibunya katakan memang benar. Istimewa Kencana dan Dahayu tampak tersenyum dengan air muka mengejek. Keduanya seolah-olah mengatakan bahwa dirinya bukan siapa-siapa di mata ayah

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   9. Bertemu Kembali.

    Nia terjaga saat mendengar suara ketukan pintu. Sejenak Nia bingung, karena terbangun di kamar yang asing. Tatkala pandangannya membentur lukisan mural di dinding, ia langsung ingat di mana dirinya berada. Ia sekarang ada di Citeko. Di rumah masa kecilnya."Iya, sebentar," sahut Nia tatkala ketukan pintu kembali terdengar. Ia segera membuka pintu. Ternyata Bik Titin yang mengetuknya."Maaf, Bibik mengganggu istirahatnya Neng Nia. Pak Suhar meminta Bibik memanggil Eneng untuk makan malam." Bik Titin berdiri di ambang pintu dengan jemari saling menjalin."Hah, makan malam? Bukannya ini masih sore?" tanya Nia. Perasaan ia baru memejamkan mata beberapa menit saja."Sekarang sudah pukul tujuh malam, Neng. Makanya Bapak meminta Bibik membangunkan Eneng. Takut Eneng kelaparan dan malamnya tidak bisa tidur." Bik Titin tertawa. "Jam tujuh malam?" Nia terperanjat. Ia pun memindai jam di dinding."Astaga, benar-benar sudah malam rupanya." Nia menepuk keningnya. Ia ketiduran cukup lama rupanya.

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   8. Kenangan Lama.

    "Dahayu, jaga ucapanmu!" Bu Isnaini terperanjat mendengar kata-kata kurang ajar putrinya."Ayo, minta maaf pada tetehmu." Bu Isnaini mendorong bahu sang putri agar menghadap Nia. Ia sama sekali tidak menyangka kalau putrinya akan seberani itu pada Nia."Rumah ini adalah rumah ayah saya, jadi saya boleh datang ke sini kapan pun saya mau," jawab Nia dingin."Mengenai warisan, saya adalah anak kandung beliau. Saya tidak perlu meminta karena memang seyogyanya saya berhak atas warisan itu. Saya adalah seorang Suhardi. Mengerti kamu?" pungkas Nia tegas."Ibu saya adalah istrinya. Ibu saya juga berhak atas warisan ayah," bantah Dahayu sewot."Saya tidak membahas ibumu," ujar Nia datar. Sejujurnya, ia mulai menyesal. Sepertinya, mengungsi ke rumah ayahnya ini tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah yang ada."Cukup, Yu! Kalau kamu tidak bisa bersikap baik, masuk ke kamarmu dan jangan keluar sebelum Ibu izinkan!" seru Bu Isnaini tegas. Ia benar-benar tidak menyangka kalau putri bun

DMCA.com Protection Status