"Astaghfirullahaladzim!"
Nia refleks mengucap saat mobil yang ia tumpangi oleng ke kanan dan ke kiri. Belum juga duduk dengan benar, mobil tiba-tiba terjun bebas karena turunan tajam. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan karena indahnya pemandangan tidak bisa ia nikmati karena cara menyetir Bayu yang ugal-ugalan. Alhasil, selama berkendara, Dia terus memejamkan matanya sambil berdoa; semoga anggota tubuhnya tetap utuh sesampainya di rumah sang ayah.
Lima belas menit kemudian, mobil berbelok dan langsung berhenti tanpa aba-aba. Akibatnya, tubuhnya melaju ke depan dan nyaris membentur dashboard. Untungnya ada sabuk pengaman yang menahan laju tubuhnya.
"Buka matamu, kita sudah sampai." Suara dengan nada kesal terdengar dari sampingnya. Bayu memang tidak pernah ramah padanya.
"Alhamdulillah hirobbil alamin." Nia membuka mata sambil mengucap syukur. Ia bersyukur karena selamat sampai tujuan dengan anggota tubuh yang masih utuh. Cepatnya mereka tiba membuat Nia penasaran. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul 17.15 WIB. Bukan main. Pada umumnya, perjalanan dari Cisarua ke Citeko adalah empat puluh lima menit atau paling cepat setengah jam. Mereka menempuhnya hanya dalam waktu lima belas menit. Tidak heran, mengingat cara menyetir Bayu yang seperti kesetanan.
"Rumah ini sudah berubah. Aku tidak lagi mengenalinya," gumam Nia pelan saat memandang rumah asing di depannya. Seingatnya, dulu rumah ayahnya kecil dan mencerminkan gaya tradisional Sunda yang kental, berbahan alami seperti kayu-kayuan, bambu, dan juga batu-batu lokal. Dan yang paling Nia ingat adalah atap rumahnya yang khas, berbentuk pelana atau limasan. Namun kini, semua itu tidak terlihat lagi. Rumah yang ada di hadapannya menjelma menjadi rumah yang sangat luas dan modern.
"Tentu saja berubah. Ayahmu sekarang adalah seorang pengusaha kaya raya, bukan peternak dua tiga ekor sapi seperti dulu. Karena ayahmu sudah kaya, makanya baru sekarang kamu mencari ayahmu, bukan?" sindir Bayu. Ia sungguh-sungguh muak melihat keserakahan si sosialita pengangguran ini. Menilik media sosial sang gadis yang pernah ia intip karena penasaran, gadis ini adalah sosialita hedon yang terlalu dimanja ibunya. Setelah ibunya tiada, pasti gadis ini kebingungan mencari penyokong hidupnya, makanya ia pun mencari ayahnya. Dengan begitu, ia bisa melanjutkan kehidupan hedonnya tanpa harus bersusah payah bekerja. Gadis ini sama materialistisnya seperti ibunya, sama-sama ingin hidup enak tanpa perlu bekerja keras.
Nia tidak merespons sindiran Bayu. Ia membuka pintu dan berjalan ke bak belakang mobil, membuka ikatan koper, dan menurunkannya sendiri dengan susah payah. Ia tidak meminta bantuan Bayu, karena laki-laki itu pun tidak memperlihatkan sikap ingin membantu.
"Terima kasih atas tumpangannya," ucap Nia ala kadarnya. Setelahnya, ia merapikan rambut dan pakaiannya sebentar sebelum berjalan anggun menuju rumah megah di depannya.
"Sombong!" geram Bayu ketika Nia berlalu begitu saja. Nia bahkan tidak menunggu dirinya membalas ucapan terima kasihnya.
"Semoga saja Pak Suhar tidak kembali jatuh miskin karena menampungmu di sini," desis Bayu sambil mengertakkan gerahamnya. Ia juga mengekor di belakang Nia. Sesuai dengan pesan Pak Hardi, ia harus mengantarkan Nia sampai di rumah.
Sementara itu, jantung Nia berdegup kencang tatkala melihat tiga perempuan cantik berbeda generasi menunggunya di teras rumah. Mereka pasti istri baru ayahnya beserta dua orang anak perempuannya.
"Halo, Nia, selamat datang di Citeko. Semoga kamu betah liburan di sini ya?" Bu Isnaini mengembangkan tangannya, menyambut Nia dengan ramah.
Liburan? Itu artinya ayahnya tidak mengatakan pada Bu Isnaini kalau dirinya akan menetap sementara di sini.
"Terima kasih..." Nia menghentikan kalimatnya. Ia tidak tahu harus memanggil apa pada ibu tirinya.
"Panggil saja saya Tante Iis atau Ibu kalau kamu mau," Bu Isnaini memahami keraguan anak tirinya.
"Terima kasih... Bu." Nia memutuskan memanggil Bu Isnaini dengan sebutan "Ibu." Seketika, senyum Bu Isnaini mengembang. Ia senang sekali dipanggil ibu.
"Kencana, Dahayu, sini. Beri ucapan selamat datang pada teteh kalian." Bu Isnaini melambaikan tangan pada kedua anak gadisnya. Kencana dan Dahayu saling bertatapan sebelum berjalan ogah-ogahan menuju kakak perempuan yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.
"Selamat datang, Teh." Kencana menyalami Nia setengah hati. Setelahnya, ia langsung menghampiri Bayu.
"Kang Bayu kelihatannya capek sekali. Saya buatkan minuman segar ya?" tawar Kencana penuh perhatian.
"Tidak usah, Cana. Saya masih banyak kerjaan." Bayu menolak halus.
"Dahayu, ayo sini. Salami tetehmu." Bu Isnaini kembali memanggil putri bungsunya. Seperti Kencana, Dahayu juga ogah-ogahan menghampiri Dia.
"Ngapain Teh Nia ke sini? Mau minta warisan ya?"
Dahayulah yang waktu itu bersama ayahnya, saat ia menelepon.
"Dahayu, jaga ucapanmu!" Bu Isnaini terperanjat mendengar kata-kata kurang ajar putrinya."Ayo, minta maaf pada tetehmu." Bu Isnaini mendorong bahu sang putri agar menghadap Nia. Ia sama sekali tidak menyangka kalau putrinya akan seberani itu pada Nia."Rumah ini adalah rumah ayah saya, jadi saya boleh datang ke sini kapan pun saya mau," jawab Nia dingin."Mengenai warisan, saya adalah anak kandung beliau. Saya tidak perlu meminta karena memang seyogyanya saya berhak atas warisan itu. Saya adalah seorang Suhardi. Mengerti kamu?" pungkas Nia tegas."Ibu saya adalah istrinya. Ibu saya juga berhak atas warisan ayah," bantah Dahayu sewot."Saya tidak membahas ibumu," ujar Nia datar. Sejujurnya, ia mulai menyesal. Sepertinya, mengungsi ke rumah ayahnya ini tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah yang ada."Cukup, Yu! Kalau kamu tidak bisa bersikap baik, masuk ke kamarmu dan jangan keluar sebelum Ibu izinkan!" seru Bu Isnaini tegas. Ia benar-benar tidak menyangka kalau putri bun
Nia terjaga saat mendengar suara ketukan pintu. Sejenak Nia bingung, karena terbangun di kamar yang asing. Tatkala pandangannya membentur lukisan mural di dinding, ia langsung ingat di mana dirinya berada. Ia sekarang ada di Citeko. Di rumah masa kecilnya."Iya, sebentar," sahut Nia tatkala ketukan pintu kembali terdengar. Ia segera membuka pintu. Ternyata Bik Titin yang mengetuknya."Maaf, Bibik mengganggu istirahatnya Neng Nia. Pak Suhar meminta Bibik memanggil Eneng untuk makan malam." Bik Titin berdiri di ambang pintu dengan jemari saling menjalin."Hah, makan malam? Bukannya ini masih sore?" tanya Nia. Perasaan ia baru memejamkan mata beberapa menit saja."Sekarang sudah pukul tujuh malam, Neng. Makanya Bapak meminta Bibik membangunkan Eneng. Takut Eneng kelaparan dan malamnya tidak bisa tidur." Bik Titin tertawa. "Jam tujuh malam?" Nia terperanjat. Ia pun memindai jam di dinding."Astaga, benar-benar sudah malam rupanya." Nia menepuk keningnya. Ia ketiduran cukup lama rupanya.
Senyum Nia mengembang. Ya, ayahnya pasti akan menyayanginya. Selama lima belas tahun tidak mencarinya, pasti itu karena ayahnya sangat sibuk merintis usaha-usahanya. Bukan mengabaikannya karena telah memiliki keluarga baru seperti yang dikatakan ibunya. Ya, pasti begitu!"Apa kabar, Yah?" Nia memecah keheningan dengan menyapa ayahnya penuh kerinduan. "Baik. Ayo, duduk. Kita akan makan malam bersama," sahut ayahnya singkat.Nia terpana. Kedua tangannya yang tadi sedianya ingin memeluk ayahnya, perlahan terkulai di sisi tubuhnya. Ayahnya tidak terlihat antusias menyambutnya. Alih-alih memeluk, ayahnya bahkan tidak bangkit dari kursinya. Baik, ayo duduk. Kita akan makan malam bersama. Seperti inikah reaksi seorang ayah yang tidak bertemu dengan putri kandungnya selama lima belas tahun lamanya? Sepertinya apa yang ibunya katakan memang benar. Istimewa Kencana dan Dahayu tampak tersenyum dengan air muka mengejek. Keduanya seolah-olah mengatakan bahwa dirinya bukan siapa-siapa di mata ayah
"Boleh Ayah menanyakan sesuatu yang sifatnya pribadi, Nia?" tanya Pak Suhardi. Saat ini dirinya dan Nia tinggal berdua saja di ruang makan. Ia memang meminta waktu untuk berbicara berdua saja dengan Nia. Ada beberapa hal penting yang ingin ia sampaikan pada putrinya."Tanya saja, Yah." Nia memutar-mutar gelas, bersikap seolah-olah tidak peduli, padahal jantungnya berdegup kencang. Ia sangat merindukan momen-momen seperti ini—berduaan saja bersama sang ayah, seperti dulu."Apakah kamu punya pacar di Jakarta saat ini?" tanya Pak Suhardi."Tidak, Yah." Nia menggeleng cepat. Bukan hanya saat ini; sampai di umurnya yang ke-25, dirinya memang belum pernah berpacaran."Bagus." Pak Suhardi mengangguk puas. Rencananya bisa ia jalankan."Berapa nomor rekening bankmu?" tanya Pak Suhardi lagi. Nia mengernyitkan dahi. Cara berbicara ayahnya aneh sekali; langsung berpindah-pindah topik tanpa ada petunjuk terlebih dahulu."Mengapa Ayah menanyakannya? Ayah mau mentransfer dana untuk Nia?" jawab Nia a
"Jangan mengajari Ayah, Cana. Ayah tahu apa yang Ayah lakukan. Keluarlah dari sini. Bawa Bayu bersamamu." Pak Suhardi memberi tatapan tidak ingin dibantah pada Kencana. Tanpa ba bi bu lagi, Kencana pun berlalu. Untuk pertama kalinya ayahnya marah padanya. Ini semua gara-gara Nia. Kencana semakin membenci kakak tirinya ini.Setelah Kencana dan Bayu pergi, suasana di ruangan itu kembali sunyi. Pak Suhardi dan Nia sama-sama terdiam. Keduanya tenggelam dengan pikiran masing-masing, menimbang-nimbang baik dan buruk keputusan yang akan mereka ambil."Oke, Ayah setuju untuk memberimu gaji dua puluh juta sebulan. Tapi ingat, kamu harus bekerja dengan profesional. Satu hal lagi, jangan sedikit-sedikit membicarakan soal warisan. Harta Ayah adalah milik Ayah sendiri, hasil kerja keras Ayah selama bertahun-tahun. Kalau kamu ingin kaya, maka bekerja keraslah. Lahir sebagai anak Ayah tidak otomatis membuatmu berhak atas sesuatu yang tidak kamu perjuangkan sendiri. Mengerti, Nia?""Baik, Yah. Kalau
"Bagaimana? Masih berani bilang kalau saya bohong?" Bayu bersedekap, sementara Nia masih bersimpuh. Gadis itu memandangi slip setoran di tangannya dengan tatapan kosong."Bukan hanya uang bulanan ini saja yang diupayakan susah payah oleh ayahmu, melainkan hadiah-hadiah ulang tahun yang setiap tahunnya ia kirimkan padamu," desis Bayu getas. Mendengar kata-kata Bayu, Nia tercekat.Kabar apa lagi ini ya, Allah?"Hadiah ulang tahun? Saya tidak pernah menerima hadiah apa pun dari Ayah," Nia menggeleng keras.Mendengar bantahan Nia, Bayu ikut berjongkok di depan Nia.Gadis ini masih belum kapok berbohong, rupanya."Tidak pernah menerimanya? Lantas, giwang ini kamu dapat dari mana, hah?" Bayu menunjuk telinga Nia."Giwang ini milik ibuku." Nia refleks memegang giwang di telinganya. Hanya giwang inilah satu-satunya perhiasan ibunya yang tidak ia jual. Selain ibunya meninggal dengan giwang ini di telinganya, ia juga sangat menyukai bentuknya. Giwang ini berbentuk kelopak bunga dengan sebuah be
"Tentu saja boleh, Nak. Besok Ayah sendiri yang akan menyetir. Kita akan jalan-jalan keliling Citeko berdua." Pak Suhardi tersenyum haru. Penantiannya selama 15 tahun telah dibalas dengan manis oleh putri kesayangannya.Sementara Nia dan Pak Suhardi bernostalgia, Kencana dan Dahayu saling berpandangan. Darah memang lebih kental dari air. Ternyata seberapa buruk pun Nia memperlakukan ayahnya, ayahnya tetap mencintai Nia. Kalau begini mereka berdua bisa tersingkir dari hati ayah mereka-ayah yang sudah 11 tahun lamanya menemani hari-hari mereka."Sekarang sebaiknya kamu beristirahat dulu. Besok adalah hari terakhirmu libur, karena setelahnya kamu harus bekerja seperti kesepakatan kita. Setuju, Nia?" tegas Pak Suhardi. Walaupun hatinya berbunga-bunga karena perubahan sikap sang putri, Pak Suhardi tetap dengan keputusan yang telah mereka sepakati bersama. Dia harus belajar mandiri dan bertanggung jawab."Baik, Yah. Nia akan istirahat sekarang. Selamat malam, Ayah." Nia mencium pipi kiri da
"Iya, sebentar," sahut Nia saat mendengar suara ketukan pintu. Itu pasti ayahnya yang akan mengajaknya keliling Citeko. Dengan cepat, Nia menguncir rambutnya menjadi ekor kuda yang kuat. Setelahnya, barulah ia membuka pintu. Alih-alih ayahnya, Dia malah mendapati Bik Titin yang berdiri gelisah di ambang pintu."Ayah menyuruh Bibik untuk memanggil saya, ya? Saya sudah siap kok, Bik." Nia menyambar tas ransel mungilnya. Ia siap berpetualang dengan sang ayah."Bukan, Neng. Bapak meminta Bibik menyampaikan ke Eneng kalau jalan-jalan keliling Citeko-nya tidak jadi.""Lho, kok tidak jadi? Bapak sibuk, ya, Bik?" ujar Nia kecewa."Bukan sibuk, Neng, tapi ada huru-hara di pabrik. Pak Karta membawa para peternak ramai-ramai berdemo di pabrik," jelas Bik Titin, menyampaikan apa yang ia tahu."Pak Karta itu siapa, Bik? Terus mengapa mereka demo?" tanya Nia heran.Belum sempat Bik Titin menjawab, terdengar suara langkah-langkah kaki yang mendekat. Bu Isnaini, Kencana, dan Dahayu datang menghampiri
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Nia, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan.Nia tetap berdiri di sana, tersenyum tipis, tanpa dendam atau amarah. Ia sudah mengikhlaskan semuanya."Sudah ya, saya harus ke kantor guru. Setelah beristirahat sebentar saya harus mengajar kembali," kata Mia, menjauh. Elusan tangan Bayu pun terlepas."Baiklah. Bisakah kita bertemu lagi? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan," pinta Bayu penuh harap."Bisa saja. Tapi harus disesuaikan dengan jadwal saya," jawab Nia setelah menimbang-nimbang sesaat."Kalau begitu, bolehkah saya meminta nomor ponselmu yang baru? Saya membutuhkannya untuk mengatur jadwal denganmu.""Kamu telepon saja Ayah. Nanti Ayah pasti akan menyampaikan pesanmu."Nia menolak memberikan nomor ponselnya."Satu pertanyaan lagi, Nia. Apakah kamu membenci saya?" tanya Bayu harap-harap cemas.Nia mengerutkan kening sesaat sebelum menggeleng mantap. "Tidak."Alhamdulillah."Tepatnya, saya tidak memiliki perasaan apa pun l
Di sebuah sekolah dasar swasta, Budi Pekerti, anak-anak berseragam merah putih duduk dengan tertib. Mereka tengah menunggu kedatangan guru Bahasa Inggris yang sangat mereka sukai.Beberapa saat kemudian, guru yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan senyum manis, guru favorit anak-anak kelas dua itu masuk dengan sebuah buku panduan di tangannya."Good morning, class," Nia menyapa murid-muridnya. Sudah empat bulan ini, ia mengajar Bahasa Inggris di sekolah Budi Pekerti."Good morning, Mrs. Nia," murid-murid menjawab serempak."Oke. Today, we are going to learn new words. Does anyone know what 'apple' means in Indonesian?" tanya Nia kepada murid-muridnya.Fuji—salah satu muridnya—mengangkat tangan."Yes, Mrs! 'Apple' is 'apel' in Indonesian," jawabnya dengan yakin."Very good, Fuji! Now, repeat after me. Apple.""Apple," seluruh kelas mengikuti.Bayu berdiri diam di luar kelas. Matanya tak berkedip menatap Nia—mantan istrinya—yang sedang mengajar. Ia tidak menyangka bahwa tempa
"Suhar..." Suara Bu Sekar pecah."Aku mohon... Bayu sudah seperti orang gila enam bulan ini! Ia tidak bekerja, tidak peduli dengan kesehatannya. Tidak ada yang ia pikirkan selain mencari Nia!"Pak Suhardi menarik napas panjang. Hatinya resah. Ia bisa membayangkan bagaimana keadaan Bayu.Bu Sekar menelan ludah, air matanya menggenang."Bayu depresi, Hardi. Aku takut kalau dia sampai menyakiti dirinya sendiri. Bayu hanya ingin menemui Nia sekali saja, Har. Satu kali saja."Hening. Di ujung telepon, Pak Suhardi mengusap wajahnya, serba salah. Ia tahu Nia sangat tersakiti, dan ia sudah berjanji akan melindungi putrinya itu dari segala hal yang membuatnya menderita. Namun, di sisi lain, ia juga melihat bagaimana Bayu benar-benar berubah."Aku akan mengatakan satu rahasia yang selama ini aku pendam semampuku, Har." Suara Bu Sekar bergetar."Apa itu, Sekar?" Suara Pak Suhardi terdengar khawatir."Aku menderita kanker pankreas stadium tiga, Har.""Astaghfirullahaladzim. Berarti pertemuan kit
Enam bulan kemudian.Hujan deras menyelimuti Cisarua sore itu, menciptakan kabut tipis di sepanjang jalanan desa yang sepi. Bayu turun dari mobilnya dengan langkah gontai, membiarkan hujan membasahi tubuhnya yang sudah kedinginan. Rambutnya lepek, wajahnya pucat, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini.Di beranda, Bu Sekar berdiri dengan payung di tangan. Wajahnya sendu saat melihat putranya dalam keadaan menyedihkan. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Bayu dan menariknya masuk ke dalam rumah."Ya ampun, Bayu. Enam bulan lamanya kamu tidak pernah ke sini, sekarang kamu datang dalam keadaan seperti ini?" Bu Sekar menyambut sang putra dengan tatapan prihatin.Bayu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, menatap kosong ke seantero rumah yang dulu terasa hangat karena ada Nia di dalamnya. Namun, kini semua hanya tinggal kenangan."Kau menyiksa diri sendiri, Nak. Lihat dirimu... Kamu bahkan lebih mirip gelandangan sekarang." Bu Sekar memandu putra
"Saya cemburu," ucap Bayu pelan, nyaris seperti bisikan.Nia mengernyit. "Apa maksudmu?"Bayu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Nia."Semua kekacauan ini, ketidakmasukakalan sikap saya, diawali oleh rasa cemburu," ulang Bayu, kali ini dengan suara lebih keras."Setiap kali saya melihatmu dekat dengan pria lain, saya tidak bisa berpikir jernih. Makanya, semua jadi kacau."Nia diam, namun ia tetap mendengarkan curahan hati Bayu.Bayu menarik napas panjang, menguatkan hatinya untuk terus mengeluarkan isi hatinya."Kamu ingat tidak saat saya melamarmu dulu? Saya bilang pada ayahmu kalau saya jatuh cinta padamu sejak melihatmu turun dari bus. Itu semua benar, Nia. Saya memang sudah menginginkanmu sejak saat itu. Namun, saya gengsi untuk mengakuinya. Karena...""Karena kamu menganggap saya yang penuh dosa ini tidak pantas untukmu yang suci, murni, tak bernoda, bukan?" potong Nia cepat.Bayu kembali menghela napas panjang. Walau terdengar memalukan, ia harus jujur."Benar. S
"Silakan kalian semua tanyakan apa pun yang ingin kalian tanya. Saya akan menjawab semuanya," ucap Nia datar. Saat ini, di dalam ruang kerja telah bertambah tiga orang: Bayu dan kedua orang tuanya."Siapa laki-laki yang memapahmu masuk ke kamar hotel tadi?" Bayu, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya membuka suara untuk pertama kali.Nia menatap Bayu lurus-lurus, lalu menjawab dengan jelas, "Namanya Peter, sutradara saya. Kami sedang syuting waktu itu. Tiba-tiba saya merasa mual dan pusing. Peter membantu saya ke kamar hotel untuk istirahat.""Sendirian?" selidik Bayu.Nia menggeleng. "Tidak. Di dalam kamar ada Kristin, staf wardrobe, dan Sus Tince, staf make-up. Mereka yang menemani saya di kamar, karena Peter langsung kembali ke lokasi syuting di aula hotel."Bayu terdiam sejenak. Ia mencerna kata-kata Nia.Namun, sebelum Bayu bisa berbicara lagi, Bu Sekar menyela dengan suara yang lebih lembut tetapi tetap mengandung ketidakpercayaan. "Kamu bisa membuktikan ceritamu ini, Nia?""Ib
Beberapa saat kemudian, Nia berdiri di kamar mandi, menggenggam alat uji kehamilan di tangannya. Jantungnya berdegup kencang saat dua garis merah muncul perlahan di layar kecil itu.Tangannya gemetar. Napasnya tercekat. Ia benar-benar hamil.Dunia di sekelilingnya terasa membisu. Hanya suara napasnya yang terdengar. Lalu satu pikiran muncul di kepalanya. Bagaimana reaksi Bayu nantinya? ***Rasanya ia baru saja memejamkan mata, saat telinganya mendengar suara ketukan pintu. "Ya, siapa?" tanya Nia seraya menguap lebar. "Saya, Neng, Bik Sari." "Masuk saja, Bik. Pintunya tidak saya kunci," ucap Nia seraya beringsut dari ranjang. Pukul empat sore. Itu artinya ia tertidur satu jam lebih. "Neng Nia sudah baikan belum?" tanya Bik Sari seraya membuka pintu kamar. Kata-kata Bik Sari membuat Nia teringat akan kondisinya sebelumnya. Tadi ia memang pusing dan mual parah. Namun sekarang tubuhnya sehat-sehat saja. Aneh sekali rasanya."Saya sudah baikan, Bik. Terima kasih Bibik sudah memperhati