"Maaf, Bapak-Bapak. Bukan rampok rupanya, tapi orang yang diutus untuk menjemput saya," Nia segera mengklarifikasi. Bisa gawat kalau orang utusan ayahnya ini dikeroyok massa.
"Huuuuu..." Teriakan mencemooh dari para penumpang membuat Nia tersenyum kecut.
"Lewat sini!" Nia nyaris terjerembab saat pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram erat. Ia ditarik ke arah yang berlawanan. Tersaruk-saruk karena sepatunya yang berhak tujuh senti, ia mengikuti Bayu.
"Kamu ini hampir saja membuat saya dikeroyok massa. Dasar gadis kota sombong!" desis Bayu geram. Jikalau bukan Pak Suhar yang langsung memintanya untuk menjemput putrinya yang egois ini, ia tidak akan sudi menjadi kacungnya. Lihatlah penampilan gadis kota ini-berdandan seperti layaknya seorang sosialita yang sedang hang out di pusat perbelanjaan. Padahal ia sedang berkunjung ke pegunungan. Luar biasa... bodohnya!
"Anda mengambil koper saya begitu saja tanpa pemberitahuan apa pun. Perbuatan Anda itu bisa dikategorikan sebagai aksi perampokan. Makanya saya refleks menyebut Anda perampok. Mengerti?" Nia menjelaskan alasannya.
"Jadi menurutmu saya salah?" Sambil berkacak pinggang Bayu memelototi si gadis kota.
Nia termangu sejenak. Untuk pertama kalinya ia memandang orang yang ia kira akan merampoknya. Mengenakan celana jeans dan kaos, laki-laki ini memiliki postur tubuh tegap, berambut cepak, serta tatapan mata yang tajam. Alih-alih perampok, laki-laki ini lebih mirip dengan seorang polisi.
"Bukan menurut saya, Pak Bayu. Tapi menurut hukum dan adab yang berlaku. Lain kali kalau Anda ingin membantu seseorang, katakan niat Anda kepada orang tersebut. Perkenalkan diri Anda baik-baik. Mengerti?" Nia mengacungkan jari telunjuknya pada Bayu, ciri khasnya apabila sedang menasihati murid-muridnya.
"Bapak... Bapak... memangnya saya ini bapakmu?" Bayu kembali menggerutu.
"Ayo, ikuti saya ke mobil!" bentak Bayu dengan nada tinggi. Semakin ia melihat penampilan wah gadis ini, semakin membuatnya darah tinggi. Kasihan Pak Suhar. Kantongnya pasti akan robek dalam, selama putri sosialitanya ini tinggal bersamanya. Ingatan itu membuat Bayu semakin muak. Ia berjalan dengan langkah panjang yang sengaja ia hentakkan kasar. Mulutnya tidak henti-hentinya mengeluarkan kata-kata makian.
"Lain kali juga, Anda lebih baik menolak jikalau diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak Anda inginkan. Daripada Anda menyanggupi tetapi tidak ikhlas melakukannya. Ayah saya pasti bisa meminta pekerja lain untuk menjemput saya," tegas Nia.
Gadis ini mengira bahwa dirinya adalah kacung ayahnya rupanya!
"Tutup mulutmu, cerewet!" hardik Bayu gusar. Ia pusing mendengar cerauan si gadis kota. Ia juga tidak berusaha mengoreksi kesalahannya. Biar saja gadis sombong ini nanti tahu sendiri, siapa dirinya yang sebenarnya.
Nia menarik napas panjang. Ia sekarang merasa ragu. Jangan-jangan keputusannya untuk berlindung ke Cisarua ini bukan hal yang tepat. Mengingat bahwa orang gajian ayahnya saja berani memperlakukannya dengan tidak hormat, apalagi dengan keluarga ayahnya yang lain.
"Mengapa kamu berhenti? Mobil kita yang di depannya." Bayu kembali mengomeli Nia.
"Oh, salah mobil ya?" Nia yang tadinya berhenti di samping sebuah mobil jeep, kembali melanjutkan langkah.
"Iya, salah. Mobil kita yang itu." Bayu menunjuk mobil truk milik Pak Suhar yang paling tua. Senyum puas tersungging di bibirnya tatkala melihat Nia terdiam di depan mobil. Pasti gadis kota ini shock dijemput dengan sebuah truk tua. Ditambah dengan ceceran rerumputan dan kotoran hewan di bak belakangnya, mobil ini sungguh mantap jiwa bagi orang-orang kota.
"Kenapa bengong? Kamu tidak mau naik mobil antik yang harum semerbak ini?" Bayu menganalogikan aroma kotoran hewan dengan kalimat sarkas harum semerbak. Sementara Nia, ingatannya seketika kembali ke masa lalu. Di mana dirinya dan sang ayah dulu kerap berjalan-jalan dengan pickup tua ini. Lima belas tahun lalu saja, pickup ini sudah sangat tua. Sekarang penampilan pickup merah tua ini jadi semakin mengenaskan.
"Jangan letakkan koper itu di sana!" Nia refleks menahan lengan Bayu yang ingin melemparkan kopernya ke bak belakang pickup. Koper dengan logo inisial huruf L dan V yang saling bertautan ini adalah koper kesayangan ibunya. Nia tidak tega membiarkan koper pinjamannya ini bercampur dengan segala macam kotoran di belakang sana.
"Kenapa? Kamu takut koper mahalmu ini bau kotoran?" Bayu berkacak pinggang.
"Iya. Selain itu, nanti sisi-sisi kopernya bisa lecet kalau terus bergesekan dengan besi bak mobil," ungkap Nia terus terang.
"Begini saja, kopernya saya pangku di depan saja." Nia mengambil keputusan yang ia anggap paling tepat.
"Hah, pangku di depan? Kamu yakin? Asal kamu tahu, perjalanan ke Citeko itu jalannya berkelok-kelok dan banyak tikungan tajam. Duduk biasa saja bisa membuatnya pusing, apalagi ditambah beban koper di pangkuanmu."
"Tidak apa-apa. Saya bisa menahannya," sahut Nia yakin.
"Baik. Itu pilihanmu sendiri ya? Jangan sampai setengah jalan, kamu mengeluh berat, tidak nyaman, atau ini itu. Mengerti?" ancam Bayu.
"Mengerti," Nia mengangguk tegas.
"Oke. Sekarang kamu masuk dulu. Baru setelahnya saya akan meletakkan kopermu." Bayu menunggu hingga Dia duduk. Ia kemudian meletakkan koper di pangkuan Nia dan segera menjalankan kendaraan.
Aduh!" Baru beberapa menit berkendara kepala Nia terantuk kaca mobil. Jalan yang berkelok tajam membuat mobil bergoyang mengikuti lekukan jalan..
"Berpegangan eratlah ke handle mobil. Agar tubuhmu tidak ikut oleng saat jalan berkelok," usul Bayu. Nia pun mengikuti instruksi Bayu.
Saat jalan tiba-tiba menurun dan Bayu berpapasan dengan kendaraan lain, kening Nia menghantam keras pegangan koper. Nia merasa pusing sesaat. Namun ia tidak bersuara. Ia menahan rasa sakitnya dalam diam. Bayu tadi sudah memperingatkannya.
"Kok berhenti? Apa kita sudah sampai?" Nia heran karena tiba-tiba saja Bayu menghentikan kendaraan di pinggir jalan. Bayu tidak mengatakan apa pun. Ia turun dan memeriksa sesuatu di belakang mobil. Ia kembali dengan membawa sebuah karung goni di tangannya.
"Buka pintunya." Bayu mengetuk kaca mobil. Dengan tangan kirinya, Dia pun membuka pintu mobil.
"Eh mau dibawa ke mana koper saya?" Nia bingung saat Bayu meraih kopernya begitu saja. Bayu tidak mengatakan apa pun. Ia kemudian memasukkan koper ke karung goni dan menempatkannya ke bak belakang mobil dengan hati-hati. Ia kemudian mengikat karung goni dengan tali erat-erat agar tidak berlari ke sana sini.
"Saya meringankan bebanmu. Sekarang duduk yang benar, agar kamu tidak lagi memar-memar. Nanti ayahmu sedih karena putri kesayangannya yang lupa pulang, terluka." Nia diam saja. Namun menangkap satu hal. Bahwa Bayu ini menganggapnya telah mengabaikan ayahnya. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya.
"Astaghfirullahaladzim!" Nia refleks mengucap saat mobil yang ia tumpangi oleng ke kanan dan ke kiri. Belum juga duduk dengan benar, mobil tiba-tiba terjun bebas karena turunan tajam. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan karena indahnya pemandangan tidak bisa ia nikmati karena cara menyetir Bayu yang ugal-ugalan. Alhasil, selama berkendara, Dia terus memejamkan matanya sambil berdoa; semoga anggota tubuhnya tetap utuh sesampainya di rumah sang ayah.Lima belas menit kemudian, mobil berbelok dan langsung berhenti tanpa aba-aba. Akibatnya, tubuhnya melaju ke depan dan nyaris membentur dashboard. Untungnya ada sabuk pengaman yang menahan laju tubuhnya."Buka matamu, kita sudah sampai." Suara dengan nada kesal terdengar dari sampingnya. Bayu memang tidak pernah ramah padanya. "Alhamdulillah hirobbil alamin." Nia membuka mata sambil mengucap syukur. Ia bersyukur karena selamat sampai tujuan dengan anggota tubuh yang masih utuh. Cepatnya mereka tiba membuat Nia penasaran. Dia melirik j
"Dahayu, jaga ucapanmu!" Bu Isnaini terperanjat mendengar kata-kata kurang ajar putrinya."Ayo, minta maaf pada tetehmu." Bu Isnaini mendorong bahu sang putri agar menghadap Nia. Ia sama sekali tidak menyangka kalau putrinya akan seberani itu pada Nia."Rumah ini adalah rumah ayah saya, jadi saya boleh datang ke sini kapan pun saya mau," jawab Nia dingin."Mengenai warisan, saya adalah anak kandung beliau. Saya tidak perlu meminta karena memang seyogyanya saya berhak atas warisan itu. Saya adalah seorang Suhardi. Mengerti kamu?" pungkas Nia tegas."Ibu saya adalah istrinya. Ibu saya juga berhak atas warisan ayah," bantah Dahayu sewot."Saya tidak membahas ibumu," ujar Nia datar. Sejujurnya, ia mulai menyesal. Sepertinya, mengungsi ke rumah ayahnya ini tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah yang ada."Cukup, Yu! Kalau kamu tidak bisa bersikap baik, masuk ke kamarmu dan jangan keluar sebelum Ibu izinkan!" seru Bu Isnaini tegas. Ia benar-benar tidak menyangka kalau putri bun
Nia terjaga saat mendengar suara ketukan pintu. Sejenak Nia bingung, karena terbangun di kamar yang asing. Tatkala pandangannya membentur lukisan mural di dinding, ia langsung ingat di mana dirinya berada. Ia sekarang ada di Citeko. Di rumah masa kecilnya."Iya, sebentar," sahut Nia tatkala ketukan pintu kembali terdengar. Ia segera membuka pintu. Ternyata Bik Titin yang mengetuknya."Maaf, Bibik mengganggu istirahatnya Neng Nia. Pak Suhar meminta Bibik memanggil Eneng untuk makan malam." Bik Titin berdiri di ambang pintu dengan jemari saling menjalin."Hah, makan malam? Bukannya ini masih sore?" tanya Nia. Perasaan ia baru memejamkan mata beberapa menit saja."Sekarang sudah pukul tujuh malam, Neng. Makanya Bapak meminta Bibik membangunkan Eneng. Takut Eneng kelaparan dan malamnya tidak bisa tidur." Bik Titin tertawa. "Jam tujuh malam?" Nia terperanjat. Ia pun memindai jam di dinding."Astaga, benar-benar sudah malam rupanya." Nia menepuk keningnya. Ia ketiduran cukup lama rupanya.
Senyum Nia mengembang. Ya, ayahnya pasti akan menyayanginya. Selama lima belas tahun tidak mencarinya, pasti itu karena ayahnya sangat sibuk merintis usaha-usahanya. Bukan mengabaikannya karena telah memiliki keluarga baru seperti yang dikatakan ibunya. Ya, pasti begitu!"Apa kabar, Yah?" Nia memecah keheningan dengan menyapa ayahnya penuh kerinduan. "Baik. Ayo, duduk. Kita akan makan malam bersama," sahut ayahnya singkat.Nia terpana. Kedua tangannya yang tadi sedianya ingin memeluk ayahnya, perlahan terkulai di sisi tubuhnya. Ayahnya tidak terlihat antusias menyambutnya. Alih-alih memeluk, ayahnya bahkan tidak bangkit dari kursinya. Baik, ayo duduk. Kita akan makan malam bersama. Seperti inikah reaksi seorang ayah yang tidak bertemu dengan putri kandungnya selama lima belas tahun lamanya? Sepertinya apa yang ibunya katakan memang benar. Istimewa Kencana dan Dahayu tampak tersenyum dengan air muka mengejek. Keduanya seolah-olah mengatakan bahwa dirinya bukan siapa-siapa di mata ayah
"Boleh Ayah menanyakan sesuatu yang sifatnya pribadi, Nia?" tanya Pak Suhardi. Saat ini dirinya dan Nia tinggal berdua saja di ruang makan. Ia memang meminta waktu untuk berbicara berdua saja dengan Nia. Ada beberapa hal penting yang ingin ia sampaikan pada putrinya."Tanya saja, Yah." Nia memutar-mutar gelas, bersikap seolah-olah tidak peduli, padahal jantungnya berdegup kencang. Ia sangat merindukan momen-momen seperti ini—berduaan saja bersama sang ayah, seperti dulu."Apakah kamu punya pacar di Jakarta saat ini?" tanya Pak Suhardi."Tidak, Yah." Nia menggeleng cepat. Bukan hanya saat ini; sampai di umurnya yang ke-25, dirinya memang belum pernah berpacaran."Bagus." Pak Suhardi mengangguk puas. Rencananya bisa ia jalankan."Berapa nomor rekening bankmu?" tanya Pak Suhardi lagi. Nia mengernyitkan dahi. Cara berbicara ayahnya aneh sekali; langsung berpindah-pindah topik tanpa ada petunjuk terlebih dahulu."Mengapa Ayah menanyakannya? Ayah mau mentransfer dana untuk Nia?" jawab Nia a
"Jangan mengajari Ayah, Cana. Ayah tahu apa yang Ayah lakukan. Keluarlah dari sini. Bawa Bayu bersamamu." Pak Suhardi memberi tatapan tidak ingin dibantah pada Kencana. Tanpa ba bi bu lagi, Kencana pun berlalu. Untuk pertama kalinya ayahnya marah padanya. Ini semua gara-gara Nia. Kencana semakin membenci kakak tirinya ini.Setelah Kencana dan Bayu pergi, suasana di ruangan itu kembali sunyi. Pak Suhardi dan Nia sama-sama terdiam. Keduanya tenggelam dengan pikiran masing-masing, menimbang-nimbang baik dan buruk keputusan yang akan mereka ambil."Oke, Ayah setuju untuk memberimu gaji dua puluh juta sebulan. Tapi ingat, kamu harus bekerja dengan profesional. Satu hal lagi, jangan sedikit-sedikit membicarakan soal warisan. Harta Ayah adalah milik Ayah sendiri, hasil kerja keras Ayah selama bertahun-tahun. Kalau kamu ingin kaya, maka bekerja keraslah. Lahir sebagai anak Ayah tidak otomatis membuatmu berhak atas sesuatu yang tidak kamu perjuangkan sendiri. Mengerti, Nia?""Baik, Yah. Kalau
"Bagaimana? Masih berani bilang kalau saya bohong?" Bayu bersedekap, sementara Nia masih bersimpuh. Gadis itu memandangi slip setoran di tangannya dengan tatapan kosong."Bukan hanya uang bulanan ini saja yang diupayakan susah payah oleh ayahmu, melainkan hadiah-hadiah ulang tahun yang setiap tahunnya ia kirimkan padamu," desis Bayu getas. Mendengar kata-kata Bayu, Nia tercekat.Kabar apa lagi ini ya, Allah?"Hadiah ulang tahun? Saya tidak pernah menerima hadiah apa pun dari Ayah," Nia menggeleng keras.Mendengar bantahan Nia, Bayu ikut berjongkok di depan Nia.Gadis ini masih belum kapok berbohong, rupanya."Tidak pernah menerimanya? Lantas, giwang ini kamu dapat dari mana, hah?" Bayu menunjuk telinga Nia."Giwang ini milik ibuku." Nia refleks memegang giwang di telinganya. Hanya giwang inilah satu-satunya perhiasan ibunya yang tidak ia jual. Selain ibunya meninggal dengan giwang ini di telinganya, ia juga sangat menyukai bentuknya. Giwang ini berbentuk kelopak bunga dengan sebuah be
"Tentu saja boleh, Nak. Besok Ayah sendiri yang akan menyetir. Kita akan jalan-jalan keliling Citeko berdua." Pak Suhardi tersenyum haru. Penantiannya selama 15 tahun telah dibalas dengan manis oleh putri kesayangannya.Sementara Nia dan Pak Suhardi bernostalgia, Kencana dan Dahayu saling berpandangan. Darah memang lebih kental dari air. Ternyata seberapa buruk pun Nia memperlakukan ayahnya, ayahnya tetap mencintai Nia. Kalau begini mereka berdua bisa tersingkir dari hati ayah mereka-ayah yang sudah 11 tahun lamanya menemani hari-hari mereka."Sekarang sebaiknya kamu beristirahat dulu. Besok adalah hari terakhirmu libur, karena setelahnya kamu harus bekerja seperti kesepakatan kita. Setuju, Nia?" tegas Pak Suhardi. Walaupun hatinya berbunga-bunga karena perubahan sikap sang putri, Pak Suhardi tetap dengan keputusan yang telah mereka sepakati bersama. Dia harus belajar mandiri dan bertanggung jawab."Baik, Yah. Nia akan istirahat sekarang. Selamat malam, Ayah." Nia mencium pipi kiri da
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Nia, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan.Nia tetap berdiri di sana, tersenyum tipis, tanpa dendam atau amarah. Ia sudah mengikhlaskan semuanya."Sudah ya, saya harus ke kantor guru. Setelah beristirahat sebentar saya harus mengajar kembali," kata Mia, menjauh. Elusan tangan Bayu pun terlepas."Baiklah. Bisakah kita bertemu lagi? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan," pinta Bayu penuh harap."Bisa saja. Tapi harus disesuaikan dengan jadwal saya," jawab Nia setelah menimbang-nimbang sesaat."Kalau begitu, bolehkah saya meminta nomor ponselmu yang baru? Saya membutuhkannya untuk mengatur jadwal denganmu.""Kamu telepon saja Ayah. Nanti Ayah pasti akan menyampaikan pesanmu."Nia menolak memberikan nomor ponselnya."Satu pertanyaan lagi, Nia. Apakah kamu membenci saya?" tanya Bayu harap-harap cemas.Nia mengerutkan kening sesaat sebelum menggeleng mantap. "Tidak."Alhamdulillah."Tepatnya, saya tidak memiliki perasaan apa pun l
Di sebuah sekolah dasar swasta, Budi Pekerti, anak-anak berseragam merah putih duduk dengan tertib. Mereka tengah menunggu kedatangan guru Bahasa Inggris yang sangat mereka sukai.Beberapa saat kemudian, guru yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan senyum manis, guru favorit anak-anak kelas dua itu masuk dengan sebuah buku panduan di tangannya."Good morning, class," Nia menyapa murid-muridnya. Sudah empat bulan ini, ia mengajar Bahasa Inggris di sekolah Budi Pekerti."Good morning, Mrs. Nia," murid-murid menjawab serempak."Oke. Today, we are going to learn new words. Does anyone know what 'apple' means in Indonesian?" tanya Nia kepada murid-muridnya.Fuji—salah satu muridnya—mengangkat tangan."Yes, Mrs! 'Apple' is 'apel' in Indonesian," jawabnya dengan yakin."Very good, Fuji! Now, repeat after me. Apple.""Apple," seluruh kelas mengikuti.Bayu berdiri diam di luar kelas. Matanya tak berkedip menatap Nia—mantan istrinya—yang sedang mengajar. Ia tidak menyangka bahwa tempa
"Suhar..." Suara Bu Sekar pecah."Aku mohon... Bayu sudah seperti orang gila enam bulan ini! Ia tidak bekerja, tidak peduli dengan kesehatannya. Tidak ada yang ia pikirkan selain mencari Nia!"Pak Suhardi menarik napas panjang. Hatinya resah. Ia bisa membayangkan bagaimana keadaan Bayu.Bu Sekar menelan ludah, air matanya menggenang."Bayu depresi, Hardi. Aku takut kalau dia sampai menyakiti dirinya sendiri. Bayu hanya ingin menemui Nia sekali saja, Har. Satu kali saja."Hening. Di ujung telepon, Pak Suhardi mengusap wajahnya, serba salah. Ia tahu Nia sangat tersakiti, dan ia sudah berjanji akan melindungi putrinya itu dari segala hal yang membuatnya menderita. Namun, di sisi lain, ia juga melihat bagaimana Bayu benar-benar berubah."Aku akan mengatakan satu rahasia yang selama ini aku pendam semampuku, Har." Suara Bu Sekar bergetar."Apa itu, Sekar?" Suara Pak Suhardi terdengar khawatir."Aku menderita kanker pankreas stadium tiga, Har.""Astaghfirullahaladzim. Berarti pertemuan kit
Enam bulan kemudian.Hujan deras menyelimuti Cisarua sore itu, menciptakan kabut tipis di sepanjang jalanan desa yang sepi. Bayu turun dari mobilnya dengan langkah gontai, membiarkan hujan membasahi tubuhnya yang sudah kedinginan. Rambutnya lepek, wajahnya pucat, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini.Di beranda, Bu Sekar berdiri dengan payung di tangan. Wajahnya sendu saat melihat putranya dalam keadaan menyedihkan. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Bayu dan menariknya masuk ke dalam rumah."Ya ampun, Bayu. Enam bulan lamanya kamu tidak pernah ke sini, sekarang kamu datang dalam keadaan seperti ini?" Bu Sekar menyambut sang putra dengan tatapan prihatin.Bayu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, menatap kosong ke seantero rumah yang dulu terasa hangat karena ada Nia di dalamnya. Namun, kini semua hanya tinggal kenangan."Kau menyiksa diri sendiri, Nak. Lihat dirimu... Kamu bahkan lebih mirip gelandangan sekarang." Bu Sekar memandu putra
"Saya cemburu," ucap Bayu pelan, nyaris seperti bisikan.Nia mengernyit. "Apa maksudmu?"Bayu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Nia."Semua kekacauan ini, ketidakmasukakalan sikap saya, diawali oleh rasa cemburu," ulang Bayu, kali ini dengan suara lebih keras."Setiap kali saya melihatmu dekat dengan pria lain, saya tidak bisa berpikir jernih. Makanya, semua jadi kacau."Nia diam, namun ia tetap mendengarkan curahan hati Bayu.Bayu menarik napas panjang, menguatkan hatinya untuk terus mengeluarkan isi hatinya."Kamu ingat tidak saat saya melamarmu dulu? Saya bilang pada ayahmu kalau saya jatuh cinta padamu sejak melihatmu turun dari bus. Itu semua benar, Nia. Saya memang sudah menginginkanmu sejak saat itu. Namun, saya gengsi untuk mengakuinya. Karena...""Karena kamu menganggap saya yang penuh dosa ini tidak pantas untukmu yang suci, murni, tak bernoda, bukan?" potong Nia cepat.Bayu kembali menghela napas panjang. Walau terdengar memalukan, ia harus jujur."Benar. S
"Silakan kalian semua tanyakan apa pun yang ingin kalian tanya. Saya akan menjawab semuanya," ucap Nia datar. Saat ini, di dalam ruang kerja telah bertambah tiga orang: Bayu dan kedua orang tuanya."Siapa laki-laki yang memapahmu masuk ke kamar hotel tadi?" Bayu, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya membuka suara untuk pertama kali.Nia menatap Bayu lurus-lurus, lalu menjawab dengan jelas, "Namanya Peter, sutradara saya. Kami sedang syuting waktu itu. Tiba-tiba saya merasa mual dan pusing. Peter membantu saya ke kamar hotel untuk istirahat.""Sendirian?" selidik Bayu.Nia menggeleng. "Tidak. Di dalam kamar ada Kristin, staf wardrobe, dan Sus Tince, staf make-up. Mereka yang menemani saya di kamar, karena Peter langsung kembali ke lokasi syuting di aula hotel."Bayu terdiam sejenak. Ia mencerna kata-kata Nia.Namun, sebelum Bayu bisa berbicara lagi, Bu Sekar menyela dengan suara yang lebih lembut tetapi tetap mengandung ketidakpercayaan. "Kamu bisa membuktikan ceritamu ini, Nia?""Ib
Beberapa saat kemudian, Nia berdiri di kamar mandi, menggenggam alat uji kehamilan di tangannya. Jantungnya berdegup kencang saat dua garis merah muncul perlahan di layar kecil itu.Tangannya gemetar. Napasnya tercekat. Ia benar-benar hamil.Dunia di sekelilingnya terasa membisu. Hanya suara napasnya yang terdengar. Lalu satu pikiran muncul di kepalanya. Bagaimana reaksi Bayu nantinya? ***Rasanya ia baru saja memejamkan mata, saat telinganya mendengar suara ketukan pintu. "Ya, siapa?" tanya Nia seraya menguap lebar. "Saya, Neng, Bik Sari." "Masuk saja, Bik. Pintunya tidak saya kunci," ucap Nia seraya beringsut dari ranjang. Pukul empat sore. Itu artinya ia tertidur satu jam lebih. "Neng Nia sudah baikan belum?" tanya Bik Sari seraya membuka pintu kamar. Kata-kata Bik Sari membuat Nia teringat akan kondisinya sebelumnya. Tadi ia memang pusing dan mual parah. Namun sekarang tubuhnya sehat-sehat saja. Aneh sekali rasanya."Saya sudah baikan, Bik. Terima kasih Bibik sudah memperhati