Share

(Bukan) Gadis Matre sang Juragan
(Bukan) Gadis Matre sang Juragan
Penulis: Suzy Wiryanty

1. Awal Mula Bencana.

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-18 17:25:00

Di kantor guru, Nia memandangi hujan rintik-rintik yang jatuh meningkahi kaca jendela. Ia sangat menyukai cuaca seperti ini. Di mana udara terasa sejuk, ditingkahi dengan aroma tanah yang khas. 

"Selamat pagi, Bu Nia. Ini teh manis hangatnya." Pak Udin, penjaga sekolah meletakkan secangkir teh di mejanya. 

"Terima kasih, Pak Udin. Maaf ya, sudah merepotkan pagi-pagi," ujar Nia sambil tersenyum kecil.

"Walah, kok repot sih? Lha wong memang sudah menjadi tugas saya." Pak Udin tertawa. Memamerkan sejumlah giginya yang sudah tanggal. 

"Selamat menikmatinya tehnya, Bu Diah. Saya bekerja dulu." Pak Udin meminta diri. Sepeninggal Pak Udin, Nia kembali melamun. Kenangan akan hujan, mengingatkannya pada sang ayah yang sudah lima belas tahun lamanya tidak pernah lagi ia lihat. Nia memejamkan mata. Terkadang ia sangat merindukan ayahnya. Sayangnya, ayahnya tidak mau lagi berhubungan dengannya setelah ayahnya menikah lagi. 

"Astaghfirullahaladzim." Nia yang sedang melamun, kaget saat ponselnya tiba-tiba berdering. Nia menimbang-nimbang sejenak sebelum mengangkat telepon. Karena biasanya setiap kali berbicara dengan sang ibu, mood mengajarnya bisa terjun bebas. 

"Assalamulaikum, Bu. Ada..."

"Sabtu depan jangan lupa datang ke pesta ulang tahun Ibu. Gaunmu sudah Ibu pesan. Lusa akan diantar oleh kurir. Transfer Ibu 12 juta rupiah. Ibu

memesan gaun karya Iwan Tirta untukmu."

Nia mematung sejenak sebelum merespon kata-kata ibunya. 

"12 juta? Itu tiga bulan gaji Nia, Bu. Nia tidak sanggup membayarnya. Lagi pula Nia tidak meminta Ibu untuk membelinya bukan?"

"Ibu membelinya karena Ibu tidak mau kamu permalukan! Cukup bulan lalu kamu mempermalukan Ibu, dengan hadir di ulang tahun Tante Titik mengenakan gaun murah jahitanmu sendiri. Sabtu depan, jangan coba-coba tampil seperti orang susah lagi. Kamu tahu siapa Ibu kan? Ibu adalah artis senior kebanggaan negeri ini. Paham kamu!" 

"Paham, Bu. Paham. Tapi Dia tidak punya uang sebanyak itu sekarang. Gaji Nia sudah menipis untuk membayar uang kontrakan dan..."

"Siapa suruh kamu mau menjadi guru SD di sekolah kecil? Diorbitkan Pak Abdi jadi artis, tidak mau. Jadi model dan bintang iklan, tidak mau juga. Kamu malah memilih menjadi guru SD. Telan sendiri penderitaanmu. Ibu tidak mau tahu!"

"Cita-cita Nia memang menjadi guru, Bu."

"Kalau begitu, jadilah guru seperti si Clara. Yang gajinya sebulan puluhan juta karena mengajar di sekolah internasional. Bukan menjadi guru di sekolah abal-abal sepertimu. Jangan banyak alasan. Pokoknya segera transfer uang Ibu!" 

Telepon kemudian diputus. Nia meletakkan ponsel di meja kayu lesu. Begitulah ibunya, Sahila Rahman-seorang artis lawas yang hidupnya penuh dengan keglamouran. Nia tidak pernah sepaham dengan ibunya yang selalu bergaya ala seorang sosialita papan atas. Ibunya sendiri sudah bercerai dengan ayahnya, lima belas tahun yang lalu. Tepatnya saat ia masih berusia 10 tahun.

Lamunan Nia terputus, tatkala mendengar suara langkah- langkah kaki tergesa memasuki kantor. Beberapa rekan guru baru saja datang. Mereka adalah Bu Sekar, Pak Indra dan Bu Rasti. Ketiganya tampak menggoyangkan payung masing-masing untuk menghilangkan sisa-sisa air hujan sebelum masuk ke dalam ruang guru.

"Wah, Bu Nia sudah hadir duluan. Kami pikir, kami bertigalah orang yang pertama kali datang," ujar Bu Sekar ceria.

"Saya sengaja datang lebih cepat karena tadi cuaca mendung, Bu. Takut kehujanan di jalan. Ternyata dugaan saya benar bukan? Hujan deras sudah membasahi bumi pagi-pagi," pungkas Nia.

"Lain kali, telepon saya saja kalau Bu Nia takut kehujanan di jalan. Jikalau Bu Nia ingin setiap hari saya jemput pun, boleh kok." Pak Indra ikut berkomentar. Pak Indra adalah guru bidang studi matematika yang kebetulan memiliki mobil.

"Pak Indra modus terus ya? Tapi, ya memang tidak apa-apa sih. Kalian berdua 'kan masih single. Bolehlah saling penjajakan. Usaha yang lebih keras lagi dong, Pak. Biar hati Bu Nia luluh lembut seperti agar-agar." Bu Rasti yang telah berusia 40-an memanas-manasi Arman.

"Mau berusaha sampai kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki juga tidak bakalan berhasil, Bu. Mana mau Bu Sahila Rahman punya menantu guru matematika yang gajinya pas-pasan," celetuk Bu Sekar.

"Tuh, Bu Rasti. Jawaban saya sudah diwakili oleh Bu Sekar. Sudah menjadi nasib saya hanya bisa mengagumi mawar indah ini dari kejauhan." Pak Indra berdeklamasi dengan raut wajah sedih. 

Nia menanggapi keriuhan rekan-rekan sejawatnya hanya dengan senyum kecil saja. Sesungguhnya rekan-rekannya ini hanya melihat sebagian kecil hidupnya. Rekan-rekannya ini menganggap dirinya mau menjadi guru hanya karena sedang gabut saja. Kalau meminjam istilah Rina, dirinya adalah contoh gabutnya anak orang kaya yang positif. Padahal itu semua tidak benar. Dirinya bekerja menjadi guru memang karena cita-citanya. Sedangkan mengenai keuangan, ia tidak pernah meminta sepeser pun pada ibunya. Setelah tamat kuliah, ia mengontrak sebuah rumah yang dekat sekolah tempatnya mengajar. Sudah setahun lamanya ia hidup dengan mengandalkan gaji sebagai guru dan upah mengajar les piano. 

Ponselnya kembali berdering. Memindai nama sang ibu kembali di ponselnya, membuat Nia mendecakkan lidah. Ibunya benar-benar memaksa agar dirinya segera mentransfer dana gaun yang tidak pernah ia minta. Namun tak urung ia mengangkatnya juga.

"Iya, Bu. Nanti agak siang ya, Nia transfer. Soalnya..."

"Selamat pagi. Benar, ini dengan Ibu Nia Nan Dinanti Suhardi?"

Nia memegang dadanya. Suara laki-laki dengan bahasa formal. Jelas, ini bukan suara ibunya.

"Benar. Bapak siapa ya? Mengapa ponsel ibu saya ada di tangan Bapak?" 

"Saya IPDA Gultom Siagian. Ibu Anda, Sahila Rahman, mengalami kecelakaan lalu lintas saat berkendara. Saat ini Ibu Anda ada di rumah sakit Harapan Kita. Harap segera ke sini karena Ibu Anda dalam keadaan kritis." 

Nia tidak mengatakan apa pun. Lidahnya kelu. Ia hanya menatap ponsel dengan tatapan horor, sebelum terduduk dengan ponsel masih berada dalam genggaman. Ibunya mengalami kecelakaan! Astaghfirullahaladzim.

"Apa apa, Bu Nia? Kok Ibu pucat sekali." Bu Rina kebingungan saat melihat Dia terduduk di kursi dengan air muka memutih. Nia tidak mengatakan apa pun. Ia menyerahkan ponsel ke tangan Bu Rina. Saat ini ia sedang tidak bisa berpikir. 

"Iya, Pak polisi. Baik, saya akan menemani Ibu Nia ke rumah sakit. Terima kasih banyak, Pak Polisi." Setelah menutup panggilan, Bu Rina mengkoordinir semuanya. Dengan menumpang mobil Arman mereka bertiga bergegas ke rumah sakit.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wieta Wieta
Dia ganti jadi Nia ya kak.. usulan dr GN jugakah?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   2. Dikejar Rentenir.

    Satu minggu kemudian."Ini sertipikat rumahnya. Sebenarnya rumah ini sudah sah menjadi milik saya sejak setahun yang lalu." Pak Abdi memperlihatkan sertipikat rumah pada Nia. Nia menerima sertipikat dan membalik halaman-halamannya. Pak Abdi tidak bohong. Nama Sahila Rahman telah dicoret. Diganti menjadi nama Abdi Wahab. "Kalau memang sudah dijual, kenapa ibu saya masih tinggal di rumah ini?" tanya Nia heran. "Karena ibumu minta tolong pada saya. Katanya ia tidak mau kamu sedih karena rumah kesayanganmu ini sudah dijual. Makanya saya bolehkan ibumu tinggal sementara di sini." Rumah kesayangannya? Bagaimana bisa ibunya menyebut rumah ini sebagai rumah kesayangannya, sementara dia tidak pernah tinggal di rumah ini. Kalau mau jujur, ia malah sangat tidak betah tinggal di rumah mewah ini. "Kalau kamu mau, kamu boleh kok menempati rumah ini seperti ibumu," tutur Pak Abdi lembut. Nia tidak menjawab. Dirinya bukan orang bodoh. Ia tahu, pasti ada harga yang harus ia tukar demi bisa menemp

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   3. Hidup Dalam Tekanan.

    Nia menyeka peluh dengan handuk kecil sebelum meneguk air dingin dengan rakus, langsung dari kemasannya. Rasa dahaganya seketika hilang seiring tubuhnya yang terduduk kelelahan di lantai. Harus mengosongkan rumah dalam waktu tiga hari, sungguh menguras energinya. Padahal ia sudah dibantu oleh Yuyun, Mang Kosim, dan juga Oma Wardah. Yuyun adalah asisten rumah tangga ibunya, Mang Kosim sopir, dan Oma Wardah adalah pemilik panti asuhan Cinta Kasih. Ibunya yang sebatang kara dulu tinggal di panti asuhan Cinta Kasih milik Oma Wardah ini."Mbak Nia, kata bapak-bapak pemulung di depan, majalah-majalah dan koran-koran bekasnya ikut dibuang tidak? Kalau iya, mau mereka angkut sekalian katanya," Yuyun muncul dari teras."Tidak, Yun. Majalah dan koran-koran itu kesayangan Ibu," Nia menggeleng."Lha, kalau tidak diambil, nanti rumah ini tidak bersih, dong. Bukannya Mbak Nia bilang kita harus mengosongkan sekaligus membersihkan rumah ini sampai kilat?" ujar Yuyun bingung."Nanti saya akan menitipk

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   4. Kecewa.

    "Ayo, kita obrak-abrik sekolahannya!" Suara-suara itu perlahan menjauh. Dia menarik napas panjang berkali-kali. Paru-parunya baru bisa mengembang setelah tercekat beberapa saat. Terdengar suara langkah-langkah kaki. Yuyun masuk ke dalam kamar."Kamu tidak apa-apa, Yun?" Nia menghampiri Yuyun, seraya mengamati keadaan sang gadis remaja. "Saya tidak apa-apa, Mbak," ucap Yuyun menenangkan. "Mang Kosim?" tanya Nia lagi."Mang Kosim juga baik-baik saja. Mereka semua sudah pergi kok, Mbak. Tapi sebaiknya Mbak tetap di dalam saja. Siapa tahu nanti mereka datang lagi," usul Yuyun. Nia mengangguk setuju. Keadaan sekarang semakin genting."Saya beres-beres di depan lagi ya, Mbak. Nanti kalau teman-teman Mbak datang, saya panggil mereka langsung masuk ke dalam saja.""Iya, Yun. Terima kasih banyak ya?" Nia menggenggam tangan Yuyun tulus."Iya, Mbak. Sama-sama." "Nia, Oma rasa kamu tidak bisa lagi tinggal di kota ini. Nyawamu terancam, Nduk. Apalagi kalau kamu sampai diculik oleh orang-orang j

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   5. Hidup Baru.

    "Kamu yakin mau ke Cisarua sendiri, Nia? Naik angkutan umum lagi? Kamu tidak takut nyasar?" Oma Wardah memandangi Nia yang sedang bersiap-siap ke Cisarua."Yakin, Oma. Nia dulu kan pernah tinggal di sana juga. Masa nyasar sih?" tukas Nia sambil menggelung rambutnya menjadi sanggul chignon ala Prancis. Gaya rambut ini membuatnya terlihat rapi dan elegan."Tapi kamu tinggal di sana saat masih berusia sepuluh tahun, Di. Itu artinya lima belas tahun yang lalu. Pasti sudah banyak perubahannya sekarang. Oma telepon ayahmu saja agar menjemputmu, ya?" usul Oma Wardah."Jangan dong, Oma. Nia tidak mau merepotkan Ayah. Nia sudah tahu kok jalannya. Dari sini Nia akan naik bus sampai ke Terminal Baranangsiang, Bogor. Lalu Nia akan melanjutkan perjalanan ke Cisarua dengan angkot kode 02 ke rumah Ayah. Zaman sekarang ke mana-mana itu gampang, Oma. Ada Google Maps, jadi tidak akan nyasar. Nanti, saat Nia sudah dekat dengan rumah Ayah, baru Nia akan menelepon Ayah. Oma tenang saja, Nia sudah besar. O

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   6. Si Pengganggu!

    "Maaf, Bapak-Bapak. Bukan rampok rupanya, tapi orang yang diutus untuk menjemput saya," Nia segera mengklarifikasi. Bisa gawat kalau orang utusan ayahnya ini dikeroyok massa."Huuuuu..." Teriakan mencemooh dari para penumpang membuat Nia tersenyum kecut."Lewat sini!" Nia nyaris terjerembab saat pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram erat. Ia ditarik ke arah yang berlawanan. Tersaruk-saruk karena sepatunya yang berhak tujuh senti, ia mengikuti Bayu."Kamu ini hampir saja membuat saya dikeroyok massa. Dasar gadis kota sombong!" desis Bayu geram. Jikalau bukan Pak Suhar yang langsung memintanya untuk menjemput putrinya yang egois ini, ia tidak akan sudi menjadi kacungnya. Lihatlah penampilan gadis kota ini-berdandan seperti layaknya seorang sosialita yang sedang hang out di pusat perbelanjaan. Padahal ia sedang berkunjung ke pegunungan. Luar biasa... bodohnya!"Anda mengambil koper saya begitu saja tanpa pemberitahuan apa pun. Perbuatan Anda itu bisa dikategorikan sebagai aksi pera

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   7. Pertemuan Pertama.

    "Astaghfirullahaladzim!" Nia refleks mengucap saat mobil yang ia tumpangi oleng ke kanan dan ke kiri. Belum juga duduk dengan benar, mobil tiba-tiba terjun bebas karena turunan tajam. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan karena indahnya pemandangan tidak bisa ia nikmati karena cara menyetir Bayu yang ugal-ugalan. Alhasil, selama berkendara, Dia terus memejamkan matanya sambil berdoa; semoga anggota tubuhnya tetap utuh sesampainya di rumah sang ayah.Lima belas menit kemudian, mobil berbelok dan langsung berhenti tanpa aba-aba. Akibatnya, tubuhnya melaju ke depan dan nyaris membentur dashboard. Untungnya ada sabuk pengaman yang menahan laju tubuhnya."Buka matamu, kita sudah sampai." Suara dengan nada kesal terdengar dari sampingnya. Bayu memang tidak pernah ramah padanya. "Alhamdulillah hirobbil alamin." Nia membuka mata sambil mengucap syukur. Ia bersyukur karena selamat sampai tujuan dengan anggota tubuh yang masih utuh. Cepatnya mereka tiba membuat Nia penasaran. Dia melirik j

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   8. Kenangan Lama.

    "Dahayu, jaga ucapanmu!" Bu Isnaini terperanjat mendengar kata-kata kurang ajar putrinya."Ayo, minta maaf pada tetehmu." Bu Isnaini mendorong bahu sang putri agar menghadap Nia. Ia sama sekali tidak menyangka kalau putrinya akan seberani itu pada Nia."Rumah ini adalah rumah ayah saya, jadi saya boleh datang ke sini kapan pun saya mau," jawab Nia dingin."Mengenai warisan, saya adalah anak kandung beliau. Saya tidak perlu meminta karena memang seyogyanya saya berhak atas warisan itu. Saya adalah seorang Suhardi. Mengerti kamu?" pungkas Nia tegas."Ibu saya adalah istrinya. Ibu saya juga berhak atas warisan ayah," bantah Dahayu sewot."Saya tidak membahas ibumu," ujar Nia datar. Sejujurnya, ia mulai menyesal. Sepertinya, mengungsi ke rumah ayahnya ini tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah yang ada."Cukup, Yu! Kalau kamu tidak bisa bersikap baik, masuk ke kamarmu dan jangan keluar sebelum Ibu izinkan!" seru Bu Isnaini tegas. Ia benar-benar tidak menyangka kalau putri bun

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   9. Bertemu Kembali.

    Nia terjaga saat mendengar suara ketukan pintu. Sejenak Nia bingung, karena terbangun di kamar yang asing. Tatkala pandangannya membentur lukisan mural di dinding, ia langsung ingat di mana dirinya berada. Ia sekarang ada di Citeko. Di rumah masa kecilnya."Iya, sebentar," sahut Nia tatkala ketukan pintu kembali terdengar. Ia segera membuka pintu. Ternyata Bik Titin yang mengetuknya."Maaf, Bibik mengganggu istirahatnya Neng Nia. Pak Suhar meminta Bibik memanggil Eneng untuk makan malam." Bik Titin berdiri di ambang pintu dengan jemari saling menjalin."Hah, makan malam? Bukannya ini masih sore?" tanya Nia. Perasaan ia baru memejamkan mata beberapa menit saja."Sekarang sudah pukul tujuh malam, Neng. Makanya Bapak meminta Bibik membangunkan Eneng. Takut Eneng kelaparan dan malamnya tidak bisa tidur." Bik Titin tertawa. "Jam tujuh malam?" Nia terperanjat. Ia pun memindai jam di dinding."Astaga, benar-benar sudah malam rupanya." Nia menepuk keningnya. Ia ketiduran cukup lama rupanya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18

Bab terbaru

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   16. Pengagum Rahasia.

    "Nia memarkir kendaraan di ujung jalan dan berlari menuju gerbang utama. Ia ingin membantu ayahnya semampunya."Kenapa pabrik tidak mau lagi menerima susu-susu dari kami? Padahal sebelumnya baik-baik saja. Mengapa pabrik tidak mensupport penduduk lokal?""Seperti yang sudah saya katakan berulang kali tadi, kualitas susu Bapak-Bapak semua semakin lama semakin buruk hingga tidak lolos standar pabrik. Protein dan lemaknya rusak karena Bapak-Bapak mencampurnya dengan bahan-bahan lain," jelas Pak Suhardi kepada para peternak."Bukan itu saja. Susu Bapak-Bapak semua telah terkontaminasi dengan bakteri akibat dari campuran bahan-bahan yang tidak dibenarkan. Makanya, pabrik tidak bisa menampungnya karena bisa membahayakan konsumen," tambah Bayu."Halah, itu cuma alasan. Bilang saja kalau kalian lebih suka menggunakan bahan baku susu impor karena bebas pajak! Kalian mau untung besar dengan cara menginjak kepala kami, para peternak lokal. Kalian ingin membuat kami mati pelan-pelan di tanah kami

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   15. Demonstasi Di Pabrik Susu.

    "Iya, sebentar," sahut Nia saat mendengar suara ketukan pintu. Itu pasti ayahnya yang akan mengajaknya keliling Citeko. Dengan cepat, Nia menguncir rambutnya menjadi ekor kuda yang kuat. Setelahnya, barulah ia membuka pintu. Alih-alih ayahnya, Dia malah mendapati Bik Titin yang berdiri gelisah di ambang pintu."Ayah menyuruh Bibik untuk memanggil saya, ya? Saya sudah siap kok, Bik." Nia menyambar tas ransel mungilnya. Ia siap berpetualang dengan sang ayah."Bukan, Neng. Bapak meminta Bibik menyampaikan ke Eneng kalau jalan-jalan keliling Citeko-nya tidak jadi.""Lho, kok tidak jadi? Bapak sibuk, ya, Bik?" ujar Nia kecewa."Bukan sibuk, Neng, tapi ada huru-hara di pabrik. Pak Karta membawa para peternak ramai-ramai berdemo di pabrik," jelas Bik Titin, menyampaikan apa yang ia tahu."Pak Karta itu siapa, Bik? Terus mengapa mereka demo?" tanya Nia heran.Belum sempat Bik Titin menjawab, terdengar suara langkah-langkah kaki yang mendekat. Bu Isnaini, Kencana, dan Dahayu datang menghampiri

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   14. Memperbaiki Kesalahan.

    "Tentu saja boleh, Nak. Besok Ayah sendiri yang akan menyetir. Kita akan jalan-jalan keliling Citeko berdua." Pak Suhardi tersenyum haru. Penantiannya selama 15 tahun telah dibalas dengan manis oleh putri kesayangannya.Sementara Nia dan Pak Suhardi bernostalgia, Kencana dan Dahayu saling berpandangan. Darah memang lebih kental dari air. Ternyata seberapa buruk pun Nia memperlakukan ayahnya, ayahnya tetap mencintai Nia. Kalau begini mereka berdua bisa tersingkir dari hati ayah mereka-ayah yang sudah 11 tahun lamanya menemani hari-hari mereka."Sekarang sebaiknya kamu beristirahat dulu. Besok adalah hari terakhirmu libur, karena setelahnya kamu harus bekerja seperti kesepakatan kita. Setuju, Nia?" tegas Pak Suhardi. Walaupun hatinya berbunga-bunga karena perubahan sikap sang putri, Pak Suhardi tetap dengan keputusan yang telah mereka sepakati bersama. Dia harus belajar mandiri dan bertanggung jawab."Baik, Yah. Nia akan istirahat sekarang. Selamat malam, Ayah." Nia mencium pipi kiri da

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   13. Terungkap.

    "Bagaimana? Masih berani bilang kalau saya bohong?" Bayu bersedekap, sementara Nia masih bersimpuh. Gadis itu memandangi slip setoran di tangannya dengan tatapan kosong."Bukan hanya uang bulanan ini saja yang diupayakan susah payah oleh ayahmu, melainkan hadiah-hadiah ulang tahun yang setiap tahunnya ia kirimkan padamu," desis Bayu getas. Mendengar kata-kata Bayu, Nia tercekat.Kabar apa lagi ini ya, Allah?"Hadiah ulang tahun? Saya tidak pernah menerima hadiah apa pun dari Ayah," Nia menggeleng keras.Mendengar bantahan Nia, Bayu ikut berjongkok di depan Nia.Gadis ini masih belum kapok berbohong, rupanya."Tidak pernah menerimanya? Lantas, giwang ini kamu dapat dari mana, hah?" Bayu menunjuk telinga Nia."Giwang ini milik ibuku." Nia refleks memegang giwang di telinganya. Hanya giwang inilah satu-satunya perhiasan ibunya yang tidak ia jual. Selain ibunya meninggal dengan giwang ini di telinganya, ia juga sangat menyukai bentuknya. Giwang ini berbentuk kelopak bunga dengan sebuah be

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   12. Kebenaran.

    "Jangan mengajari Ayah, Cana. Ayah tahu apa yang Ayah lakukan. Keluarlah dari sini. Bawa Bayu bersamamu." Pak Suhardi memberi tatapan tidak ingin dibantah pada Kencana. Tanpa ba bi bu lagi, Kencana pun berlalu. Untuk pertama kalinya ayahnya marah padanya. Ini semua gara-gara Nia. Kencana semakin membenci kakak tirinya ini.Setelah Kencana dan Bayu pergi, suasana di ruangan itu kembali sunyi. Pak Suhardi dan Nia sama-sama terdiam. Keduanya tenggelam dengan pikiran masing-masing, menimbang-nimbang baik dan buruk keputusan yang akan mereka ambil."Oke, Ayah setuju untuk memberimu gaji dua puluh juta sebulan. Tapi ingat, kamu harus bekerja dengan profesional. Satu hal lagi, jangan sedikit-sedikit membicarakan soal warisan. Harta Ayah adalah milik Ayah sendiri, hasil kerja keras Ayah selama bertahun-tahun. Kalau kamu ingin kaya, maka bekerja keraslah. Lahir sebagai anak Ayah tidak otomatis membuatmu berhak atas sesuatu yang tidak kamu perjuangkan sendiri. Mengerti, Nia?""Baik, Yah. Kalau

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   11. Sebuah Penawaran.

    "Boleh Ayah menanyakan sesuatu yang sifatnya pribadi, Nia?" tanya Pak Suhardi. Saat ini dirinya dan Nia tinggal berdua saja di ruang makan. Ia memang meminta waktu untuk berbicara berdua saja dengan Nia. Ada beberapa hal penting yang ingin ia sampaikan pada putrinya."Tanya saja, Yah." Nia memutar-mutar gelas, bersikap seolah-olah tidak peduli, padahal jantungnya berdegup kencang. Ia sangat merindukan momen-momen seperti ini—berduaan saja bersama sang ayah, seperti dulu."Apakah kamu punya pacar di Jakarta saat ini?" tanya Pak Suhardi."Tidak, Yah." Nia menggeleng cepat. Bukan hanya saat ini; sampai di umurnya yang ke-25, dirinya memang belum pernah berpacaran."Bagus." Pak Suhardi mengangguk puas. Rencananya bisa ia jalankan."Berapa nomor rekening bankmu?" tanya Pak Suhardi lagi. Nia mengernyitkan dahi. Cara berbicara ayahnya aneh sekali; langsung berpindah-pindah topik tanpa ada petunjuk terlebih dahulu."Mengapa Ayah menanyakannya? Ayah mau mentransfer dana untuk Nia?" jawab Nia a

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   10. Kalian Jual, Aku Borong!

    Senyum Nia mengembang. Ya, ayahnya pasti akan menyayanginya. Selama lima belas tahun tidak mencarinya, pasti itu karena ayahnya sangat sibuk merintis usaha-usahanya. Bukan mengabaikannya karena telah memiliki keluarga baru seperti yang dikatakan ibunya. Ya, pasti begitu!"Apa kabar, Yah?" Nia memecah keheningan dengan menyapa ayahnya penuh kerinduan. "Baik. Ayo, duduk. Kita akan makan malam bersama," sahut ayahnya singkat.Nia terpana. Kedua tangannya yang tadi sedianya ingin memeluk ayahnya, perlahan terkulai di sisi tubuhnya. Ayahnya tidak terlihat antusias menyambutnya. Alih-alih memeluk, ayahnya bahkan tidak bangkit dari kursinya. Baik, ayo duduk. Kita akan makan malam bersama. Seperti inikah reaksi seorang ayah yang tidak bertemu dengan putri kandungnya selama lima belas tahun lamanya? Sepertinya apa yang ibunya katakan memang benar. Istimewa Kencana dan Dahayu tampak tersenyum dengan air muka mengejek. Keduanya seolah-olah mengatakan bahwa dirinya bukan siapa-siapa di mata ayah

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   9. Bertemu Kembali.

    Nia terjaga saat mendengar suara ketukan pintu. Sejenak Nia bingung, karena terbangun di kamar yang asing. Tatkala pandangannya membentur lukisan mural di dinding, ia langsung ingat di mana dirinya berada. Ia sekarang ada di Citeko. Di rumah masa kecilnya."Iya, sebentar," sahut Nia tatkala ketukan pintu kembali terdengar. Ia segera membuka pintu. Ternyata Bik Titin yang mengetuknya."Maaf, Bibik mengganggu istirahatnya Neng Nia. Pak Suhar meminta Bibik memanggil Eneng untuk makan malam." Bik Titin berdiri di ambang pintu dengan jemari saling menjalin."Hah, makan malam? Bukannya ini masih sore?" tanya Nia. Perasaan ia baru memejamkan mata beberapa menit saja."Sekarang sudah pukul tujuh malam, Neng. Makanya Bapak meminta Bibik membangunkan Eneng. Takut Eneng kelaparan dan malamnya tidak bisa tidur." Bik Titin tertawa. "Jam tujuh malam?" Nia terperanjat. Ia pun memindai jam di dinding."Astaga, benar-benar sudah malam rupanya." Nia menepuk keningnya. Ia ketiduran cukup lama rupanya.

  • (Bukan) Gadis Matre sang Juragan   8. Kenangan Lama.

    "Dahayu, jaga ucapanmu!" Bu Isnaini terperanjat mendengar kata-kata kurang ajar putrinya."Ayo, minta maaf pada tetehmu." Bu Isnaini mendorong bahu sang putri agar menghadap Nia. Ia sama sekali tidak menyangka kalau putrinya akan seberani itu pada Nia."Rumah ini adalah rumah ayah saya, jadi saya boleh datang ke sini kapan pun saya mau," jawab Nia dingin."Mengenai warisan, saya adalah anak kandung beliau. Saya tidak perlu meminta karena memang seyogyanya saya berhak atas warisan itu. Saya adalah seorang Suhardi. Mengerti kamu?" pungkas Nia tegas."Ibu saya adalah istrinya. Ibu saya juga berhak atas warisan ayah," bantah Dahayu sewot."Saya tidak membahas ibumu," ujar Nia datar. Sejujurnya, ia mulai menyesal. Sepertinya, mengungsi ke rumah ayahnya ini tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah yang ada."Cukup, Yu! Kalau kamu tidak bisa bersikap baik, masuk ke kamarmu dan jangan keluar sebelum Ibu izinkan!" seru Bu Isnaini tegas. Ia benar-benar tidak menyangka kalau putri bun

DMCA.com Protection Status