Home / Fiksi Remaja / About Me: Alshameyzea / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of About Me: Alshameyzea : Chapter 1 - Chapter 10

143 Chapters

Bab 1. Kalung, Buku, dan Takdir

“Apa yang kita anggap hilang mungkin sebenarnya hanya menunggu untuk ditemukan kembali dalam bentuk yang lebih bermakna." °°°° Jam istirahat berlalu dengan ritme yang terasa familiar, seolah hari ini tak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Di hadapanku, tumpukan tugas Kimia menyelimuti meja, seakan meja kelas kami menjadi tempat berlindung dari hiruk-pikuk di luar. Suara tawa dan obrolan dari luar kelas terdengar samar, seperti hanya bayangan dari dunia yang jauh. Di sini, kami hanya berkutat dengan buku, catatan, dan angka. Seakan-akan dunia di luar jendela tak pernah ada. "Aku masih bingung nih, Al. Gimana cara nentuin jumlah proton?" Aline bertanya, suaranya lembut tapi terdengar penuh ketidakyakinan, sementara dia sibuk membolak-balik halaman buku Kimia yang sudah mulai lusuh. Kami memutuskan untuk menggunakan waktu istirahat ini mengerjakan tugas dari Bu Aminah. Jajanan terpaksa ditunda, demi rumus-rumus yang entah kenapa terasa lebih berat hari ini. "Jumlah proton sama de
last updateLast Updated : 2024-08-28
Read more

Bab 2. Bolehkah Aku Mengenalmu?

"Setiap kali kita bicara, aku merasa seperti menemukan sisi baru dari kamu yang makin indah." ••• Setelah bel sekolah berbunyi, kami berenam melangkah keluar dengan langkah ringan, seolah hari ini membawa harapan baru. Keenan, dengan caranya yang khas, selalu tahu cara menghidupkan suasana. Dia mengajak kami. Aku, Aline, Kafka, Abhi, dan Nevan, Kembali ke toko buku yang kami kunjungi kemarin. Mungkin, pikirku, buku itu sudah kembali terpajang hari ini. Harapan yang sederhana, tapi cukup untuk mengisi hati dengan kegembiraan. Ketika pintu toko terbuka, aroma khas buku baru langsung menyapa kami. Udara di dalam terasa lebih ringan, dipenuhi energi yang berbeda. Setiap sudut rak-rak buku tampak memanggil untuk dijelajahi, seolah ada ratusan cerita yang siap ditemukan dan dihidupkan kembali. Aku menggerakkan jemariku menyusuri buku-buku yang tertata rapi, mencoba menemukan novel yang selama ini aku cari. Namun, rasa harapanku perlahan memudar saat aku menyadari buku itu tak kunjung kute
last updateLast Updated : 2024-08-28
Read more

Bab 3. Kilasan Perasaan

"Kadang, sebuah sentuhan singkat dari emosi bisa mengubah seluruh lanskap hati kita." °°°° Kantin SMAN Cendana mirip dengan kafe yang nyaman, dengan desain interior yang membuatku merasa seperti di rumah. Dindingnya berwarna cerah, dihiasi mural dan poster kegiatan yang penuh warna. Lampu gantung memberikan cahaya lembut yang memancarkan kehangatan, sementara meja-meja kayu dan kursi empuk mengundang setiap siswa untuk bersantai. Aku dan Aline duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap ke lapangan olahraga, dengan sinar matahari menerangi meja kami dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Aline, dengan semangat, mengaduk semangkok bakso di depannya. Aku duduk di seberangnya, juga menikmati makanan yang sama. Kantin ini selalu terasa nyaman, tapi hari ini ada sesuatu yang membuat suasana terasa sedikit berbeda, terutama dengan Aline yang terus-menerus menatapku sambil berbicara. "Kamu nggak mau nyalonkan jadi kandidat ketua OSIS?" tanya Aline, sambil memerhatikan bakso di se
last updateLast Updated : 2024-09-18
Read more

Bab 4. Berharap?

“Ketika malam menyelimuti dunia, keheningan menjadi panggung bagi perasaan yang belum terungkap, menunggu saat yang tepat untuk bersinar.” °°°° KRING! KRING! KRING!!! Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa-siswi diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa setiap akhir bukanlah penutupan, tapi awal dari harapan baru. Pulanglah dengan senyuman, dan esok datanglah dengan mimpi yang lebih besar. TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda. Akhir dari dua jam pelajaran yang terasa begitu panjang. Begitu suara bel menggema di seluruh ruangan, Bu Sri telah meninggalkan kelas setelah berpamitan. Kami semua segera bersiap-siap untuk pulang. Di saat yang sama, aku melihat Nevan dan Abhi berlari masuk, masing-masing menenteng tas Kafka dan Keenan. Wajah mereka basah oleh keringat, tapi tidak lama kemudian, mereka kembali keluar dengan langkah terburu-buru, tas masih erat di tangan. "Al, ikut ke kantin, yuk? Aku mau beli-be
last updateLast Updated : 2024-09-19
Read more

Bab 5. Dingin dan Harapan

"Yang dekat belum tentu akan melekat. Yang berjarak pun belum tentu akan mendura. Tapi yang sudah menjadi takdirnya pasti akan mengikat." -Alshameyzea Afsheena °°°° Sebelum bel berbunyi, aku melangkah keluar dari kelas sejenak. Rasanya butuh waktu sebentar untuk melepaskan diri dari ruangan yang akan penuh dengan hitungan dan angka. Dengan langkah cepat, aku menuju tempat sampah di sudut koridor, meraut pensil yang mulai tumpul. Sambil melakukannya, pikiranku melayang ke pelajaran matematika yang sebentar lagi dimulai. Tak hanya soal-soal yang melintas di kepala, tapi juga hal-hal lain yang akhir-akhir ini sulit untuk aku hindari. Tiba-tiba, suara yang familiar mengusik keheningan pagi. "Sorry, Sheena. Semalam aku nggak jadi ke rumah kamu," suara Keenan, lembut tapi jelas, membuatku terkejut. Aku menoleh pelan ke arahnya. Dia berdiri di sampingku, sosoknya tiba-tiba begitu dekat. Ada sesuatu dalam caranya bicara yang membuat suasana menjadi canggung, meski kami sudah lama saling
last updateLast Updated : 2024-09-21
Read more

Bab 6. Langkah Tanpa Pilihan

"Tidak ada perjalanan yang sempurna, bahkan langkah yang salah bisa menjadi bagian dari rute yang penuh makna" °°°° "Aline," panggilku lembut saat aku memasuki kelas, berharap suasana hatinya sudah membaik. Aku ingin bercerita banyak padanya, jadi aku perlu memulai dengan sapaan yang hangat. Namun, reaksi Aline begitu mengejutkan. "Ya ampun Alsha! Kamu ngapain pakai jaket kegedean?" dia berteriak dengan kaget, lalu tertawa keras. Suaranya menggema di ruangan, menambah kehebohan pagi itu. "Mana jalannya ngendap-ngendap kayak anak TK abis nyolong duit maknya, hahaha!" Aline benar-benar terhibur, menertawakan penampilanku yang tampaknya sangat lucu di matanya. Aku tercengang, merasa sedikit tersinggung oleh reaksi spontan Aline. 'Ini serius aku diginiin sama Aline?' batinku. "Ih, Aline, kok kamu gitu sih?" kataku dengan nada kesal, berusaha menahan rasa malu yang mulai muncul. "Duh, maaf-maaf, Al, aku nggak bisa nahan tawa. Lagian kamu sih!!! Itu jaket siapa yang kamu colong?" Al
last updateLast Updated : 2024-09-23
Read more

Bab 7. Bukti

"Setiap hari bersamanya adalah bukti bahwa kebaikan dan perhatian masih ada di dunia ini."°°°°“Juara pertama OSDKI tahun 2014 dimenangkan oleh… Alshameyzea Afsheena!”Suara pengumuman itu menggetarkan ruangan, diikuti oleh tepuk tangan dan sorakan yang meriah. Di tengah keramaian, mataku mencari, berharap menemukan wajah-wajah yang kukenal. Sebuah sorakan pecah dari sampingku, suara salah satu teman sekelasku yang berdiri, ekspresi bangga terpancar jelas di wajahnya.“Sheena, kamu juara satu!” serunya penuh semangat, suaranya tenggelam di antara tepuk tangan yang semakin riuh.Dari panggung, MC tersenyum lebar sambil mengarahkan mikrofon ke arahku. “Silakan naik ke panggung, Alsha,” ajaknya dengan nada lembut, seakan ingin berbagi kebahagiaan ini denganku.Aku berdiri, gemetar sedikit, tapi perasaanku meluap penuh rasa syukur. Langkahku pelan, terasa berat karena bukan hanya tubuhku yang bergerak, tapi juga semua impian dan harapan yang menuntunku ke atas panggung. Saat aku tiba di
last updateLast Updated : 2024-09-26
Read more

Bab 7. Bukti (Part 2)

"Alsha, kamu udah siap belum?" Suara Aline membuyarkan lamunanku, dengan nada ceria yang menyentuh.Aku tersadar dan menoleh padanya. "Iya, ayo berangkat," jawabku sambil tersenyum, mencoba menepis kerinduan yang menyelinap di pikiranku.Malam ini kami berencana menuju Grandfather Coffeeshop, tempat yang terletak tidak jauh dari rumah kami. Karena jaraknya yang dekat, kami memutuskan untuk jalan kaki. Langkah-langkah kami menapaki jalanan yang tenang, diterangi oleh lampu-lampu kota yang berkelip lembut. Kafka yang mengundang kami ke acara ini, dan hampir seluruh teman sekelas kami dijadwalkan hadir.Ketika kami sampai di depan rumah, langkah kami terhenti sejenak. Di depan gerbang, Keenan bersama teman-temannya sudah menunggu di atas motor mereka yang terparkir di pinggir jalan. Mereka tampak santai dan karismatik, dikelilingi oleh kilau lampu jalanan yang lembut.Kami melangkah mendekati gerbang dengan rasa penasaran. Aline, dengan tatapan campu
last updateLast Updated : 2024-09-26
Read more

Bab 7. Bukti (Part 3)

Kafka lalu bergeser ke samping teman-temannya, yang tampak sedang berbincang dengan serius. Mereka tiba-tiba memarkirkan motor-motor mereka dengan rapi di depan rumahku, memperlihatkan tampilan motor-motor mereka yang mengkilap dan mengesankan di bawah cahaya lampu malam."Heh, kalian pada ngapain?" tanya Aline dengan nada bingung."Kita mau naik angkot juga bareng kalian," jawab Kafka, seraya melambaikan tangan ke arah angkot yang menunggu.Aku dan Aline saling bertukar pandang, masih kebingungan. "Udah, ayo sini, gue bantu seberangin," ucap Kafka, sambil melangkah mendekati kami. Dia membantu kami menyeberangi jalan dengan penuh perhatian, sementara aku terus merenung tentang alasan Keenan tidak bisa naik angkot dan mengapa teman-temannya tampak khawatir tentang hal itu.Keenan mempersilahkan aku duduk di kursi angkot yang empuk, dan dengan nada lembut, ia bertanya, "Apa aku boleh duduk di samping kamu?" Suaranya yang khas membuatku me
last updateLast Updated : 2024-09-26
Read more

Bab 8. Kisah di bawah Cahaya Temaram

"Di antara jutaan wajah, aku memilihmu." -Alshameyzea Afsheena ••••Di luar kafe ini, setiap meja dirancang sederhana untuk empat orang, dengan kursi panjang yang mampu menampung dua orang berdampingan, menciptakan suasana akrab. Malam ini, kafe dipenuhi oleh tawa dan obrolan, aroma kopi yang menggoda, dan alunan musik lembut yang meresap ke dalam jiwa."Ayo duduk bareng aku," ajak Keenan, senyum hangat menghias wajahnya. Di bawah cahaya lampu temaram, matanya berkilau lembut, seolah menggoda hati yang mendengarnya.Aku mengangguk, "Ayo, Aline, kita duduk di sini saja." Namun, Aline yang masih menggenggam tanganku erat tampak ragu, gelisah dalam keramaian ini.Tiba-tiba, Kafka, dengan ketegasan yang tak terbantahkan, menarik mini bag Aline, menghentikannya. "Eh, lo mau kemana?" tanya Kafka, nada suaranya tenang, tanpa memberi ruang untuk perdebatan.Aline melotot marah, "Lepasin! Lo ngapain narik-narik tas gue? Kalau copot—""Nanti gue ganti," potong Kafka, tetap santai, seolah tak t
last updateLast Updated : 2024-09-27
Read more
PREV
123456
...
15
DMCA.com Protection Status