Share

Bab 4. Berharap?

“Ketika malam menyelimuti dunia, keheningan menjadi panggung bagi perasaan yang belum terungkap, menunggu saat yang tepat untuk bersinar.”

°°°°

KRING! KRING! KRING!!!

Akhir dari dua jam pelajaran yang terasa begitu panjang. Begitu suara bel menggema di seluruh ruangan, Bu Sri telah meninggalkan kelas setelah berpamitan. Kami semua segera bersiap-siap untuk pulang. Di saat yang sama, aku melihat Nevan dan Abhi berlari masuk, masing-masing menenteng tas Kafka dan Keenan. Wajah mereka basah oleh keringat, tapi tidak lama kemudian, mereka kembali keluar dengan langkah terburu-buru, tas masih erat di tangan.

"Al, ikut ke kantin, yuk? Aku mau beli-beli nih," Aline tiba-tiba menarik tanganku tanpa menunggu jawabanku.

Kami berjalan menyusuri koridor sekolah yang ramai dengan para siswa yang bersiap-siap pulang. Aline sibuk berbicara tentang rencana-rencananya membeli camilan, sementara aku hanya mengangguk sambil sesekali tersenyum. Ketika kami sampai di kantin, suasana terlihat sedikit kacau; siswa-siswa berdesakan antre di depan kios-kios makanan.

Di depan kios minuman, aku melihat sosok yang tidak asing. Seorang siswa berkaos hitam berdiri tenang di antrean. Ketika aku melangkah lebih dekat, baru kusadari kalau itu Abhi dan Nevan. Mereka berada di barisan paling depan, wajah mereka tampak lelah tapi tetap sabar.

Aline dan aku ikut antre di kios yang sama, dan tak jauh dari kami, ibu kantin terdengar berbicara.

"Air mineralnya habis, es juga habis," katanya dengan nada lelah.

"Ya ampun, gimana nih?" keluh Abhi, tampak frustrasi.

Aku melirik Nevan, yang tampak kelelahan. Dia mendesah pelan sebelum berkata, "Kita nggak masalah kalau nggak minum sekarang, bisa beli di luar nanti. Tapi Bos... dia pasti..."

Mendengar itu, Abhi dan Nevan saling pandang, ragu. Abhi akhirnya menarik napas dalam-dalam dan mengangguk pada Nevan, sebelum keduanya melangkah keluar dengan cepat. Wajah mereka menunjukkan keputusasaan yang tak bisa disembunyikan.

Aku mengamati mereka melintasi ruang kantin yang ramai, bergegas menuju pintu keluar. Saat mereka menghilang di balik pintu, rasa penasaran menyelimuti pikiranku.

"Loh, Al, mau kemana? Kok aku ditinggal sih?" terdengar suara Aline dari belakang, suaranya penuh kekhawatiran dan sedikit kesal. Aku bisa mendengar langkahnya yang cepat mengejarku.

Aku mempercepat langkahku menuju halaman sekolah, mataku sibuk mencari-cari. Lalu, pandanganku tertuju pada sosok yang terbaring di atas rumput, tampak sangat lelah.

"Keenan?" aku memanggil, mendekatinya dengan hati-hati.

Mendengar suaraku, Keenan langsung terbangun. Matanya terbuka lebar, sedikit bingung. Dia buru-buru duduk dan merapikan rambutnya, jelas terkejut melihatku.

"Sheena, aku..." Keenan tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi aku dengan cepat menyerahkan botol minum padanya tanpa berkata apa-apa.

Dia menerima botol itu, sedikit kebingungan, tetapi dengan tatapan yang penuh rasa terima kasih. Mata kami bertemu, dan untuk sesaat, ada keheningan di antara kami. Aku merasakan kehangatan yang aneh, seperti ada sesuatu yang tidak terucap namun saling dimengerti.

"Alsha!" suara Aline memanggil dari kejauhan, cukup keras untuk mengalihkan perhatianku. Aku menoleh dan melihatnya berdiri dengan Abhi, Nevan, dan Kafka yang juga tampak terkejut melihatku bersama Keenan.

Suasana di lapangan semakin ramai saat jam pulang tiba. Para siswa berkerumun menuju gerbang sekolah, namun perhatian penuhku tetap tertuju pada Keenan. Dia terlihat sangat kehausan, dan aku tak bisa menahan diri untuk memastikan dia baik-baik saja. Kerumunan mulai berbisik, tatapan mereka terasa menusuk dari segala arah. Tapi aku hanya ingin situasi ini segera berlalu, agar kami bisa kembali ke keadaan yang lebih nyaman.

Aku sempat menangkap kak Claudia dan teman-temannya yang berjalan ke arah gerbang. Mereka berhenti saat melihat kami. Wajah kak Claudia mengeras, seolah kemarahan tersembunyi di balik sorot matanya. Teman-temannya berbisik, saling bertukar pandang, dan aku bisa merasakan atmosfer di sekitar mereka berubah. Keberadaan kami di sini, tampaknya, hanya menambah bahan bakar bagi api yang membara di dalam dirinya.

Tidak lama kemudian, Aline, Kafka, Abhi, dan Nevan menghampiri kami dengan langkah santai.

"Ya ampun, Al," kata Aline sambil tertawa kecil. "Kirain mau kemana buru-buru gitu, ternyata..." mata Aline melirik Keenan, jelas sekali dia meledekku.

"Perhatian banget, Al." tambah Nevan dengan nada bercanda.

"Untung ada neng Alsha," timpal Abhi sambil tersenyum lebar. Sedangkan Kafka hanya terdiam menatapku dan Keenan secara bergantian.

Aku hanya bisa tersenyum tipis, "Aku cuma mau ngasih minum aja kok," jawabku, berusaha terdengar biasa saja meski sebenarnya sedikit canggung.

"Iya iya, cuma ngasih minum doang, sampai temennya ditinggal," Aline menggoda lagi.

Keenan menatapku, lalu tersenyum. "Makasih, Sheena," ucapnya pelan. Ada ketulusan di dalam suaranya, membuatku merasa sedikit tersanjung.

Aku mengangguk, tersenyum tipis. Sebuah rasa hangat menyelinap di hatiku ketika dia mengucapkan terima kasih itu.

Aline tiba-tiba memecah keheningan, "Ya udah, yuk, Al, kita pulang," katanya sambil menarik lenganku dengan semangat.

Aku berdiri, bersiap mengikuti Aline, tapi langkahku terhenti ketika Keenan tiba-tiba berkata, "Mau aku anter?"

Suaranya lembut, tapi penuh arti. Pertanyaannya membawa rasa canggung yang tak bisa kuabaikan. Sejak dia menyatakan perasaannya beberapa waktu lalu, tawaran seperti ini selalu terasa berbeda, seperti ada beban perasaan di balik kata-katanya.

Jantungku berdegup sedikit lebih cepat, membuatku merasa tertekan. Entah kenapa, semakin kami berinteraksi, semakin aku merasa terjebak dalam perasaan yang makin rumit. Tawaran sederhana ini seperti ujian yang harus kuhadapi.

"Enggak usah, Keenan. Aku jalan kaki aja sama Aline," jawabku dengan suara yang kuusahakan tetap tenang.

Keenan menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Di sebelahku, Aline ikut campur, "Lo kan baru aja dihukum. Gak capek emang?"

Aku melirik Keenan sekilas, melihat keringat yang masih membasahi wajahnya. Abhi, Nevan, dan Kafka yang berdiri di dekatnya juga terlihat kelelahan. Mereka jelas baru selesai beraktivitas, dan kelelahan mereka terasa nyata.

Keenan menggeleng pelan, "Enggak," jawabnya singkat, tapi ada nada tekad di sana. "Aku anter ya, aku bawa mobil kok."

Aline langsung menyambut antusias, "Wah, boleh tuh! Sekalian kita beli seblak!" Dia menoleh ke arahku, berharap aku setuju dengan ajakan Keenan. Aku merasa sedikit ragu, tapi saat menatap mata Keenan, aku bisa merasakan ketulusannya.

Sebelum aku bicara, Keenan langsung bergerak, menarik tanganku dengan lembut. Dia kemudian meraih ranselnya dan dengan gerakan yang tenang melemparkannya ke bahu. Kami pun berjalan menuju parkiran, dan aku bisa merasakan jantungku berdetak sedikit lebih cepat, mengikuti langkahnya yang mantap.

Di belakang kami, Aline, Kafka, Nevan, dan Abhi mengikuti dengan langkah lebih lambat. Abhi berusaha mencairkan suasana dengan leluconnya, membuat Aline dan yang lainnya tertawa riang. Suara tawa mereka terasa kontras dengan perasaanku yang sedang berkecamuk.

Keenan tetap tenang, menggenggam tanganku dengan hangat. Setiap langkah kami menuju parkiran seolah mempercepat detak jantungku. Di bawah sinar matahari sore yang lembut, bayangan kami memanjang di atas aspal, seakan-akan menciptakan kisah baru yang akan segera terungkap.

Sesampainya di parkiran, Keenan sigap membuka pintu mobil untukku. "Duduk di depan aja, Sheena," katanya dengan senyum lembut. Sebelum masuk, aku melirik ke arah Aline yang berdiri di belakangku. Dia mengangguk, seolah memberi izin untuk duduk di depan, dan aku membalas anggukan itu sebelum masuk ke dalam mobil.

Sebelum mobil melaju, aku melihat Kafka, Abhi, dan Nevan menyalakan motor mereka. Mereka mengikuti di belakang mobil Keenan.

Sepanjang perjalanan, Aline terus mengajak Keenan berbicara, dan Keenan menjawab dengan santai. Suara obrolan mereka terasa akrab dan penuh tawa, sementara aku hanya bisa diam, pikiranku terus melayang. Perasaanku semakin membingungkan, dan aku merasa gugup setiap kali berniat berbicara dengan Keenan, padahal biasanya aku tidak seperti ini.

Keenan sesekali melirikku, mungkin menyadari kegugupanku, tetapi dia tetap fokus pada percakapannya dengan Aline, seolah memberiku ruang untuk merenung. Suasana di dalam mobil penuh canda tawa, tapi aku merasa terasing, terperangkap dalam perasaanku sendiri.

Ketika mobil akhirnya berhenti di depan rumahku, Aline keluar terlebih dahulu dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Aku beranjak untuk keluar, namun tangan Keenan menahanku lembut. Jantungku berdegup kencang saat dia memegang tanganku lagi.

"Sheena," ucapnya dengan lembut. Tatapannya penuh keseriusan, membuatku terdiam dan menatapnya kembali.

Aku duduk kembali, menanti kalimat berikutnya dari Keenan.

"Aku boleh nanya sesuatu?" tanyanya, membuat detak jantungku semakin keras.

"Boleh," jawabku, suaraku sedikit bergetar.

"Nanti malam, aku boleh ngajak kamu keluar?" tanya Keenan, matanya menatapku penuh harapan.

"Maaf, Keenan, a-aku…" Aku terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat.

"Oh iya, kamu belum terbiasa keluar malam bareng cowok, ya? Kalau gitu, gimana kalau aku main ke rumah kamu? Boleh?" Keenan bertanya lagi, berusaha mencari alternatif.

"Boleh..." jawabku pelan, mataku menunduk sambil mencerna tawaran itu.

Keenan tersenyum dan mengangguk lega. "Okey," ujarnya dengan nada yang menunjukkan kepuasan.

Aku hendak keluar dari mobil, tapi Keenan memanggilku lagi. "Sheena."

Aku kembali duduk dan menoleh ke arahnya.

"Aku boleh minta nomor HP kamu?" tanya Keenan, suaranya lembut namun penuh harapan. Detak jantungku semakin cepat. Meskipun kami sudah berteman sejak SMP, kami belum pernah saling bertukar nomor HP. Aku termasuk orang yang agak ragu memberikan nomor HP ke cowok, bahkan jika mereka adalah teman dekat. Bagiku, memberi nomor HP bukanlah hal yang sembarangan.

Namun, saat Keenan menatapku dengan penuh pengertian dan harapan, rasanya sulit untuk menolak. Ada sesuatu yang berbeda kali ini, membuatku merasa sedikit lebih terbuka. Aku mengangguk pelan dan memberitahukan nomor HP-ku, sambil berusaha menenangkan degup jantungku yang kencang.

Keenan mencatatnya di ponselnya, senyumnya semakin lebar. "Thanks, Sheena." ucapnya.

Aku mengangguk, keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Aline menatapku dengan rasa penasaran yang jelas, tetapi aku hanya bisa memberikan senyum tipis sebagai usaha untuk menutupi kegugupan yang masih menggumpal. Keenan melambaikan tangan dengan lembut sebelum mobilnya mulai bergerak menjauh, dan aku berdiri di sana, merasakan detak jantungku yang masih berpacu cepat.

Saat mobil Keenan menghilang di tikungan jalan, aku mulai merenung. Ada sesuatu yang berbeda dalam tawaran Keenan, seolah-olah dia mencoba membuka pintu menuju sesuatu yang belum pernah aku hadapi sebelumnya. Malam ini terasa berat, penuh dengan kemungkinan yang belum jelas, dan aku tahu, entah bagaimana, itu akan menjadi malam yang panjang.

Dengan langkah perlahan, aku bergabung kembali dengan Aline, mencoba menenangkan pikiranku. Seiring kami berjalan menuju rumah, aku mulai membiarkan perasaan itu mengalir, membiarkan ketegangan dan kegugupan mereda sedikit demi sedikit. Mungkin, malam ini bukan hanya tentang keputusan yang harus kuambil, tetapi juga tentang bagaimana aku belajar menerima dan membuka diri terhadap pengalaman baru yang mungkin mengubahku.

Kami tiba di ruang tengah rumahku, tempat yang selalu terasa seperti pelukan hangat. Aline duduk santai di sofa, matanya terpaku pada televisi yang menayangkan acara hiburan favoritnya. Sementara itu, aku duduk di sampingnya dengan buku yang kubawa pulang, mencoba mengalihkan perhatian dari pikiran yang masih menggelayut.

"Keenan itu baik banget ya, udah mau nganterin kita pulang, eh di-traktir seblak lagi. Pasti dia suka sama kamu," ucap Aline sambil tersenyum penuh arti, suaranya menyiratkan harapan dan rasa ingin tahunya.

Kebaikan Keenan memang sudah lama terasa, tetapi tentang perasaan—aku merasa tidak siap untuk menjelajahi jalan itu.

"Dah lah, aku mau nyicip seblak dulu," Aline melangkah ke dapur, suaranya penuh semangat. Aku tersenyum kecil melihat kegembiraannya, tetapi pikiranku tetap terjebak dalam perenungan tentang Keenan.

Tak lama kemudian, Aline kembali dengan semangkok besar seblak yang kuahnya merah menyala. "Al, mau nyicip nggak? Punyaku pedes banget loh," tawarnya sambil mengangkat sendok berisi kuah seblak, tampak jelas kepedasannya.

Melihat warna kuah seblak yang merah itu membuatku enggan mencobanya. Aku menggeleng, menghindari rasa ngeri saat melihat kepedasannya.

"Al, aku yakin Keenan pasti suka kamu," kata Aline lagi, meski kepedasannya mulai mengganggu, dia tetap ingin melanjutkan topik itu. Dengan keringat menetes dari dahinya, Aline berusaha membahas sesuatu yang berat.

"Gak mungkin rasanya kalau cowok sama cewek berteman lama tanpa ada yang menyimpan rasa suka," lanjutnya, suaranya agak bergetar karena pedas.

"Al, tau nggak? Setahuku, kebanyakan cowok dan cewek yang berteman lama, pasti ada salah satu di antara mereka yang punya perasaan lebih. Kalau kamu nggak suka Keenan, mungkin sebenarnya Keenan yang suka kamu," ucapnya dengan penuh keyakinan, matanya mulai berkaca-kaca karena pedasnya seblak.

Aku hanya bisa terdiam, mendengarkan kata-kata Aline sambil meresapi setiap perkataan yang diungkapkannya. Meski Aline sedang menderita karena pedasnya seblak, ucapannya terasa seperti beban tambahan di hati ini. Aku merenung, membiarkan komentar Aline mengisi ruang pikiranku, mencoba mencari arti di balik semua interaksi dengan Keenan.

Malam ini, aku lebih dari sekadar memikirkan rasa pedas seblak. Aku memikirkan perasaan yang mungkin belum sepenuhnya kusadari, dan bagaimana aku bisa belajar memahami dan menghadapinya dengan lebih baik.

---

Aku berdiri di dekat jendela kamar, memandang ke luar dengan penuh keheningan. Malam semakin larut, dan aku terus menunggu, bertanya-tanya apakah Keenan akan datang malam ini. Rasa keraguan menggigit di hatiku, sementara harapan perlahan tumbuh.

Saat aku terlarut dalam pikiran, Aline keluar dari kamar mandi, siap untuk tidur. Melihatku berdiri di jendela, dia bertanya lembut, "Al? Ngapain kamu disitu?"

"Gak papa, cuma mau liat bintang aja," jawabku, mencoba menyembunyikan apa yang sebenarnya kurasakan.

Aline mengerutkan dahi dan berkata lembut, "Kirain mau nunggu siapa, ini udah malem. Yuk, tidur."

Aku menoleh dan mengangguk sambil tersenyum. Senyumku mungkin terasa sedikit dipaksakan, mencerminkan campur aduk perasaan yang kurasakan, antara kegembiraan dan keraguan. Mungkin karena ada harapan yang masih tersimpan di dalam diriku.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status