Share

Bab 4. Berharap?

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-09-19 19:53:29

“Ketika malam menyelimuti dunia, keheningan menjadi panggung bagi perasaan yang belum terungkap, menunggu saat yang tepat untuk bersinar.”

°°°°

KRING! KRING! KRING!!!

Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa-siswi diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa setiap akhir bukanlah penutupan, tapi awal dari harapan baru. Pulanglah dengan senyuman, dan esok datanglah dengan mimpi yang lebih besar.

TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda.

Akhir dari dua jam pelajaran yang terasa begitu panjang. Begitu suara bel menggema di seluruh ruangan, Bu Sri telah meninggalkan kelas setelah berpamitan. Kami semua segera bersiap-siap untuk pulang. Di saat yang sama, aku melihat Nevan dan Abhi berlari masuk, masing-masing menenteng tas Kafka dan Keenan. Wajah mereka basah oleh keringat, tapi tidak lama kemudian, mereka kembali keluar dengan langkah terburu-buru, tas masih erat di tangan.

"Al, ikut ke kantin, yuk? Aku mau beli-beli nih," Aline tiba-tiba menarik tanganku tanpa menunggu jawabanku.

Kami berjalan menyusuri koridor sekolah yang ramai dengan para siswa yang bersiap-siap pulang. Aline sibuk berbicara tentang rencana-rencananya membeli camilan, sementara aku hanya mengangguk sambil sesekali tersenyum. Ketika kami sampai di kantin, suasana terlihat sedikit kacau, siswa-siswa berdesakan antre di depan kios-kios makanan.

Di depan kios minuman, aku melihat sosok yang tidak asing. Seorang siswa berkaos hitam berdiri tenang di antrean. Ketika aku melangkah lebih dekat, baru kusadari kalau itu Abhi dan Nevan. Mereka berada di barisan paling depan, wajah mereka tampak lelah tapi tetap sabar.

Aline dan aku ikut antre di kios yang sama, dan tak jauh dari kami, ibu kantin terdengar berbicara.

"Air mineralnya habis, es juga habis," katanya dengan nada lelah.

"Ya ampun, gimana nih?" keluh Abhi, tampak frustrasi.

Aku melirik Nevan, yang tampak kelelahan. Dia mendesah pelan sebelum berkata, "Kita nggak masalah kalau nggak minum sekarang, bisa beli di luar nanti. Tapi Bos... dia pasti..."

Mendengar itu, Abhi dan Nevan saling pandang, ragu. Abhi akhirnya menarik napas dalam-dalam dan mengangguk pada Nevan, sebelum keduanya melangkah keluar dengan cepat. Wajah mereka menunjukkan keputusasaan yang tak bisa disembunyikan.

Aku mengamati mereka melintasi ruang kantin yang ramai, bergegas menuju pintu keluar. Saat mereka menghilang di balik pintu, rasa penasaran menyelimuti pikiranku.

"Loh, Al, mau kemana? Kok aku ditinggal sih?" terdengar suara Aline dari belakang, suaranya penuh kekhawatiran dan sedikit kesal. Aku bisa mendengar langkahnya yang cepat mengejarku.

Aku mempercepat langkahku menuju halaman sekolah, mataku sibuk mencari-cari. Lalu, pandanganku tertuju pada sosok yang terbaring di atas rumput, tampak sangat lelah.

"Keenan?" aku memanggil, mendekatinya dengan hati-hati.

Mendengar suaraku, Keenan langsung terbangun. Matanya terbuka lebar, sedikit bingung. Dia buru-buru duduk dan merapikan rambutnya, jelas terkejut melihatku.

"Sheena, aku..." Keenan tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi aku dengan cepat menyerahkan botol minum padanya tanpa berkata apa-apa.

Dia menerima botol itu, sedikit kebingungan, tetapi dengan tatapan yang penuh rasa terima kasih. Mata kami bertemu, dan untuk sesaat, ada keheningan di antara kami. Aku merasakan kehangatan yang aneh, seperti ada sesuatu yang tidak terucap namun saling dimengerti.

"Alsha!" suara Aline memanggil dari kejauhan, cukup keras untuk mengalihkan perhatianku. Aku menoleh dan melihatnya berdiri dengan Abhi, Nevan, dan Kafka yang juga tampak terkejut melihatku bersama Keenan.

Suasana di lapangan semakin ramai saat jam pulang tiba. Para siswa berkerumun menuju gerbang sekolah, namun perhatian penuhku tetap tertuju pada Keenan. Dia terlihat sangat kehausan, dan aku tak bisa menahan diri untuk memastikan dia baik-baik saja. Kerumunan mulai berbisik, tatapan mereka terasa menusuk dari segala arah. Tapi aku hanya ingin situasi ini segera berlalu, agar kami bisa kembali ke keadaan yang lebih nyaman.

Aku sempat menangkap kak Claudia dan teman-temannya yang berjalan ke arah gerbang. Mereka berhenti saat melihat kami. Wajah kak Claudia mengeras, seolah kemarahan tersembunyi di balik sorot matanya. Teman-temannya berbisik, saling bertukar pandang, dan aku bisa merasakan atmosfer di sekitar mereka berubah. Keberadaan kami di sini, tampaknya, hanya menambah bahan bakar bagi api yang membara di dalam dirinya.

Tidak lama kemudian, Aline, Kafka, Abhi, dan Nevan menghampiri kami dengan langkah santai.

"Ya ampun, Al," kata Aline sambil tertawa kecil. "Kirain mau kemana buru-buru gitu, ternyata..." mata Aline melirik Keenan, jelas sekali dia meledekku.

"Perhatian banget, Al." tambah Nevan dengan nada bercanda.

"Untung ada neng Alsha," timpal Abhi sambil tersenyum lebar. Sedangkan Kafka hanya terdiam menatapku dan Keenan secara bergantian.

Aku hanya bisa tersenyum tipis, "Aku cuma mau ngasih minum aja kok," jawabku, berusaha terdengar biasa saja meski sebenarnya sedikit canggung.

"Iya iya, cuma ngasih minum doang, sampai temennya ditinggal," Aline menggoda lagi.

Keenan menatapku, lalu tersenyum. "Makasih, Sheena," ucapnya pelan. Ada ketulusan di dalam suaranya, membuatku merasa sedikit tersanjung.

Aku mengangguk, tersenyum tipis. Sebuah rasa hangat menyelinap di hatiku ketika dia mengucapkan terima kasih itu.

Aline tiba-tiba memecah keheningan, "Ya udah, yuk, Al, kita pulang," katanya sambil menarik lenganku dengan semangat.

Aku berdiri, bersiap mengikuti Aline, tapi langkahku terhenti ketika Keenan tiba-tiba berkata, "Mau aku anter?"

Suaranya lembut, tapi penuh arti. Pertanyaannya membawa rasa canggung yang tak bisa kuabaikan. Sejak dia menyatakan perasaannya beberapa waktu lalu, tawaran seperti ini selalu terasa berbeda, seperti ada beban perasaan di balik kata-katanya.

Jantungku berdegup sedikit lebih cepat, membuatku merasa tertekan. Entah kenapa, semakin kami berinteraksi, semakin aku merasa terjebak dalam perasaan yang makin rumit. Tawaran sederhana ini seperti ujian yang harus kuhadapi.

"Enggak usah, Keenan. Aku jalan kaki aja sama Aline," jawabku dengan suara yang kuusahakan tetap tenang.

Keenan menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Di sebelahku, Aline ikut campur, "Lo kan baru aja dihukum. Gak capek emang?"

Aku melirik Keenan sekilas, melihat keringat yang masih membasahi wajahnya. Abhi, Nevan, dan Kafka yang berdiri di dekatnya juga terlihat kelelahan. Mereka jelas baru selesai beraktivitas, dan kelelahan mereka terasa nyata.

Keenan menggeleng pelan, "Enggak," jawabnya singkat, tapi ada nada tekad di sana. "Aku anter ya, aku bawa mobil kok."

Aline langsung menyambut antusias, "Wah, boleh tuh! Sekalian kita beli seblak!" Dia menoleh ke arahku, berharap aku setuju dengan ajakan Keenan. Aku merasa sedikit ragu, tapi saat menatap mata Keenan, aku bisa merasakan ketulusannya.

Sebelum aku bicara, Keenan langsung bergerak, menarik tanganku dengan lembut. Dia kemudian meraih ranselnya dan dengan gerakan yang tenang melemparkannya ke bahu. Kami pun berjalan menuju parkiran, dan aku bisa merasakan jantungku berdetak sedikit lebih cepat, mengikuti langkahnya yang mantap.

Di belakang kami, Aline, Kafka, Nevan, dan Abhi mengikuti dengan langkah lebih lambat. Abhi berusaha mencairkan suasana dengan leluconnya, membuat Aline dan yang lainnya tertawa riang. Suara tawa mereka terasa kontras dengan perasaanku yang sedang berkecamuk.

Keenan tetap tenang, menggenggam tanganku dengan hangat. Setiap langkah kami menuju parkiran seolah mempercepat detak jantungku. Di bawah sinar matahari sore yang lembut, bayangan kami memanjang di atas aspal, seakan-akan menciptakan kisah baru yang akan segera terungkap.

Sesampainya di parkiran, Keenan sigap membuka pintu mobil untukku. "Duduk di depan aja, Sheena," katanya dengan senyum lembut. Sebelum masuk, aku melirik ke arah Aline yang berdiri di belakangku. Dia mengangguk, seolah memberi izin untuk duduk di depan, dan aku membalas anggukan itu sebelum masuk ke dalam mobil.

Sebelum mobil melaju, aku melihat Kafka, Abhi, dan Nevan menyalakan motor mereka. Mereka mengikuti di belakang mobil Keenan.

Sepanjang perjalanan, Aline terus mengajak Keenan berbicara, dan Keenan menjawab dengan santai. Suara obrolan mereka terasa akrab dan penuh tawa, sementara aku hanya bisa diam, pikiranku terus melayang. Perasaanku semakin membingungkan, dan aku merasa gugup setiap kali berniat berbicara dengan Keenan, padahal biasanya aku tidak seperti ini.

Keenan sesekali melirikku, mungkin menyadari kegugupanku, tetapi dia tetap fokus pada percakapannya dengan Aline, seolah memberiku ruang untuk merenung. Suasana di dalam mobil penuh canda tawa, tapi aku merasa terasing, terperangkap dalam perasaanku sendiri.

Ketika mobil akhirnya berhenti di depan rumahku, Aline keluar terlebih dahulu dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Aku beranjak untuk keluar, namun tangan Keenan menahanku lembut. Jantungku berdegup kencang saat dia memegang tanganku lagi.

"Sheena," ucapnya dengan lembut. Tatapannya penuh keseriusan, membuatku terdiam dan menatapnya kembali.

Aku duduk kembali, menanti kalimat berikutnya dari Keenan.

"Aku boleh nanya sesuatu?" tanyanya, membuat detak jantungku semakin keras.

"Boleh," jawabku, suaraku sedikit bergetar.

"Nanti malam, aku boleh ngajak kamu keluar?" tanya Keenan, matanya menatapku penuh harapan.

"Maaf, Keenan, a-aku…" Aku terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat.

"Oh iya, kamu belum terbiasa keluar malam bareng cowok, ya? Kalau gitu, gimana kalau aku main ke rumah kamu? Boleh?" Keenan bertanya lagi, berusaha mencari alternatif.

"Boleh..." jawabku pelan, mataku menunduk sambil mencerna tawaran itu.

Keenan tersenyum dan mengangguk lega. "Okey," ujarnya dengan nada yang menunjukkan kepuasan.

Aku hendak keluar dari mobil, tapi Keenan memanggilku lagi. "Sheena."

Aku kembali duduk dan menoleh ke arahnya.

"Aku boleh minta nomor HP kamu?" tanya Keenan, suaranya lembut namun penuh harapan. Detak jantungku semakin cepat. Meskipun kami sudah berteman sejak SMP, kami belum pernah saling bertukar nomor HP. Aku termasuk orang yang agak ragu memberikan nomor HP ke cowok, bahkan jika mereka adalah teman dekat. Bagiku, memberi nomor HP bukanlah hal yang sembarangan.

Namun, saat Keenan menatapku dengan penuh pengertian dan harapan, rasanya sulit untuk menolak. Ada sesuatu yang berbeda kali ini, membuatku merasa sedikit lebih terbuka. Aku mengangguk pelan dan memberitahukan nomor HP-ku, sambil berusaha menenangkan degup jantungku yang kencang.

Keenan mencatatnya di ponselnya, senyumnya semakin lebar. "Thanks, Sheena." ucapnya.

Aku mengangguk, keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Aline menatapku dengan rasa penasaran yang jelas, tetapi aku hanya bisa memberikan senyum tipis sebagai usaha untuk menutupi kegugupan yang masih menggumpal. Keenan melambaikan tangan dengan lembut sebelum mobilnya mulai bergerak menjauh, dan aku berdiri di sana, merasakan detak jantungku yang masih berpacu cepat.

Saat mobil Keenan menghilang di tikungan jalan, aku mulai merenung. Ada sesuatu yang berbeda dalam tawaran Keenan, seolah-olah dia mencoba membuka pintu menuju sesuatu yang belum pernah aku hadapi sebelumnya. Malam ini terasa berat, penuh dengan kemungkinan yang belum jelas, dan aku tahu, entah bagaimana, itu akan menjadi malam yang panjang.

Dengan langkah perlahan, aku bergabung kembali dengan Aline, mencoba menenangkan pikiranku. Seiring kami berjalan menuju rumah, aku mulai membiarkan perasaan itu mengalir, membiarkan ketegangan dan kegugupan mereda sedikit demi sedikit. Mungkin, malam ini bukan hanya tentang keputusan yang harus kuambil, tetapi juga tentang bagaimana aku belajar menerima dan membuka diri terhadap pengalaman baru yang mungkin mengubahku.

Kami tiba di ruang tengah rumahku, tempat yang selalu terasa seperti pelukan hangat. Aline duduk santai di sofa, matanya terpaku pada televisi yang menayangkan acara hiburan favoritnya. Sementara itu, aku duduk di sampingnya dengan buku yang kubawa pulang, mencoba mengalihkan perhatian dari pikiran yang masih menggelayut.

"Keenan itu baik banget ya, udah mau nganterin kita pulang, eh di-traktir seblak lagi. Pasti dia suka sama kamu," ucap Aline sambil tersenyum penuh arti, suaranya menyiratkan harapan dan rasa ingin tahunya.

Kebaikan Keenan memang sudah lama terasa, tetapi tentang perasaan..

"Dah lah, aku mau nyicip seblak dulu," Aline melangkah ke dapur, suaranya penuh semangat. Aku tersenyum kecil melihat kegembiraannya, tetapi pikiranku tetap terjebak dalam perenungan tentang Keenan.

Tak lama kemudian, Aline kembali dengan semangkok besar seblak yang kuahnya merah menyala. "Al, mau nyicip nggak? Punyaku pedes banget loh," tawarnya sambil mengangkat sendok berisi kuah seblak, tampak jelas kepedasannya.

Melihat warna kuah seblak yang merah itu membuatku enggan mencobanya. Aku menggeleng, menghindari rasa ngeri saat melihat kepedasannya.

"Al, aku yakin Keenan pasti suka kamu," kata Aline lagi, meski kepedasannya mulai mengganggu, dia tetap ingin melanjutkan topik itu. Dengan keringat menetes dari dahinya, Aline berusaha membahas sesuatu yang berat.

"Gak mungkin rasanya kalau cowok sama cewek berteman lama tanpa ada yang menyimpan rasa suka," lanjutnya, suaranya agak bergetar karena pedas.

"Al, tau nggak? Setahuku, kebanyakan cowok dan cewek yang berteman lama, pasti ada salah satu di antara mereka yang punya perasaan lebih. Kalau kamu nggak suka Keenan, mungkin sebenarnya Keenan yang suka kamu," ucapnya dengan penuh keyakinan, matanya mulai berkaca-kaca karena pedasnya seblak.

Aku hanya bisa terdiam, mendengarkan kata-kata Aline sambil meresapi setiap perkataan yang diungkapkannya. Meski Aline sedang menderita karena pedasnya seblak, ucapannya terasa seperti beban tambahan di hati ini. Aku merenung, membiarkan komentar Aline mengisi ruang pikiranku, mencoba mencari arti di balik semua interaksi dengan Keenan.

Malam ini, aku lebih dari sekadar memikirkan rasa pedas seblak. Aku memikirkan perasaan yang mungkin belum sepenuhnya kusadari, dan bagaimana aku bisa belajar memahami dan menghadapinya dengan lebih baik.

---

Aku berdiri di dekat jendela kamar, memandang ke luar dengan penuh keheningan. Malam semakin larut, dan aku terus menunggu, bertanya-tanya apakah Keenan akan datang malam ini. Rasa keraguan menggigit di hatiku, sementara harapan perlahan tumbuh.

Saat aku terlarut dalam pikiran, Aline keluar dari kamar mandi, siap untuk tidur. Melihatku berdiri di jendela, dia bertanya lembut, "Al? Ngapain kamu disitu?"

"Gak papa, cuma mau liat bintang aja," jawabku, mencoba menyembunyikan apa yang sebenarnya kurasakan.

Aline mengerutkan dahi dan berkata lembut, "Kirain mau nunggu siapa, ini udah malem. Yuk, tidur."

Aku menoleh dan mengangguk sambil tersenyum. Senyumku mungkin terasa sedikit dipaksakan, mencerminkan campur aduk perasaan yang kurasakan, antara kegembiraan dan keraguan. Mungkin karena ada harapan yang masih tersimpan di dalam diriku.

BERSAMBUNG

Related chapters

  • About Me: Alshameyzea    Bab 5. Dingin dan Harapan

    "Yang dekat belum tentu akan melekat. Yang berjarak pun belum tentu akan mendura. Tapi yang sudah menjadi takdirnya pasti akan mengikat." -Alshameyzea Afsheena °°°° Sebelum bel berbunyi, aku melangkah keluar dari kelas sejenak. Rasanya butuh waktu sebentar untuk melepaskan diri dari ruangan yang akan penuh dengan hitungan dan angka. Dengan langkah cepat, aku menuju tempat sampah di sudut koridor, meraut pensil yang mulai tumpul. Sambil melakukannya, pikiranku melayang ke pelajaran matematika yang sebentar lagi dimulai. Tak hanya soal-soal yang melintas di kepala, tapi juga hal-hal lain yang akhir-akhir ini sulit untuk aku hindari. Tiba-tiba, suara yang familiar mengusik keheningan pagi. "Sorry, Sheena. Semalam aku nggak jadi ke rumah kamu," suara Keenan, lembut tapi jelas, membuatku terkejut. Aku menoleh pelan ke arahnya. Dia berdiri di sampingku, sosoknya tiba-tiba begitu dekat. Ada sesuatu dalam caranya bicara yang membuat suasana menjadi canggung, meski kami sudah lama saling

    Last Updated : 2024-09-21
  • About Me: Alshameyzea    Bab 6. Langkah Tanpa Pilihan

    "Tidak ada perjalanan yang sempurna, bahkan langkah yang salah bisa menjadi bagian dari rute yang penuh makna" °°°° "Aline," panggilku lembut saat aku memasuki kelas, berharap suasana hatinya sudah membaik. Aku ingin bercerita banyak padanya, jadi aku perlu memulai dengan sapaan yang hangat. Namun, reaksi Aline begitu mengejutkan. "Ya ampun Alsha! Kamu ngapain pakai jaket kegedean?" dia berteriak dengan kaget, lalu tertawa keras. Suaranya menggema di ruangan, menambah kehebohan pagi itu. "Mana jalannya ngendap-ngendap kayak anak TK abis nyolong duit maknya, hahaha!" Aline benar-benar terhibur, menertawakan penampilanku yang tampaknya sangat lucu di matanya. Aku tercengang, merasa sedikit tersinggung oleh reaksi spontan Aline. 'Ini serius aku diginiin sama Aline?' batinku. "Ih, Aline, kok kamu gitu sih?" kataku dengan nada kesal, berusaha menahan rasa malu yang mulai muncul. "Duh, maaf-maaf, Al, aku nggak bisa nahan tawa. Lagian kamu sih!!! Itu jaket siapa yang kamu colong?" Al

    Last Updated : 2024-09-23
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti

    "Setiap hari bersamanya adalah bukti bahwa kebaikan dan perhatian masih ada di dunia ini."°°°°“Juara pertama OSDKI tahun 2014 dimenangkan oleh… Alshameyzea Afsheena!”Suara pengumuman itu menggetarkan ruangan, diikuti oleh tepuk tangan dan sorakan yang meriah. Di tengah keramaian, mataku mencari, berharap menemukan wajah-wajah yang kukenal. Sebuah sorakan pecah dari sampingku, suara salah satu teman sekelasku yang berdiri, ekspresi bangga terpancar jelas di wajahnya.“Sheena, kamu juara satu!” serunya penuh semangat, suaranya tenggelam di antara tepuk tangan yang semakin riuh.Dari panggung, MC tersenyum lebar sambil mengarahkan mikrofon ke arahku. “Silakan naik ke panggung, Alsha,” ajaknya dengan nada lembut, seakan ingin berbagi kebahagiaan ini denganku.Aku berdiri, gemetar sedikit, tapi perasaanku meluap penuh rasa syukur. Langkahku pelan, terasa berat karena bukan hanya tubuhku yang bergerak, tapi juga semua impian dan harapan yang menuntunku ke atas panggung. Saat aku tiba di

    Last Updated : 2024-09-26
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti (Part 2)

    "Alsha, kamu udah siap belum?" Suara Aline membuyarkan lamunanku, dengan nada ceria yang menyentuh.Aku tersadar dan menoleh padanya. "Iya, ayo berangkat," jawabku sambil tersenyum, mencoba menepis kerinduan yang menyelinap di pikiranku.Malam ini kami berencana menuju Grandfather Coffeeshop, tempat yang terletak tidak jauh dari rumah kami. Karena jaraknya yang dekat, kami memutuskan untuk jalan kaki. Langkah-langkah kami menapaki jalanan yang tenang, diterangi oleh lampu-lampu kota yang berkelip lembut. Kafka yang mengundang kami ke acara ini, dan hampir seluruh teman sekelas kami dijadwalkan hadir.Ketika kami sampai di depan rumah, langkah kami terhenti sejenak. Di depan gerbang, Keenan bersama teman-temannya sudah menunggu di atas motor mereka yang terparkir di pinggir jalan. Mereka tampak santai dan karismatik, dikelilingi oleh kilau lampu jalanan yang lembut.Kami melangkah mendekati gerbang dengan rasa penasaran. Aline, dengan tatapan campu

    Last Updated : 2024-09-26
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti (Part 3)

    Kafka lalu bergeser ke samping teman-temannya, yang tampak sedang berbincang dengan serius. Mereka tiba-tiba memarkirkan motor-motor mereka dengan rapi di depan rumahku, memperlihatkan tampilan motor-motor mereka yang mengkilap dan mengesankan di bawah cahaya lampu malam."Heh, kalian pada ngapain?" tanya Aline dengan nada bingung."Kita mau naik angkot juga bareng kalian," jawab Kafka, seraya melambaikan tangan ke arah angkot yang menunggu.Aku dan Aline saling bertukar pandang, masih kebingungan. "Udah, ayo sini, gue bantu seberangin," ucap Kafka, sambil melangkah mendekati kami. Dia membantu kami menyeberangi jalan dengan penuh perhatian, sementara aku terus merenung tentang alasan Keenan tidak bisa naik angkot dan mengapa teman-temannya tampak khawatir tentang hal itu.Keenan mempersilahkan aku duduk di kursi angkot yang empuk, dan dengan nada lembut, ia bertanya, "Apa aku boleh duduk di samping kamu?" Suaranya yang khas membuatku me

    Last Updated : 2024-09-26
  • About Me: Alshameyzea    Bab 8. Kisah di bawah Cahaya Temaram

    "Di antara jutaan wajah, aku memilihmu." -Alshameyzea Afsheena ••••Di luar kafe ini, setiap meja dirancang sederhana untuk empat orang, dengan kursi panjang yang mampu menampung dua orang berdampingan, menciptakan suasana akrab. Malam ini, kafe dipenuhi oleh tawa dan obrolan, aroma kopi yang menggoda, dan alunan musik lembut yang meresap ke dalam jiwa."Ayo duduk bareng aku," ajak Keenan, senyum hangat menghias wajahnya. Di bawah cahaya lampu temaram, matanya berkilau lembut, seolah menggoda hati yang mendengarnya.Aku mengangguk, "Ayo, Aline, kita duduk di sini saja." Namun, Aline yang masih menggenggam tanganku erat tampak ragu, gelisah dalam keramaian ini.Tiba-tiba, Kafka, dengan ketegasan yang tak terbantahkan, menarik mini bag Aline, menghentikannya. "Eh, lo mau kemana?" tanya Kafka, nada suaranya tenang, tanpa memberi ruang untuk perdebatan.Aline melotot marah, "Lepasin! Lo ngapain narik-narik tas gue? Kalau copot—""Nanti gue ganti," potong Kafka, tetap santai, seolah tak t

    Last Updated : 2024-09-27
  • About Me: Alshameyzea    Bab 8. Kisah di bawah Cahaya Temaram (Part 2)

    "Ih, Keenan, kamu kenapa sih?" Aku memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan pipi yang mungkin sudah memerah lebih dari sebelumnya.Keenan tertawa kecil, tangannya menyisir rambut dengan santai. "Okay, okay," ujarnya. "Kamu kalau jam segini ngapain aja di rumah?"Aku berpikir sejenak, memikirkan rutinitasku di rumah. "Aku biasanya baca buku, atau nonton televisi, atau ngobrol dengan Aline," jawabku, sambil mengenang kegiatan sehari-hariku.Keenan mendengarkan dengan penuh perhatian, senyum lembutnya tidak pernah pudar. "Tidurnya jam berapa emang?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu."Jam sepuluh malam," ucapku."Misal aku call kamu, boleh?" Keenan bertanya, nada suaranya mengandung harapan yang membuat hatiku bergetar.Namun, sebelum aku sempat menjawab, Aline sudah mendekat dengan cepat. "Yuk, Al, ikut aku ke kamar mandi bentar," katanya, memegang tanganku.Aku menoleh ke arah Keenan, yang masih duduk dengan tenang. Ali

    Last Updated : 2024-09-27
  • About Me: Alshameyzea    Bab 9. Aline Kepo

    "Di antara suara tawa dan obrolan, hanya suaramu yang bisa membuatku merasa tenang meskipun jarak memisahkan." -Alshameyzea Afsheena °°°°° Keenan mengetik pesannya dengan cepat, dan ketika aku membacanya, senyumku merekah tanpa bisa kucegah. Keenan Aksara: Sheena, tadi pipi kamu memerah sepanjang jalan. Aku membalas dengan cepat, ingin tahu apakah dia benar-benar memperhatikan. Alsha: Iyakah? Keenan Aksara: Iya, lucu banget kek tomat. Alsha: Enak aja. Keenan Aksara: Hehe, bercanda Sheena. Saat aku sibuk dengan handphone, Aline menghampiri dengan ekspresi penasaran. "Al! Kenapa kamu senyum-senyum sendiri gitu?" teriaknya, membuatku sedikit terkejut. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu memalingkan wajahku darinya. "Pasti lagi chattingan sama si Keenan," kata Aline dengan nada malas, memutar bola matanya yang terlihat sedikit jengkel. Aku tetap tidak menggubris kata-katanya, mataku masih tertuju pada layar handphone, jemariku sibuk membalas pesan dari Keen

    Last Updated : 2024-09-27

Latest chapter

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 7)

    “E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 6)

    Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 5)

    Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 4)

    Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 3)

    Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 2)

    Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa

    "Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men

  • About Me: Alshameyzea    Bab 49. Merilis Luka (Part 3)

    Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob

  • About Me: Alshameyzea    Bab 49. Merilis Luka (Part 2)

    "Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"

DMCA.com Protection Status