"Tidak ada perjalanan yang sempurna, bahkan langkah yang salah bisa menjadi bagian dari rute yang penuh makna"
°°°° "Aline," panggilku lembut saat aku memasuki kelas, berharap suasana hatinya sudah membaik. Aku ingin bercerita banyak padanya, jadi aku perlu memulai dengan sapaan yang hangat. Namun, reaksi Aline begitu mengejutkan. "Ya ampun Alsha! Kamu ngapain pakai jaket kegedean?" dia berteriak dengan kaget, lalu tertawa keras. Suaranya menggema di ruangan, menambah kehebohan pagi itu. "Mana jalannya ngendap-ngendap kayak anak TK abis nyolong duit maknya, hahaha!" Aline benar-benar terhibur, menertawakan penampilanku yang tampaknya sangat lucu di matanya. Aku tercengang, merasa sedikit tersinggung oleh reaksi spontan Aline. 'Ini serius aku diginiin sama Aline?' batinku. "Ih, Aline, kok kamu gitu sih?" kataku dengan nada kesal, berusaha menahan rasa malu yang mulai muncul. "Duh, maaf-maaf, Al, aku nggak bisa nahan tawa. Lagian kamu sih!!! Itu jaket siapa yang kamu colong?" Aline terus bercanda, terlihat sangat senang melihat reaksiku. "Aline! Aku nggak nyolong ya!!!" Aku melotot kepadanya, merasa agak tersinggung. "Enak aja, aku dikira nyolong jaket ini." Suara ku terdengar tegas, meskipun aku tahu dia hanya bercanda. "Jaket gue, kenapa emangnya?" ucap Keenan dengan tegas, dia tiba-tiba muncul. Entah kenapa, seolah kehadiran mendadaknya adalah bagian dari hobi barunya yang membuat jantungku berdegup kencang. Rasanya seperti dia tahu persis bagaimana caranya mengejutkanku. Lalu, terdengar suara teman-teman sekelasku bercanda, "Aduh, lihatlah, ini Keenan yang terlalu gede badannya atau Alsha yang terlalu mungil?" Mereka tertawa, membuat suasana semakin riuh. "Heh, bisa diem gak!" Suara Keenan penuh kekuatan dan ketegasan yang belum pernah aku dengar sebelumnya, membuat seisi kelas langsung terdiam. Aku merasa sedikit gentar, terkejut oleh ketegasan yang tiba-tiba menyelimuti ruang kelas. "Udah Sheena, nggak papa. Duduk gih." ucap Keenan, sambil membenarkan posisi kursiku. Suara lembutnya yang akrab kembali mengisi udara, seolah memberikan pelukan yang menenangkan di tengah ketegangan. Aku pun duduk sambil melihat seisi kelas yang masih memperhatikan ku, jaket Keenan emang kegedean, bayangin saja tubuh mungil ini harus berkelahi dengan jaket yang segede gaban. Ini mah jaket sekaligus selimut bagiku. Sementara itu, Nevan, yang baru saja masuk, tampak terkejut saat melihatku. "Eh?" dia bertanya sambil tertawa kecil. "Alsha pakai jaket siapa tuh?" Abhi, yang ikut datang bersama Kafka, tidak mau kalah. "Kayaknya bentar lagi ada yang mau jadian nih," godanya, menambahkan sedikit bumbu humor pada suasana dengan senyuman nakal. Kafka, yang baru saja melangkah ke dalam kelas, melirik Keenan yang sedang sibuk membersihkan bangku di sampingku. "Lo duduk di situ?" tanya Kafka, matanya menatap Keenan dengan rasa penasaran. "Iya," jawab Keenan dengan nada mantap, seolah sudah membuat keputusan tegas. Aku menoleh, penasaran, dan bertanya, "Kamu kenapa pindah tempat duduk?" Dengan nada bercanda, Keenan menjawab sambil tersenyum lebar, "Emangnya aku gak boleh ngeliat kamu dari deket?" Senyumannya membuat teman-temannya tertawa, sementara aku merasa bingung dan tidak tahu harus merespons apa. "Aduh, kayaknya ketua kita mulai bucin nih." ucap Abhi, auaranya penuh canda, menyentil situasi dengan gurauan. "Kalo bucinnya cuma ke Sheena, gak papa dong?" ucap Keenan kemudian, dia menatapku dengan tatapan lembut, senyumannya semakin melebar. Saat itu, jantungku berdetak kencang. Setiap kata Keenan terasa seperti getaran yang mengisi ruangan, dan aku merasa hatiku bergetar mengikuti irama yang tak bisa kuhindari. Nevan, dengan senyum penuh pengertian, mendorong Abhi dan Kafka menjauh dari depan. "Ekhem, kalau gitu kita nggak mau ganggu bos. Kita duduk di bangku belakang saja," ujarnya sambil mengarahkan teman-temannya ke tempat duduk yang lebih jauh. Abhi, dengan senyum simpul yang tampak penuh arti, menambahkan, "Lanjutkan, pak Ketu." Di tengah suasana yang penuh canda itu, Aline menoleh ke arahku dengan cemas. "Al, kamu gapapa?" bisiknya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Sebelum aku sempat merespons, seorang laki-laki tinggi, yang setara dengan Keenan dalam hal postur, melangkah mendekat. Ia mengenakan jas almamater sekolah dengan sikap percaya diri. Dengan gerakan tenang, ia menyodorkan tangan kanannya, yang dihiasi gelang hitam, ke arahku. "Siapa ya?" tanyaku, kebingungan. Mataku tertuju pada sosoknya yang misterius, yang tampak mengundang rasa penasaran sekaligus kekhawatiran. Keenan, Kafka, Nevan, dan Abhi, dengan ekspresi serius, segera bergabung mendekati cowok itu. Mereka membentuk lingkaran di sekelilingnya, menandakan ketegangan yang semakin memuncak. "Siapa gue, itu nggak penting. Gue cuma mau.." ucap cowok itu, sebelum kalimatnya terputus oleh tindakan Keenan yang cepat. Keenan menepis tangan cowok itu dengan tegas, membuatku dan Aline terkejut. "Lo siapa?" Keenan bertanya dengan nada menantang, melangkah maju dan mendorongnya hingga mundur selangkah. Tatapan Keenan penuh tekad, matanya membakar semangat yang membuat suasana semakin tegang. "Gue gak ada urusan sama lo," jawab cowok itu dengan santai, dia kembali menyodorkan tangannya ke arahku seolah tidak terpengaruh oleh perlakuan Keenan. "Heh, lo itu siapa? Tiba-tiba dateng ke kelas kita!" Abhi melanjutkan dengan nada tinggi, suaranya mencerminkan kebingungan dan kemarahan. Cowok itu tetap diam, tatapannya yang dingin menempel pada diriku. Rasa dingin dari tatapannya membuatku sedikit merinding, membuatku enggan untuk menatapnya lebih lama. Suasana di ruangan semakin mencekam, setiap detik terasa menegangkan. Sebelum Keenan sempat mengajaknya ribut, tiba-tiba Pak Iwan muncul di ambang pintu, dan suasana di kelas langsung berubah. Semua siswa cepat-cepat kembali ke bangku masing-masing, suasana kembali menjadi lebih tenang. "Kamu ngapain di sini? Nggak denger bel?" tanya Pak Iwan dengan nada tegas, menatap cowok itu dengan ekspresi bingung. Dia mengangguk dengan sikap hormat, kemudian berbalik dan meninggalkan kelas kami. Namun, sebelum benar-benar pergi, tatapannya yang dingin masih tertuju padaku, seolah ingin meninggalkan kesan mendalam. Aku melirik ke arah Keenan, yang wajahnya tampak merah padam, menunjukkan rasa marah yang jelas terlihat. Tiba-tiba rasa penasaranku muncul. Eh? Dia cemburu? "Baiklah anak-anak, silakan buka buku paket kalian di halaman.." suara Pak Iwan yang lantang memecah kebisuan, menarik perhatian kami kembali ke pelajaran. Dengan suara yang lebih ringan namun penuh otoritas, beliau memulai proses belajar mengajar. --- Di kantin sekolah yang ramai, Aline menyeruput es tehnya sambil menatapku dengan penuh rasa ingin tahu. "Al, cowok yang tadi siapa?" tanyanya, suaranya penuh rasa penasaran. Aku mengangkat kedua bahuku dengan santai. "Gak tau," jawabku singkat, memang aku tidak tahu. Aline tampak semakin penasaran. "Siapa ya dia? Tiba-tiba mau salaman ke kamu? Mau kenalan atau mau ngapain?" tanyanya sambil menatapku dengan ekspresi penuh tanya. Aku juga ikut berpikir, berusaha mengingat kembali momen yang mengejutkan itu. Tiba-tiba, Aline menjerit dengan bersemangat, "Tapi ganteng!" Suaranya yang keras membuatku terkejut, membuat beberapa kepala di kantin menoleh ke arah kami. "Duh, Alsha! Bisa-bisanya kamu diem aja tadi. Kalau aku jadi kamu, beuh, pasti aku udah.." Aku memotong dengan nada tidak sabar, "Udah apa?" Sambil membereskan mangkok dan piring kami, aku siap untuk mengembalikannya ke Bu Siti, ibu kantin yang sedang sibuk di belakang meja. "Mulai dah mulai," lanjutku, mencoba mengalihkan perhatian dari topik yang semakin membingungkan. Aline hanya tersenyum lebar, menyeringai sambil ikut berdiri. "Emang kamu beneran gak kenal sama cowok tadi, Al?" tanya Aline, masih tertarik dengan topik tersebut. Dia ikut membantuku membawa mangkuk mie ayam menuju meja Bu Siti. "Enggak, Aline. Udah ah, gak jelas juga cowok itu," jawabku sambil berjalan dengan langkah cepat ke arah Bu Siti, lalu menaruh mangkok dan piring di atas meja. "Makasih banyak, Bu. Ini uangnya, Bu," ucapku, menyodorkan selembar uang sepuluh ribu. Bu Siti mengangguk sambil menerima uang tersebut. "Sama-sama, neng geulis. Uangnya pas, ya," jawabnya dengan senyum ramah. "Iya, Bu." Aku tersenyum kembali, lalu bersama Aline, kami berbalik dan melangkah kembali ke kelas, meninggalkan kantin dengan suasana hati yang lebih ringan. Saat kami hampir sampai di depan kelas, aku menyetop langkah Aline. "Eh, aku mau ke perpus, mau ikut gak?" ajakku, dengan nada penuh semangat. Aline ber-hm pelan, tampak malas. "Aduh Alsha, aku mager mau jalan," ucapnya, suaranya penuh keluhan. "Ya udah, aku ke perpus dulu ya bentar. Mau pinjem buku," kataku sambil mulai melangkah ke arah perpustakaan. Aline menoleh dan mengangguk. "Iya, Aku tunggu di kelas aja," jawabnya dengan nada setengah hati, sebelum melanjutkan langkahnya menuju ruang kelas. Aku melanjutkan perjalanan ke perpustakaan, merasa sedikit lega karena bisa menyempatkan diri untuk meminjam buku yang sudah lama aku incar. Begitu tiba di pintu perpustakaan, aku menghela napas, siap memasuki tempat yang tenang dan penuh dengan berbagai buku menarik. Suasana perpus langsung menyambutku dengan kesunyian yang menenangkan. Udara di dalam ruangan terasa sejuk dan segar, menambah rasa damai di hati. Aku menyapa petugas dengan ramah, mengisi daftar pengunjung dengan cekatan sebelum melanjutkan ke rak-rak buku. Perpustakaan memang selalu membangkitkan rasa nyaman dalam diriku. Rak demi rak buku membentang di hadapanku, seolah menawarkan ribuan cerita dan pengetahuan. Aku mulai menyusuri lorong-lorongnya, mata teliti memeriksa judul-judul yang ada. Sementara aku tenggelam dalam pencarian buku yang aku butuhkan, waktu terasa berjalan cepat. Namun, dengan bel masuk yang akan berbunyi sebentar lagi, aku harus bergerak lebih cepat untuk menemukan buku yang kucari sebelum kembali ke kelas. Aku akhirnya menemukan buku yang kucari, tetapi betapa terkejutnya aku ketika melihatnya terletak di rak paling atas. Aku memandang sekeliling, memastikan tak ada orang, sebelum berusaha mengangkat kaki untuk mencapai rak tersebut. Tiba-tiba, suara cowok yang tak asing memecah keheningan, membuatku terlonjak. Jantungku kembali berdebar kencang saat aku menyadari suara itu milik Keenan. Hari ini sepertinya jantungku sedang dalam kondisi buruk. "Mau ngapain?" tanya Keenan dengan nada santai, membuatku terjaga dari lamunanku. Dia melangkah mendekat dan, dengan gerakan gesit, mengambil buku itu dengan satu tangan kiri, tampak begitu mudah. "Kenapa natap aku kayak itu?" tanyanya sambil memandangku dengan ekspresi penasaran. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku, mencoba menyembunyikan rasa malu. Keenan tertawa pelan, suaranya lembut namun penuh percaya diri. "Aku cuma bercanda, Sheena. Gak papa kok kalau mau ngeliatin aku, liatin aja sepuasnya," katanya dengan nada sedikit menggoda, sambil mendekatkan wajahnya ke arahku. "Gimana? Ganteng, kan, aku?" "Keenan," aku melotot. Keenan hanya tertawa cekikikan, dan suara tawa itu cukup keras hingga menarik perhatian petugas perpustakaan. Dengan langkah tenang, petugas perpustakaan mendekati kami dan berkata, "Kalau mau rame, jangan di perpus." Suaranya tegas namun tidak kasar, mengingatkan kami untuk menjaga ketenangan. Kami langsung terdiam, mengangguk pelan sebagai tanda pengertian. Aku memandang Keenan yang masih tersenyum padaku. Senyumnya yang penuh percaya diri membuatku merasa sedikit gugup, dan aku tidak bisa mengalihkan tatapan dari wajahnya yang menawan. Saat memikirkan perkataan Keenan, aku kembali mengingat bahwa kami sudah lama saling kenal. Meski Keenan baru saja mengutarakan perasaannya, aku tahu dia tidak mau aku menjauh hanya karena itu. Dia selalu seperti ini, terbuka, penuh kepercayaan diri, dan kadang-kadang mengganggu. Aku memutuskan untuk bersikap seperti biasanya, berusaha menghilangkan rasa canggung yang menyelimutiku. Sepertinya aku harus kembali berperilaku seperti dulu, seperti saat kami hanya saling bercanda tanpa beban. Aku tidak pernah berpikir, bahwa suatu saat nanti, sikapku yang mencoba untuk kembali ke keadaan normal itu mungkin justru membuatku terjebak dalam perasaan yang semakin rumit. Tanpa aku sadari, ini mungkin akan semakin sulit untuk keluar dari perasaan yang membingungkan ini. Setelah petugas perpustakaan kembali ke tempat duduknya, aku segera mengambil bukuku yang telah dipinjam. Dengan langkah cepat, aku menuju meja peminjaman dan menyerahkan kartu perpustakaan untuk proses peminjaman. Petugas itu segera memproses peminjaman dengan cekatan, dan beberapa detik kemudian, aku menerima buku yang kuinginkan dengan tanda terima. Keenan berdiri di sampingku, senyumnya masih menempel di wajahnya. "Jadi, mau ke mana setelah ini?" tanyanya sambil melirik buku yang baru saja kuambil, matanya penuh rasa ingin tahu. Aku menatap buku itu sejenak, "Ke kelas," jawabku. Keenan mengangguk, "Kalau gitu, bareng aku." Dia melangkah keluar terlebih dahulu, membuka pintu perpustakaan dengan sopan dan menunggu di luar. Aku mengikuti langkahnya, dan saat kami melintasi pintu, udara segar menyambut kami. Keenan melirikku dengan tatapan santai, sementara aku mencoba menenangkan degup jantungku yang semakin cepat. Kami melangkah keluar bersama, berjalan menyusuri koridor sekolah yang tenang. Angin sepoi-sepoi yang menyapu wajahku seakan membawakan perasaan ringan, sementara Keenan berjalan di sampingku, menjaga jarak yang nyaman namun cukup dekat untuk membuatku merasa hadir di sampingnya. Dengan tatapan serius, dia memecah keheningan. "Udah dibaca belum bukunya?" tanya Keenan, suaranya tenang namun penuh perhatian. Aku mendongak sedikit, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Buku apa?" balasku, bingung. "Buku yang aku kasihkan waktu itu," jelas Keenan, matanya tetap fokus pada wajahku. "Oh, itu," ucapku sambil merenung sejenak, "Belum. Maaf ya, aku masih belum sempat baca bukunya. Aku harus fokus belajar, persiapan buat olim." Keenan menatapku dengan penuh rasa ingin tahu. "Kamu ikut olim?" tanya dia, matanya bersinar penuh minat. "Iya," jawabku sambil mengangguk, sedikit tertekan oleh rasa tanggung jawab. Keenan tampak terkejut. "Bukannya perwakilan olim itu dari kelas sebelah, ya?" Aku menggeleng pelan. "Oh, itu beda. Ini olimpiade yang diadakan di sekolah." Keenan mengerutkan keningnya. "Kenapa nggak ikut olim yang itu?" "Soalnya waktu itu ada kendala, jadi telat daftar lombanya," jawabku dengan nada menyesal, mencoba menjelaskan situasinya. Keenan tersenyum dengan tulus, seolah memberikan dukungan tanpa syarat. "Semangat Sheena. Ada aku yang selalu mendukungmu dari belakang." "Eh, Sheena, aku lupa ada urusan sebentar. Kamu gak papa kan kalau sendirian ke kelas?" ucapnya lagi, sambil menghentikan langkahnya dan menatapku dengan penuh perhatian. Aku mengangguk, berusaha tersenyum meyakinkan. "Nggak masalah," jawabku dengan nada tenang. Keenan tersenyum lega, kemudian berbalik pergi. Aku melihat punggungnya semakin menjauh, meninggalkan jejak yang terasa kosong dalam hatiku. Tiba-tiba, suara familiar memanggil dari belakang. "Hey Al, tadi kamu dicari Bu Sri," ucap Dina, teman sekelasku. Aku menoleh, sedikit terkejut. "Oh ya? Sekarang Bu Sri di mana?" tanyaku, berusaha untuk tidak terdengar terlalu khawatir. "Mungkin di ruang guru," jawab Dina dengan nada yakin. Aku mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Dina sebelum mengubah arah langkahku menuju kantor guru. Sambil berjalan, langkahku terasa ringan, namun pikiranku berat. Bayangan Keenan yang meninggalkanku tadi terus berputar di benakku, seperti film yang diputar ulang tanpa henti. Aku tidak bisa menghilangkan senyuman hangatnya dari pikiranku, dan rasa penasaran akan urusan yang mendadak itu membuatku merasa gelisah. "Semangat Sheena. Ada aku yang selalu mendukungmu dari belakang." Aku tersenyum mengingat kalimat Keenan tadi. Aku tahu betul bahwa Keenan selalu ada untukku, sejak SMP dia selalu hadir di setiap lomba yang aku ikuti. Melihatnya seperti ini, aku menyadari bahwa dia tak pernah berubah. Dia tetap Keenan yang aku kenal, pendukung setiaku. Namun, di balik semua itu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatku berpikir, bahwa.. "I want to have you. Would you be mine, Sheena?" "Why don't we give it the try? Cinta butuh waktu, Sheena. And I waited for you." Kalimat-kalimatnya terus melintas di kepalaku. Langkahku semakin cepat menuju ke kantor guru, dengan pikiran yang dipenuhi oleh nama laki-laki pemilik wajah tegas itu. DUGH! Aduh! Tanganku segera memegangi kepalaku, mencoba meredakan rasa nyeri yang muncul seketika. Bisa-bisanya aku tidak melihat mading segede ini di lorong menuju kantor guru. Sejak kapan ada mading disini? "Lo gak papa?" Suara laki-laki tiba-tiba terdengar di belakangku, suaranya terdengar penuh kekhawatiran. Aku tidak menoleh, tanganku sibuk mengelus-elus kepalaku yang terasa nyeri. Aku menggelengkan kepala, mencoba bersikap santai meskipun rasa sakitnya masih terasa. "Gak papa," kataku sambil menahan rasa sakit. "Beneran gak papa?" ucap laki-laki itu lagi, nada suaranya menunjukkan ketidakpercayaannya. Aduh, anak ini, bawel banget jadi orang. Aku beneran gak papa! "Kalau sakit bilang, sini gue bantu!" suaranya terdengar tegas namun penuh perhatian. "Heh! Emangnya kamu bisa bantu apa?" balasku, sedikit kesal. "Do'a" Anak ini, siapa sih! Aku berbalik badan, penasaran dengan siapa yang berbicara. Mataku membesar ketika melihat laki-laki itu. Ternyata dia laki-laki yang sama, yang tiba-tiba muncul di kelas tadi, menyodorkan tangannya dengan sikap yang begitu percaya diri. "Udah ilang sakitnya setelah liat gue?" tanyanya dengan ekspresi datar. "Dih." Aku memutar badan, berusaha untuk mengabaikannya dan melanjutkan langkahku menuju ruang guru. PD amat sih! "Tunggu." Suaranya menghentikanku sejenak, lembut tapi tegas, seolah tidak memberiku pilihan selain mendengarkan. Aku bisa merasakan kehadirannya mendekat, tapi entah mengapa aku enggan menoleh. "Percuma punya mata empat, kalau mading segede itu lo tabrak." Bisikannya di telingaku terdengar begitu dekat, terlalu dekat. Suara itu membuat jantungku berdebar, bukan karena ketakutan, tapi lebih karena getaran aneh yang muncul tiba-tiba. Setelah itu, dia melangkah mendahuluiku, langkahnya santai seakan tak ada apa-apa yang terjadi. "Heh!" seruku, tak mampu menahan kesal. Namun, dia terus berjalan tanpa peduli, meninggalkanku dengan emosi yang sulit dijelaskan. Aku berdiri di sana, merasakan sesuatu yang jarang hadir dalam diriku, amarah yang tiba-tiba. Selama ini, aku selalu berpikir bahwa aku cukup pandai mengendalikan emosi, terutama terhadap orang yang baru kutemui. Tapi kali ini, perasaan itu melonjak begitu cepat, seperti gelombang yang tak bisa kubendung. Kenapa aku bisa merasa semarah ini? Mengapa hanya karena satu komentar, aku bisa kehilangan kendali? Kemarahan ini terasa berbeda, seperti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar komentar sinis. Sepertinya bukan hanya laki-laki itu yang menjadi sumber kemarahanku. Mungkin, amarah ini datang dari diriku sendiri, dari hal-hal yang sudah lama kupendam. Seperti Keenan, yang terus-menerus hadir di pikiranku, atau mungkin dari kegelisahan yang telah lama tak kumengerti. Aku menyadari, perasaan yang kacau ini bukan sekadar tentang kejadian kecil tadi. Ini tentang kekacauan yang selama ini kurasakan, tapi tak pernah kusadari sepenuhnya. Amarah yang muncul tiba-tiba ini, mungkin hanyalah permukaan dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang selama ini terabaikan. Sambil menatap punggungnya yang semakin menjauh, aku mulai memahami satu hal, bahwa mungkin, kemarahan ini adalah caraku merespon rasa lelah dan kebingungan yang selama ini kusimpan. Ada banyak hal yang belum selesai, baik dalam diriku maupun di luar sana, dan semuanya kini berkumpul menjadi satu perasaan yang mendominasi. Mungkin ini saatnya aku berhenti sejenak, untuk benar-benar mendengarkan diriku sendiri. Sebelum aku bisa menenangkan amarah ini, aku harus lebih dulu memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. BERSAMBUNG"Setiap hari bersamanya adalah bukti bahwa kebaikan dan perhatian masih ada di dunia ini."°°°°“Juara pertama OSDKI tahun 2014 dimenangkan oleh… Alshameyzea Afsheena!”Suara pengumuman itu menggetarkan ruangan, diikuti oleh tepuk tangan dan sorakan yang meriah. Di tengah keramaian, mataku mencari, berharap menemukan wajah-wajah yang kukenal. Sebuah sorakan pecah dari sampingku, suara salah satu teman sekelasku yang berdiri, ekspresi bangga terpancar jelas di wajahnya.“Sheena, kamu juara satu!” serunya penuh semangat, suaranya tenggelam di antara tepuk tangan yang semakin riuh.Dari panggung, MC tersenyum lebar sambil mengarahkan mikrofon ke arahku. “Silakan naik ke panggung, Alsha,” ajaknya dengan nada lembut, seakan ingin berbagi kebahagiaan ini denganku.Aku berdiri, gemetar sedikit, tapi perasaanku meluap penuh rasa syukur. Langkahku pelan, terasa berat karena bukan hanya tubuhku yang bergerak, tapi juga semua impian dan harapan yang menuntunku ke atas panggung. Saat aku tiba di
"Alsha, kamu udah siap belum?" Suara Aline membuyarkan lamunanku, dengan nada ceria yang menyentuh.Aku tersadar dan menoleh padanya. "Iya, ayo berangkat," jawabku sambil tersenyum, mencoba menepis kerinduan yang menyelinap di pikiranku.Malam ini kami berencana menuju Grandfather Coffeeshop, tempat yang terletak tidak jauh dari rumah kami. Karena jaraknya yang dekat, kami memutuskan untuk jalan kaki. Langkah-langkah kami menapaki jalanan yang tenang, diterangi oleh lampu-lampu kota yang berkelip lembut. Kafka yang mengundang kami ke acara ini, dan hampir seluruh teman sekelas kami dijadwalkan hadir.Ketika kami sampai di depan rumah, langkah kami terhenti sejenak. Di depan gerbang, Keenan bersama teman-temannya sudah menunggu di atas motor mereka yang terparkir di pinggir jalan. Mereka tampak santai dan karismatik, dikelilingi oleh kilau lampu jalanan yang lembut.Kami melangkah mendekati gerbang dengan rasa penasaran. Aline, dengan tatapan campu
Kafka lalu bergeser ke samping teman-temannya, yang tampak sedang berbincang dengan serius. Mereka tiba-tiba memarkirkan motor-motor mereka dengan rapi di depan rumahku, memperlihatkan tampilan motor-motor mereka yang mengkilap dan mengesankan di bawah cahaya lampu malam."Heh, kalian pada ngapain?" tanya Aline dengan nada bingung."Kita mau naik angkot juga bareng kalian," jawab Kafka, seraya melambaikan tangan ke arah angkot yang menunggu.Aku dan Aline saling bertukar pandang, masih kebingungan. "Udah, ayo sini, gue bantu seberangin," ucap Kafka, sambil melangkah mendekati kami. Dia membantu kami menyeberangi jalan dengan penuh perhatian, sementara aku terus merenung tentang alasan Keenan tidak bisa naik angkot dan mengapa teman-temannya tampak khawatir tentang hal itu.Keenan mempersilahkan aku duduk di kursi angkot yang empuk, dan dengan nada lembut, ia bertanya, "Apa aku boleh duduk di samping kamu?" Suaranya yang khas membuatku me
"Di antara jutaan wajah, aku memilihmu." -Alshameyzea Afsheena ••••Di luar kafe ini, setiap meja dirancang sederhana untuk empat orang, dengan kursi panjang yang mampu menampung dua orang berdampingan, menciptakan suasana akrab. Malam ini, kafe dipenuhi oleh tawa dan obrolan, aroma kopi yang menggoda, dan alunan musik lembut yang meresap ke dalam jiwa."Ayo duduk bareng aku," ajak Keenan, senyum hangat menghias wajahnya. Di bawah cahaya lampu temaram, matanya berkilau lembut, seolah menggoda hati yang mendengarnya.Aku mengangguk, "Ayo, Aline, kita duduk di sini saja." Namun, Aline yang masih menggenggam tanganku erat tampak ragu, gelisah dalam keramaian ini.Tiba-tiba, Kafka, dengan ketegasan yang tak terbantahkan, menarik mini bag Aline, menghentikannya. "Eh, lo mau kemana?" tanya Kafka, nada suaranya tenang, tanpa memberi ruang untuk perdebatan.Aline melotot marah, "Lepasin! Lo ngapain narik-narik tas gue? Kalau copot—""Nanti gue ganti," potong Kafka, tetap santai, seolah tak t
"Ih, Keenan, kamu kenapa sih?" Aku memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan pipi yang mungkin sudah memerah lebih dari sebelumnya.Keenan tertawa kecil, tangannya menyisir rambut dengan santai. "Okay, okay," ujarnya. "Kamu kalau jam segini ngapain aja di rumah?"Aku berpikir sejenak, memikirkan rutinitasku di rumah. "Aku biasanya baca buku, atau nonton televisi, atau ngobrol dengan Aline," jawabku, sambil mengenang kegiatan sehari-hariku.Keenan mendengarkan dengan penuh perhatian, senyum lembutnya tidak pernah pudar. "Tidurnya jam berapa emang?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu."Jam sepuluh malam," ucapku."Misal aku call kamu, boleh?" Keenan bertanya, nada suaranya mengandung harapan yang membuat hatiku bergetar.Namun, sebelum aku sempat menjawab, Aline sudah mendekat dengan cepat. "Yuk, Al, ikut aku ke kamar mandi bentar," katanya, memegang tanganku.Aku menoleh ke arah Keenan, yang masih duduk dengan tenang. Ali
"Di antara suara tawa dan obrolan, hanya suaramu yang bisa membuatku merasa tenang meskipun jarak memisahkan." -Alshameyzea Afsheena °°°°° Keenan mengetik pesannya dengan cepat, dan ketika aku membacanya, senyumku merekah tanpa bisa kucegah. Keenan Aksara: Sheena, tadi pipi kamu memerah sepanjang jalan. Aku membalas dengan cepat, ingin tahu apakah dia benar-benar memperhatikan. Alsha: Iyakah? Keenan Aksara: Iya, lucu banget kek tomat. Alsha: Enak aja. Keenan Aksara: Hehe, bercanda Sheena. Saat aku sibuk dengan handphone, Aline menghampiri dengan ekspresi penasaran. "Al! Kenapa kamu senyum-senyum sendiri gitu?" teriaknya, membuatku sedikit terkejut. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu memalingkan wajahku darinya. "Pasti lagi chattingan sama si Keenan," kata Aline dengan nada malas, memutar bola matanya yang terlihat sedikit jengkel. Aku tetap tidak menggubris kata-katanya, mataku masih tertuju pada layar handphone, jemariku sibuk membalas pesan dari Keen
Aline mengalihkan perhatian dari ponselnya dan menatapku dengan ekspresi serius. "Duh, Al, meskipun kak Claudia di luar kelihatan wow banget, dia juga gak mau kalah soal cogan. Liat aja Keenan, dia juga diincar, kan? Kalau Kak Claudia tau ada cowok yang lebih ganteng lagi dari Keenan, pasti dia bakal deketin juga," jelas Aline dengan nada penuh keyakinan.Aku mengerutkan keningku, sulit mempercayai penjelasan Aline. "Pernah ada kabar nih," lanjut Aline dengan nada berbisik penuh rahasia, "katanya Kak Claudia pernah ketahuan selingkuh dengan pacarnya sendiri. Dan bukan cuma satu, tapi lima cowok, Al! Bayangin, lima cowok jadi selingkuhannya. Gila banget gak sih, tuh senior.""Aku awalnya nggak percaya, tapi setelah pengakuan dari pacarnya Kak Claudia dan para korban selingkuhannya, aku baru percaya. Berita itu sempet rame di sekolah kita, apalagi di media sosial cowoknya," Aline melanjutkan cerita dengan penuh antusias, matanya berbinar penuh gairah. Sementara itu, aku hanya bisa mende
Aline, dengan mata berbinar, mengangguk dan terus menunjukkan foto itu. Benar saja, di postingan yang ditunjukkan Aline, tampak tiga cowok dengan wajah hampir mirip. "Lihat, mereka benar-benar kembar tiga!" serunya dengan antusias, suaranya membuat telingaku berdenging."Woah! Gila banget, bisa-bisanya kembar tiga tapi ganteng semua!" teriak Aline, suara kagetnya hampir memekakkan telinga."Aline," aku melotot padanya."Sorry, sorry, Al. Tapi ini serius. Mereka kembar tiga?" Aline terus bersemangat, tidak bisa menyembunyikan rasa herannya."Di foto memang keliatan mirip semua sih. Mungkin efek filter kali," jawabku asal, berusaha tetap tenang meskipun dalam hati aku juga terkejut."Entahlah," Aline tetap tak bisa menutupi kegembiraannya. "Yang paling penting, aku udah nemu akun Instagramnya Arshaka!" Dia hampir melompat kegirangan. "Aku bisa lihat story-nya dia, aku bisa kepoin dia. Kalo perlu, aku DM dia!"Aku hanya bisa memandang Aline dengan rasa campur aduk. Malam ini, dia tampakn
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"