"Ih, Keenan, kamu kenapa sih?" Aku memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan pipi yang mungkin sudah memerah lebih dari sebelumnya.
Keenan tertawa kecil, tangannya menyisir rambut dengan santai. "Okay, okay," ujarnya. "Kamu kalau jam segini ngapain aja di rumah?" Aku berpikir sejenak, memikirkan rutinitasku di rumah. "Aku biasanya baca buku, atau nonton televisi, atau ngobrol dengan Aline," jawabku, sambil mengenang kegiatan sehari-hariku. Keenan mendengarkan dengan penuh perhatian, senyum lembutnya tidak pernah pudar. "Tidurnya jam berapa emang?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu. "Jam sepuluh malam," ucapku. "Misal aku call kamu, boleh?" Keenan bertanya, nada suaranya mengandung harapan yang membuat hatiku bergetar. Namun, sebelum aku sempat menjawab, Aline sudah mendekat dengan cepat. "Yuk, Al, ikut aku ke kamar mandi bentar," katanya, memegang tanganku. Aku menoleh ke arah Keenan, yang masih duduk dengan tenang. Aline, yang selalu tiba-tiba hadir di waktu-waktu seperti ini... "Apa? Bentar doang kok!" Aline melotot ke arah Keenan, seolah-olah keberadaannya sangat mendesak. Aku tetap menatap Keenan, yang akhirnya menganggukkan kepala dengan lembut, seolah memberi izin untuk pergi sebentar. Dengan hati yang berdebar, aku berdiri dan mengikuti Aline, meninggalkan Keenan yang masih duduk dengan senyum tenang. "Duh, buruan, Alsha, aku kebelet nih!" ucap Aline, dia menarik tanganku dengan tergesa-gesa ke arah kafe. Kami berdua mencari toilet di dalam kafe yang ramai. "Permisi, Mas, toiletnya sebelah mana ya?" Aline bertanya pada pelayan yang berdiri di dekat meja. "Sebelah situ, Mbak," jawab pelayan dengan sopan, sambil menunjuk ke arah toilet di belakang panggung live musik. Kami pun segera menuju ke sana. "Kamu tunggu sini ya, bentar," kata Aline sambil cepat-cepat masuk ke dalam toilet. Beberapa menit kemudian, Aline keluar dari toilet dengan wajah ceria dan penuh semangat. "Udah, yuk," serunya, menarik tanganku. Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, Aline menahanku dengan lembut, matanya tertuju pada sesuatu yang tak jauh dari kami berdiri. "Eh, bentar. Hussst!" bisiknya, sambil menempelkan jari telunjuk ke bibir, seolah meminta aku untuk diam. "Kenapa?" tanyaku, merasa bingung dengan reaksi Aline. Aku mengikuti arah tatapannya dan melihat seorang pria yang sedang menaruh gitarnya di salah satu sofa dekat panggung. Penampilannya yang casual namun menarik membuatnya tampak menonjol di antara kerumunan. 'Eh? Penampilannya sama kayak cowok yang tadi menatapku?' Aline menunjuk pria itu dengan penuh semangat, "Kiw! Cowok kosong delapan berapa nih?" "Aline! Jangan malu-maluin," tegurku dengan nada cemas, berusaha menghindari perhatian yang terlalu mencolok. "Bentar Al, aku suka yang modelan begini nih," jawab Aline, tetap fokus pada cowok itu dengan mata berbinar. Cowok itu menoleh sebentar ke arah kami, seolah merasakan tatapan Aline yang penuh kekaguman. Matanya bertemu dengan mata kami, sebelum dia kembali fokus pada gitar yang sedang ditaruh. 'Dia?' "Al, cowok ganteng yang waktu itu kan?" tanya Aline, seolah sudah mengetahui pertanyaanku sebelum aku sempat melontarkannya. Aku menatap cowok yang dimaksud dengan rasa penasaran. Aline melanjutkan, suaranya penuh kekaguman, "Gila Al, emang beneran ganteng dia. Wah, sayang banget kalau dianggurin ini mah." Aku menyikutnya pelan, berusaha menjaga nada suaraku tetap rendah. "Aline, bisa nggak ngomongnya jangan keras-keras? Nanti cowok itu denger, makin kepedean dia dibilang ganteng." Seiring dengan perkataanku, cowok itu tampaknya semakin tajam menatap ke arahku, seolah merasakan getaran percakapan kami. Pandangannya yang tajam dan penuh perhatian membuatku merasa sedikit canggung. 'Dia bisa denger suaraku?' batinku. Tiba-tiba, cowok itu mendekat dengan langkah santai, wajahnya masih menunjukkan kepercayaan diri. Dengan nada yang sengaja ditinggikan untuk didengar, dia berkata, "Gue nggak kepedean, nyatanya emang ganteng," sebelum berbalik dan meninggalkan kami. "Wah, aku suka banget nih sama cowok yang kepedeannya tingkat dewa!" seru Aline dengan antusias, matanya berbinar penuh kekaguman. Aku hanya bisa menggeleng dan memperhatikan Aline, menyadari betapa dia tampaknya terpesona oleh sikap cowok itu. 'Dih! Dasar cowok aneh. Beda jauh dengan Keenanku yang manis. E-eh ada apa dengan pikiranku? Keenanku?' BERSAMBUNG"Di antara suara tawa dan obrolan, hanya suaramu yang bisa membuatku merasa tenang meskipun jarak memisahkan." -Alshameyzea Afsheena °°°°° Keenan mengetik pesannya dengan cepat, dan ketika aku membacanya, senyumku merekah tanpa bisa kucegah. Keenan Aksara: Sheena, tadi pipi kamu memerah sepanjang jalan. Aku membalas dengan cepat, ingin tahu apakah dia benar-benar memperhatikan. Alsha: Iyakah? Keenan Aksara: Iya, lucu banget kek tomat. Alsha: Enak aja. Keenan Aksara: Hehe, bercanda Sheena. Saat aku sibuk dengan handphone, Aline menghampiri dengan ekspresi penasaran. "Al! Kenapa kamu senyum-senyum sendiri gitu?" teriaknya, membuatku sedikit terkejut. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu memalingkan wajahku darinya. "Pasti lagi chattingan sama si Keenan," kata Aline dengan nada malas, memutar bola matanya yang terlihat sedikit jengkel. Aku tetap tidak menggubris kata-katanya, mataku masih tertuju pada layar handphone, jemariku sibuk membalas pesan dari Keen
Aline mengalihkan perhatian dari ponselnya dan menatapku dengan ekspresi serius. "Duh, Al, meskipun kak Claudia di luar kelihatan wow banget, dia juga gak mau kalah soal cogan. Liat aja Keenan, dia juga diincar, kan? Kalau Kak Claudia tau ada cowok yang lebih ganteng lagi dari Keenan, pasti dia bakal deketin juga," jelas Aline dengan nada penuh keyakinan.Aku mengerutkan keningku, sulit mempercayai penjelasan Aline. "Pernah ada kabar nih," lanjut Aline dengan nada berbisik penuh rahasia, "katanya Kak Claudia pernah ketahuan selingkuh dengan pacarnya sendiri. Dan bukan cuma satu, tapi lima cowok, Al! Bayangin, lima cowok jadi selingkuhannya. Gila banget gak sih, tuh senior.""Aku awalnya nggak percaya, tapi setelah pengakuan dari pacarnya Kak Claudia dan para korban selingkuhannya, aku baru percaya. Berita itu sempet rame di sekolah kita, apalagi di media sosial cowoknya," Aline melanjutkan cerita dengan penuh antusias, matanya berbinar penuh gairah. Sementara itu, aku hanya bisa mende
Aline, dengan mata berbinar, mengangguk dan terus menunjukkan foto itu. Benar saja, di postingan yang ditunjukkan Aline, tampak tiga cowok dengan wajah hampir mirip. "Lihat, mereka benar-benar kembar tiga!" serunya dengan antusias, suaranya membuat telingaku berdenging."Woah! Gila banget, bisa-bisanya kembar tiga tapi ganteng semua!" teriak Aline, suara kagetnya hampir memekakkan telinga."Aline," aku melotot padanya."Sorry, sorry, Al. Tapi ini serius. Mereka kembar tiga?" Aline terus bersemangat, tidak bisa menyembunyikan rasa herannya."Di foto memang keliatan mirip semua sih. Mungkin efek filter kali," jawabku asal, berusaha tetap tenang meskipun dalam hati aku juga terkejut."Entahlah," Aline tetap tak bisa menutupi kegembiraannya. "Yang paling penting, aku udah nemu akun Instagramnya Arshaka!" Dia hampir melompat kegirangan. "Aku bisa lihat story-nya dia, aku bisa kepoin dia. Kalo perlu, aku DM dia!"Aku hanya bisa memandang Aline dengan rasa campur aduk. Malam ini, dia tampakn
"Jika hidup adalah sebuah buku, maka momen ketika bersamamu adalah bab favorit ku."°°°°°Bel istirahat berbunyi, menandakan waktu bagi para siswa untuk sejenak melepaskan penat dari pelajaran. "Al, ayo buruan temenin aku," desak Aline sambil menarik tanganku dengan tergesa-gesa. Wajahnya penuh semangat dan sedikit cemas, membuatku penasaran."E-eh, bentar, sabar dong, Aline, aku beresin buku dulu," tegurku, mencoba membereskan bukuku yang masih berserakan di meja."Duh, Al, buruan, ayo!" serunya lagi, nada suaranya semakin mendesak."Mau kemana sih? Buru-buru amat," tanya Kafka, yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Aline dengan wajah penuh rasa ingin tahu."Bukan urusan lo!" bentak Aline, matanya melotot. "Ayo, Al, keburu direbut orang nanti." Kali ini Aline menarik tanganku lebih kuat sehingga mau tak mau aku harus ikut dengannya.Kafka hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis, mungkin sudah terbiasa dengan tingkah Aline yang selalu penuh energi.Aline berjalan deng
Tatapannya dingin dan tajam, seolah ingin menyelidik setiap sudut pikiranku. Dia mengangkat satu alisnya dengan angkuh. "Sama-sama," ucapnya dengan nada ketus sebelum langsung berbalik dan meninggalkan aku.Aku menggigit bibirku, merasa canggung dan sedikit malu. 'Aduh, aku melakukan kesalahan. Ngapain juga aku nyebut nama Keenan.' Aku menepuk dahiku pelan, merasa konyol dengan diriku sendiri."Tunggu," panggilku lagi, suaraku sedikit gemetar namun cukup kuat untuk menghentikan langkah cowok itu.Dia berhenti dan menoleh, mengangkat kedua alisnya. Tatapannya penuh tanya, seolah ingin tahu kenapa aku berani memanggilnya."E-eh, boleh minta tolong ambilkan buku ini nggak?" Aku menunjuk ke buku yang tadinya mau aku ambil, letaknya di rak paling atas, sebelah buku yang jatuh tadi.Dia menghela napas, matanya menyipit sedikit. "Minta tolong aja ke cowok yang namanya Keenan," jawabnya ketus, lalu berbalik hendak pergi lagi."Eh, maaf, tadi aku nggak tau kalo itu kamu," aku masih berusaha me
"Kadang, kebahagiaan yang melimpah bisa jadi mengaburkan pandangan, membuat kita kehilangan."°°°°Kantin SMA Cendana dipenuhi dengan kegembiraan setelah bel pulang sekolah berbunyi. Suasana riuh rendah, di mana suara tawa dan obrolan siswa memenuhi ruangan. Meja-meja panjang yang biasanya dipenuhi dengan bekal dan makanan cepat saji sekarang menjadi saksi dari berbagai cerita dan perbincangan yang berlangsung. Cahaya matahari sore menyinari kantin melalui jendela besar, menciptakan pola-pola hangat di lantai. "Al, kamu ngapain beli air mineral? Bukannya tadi udah bawa ya dari rumah?" tanya Aline, melihatku dengan tatapan bingung sambil menggenggam botol air mineral yang baru dibeli."Ini, buat Keenan nanti," jawabku sambil menunjukkan botol air mineral yang baru saja kubeli.Aline menatapku dengan tatapan ingin tahu, wajahnya penuh keinginan untuk menggoda. "Perhatian banget, emang udah jadian?" Dia mengangkat alis dan memperlihatkan ek
Sementara itu, pertandingan terus berlanjut dengan penuh intensitas. Keenan, dengan ketangkasan dan keterampilannya, berhasil memasukkan bola ke ring lawan dengan mulus. Setiap kali dia mencetak poin, sorakan dan teriakan dari para pendukungnya menggema di seluruh arena, menambah kemeriahan suasana. Aku baru menyadari betapa banyaknya penggemar Keenan. Di bawah sinar matahari sore yang lembut, gedung olahraga SMA Cendana dipenuhi oleh suasana kemenangan yang meriah. Keenan berdiri di tengah lapangan dengan senyuman lebar, dikelilingi oleh anggota timnya yang bersorak gembira. Suara sorakan penonton bergema di seluruh gedung, menciptakan suasana yang penuh energi dan kegembiraan.Para pendukung Keenan, terutama yang berasal dari kalangan wanita, meneriakkan nama tim mereka dengan semangat. Aku memperhatikan beberapa adik dan kakak kelas yang bergerombol mendekat, membawa minuman dan camilan, siap untuk memberikan hadiah kecil kepada Keenan sebagai bentuk penghargaa
"Terkadang, yang paling indah dari sebuah rasa bukan bagaimana ia dimulai, tapi bagaimana kita bertahan ketika segalanya tak pasti."°°°°"Haduh, capek banget hari ini." Aline melemparkan ranselnya sembarangan sebelum membaringkan tubuhnya dengan santai di atas kasur. Rumah kami terasa nyaman dan tenang setelah hiruk-pikuk sore tadi. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 6, pertandingan bola basket yang sempat meriah tadi terasa seperti kejadian yang baru saja berlalu.Sambil meletakkan barang-barangku dengan hati-hati, aku mulai membereskan barang-barang Aline yang bertebaran di lantai."Aline, tadi kamu kemana pas pertandingan udah selesai?" tanyaku sambil melirik ke arah gadis yang tampak tenggelam dalam dunia sosial media di ponselnya.Aline mendongak sejenak dari layar ponselnya, "Eh? Aku tadi ke kamar mandi, Al. Udah kebelet banget, jadi gak sempet pamitan ke kamu, hehe." dia menjelaskan dengan cengiran nakal, tampak tidak merasa bersalah meskipun tampaknya agak malu.Aku menatapny
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"