Tatapannya dingin dan tajam, seolah ingin menyelidik setiap sudut pikiranku. Dia mengangkat satu alisnya dengan angkuh. "Sama-sama," ucapnya dengan nada ketus sebelum langsung berbalik dan meninggalkan aku.Aku menggigit bibirku, merasa canggung dan sedikit malu. 'Aduh, aku melakukan kesalahan. Ngapain juga aku nyebut nama Keenan.' Aku menepuk dahiku pelan, merasa konyol dengan diriku sendiri."Tunggu," panggilku lagi, suaraku sedikit gemetar namun cukup kuat untuk menghentikan langkah cowok itu.Dia berhenti dan menoleh, mengangkat kedua alisnya. Tatapannya penuh tanya, seolah ingin tahu kenapa aku berani memanggilnya."E-eh, boleh minta tolong ambilkan buku ini nggak?" Aku menunjuk ke buku yang tadinya mau aku ambil, letaknya di rak paling atas, sebelah buku yang jatuh tadi.Dia menghela napas, matanya menyipit sedikit. "Minta tolong aja ke cowok yang namanya Keenan," jawabnya ketus, lalu berbalik hendak pergi lagi."Eh, maaf, tadi aku nggak tau kalo itu kamu," aku masih berusaha me
"Kadang, kebahagiaan yang melimpah bisa jadi mengaburkan pandangan, membuat kita kehilangan."°°°°Kantin SMA Cendana dipenuhi dengan kegembiraan setelah bel pulang sekolah berbunyi. Suasana riuh rendah, di mana suara tawa dan obrolan siswa memenuhi ruangan. Meja-meja panjang yang biasanya dipenuhi dengan bekal dan makanan cepat saji sekarang menjadi saksi dari berbagai cerita dan perbincangan yang berlangsung. Cahaya matahari sore menyinari kantin melalui jendela besar, menciptakan pola-pola hangat di lantai. "Al, kamu ngapain beli air mineral? Bukannya tadi udah bawa ya dari rumah?" tanya Aline, melihatku dengan tatapan bingung sambil menggenggam botol air mineral yang baru dibeli."Ini, buat Keenan nanti," jawabku sambil menunjukkan botol air mineral yang baru saja kubeli.Aline menatapku dengan tatapan ingin tahu, wajahnya penuh keinginan untuk menggoda. "Perhatian banget, emang udah jadian?" Dia mengangkat alis dan memperlihatkan ek
Sementara itu, pertandingan terus berlanjut dengan penuh intensitas. Keenan, dengan ketangkasan dan keterampilannya, berhasil memasukkan bola ke ring lawan dengan mulus. Setiap kali dia mencetak poin, sorakan dan teriakan dari para pendukungnya menggema di seluruh arena, menambah kemeriahan suasana. Aku baru menyadari betapa banyaknya penggemar Keenan. Di bawah sinar matahari sore yang lembut, gedung olahraga SMA Cendana dipenuhi oleh suasana kemenangan yang meriah. Keenan berdiri di tengah lapangan dengan senyuman lebar, dikelilingi oleh anggota timnya yang bersorak gembira. Suara sorakan penonton bergema di seluruh gedung, menciptakan suasana yang penuh energi dan kegembiraan.Para pendukung Keenan, terutama yang berasal dari kalangan wanita, meneriakkan nama tim mereka dengan semangat. Aku memperhatikan beberapa adik dan kakak kelas yang bergerombol mendekat, membawa minuman dan camilan, siap untuk memberikan hadiah kecil kepada Keenan sebagai bentuk penghargaa
"Terkadang, yang paling indah dari sebuah rasa bukan bagaimana ia dimulai, tapi bagaimana kita bertahan ketika segalanya tak pasti."°°°°"Haduh, capek banget hari ini." Aline melemparkan ranselnya sembarangan sebelum membaringkan tubuhnya dengan santai di atas kasur. Rumah kami terasa nyaman dan tenang setelah hiruk-pikuk sore tadi. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 6, pertandingan bola basket yang sempat meriah tadi terasa seperti kejadian yang baru saja berlalu.Sambil meletakkan barang-barangku dengan hati-hati, aku mulai membereskan barang-barang Aline yang bertebaran di lantai."Aline, tadi kamu kemana pas pertandingan udah selesai?" tanyaku sambil melirik ke arah gadis yang tampak tenggelam dalam dunia sosial media di ponselnya.Aline mendongak sejenak dari layar ponselnya, "Eh? Aku tadi ke kamar mandi, Al. Udah kebelet banget, jadi gak sempet pamitan ke kamu, hehe." dia menjelaskan dengan cengiran nakal, tampak tidak merasa bersalah meskipun tampaknya agak malu.Aku menatapny
"Nggak ada, cuma scroll chattingan sama Rey aja sih. Lucu banget dia, meskipun chattingan-nya cuma bentar, tapi bikin aku salting brutal, Alll," jawab Aline dengan wajah berseri-seri, sambil meremas lenganku dengan penuh semangat.Aku melongo heran melihat sikap Aline. Jadi, dia ternyata terpaku pada handphone-nya karena salting membaca chatnya dengan Rey? Aduh. Aku menepuk dahi pelan, merasa campur aduk antara heran dan geli."Kamu mau liat gak isi chattingan ku sama Rey?" Aline bertanya dengan kegembiraan, seolah tawarannya adalah sesuatu yang sangat berharga.Belum sempat aku menjawab, Aline sudah menggeser layar handphonenya dan menunjukkan tampilan room chatnya dengan Rey. Aku mencoba membaca chatnya. Di sana, sebuah nama terpampang jelas, begitu familiar dan membuat dahiku berkerut.“Aline, kenapa nama Rey di kontakmu begitu?” tanyaku, tak mampu menahan rasa penasaran yang menggelitik.Aline menoleh, seolah pertanyaanku bukan sesuatu yang aneh. Dengan senyum kecil yang penuh pe
"Takdir punya cara sendiri untuk membawa kita bertemu dengan orang yang tak diingini."°°°°°"Wah, liat Al, mereka udah dateng sepagi ini? Semangat banget," ujar Aline dengan mata berbinar, mengamati keramaian yang sudah mengisi area bawah."Iya," jawabku, menyadari betapa antusiasnya suasana pagi ini.Suasana di SMA Cendana memancarkan semangat yang menggelora di setiap sudut sekolah. Dari lantai dua, aku dan Aline bisa melihat lautan siswa dari sekolah lain yang sudah datang, meskipun matahari baru saja mulai menyapa. Semangat mereka memancar terang, begitu juga dengan rasa bangga kami sebagai tuan rumah acara besar ini. Banner ucapan selamat datang yang megah terpampang di depan gerbang sekolah, menambah semarak suasana."Yuk masuk kelas," aku mengajak Aline dengan penuh semangat, ingin segera mempersiapkan diri untuk tantangan hari ini.Meskipun Aline mengangguk setuju, langkahnya tiba-tiba terhenti di tengah jalan. Matanya terpaku pada dua anak laki-laki yang baru saja memasuki a
"Dua-duanya dong! Hehe," jawab Aline, wajahnya berseri-seri penuh semangat. Aku menepuk dahiku lagi, merasa sedikit bingung dengan percakapan yang semakin mengalir ini."Lo, lucu ya," ujar Rey pada Aline, senyum tipis di wajahnya menunjukkan bahwa dia menikmati interaksi ini. Aline yang mendengar pujian itu malah senyam-senyum sendiri, senang mendapatkan perhatian."Lebih lucu mana sama kejelasan hubungan kita?" tanya Aline, suaranya dipenuhi nada menggoda yang penuh semangat, matanya menatap Rey dengan rasa ingin tahunya yang besar. Pertanyaan itu meluncur dari bibirnya begitu saja. Rey terkekeh pelan, senyum tipis mengembang di wajahnya, seolah menikmati permainan kata-kata Aline. Namun, di samping Rey, Arshaka tetap berdiri dengan ekspresi beku, seakan menjadi gunung es yang tak goyah. Tatapannya dingin dan tajam, menciptakan aura yang membuatku ingin segera menjauh dari tempat itu.Aku merasakan ketegangan yang kian mengental di udara, seolah ada sesuatu yang menunggu untuk meled
"Keenan, kamu nggak papa? Muka kamu merah banget loh," aku terus tersenyum ke arahnya, mencoba menenangkan suasana. Kafka, Nevan, dan Abhi terlihat jelas menahan tawa mereka, mata mereka bersinar dengan kebahagiaan yang menulari suasana pagi yang hangat."Dih, pak ketu kalau salting lucu juga ya," ucap Abhi, suaranya penuh kekaguman dan canda.Keenan melotot tajam ke arah Abhi, seolah mempertimbangkan balasan yang tepat."Bales dong bos! Jangan mau kalah," tambah Nevan, membuat hawa sekitarnya semakin memanas meski matahari belum sepenuhnya terbit."Al, lo belajar dari mana trik kayak gitu?" bisik Aline, penuh rasa ingin tahu."Nanti malam ajarin gue ya," tambahnya, tampak serius meski nada bicaranya penuh canda. Aline memang selalu saja bisa memikirkan hal-hal yang tak terduga."Definisi pemain ketemu pelatih," ujar Kafka yang daritadi diam.Tiba-tiba, Keenan menarik tanganku dengan gerakan cepat, membawaku menjauh dari Aline dan teman-temannya. Aku terkejut, dan bisa merasakan tatap
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"