Share

Bab 3. Kilasan Perasaan

"Kadang, sentuhan singkat dari emosi mampu mengubah seluruh lanskap hati kita."

***

Kantin SMAN Cendana terasa seperti tempat yang akrab dan menenangkan. Dengan dinding-dinding berwarna cerah dan lampu gantung yang memberikan cahaya lembut, suasana di sini penuh dengan kenyamanan. Meja-meja kayu dan kursi empuk mengundang kami untuk bersantai. Aku dan Aline duduk di meja dekat jendela besar, yang menghadap ke lapangan olahraga. Sinar matahari memancarkan kehangatan pada meja kami, menciptakan suasana yang nyaman dan tenang.

Aline duduk di hadapanku, semangatnya tampak jelas saat dia mengaduk semangkok bakso. Aku menyantap makanan yang sama, merasakan kenikmatan sederhana dari hidangan tersebut. Namun, hari ini kantin ini terasa berbeda. Aline terus menatapku sambil berbicara, membuatku merasa sedikit gelisah.

“Kamu nggak mau nyalonkan jadi kandidat ketua OSIS?” Aline bertanya, suaranya penuh rasa ingin tahu. Dia terus mengaduk bakso di sendoknya, seolah mencari jawabannya di sana.

“Enggak deh kayaknya, aku ada kesibukan lain.” Aku menggigit satu pentol bakso, kemudian meneguk air mineral yang dingin dan menyegarkan. Rasanya kontras dengan hangatnya hari ini.

“Sibuk apa sih kamu, Al? Kayaknya nganggur-nganggur aja deh.” Aline memiringkan kepalanya, tampak penasaran, mungkin sedikit mengejek. Aku merasa seperti dia sedang berusaha mengeksplorasi lebih dalam.

“Hmm... aku nggak tertarik ikut gituan,” jawabku sambil mengangkat gelas air mineralku, berusaha mengalihkan perhatian dari topik yang mulai membuatku tidak nyaman.

Saat itu, mataku tertuju ke luar jendela, memandang lapangan olahraga. Keenan, dengan kaos hitam, sedang bermain bola basket. Gerakannya, dari dribble yang lincah hingga slam dunk yang mengesankan, menunjukkan semangat dan keberanian. Melihatnya mengingatkanku pada perasaan campur aduk yang kurasakan kemarin. Beberapa siswa berkumpul di jendela, menyaksikan aksi Keenan dengan antusias. Suara sorakan dari luar menambah suasana hidup di kantin.

Keenan adalah teman lamaku, yang selalu hadir dengan canda tawa dan kenangan dari SMP. Ketika dia mengungkapkan perasaannya kemarin di taman belakang, rasanya seperti waktu berhenti sejenak. Aku merasa terjebak dalam campuran perasaan, antara terkejut, bingung, dan cemas. Melihatnya bermain basket sekarang, rasa bingung itu kembali muncul. Keberaniannya di lapangan sangat kontras dengan ketidakyakinan yang kurasakan setiap kali harus berhadapan dengannya setelah pengakuan itu. Aku tahu, setiap interaksi kami akan terasa lebih canggung dari sebelumnya. Setiap kali aku berbicara dengannya, aku merasa ada tembok tak terlihat yang membatasi kami, membuatku sulit untuk bersikap normal.

Di meja sebelah, Rina dan Dian, teman sekelas kami, tampak terlibat dalam obrolan seru tentang Keenan. Telingaku tidak sengaja mendengar percakapan mereka.

"Gila, Keenan keren banget sih," kata Rina sambil memandang kagum ke arah jendela. "Liat aja, main basketnya bikin cewek klepek-klepek. Udah cakep, jago, perfect banget pokoknya!"

"Iya, bener banget!" sahut Dian dengan senyum lebar yang tak bisa disembunyikan. "Dia selalu jadi yang paling mencolok di lapangan. Pasti banyak yang pengen deketin dia."

"Kalau dia mau pacaran, siap-siap aja deh, banyak saingannya," tambah Rina sambil tertawa. "Udah banyak yang ngantri soalnya!"

"Tapi, denger-denger ada gosip nih," Dian tiba-tiba menurunkan volume suaranya, seolah-olah hendak membocorkan sebuah rahasia. "Katanya Keenan tuh deket sama senior kita."

"Senior? Siapa tuh?" tanya Rina dengan penasaran.

"Claudia Amanda," jawab Dian sambil melirik dengan penuh arti. "Kakak kelas yang cantik itu loh!" tambah Dian

Mendengar nama Kak Claudia, aku langsung tertegun. Seketika, ingatanku melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu. Saat itu, aku tidak sengaja menabrak Kak Claudia di koridor sekolah, dan tanpa ampun, dia langsung menyiramku dengan air dari botol yang dia pegang. Aku masih ingat betapa terkejutnya aku waktu itu, dan bagaimana dia menatapku dengan ekspresi marah yang bikin jantungku berdegup kencang.

Tiba-tiba, Aline yang duduk di depanku ikut bicara dengan nada agak sinis. "Kak Claudia? Yang pernah nyiram kamu waktu itu? Aduh, bener sih cantik, tapi kalau galak gitu, mana mungkin Keenan mau," katanya sambil meminum air mineralnya.

Aku menoleh ke arahnya, baru sadar bahwa Aline juga mendengarkan obrolan Rina dan Dian.

"Gak mungkin deh kayaknya, masak iya Keenan suka sama dia?" Aline melanjutkan dengan nada ragu. "Senior itu emang populer sih, tapi waktu dia nyiram kamu, bener-bener bikin image dia hancur di mataku, All."

Belum sempat aku bereaksi, dua siswi di meja sebelah tiba-tiba terdiam seribu bahasa. Aku mengikuti tatapan mereka dan melihat Kak Claudia memasuki kantin dengan langkah anggun. Semua mata cowok di kantin langsung tertuju padanya, dan aku bisa melihat betapa mempesonanya dia, apalagi dengan aura percaya dirinya yang mengesankan.

Kak Claudia mendekati bu kantin dan memesan sebotol air mineral. Temannya yang berdiri di sampingnya bertanya dengan nada heran, "Cuma satu ?"

Kak Claudia menjawab dengan senyum lebar, "Iya, ini buat Keenan."

"Aduh, seriusan mereka deket?" bisik Aline, tampak benar-benar terkejut. Dia menatapku dengan mata yang hampir tidak percaya.

Aku mengangkat kedua bahuku, memberikan isyarat bahwa aku juga tidak tahu.

Rasa bingung yang menggelayuti pikiranku semakin membuatku merasa tertekan. Aku membuang pikiran tentang gosip dan kejadian di taman belakang beberapa waktu lalu, ketika Keenan dengan serius mengungkapkan perasaannya. Semua itu terasa seperti bayangan yang terus menghantui. Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan rumor tentang Kak Claudia dan Keenan.

Dengan satu gerakan cepat, aku menghabiskan sisa makanan di mangkok ku. Aku sudah terlalu banyak berpikir dan merasa ingin mengalihkan perhatian sejenak. Melihat jam dinding di kantin yang menunjukkan bahwa istirahat kami hampir selesai, aku merasa perlu untuk bergerak cepat.

"Aline, aku mau ke perpus. Mau pinjem buku buat persiapan lomba," kataku sambil berdiri dari kursi.

Aline mengangguk, tampak mengerti. "Oke deh, hati-hati ya. Nanti kalau ada apa-apa, kabarin."

Aku hanya memberikan senyuman singkat sebagai balasan sebelum segera melangkah menuju pintu keluar kantin. Langkahku cepat, seolah-olah aku berharap bisa meninggalkan semua keraguan dan kekacauan pikiran di belakang. Setibanya di perpustakaan, aku merasa sedikit lega bisa fokus pada hal-hal yang lebih konkret, setidaknya untuk sementara waktu.

Setelah meminjam beberapa buku di perpustakaan, aku segera melangkah menuju kelas. Hanya tersisa sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Saat berjalan cepat, arah perpustakaan yang melewati lapangan olahraga membuatku tak sengaja melihat Keenan dan teman-temannya yang sedang beristirahat di tepi lapangan.

Ketika mataku tertuju pada Keenan, kenangan ucapannya di taman belakang kembali menghantui pikiranku. Aku berusaha keras untuk mengusir bayangan itu dan mempercepat langkahku. Namun, sebelum aku bisa benar-benar menjauh, tatapan kami bertemu. Keenan menatapku dalam-dalam, dan senyuman tipis terukir di wajahnya, membuat hatiku bergetar.

Rasa gugup segera menguasai diriku. Dengan jantung yang berdetak kencang, aku mencoba untuk tetap tenang. Tatapan kami terjalin seolah-olah waktu berhenti sejenak. Namun, aku segera mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkahku, berusaha menghindari perasaan yang semakin tak terkendali.

Saat akhirnya mencapai pintu kelas, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Senyum tipis Keenan masih terbayang di benakku, membuat perasaanku semakin campur aduk. Tetapi aku tahu, aku harus fokus pada pelajaran dan mengesampingkan perasaan ini, setidaknya untuk sementara.

Aku memasuki kelas dan melihat Aline sudah duduk di bangkunya, sibuk dengan catatannya. Tanpa ragu, aku segera menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Dia menoleh, menatapku dengan ekspresi penasaran.

"Kenapa, sih?" tanya Aline, tampak khawatir.

Aku hanya menggeleng cepat, berusaha menghilangkan kekhawatirannya. "Gapapa kok," jawabku singkat, berharap dia tidak bertanya lebih lanjut.

Aline memandangku sejenak, lalu sepertinya sadar aku tidak ingin membicarakannya, jadi dia mengalihkan topik. "Ngomong-ngomong, tentang OSIS," katanya, "Aku denger dari teman sekelas, katanya bakal ada dua orang dari kelas kita yang jadi kandidat OSIS."

Aku tersenyum tipis, merasa lega dengan perubahan topik. "Siapa aja yang bakal jadi kandidatnya?" tanyaku, mencoba ikut dalam percakapan.

Aline mengangkat kedua bahunya.

"Eh, tadi kayaknya guru-guru nyebut nama Alsha deh," kata seseorang dari belakang. Aku dan Aline yang sedang asyik ngobrol langsung menoleh bersamaan.

"Kafka..." bisikku pelan, setelah melihat Kafka yang berbicara. Mataku tak bisa teralihkan dari sosok di sampingnya. Keenan. Wajah dan rambutnya masih basah, dia sibuk memakai seragamnya. Sepertinya tadi dia sempat melepasnya saat bermain basket.

"Iya, bener tuh, neng Alsha tadi namanya disebut, tapi nggak tau kenapa," tambah Abhi, sementara Nevan hanya mengangguk-angguk, menguatkan pernyataannya.

"Mungkin kamu yang bakal kepilih, Al," ucap Aline, memandangku dengan penasaran.

"Semoga aja enggak," jawabku lirih, menghindari tatapan mereka.

"Kenapa, Sheena? Kamu nggak mau misal kepilih?" tanya Keenan, menatapku dengan serius.

"Aduh, dia tuh orangnya nggak suka ribet, Keenan. Jelas lah dia nggak mau ikut organisasi," sahut Aline, menjelaskan dengan nada santai.

"Tapi bukannya itu kesempatan bagus?" Keenan bertanya lagi, membuatku melihat ke arahnya.

Sebelum aku sempat merespons, suara dari speaker sekolah tiba-tiba menggema di seluruh ruangan, memecah suasana dan membuat obrolan kami terhenti. Semua kepala di kelas otomatis menoleh ke arah sumber suara, dan aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Suara itu, biasanya berisi pengumuman penting, kini menambah ketegangan di antara kami. Di saat yang sama, angin lembut dari jendela kelas menerpa wajahku, seolah mengingatkan bahwa apa pun yang akan diumumkan, mungkin akan mengubah hari ini.

"Assalamualaikum Wr. Wb. Mohon perhatiannya sebentar, untuk siswa yang disebutkan namanya harap langsung ke kantor guru. Clarabella Belvani XI IPA 1, Elysia Tamara XI IPA 1, Rey Algara XI IPA 1, Arshaka Najendra XI IPA 1, Ghisela Ananta XI IPA 2 dan Alshameyzea Afsheena XI IPA 2. Sekali lagi, siswa yang disebut namanya tadi dimohon segera berkumpul di kantor guru. Terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb."

"Tuh kan, Al, baru aja diomongin. Buruan sana ke ruang guru," ucap Aline, setengah bercanda.

Aku mengeluh dalam hati. Semoga saja ini bukan tentang OSIS. Dengan berat hati, aku beranjak dari tempat dudukku. Saat melewati Keenan, dia berkata lirih, "Semangat, Sheena," sambil tersenyum tipis ke arahku. Jantungku berdebar, dan aku langsung mengalihkan pandanganku, berusaha menyembunyikan rona di pipiku.

Kafka, Abhi, dan Nevan berdeham pelan di belakang Keenan, seolah menggoda temannya yang barusan menyemangatiku. Keenan hanya menatap mereka dengan tatapan datar, sementara aku bergegas keluar kelas, meninggalkan mereka yang masih bersenda gurau. Sensasi campur aduk antara gugup dan penasaran menyelimutiku saat aku melangkah menuju kantor guru.

---

"Tadi Alsha dan Ghisel dipanggil ya sama Pak Iwan?" tanya Bu Sri, guru fisika sekaligus wali kelas kami. Beliau adalah wali kelas yang sangat baik menurutku. Saat mengajar, Bu Sri selalu punya cara supaya kami bisa fokus pada pelajaran. Kalian pasti tahu, kelas kami terkenal karena keramaiannya. Tapi soal prestasi, kelas kami masih bisa bersaing dengan kelas sebelah.

Pak Iwan adalah pembina OSIS sekaligus guru matematika paling galak di sekolah ini. Dia terkenal sangat killer. Saking tegasnya, kalau ada siswa yang terlambat masuk kelas lima menit saja, siswa itu tidak bisa ikut pelajaran sampai bel pulang sekolah. Selain itu, nilai rapor kita otomatis berkurang meskipun ujian belum dimulai.

"Iya, Bu," jawabku.

"Emang tadi ngapain, Bu, dipanggil? Buat perwakilan lomba ya, Bu?" tanya Abhi yang duduk di paling belakang.

"Bukan, jadi dalam waktu dekat ini sekolah kita akan mengadakan pemilihan ketua OSIS. Dan siswa yang tadi dipanggil itu adalah kandidatnya," jelas Bu Sri dengan suara tegas namun tenang.

"Loh, cuma dua perwakilan dari kelas kita?" tanya Abhi, matanya menyipit penuh rasa penasaran.

"Mentang-mentang Pak Iwan walasnya XI IPA 1, jadi beliau milih anak buahnya," nada Nevan terdengar iri, seolah menyiratkan ketidakadilan.

"Hus! Ngawur banget omongan lo, Van," Abhi menyikut Nevan, mencoba menghentikan spekulasinya.

"Nevan! Kamu sepertinya tidak ada jeranya ya, masuk ruang BK," suara Bu Sri tiba-tiba meninggi, menarik perhatian seluruh kelas. Semua siswa menoleh ke arahnya, membuat Nevan menundukkan kepala sebentar, tampak malu dan menyesal.

"Anak itu emang gak pernah kapok ya," ucap Aline, menggelengkan kepala.

"Sudah sudah," Bu Sri menengahi, "Jadi, kandidat OSIS baru bisa terpilih karena sudah dipertimbangkan baik-baik oleh para guru dan pengurus OSIS lama. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembina OSIS yang pilih kasih."

Setelah beberapa saat hening, Bu Sri melanjutkan, "Baiklah, kita mulai pelajarannya saja. Silakan buka bukunya, PR yang kemarin kita bahas sekarang..."

Teman-teman sekelas menghela napas pelan, hampir serempak. Mereka sebenarnya berharap Bu Sri terlalu sibuk membahas hal lain hingga lupa tentang PR. Namun, sayang sekali, Bu Sri bukan tipe guru yang mudah dikelabuhi.

"Yang belum selesai PR-nya, silakan maju ke depan," ucap Bu Sri tegas sambil mengeluarkan berkas-berkas dari tasnya.

Tanpa ragu, Keenan dan ketiga temannya maju ke depan kelas. Langkah mereka mantap, menunjukkan ketenangan meski mungkin dalam hati ada sedikit kekhawatiran. Para siswa yang duduk memperhatikan dengan campuran rasa lega dan cemas, berharap nama mereka tidak disebut berikutnya.

Bu Sri menatap mereka dengan pandangan tajam namun adil, siap untuk menegur atau memberi kesempatan. Kelas hening, hanya terdengar deru AC yang memenuhi ruangan dengan udara dingin. Ketegangan seolah menggantung di udara, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Astaghfirullah! Kalian lagi!? Sampai kapan kalian begini, heh? Kalian tidak bosan dihukum terus sama Bu guru?" Bu Sri mengeluh, suaranya penuh kelelahan dan frustrasi melihat kelakuan empat siswanya itu.

Keempat siswa itu hanya diam, menunduk dengan wajah penuh rasa bersalah. Mereka menggaruk-garuk rambut yang tidak gatal, tampak canggung dan tidak tahu harus berkata apa. Tatapan Bu Sri yang tajam dan jenuh seolah menembus mereka, membuat suasana semakin tegang. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kelas menyorot wajah-wajah mereka yang kini memerah, menambah kesan betapa malunya mereka di hadapan Bu Sri.

"Seragamnya sudah dikeluarkan, atribut tidak lengkap, apalagi kamu!" Bu Sri menarik-narik seragam Keenan. "Mana bet seragam mu?" Suaranya menggema di ruang kelas yang tiba-tiba terasa semakin sempit. Keenan hanya diam, menatap lantai, membuat wali kelas kami semakin naik darah. Wajah Bu Sri memerah, ekspresinya menunjukkan bahwa hari ini mood-nya benar-benar buruk.

"CEPETAN LARI KELILING HALAMAN SEKOLAH 50 KALI!!" teriak Bu Sri dengan suara menggelegar, membuat kami semua menunduk ketakutan. Suara itu seperti gemuruh, membuat suasana semakin tegang. Ini adalah hukuman paling berat menurutku, dan melihat Keenan yang biasanya tenang kini harus menerima amarah Bu Sri, membuat perasaanku campur aduk antara takut dan kasihan.

Sebenarnya, aku merasa ragu untuk mengangkat kepalaku, namun entah kenapa, rasa ingin tahuku mengalahkan rasa takutku. Aku sangat ingin melihat reaksi Keenan. Semakin lama, kekhawatiranku tentang keadaannya semakin mendalam. Pandanganku terfokus pada wajah Keenan, yang tampak tegang. Meskipun dia tetap diam, matanya memancarkan rasa ketidaknyamanan yang jelas.

Keenan dan ketiga temannya segera keluar dari kelas dengan langkah lesu, meninggalkan suasana yang kian hening. Aku mengamati mereka dari kejauhan, berusaha memahami beban berat yang harus mereka tanggung. Saat Keenan berbalik sejenak, mata kami bertemu dalam satu detik yang terasa lama. Dalam tatapan itu, aku melihat secercah kesedihan yang mendalam di matanya, membuat hatiku berdebar dengan penuh empati.

Aku menggigit bibir, berusaha menahan gelombang kecemasan yang tiba-tiba melanda. Kenapa perasaan ini muncul? Apakah karena aku mulai merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan antara kami?

Dengan hati berat, aku kembali fokus ke depan kelas, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggu. Namun, bayangan Keenan yang lelah dan tampak terbebani terus menghantui pikiranku, melayang di setiap celah perhatian yang ku punya sepanjang pelajaran. Setiap kali aku mencoba untuk menyerap materi pelajaran, wajahnya yang penuh kesedihan selalu kembali menghantui benakku, membuatku semakin sulit untuk berkonsentrasi.

---

Saat kami berjalan beriringan menuju kelas, Keenan akhirnya memecah keheningan. "Apa yang kamu rasain saat ini, Sheena?" tanyanya dengan nada serius.

Aku menghela napas, merasa kebingungan. "Aku nggak tau, Keenan," jawabku dengan jujur, mengungkapkan ketidakpastian yang mengganggu pikiranku.

Keenan mengangguk, seolah memahami kegundahan yang aku rasakan. "Aku juga," tambahnya singkat, lalu melanjutkan dengan penuh pemikiran, "Ragu, Sheena."

Aku berhenti mendengar kata-katanya, dan Keenan pun berhenti di sampingku. Aku menoleh, menatap wajah tegasnya yang kini memperlihatkan keraguan. "Kalau kamu ragu, kenapa kamu ngucapin kalimat tadi?" tanyaku, suaraku dipenuhi kebingungan dan sedikit ketidakpercayaan. Keenan menatapku dengan mata yang menyiratkan kedalaman perasaan, seolah berusaha menjelaskan sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

"Karena kita nggak pernah tahu ke arah mana pikiran kita bermuara, kita juga nggak bisa mengontrol apa yang sudah dirasa. Meskipun aku ragu saat ini, tapi kalimat yang aku lontarkan tadi tulus, Sheena," ucapnya dengan nada serius.

Suara Keenan menyentuhku dengan kekuatan yang tidak terduga. Aku bisa merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkannya, terlihat jelas dari cara dia menatapku dan gaya bicaranya. Rasa keraguan yang sempat aku rasakan mulai memudar, digantikan oleh keyakinan bahwa perasaannya memang nyata.

"Sheena? Kenapa diam?" tanya Keenan lagi, matanya menyelidik saat dia melihatku hanya terdiam, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Sheena, terkadang kita dibunuh oleh pikiran kita sendiri, padahal itu belum tentu akan terjadi."

---

--

"Kenapa pikiranku saat ini dipenuhi oleh nama Keenan sih?" Aku melendeh di kursi teras, membiarkan diriku tenggelam dalam keraguan. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, tetapi rasa kantuk yang seharusnya datang justru tak kunjung menghampiri. Akhirnya, aku memutuskan untuk keluar rumah, duduk di bawah langit malam yang penuh bintang. Ini adalah salah satu kebiasaanku untuk menenangkan pikiran.

"Dunia itu jahat banget ya buat kita yang susah tidur dan gampang kepikiran." gumamku kepada langit yang seolah menjadi saksi kesedihanku.

Aku menghela napas panjang, perasaan lelah menyelimuti tubuhku. Dengan enggan, aku berdiri dari kursi, memutuskan untuk kembali ke dalam rumah dan mencoba lagi untuk menemukan kedamaian dalam tidur.

"Lebih jahat lagi, kalau dunia nggak mau merayakan dua orang yang saling cinta," terdengar suara dari belakangku. Aku menoleh dan melihat sosok seorang laki-laki tinggi mengenakan hoodie putih dan celana biru dongker. Earphone putih tampak mencolok di telinganya.

"Lo belum tidur?" tanyanya lagi, suara yang tenang namun penuh perhatian.

"Ini mau tidur," jawabku singkat.

"Syukurlah," katanya, seolah merasa lega.

Aku menatap Kafka dengan rasa ingin tahu yang mendalam. "Kamu ngapain ke sini, Kafka?" tanyaku, berusaha memahami alasan kehadirannya.

Kafka mengangkat bahu dengan santai. "Disuruh Keenan."

"Terus Keenan-nya mana?" aku bertanya lagi, penasaran.

"Dia ada urusan. Makanya dia nyuruh gue buat memastikan lo tidur nyenyak malam ini," jawab Kafka dengan nada tenang.

Aku menghela napas panjang, perasaan bingung mulai menyelimuti pikiranku. Kenapa Keenan melakukan semua ini? Rasa penasaran dan kekhawatiran mengisi pikiranku, seolah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pengawasan biasa di balik tindakan ini.

"Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang perlu lo tahu," Kafka memulai, suaranya terdengar serius namun lembut. "Sebenarnya, yang nyuruh gue buat ngebelain lo pas di koridor kelas 1 itu adalah Keenan. Dia yang minta gue buat jaga lo dari jauh."

Aku terdiam sejenak, kebingungan melintas di benakku. 'Kenapa bukan Keenan sendiri?' batinku

Kafka menatapku dengan tatapan serius. "Mungkin lo mikirnya ini berlebihan, tapi percayalah, Keenan benar-benar tulus ke lo. Dan sekarang lo ada di rumahnya, jadi gue mohon, jadilah rumah yang nyaman buat dia."

Aku masih menelaah ucapan Kafka, terjebak dalam makna kata-katanya. Rumah?

"Gue pergi dulu. Jangan lupa kunci pintunya dan tutup semua jendela. Gue nggak mau angin malam ini ganggu kenyamanan dua insan yang baru saja meluapkan perasaannya," ujar Kafka dengan nada serius, sebelum berbalik dan melangkah pergi.

Dia sudah melangkah jauh, menuju motornya yang terparkir di depan gerbang rumah. Motornya tampak tersembunyi di dalam kegelapan malam, membuatnya sulit terlihat. Aku memasuki rumah dengan kepala penuh pikiran yang kian bertambah.

--

Memoriku terus memutar kembali kejadian kemaren, seolah terjebak dalam putaran waktu yang tak berujung. Aku benar-benar merasa bingung dengan perasaanku hari ini.

'Nek? Aku masih tidak tahu apakah ini yang dimaksud dengan cinta yang sering diceritakan nenek dulu?' batinku.

Hanya waktu yang bisa memberiku jawaban. Namun, satu hal yang pasti, aku harus siap menghadapi apa pun yang akan datang.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status