Home / Young Adult / About Me: Alshameyzea / Bab 3. Kilasan Perasaan

Share

Bab 3. Kilasan Perasaan

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-09-18 18:15:41

"Kadang, sebuah sentuhan singkat dari emosi bisa mengubah seluruh lanskap hati kita."

°°°°

Kantin SMAN Cendana mirip dengan kafe yang nyaman, dengan desain interior yang membuatku merasa seperti di rumah. Dindingnya berwarna cerah, dihiasi mural dan poster kegiatan yang penuh warna. Lampu gantung memberikan cahaya lembut yang memancarkan kehangatan, sementara meja-meja kayu dan kursi empuk mengundang setiap siswa untuk bersantai. Aku dan Aline duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap ke lapangan olahraga, dengan sinar matahari menerangi meja kami dan menciptakan suasana yang menyenangkan.

Aline, dengan semangat, mengaduk semangkok bakso di depannya. Aku duduk di seberangnya, juga menikmati makanan yang sama. Kantin ini selalu terasa nyaman, tapi hari ini ada sesuatu yang membuat suasana terasa sedikit berbeda, terutama dengan Aline yang terus-menerus menatapku sambil berbicara.

"Kamu nggak mau nyalonkan jadi kandidat ketua OSIS?" tanya Aline, sambil memerhatikan bakso di sendoknya.

"Enggak deh kayaknya, aku ada kesibukan lain." Aku menggigit satu pentol bakso dan kemudian meminum air mineral dari gelas di depanku. Rasanya dingin dan menyegarkan di hari yang hangat ini.

"Sibuk apa sih kamu, Al? Kayaknya nganggur-nganggur aja deh." Aline memiringkan kepalanya, tampak penasaran dan sedikit mengejek.

"Hmm... aku nggak tertarik ikut gituan," Aku mengangkat gelas air mineralku lagi, berusaha mengalihkan perhatian dari topik ini.

Saat itu, aku melirik ke arah lapangan olahraga melalui jendela besar. Keenan, dengan kaos hitam, sedang bermain bola basket dengan penuh semangat. Ternyata, permainan Keenan benar-benar menarik perhatian. Setiap gerakan Keenan di lapangan, dari dribble yang cekatan hingga slam dunk yang mengesankan, seolah mencerminkan keberaniannya dalam mengungkapkan perasaannya kemarin. Aku tak bisa menghindari perasaan bingung dan canggung yang muncul setiap kali memikirkan kejadian itu. Dari dalam kantin, beberapa siswa berkerumun di jendela, menonton aksi Keenan dengan penuh antusias. Suara sorakan dan teriakan dari luar terdengar jelas, membuat suasana di kantin semakin hidup.

Aku sudah mengenal Keenan bertahun-tahun, teman dari SMP yang selalu baik padaku, dengan segala canda tawa dan kenangan bersama. Ketika dia tiba-tiba mengungkapkan perasaannya kemarin di taman belakang, rasanya dunia seakan berhenti sejenak. Tiba-tiba, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku terjebak dalam perasaan campur aduk, antara terkejut, bingung, dan cemas.

Sekarang, melihat Keenan di lapangan basket, rasa bingung itu kembali muncul. Keberaniannya saat bermain sangat kontras dengan ketidakyakinan yang kurasakan saat harus berhadapan dengannya setelah pengakuan itu. Aku tahu, nanti,  interaksi kami akan menjadi lebih canggung dari sebelumnya. Setiap kali aku harus berbicara dengannya, aku merasa seperti ada tembok tak terlihat yang membatasi kami, membuatku sulit untuk bersikap normal.

Di meja sebelah, Rina dan Dian, teman sekelas kami, tampak terlibat dalam obrolan seru tentang Keenan. Telingaku tidak sengaja mendengar percakapan mereka.

"Gila, Keenan keren banget sih," kata Rina sambil memandang kagum ke arah jendela. "Liat aja, main basketnya bikin cewek klepek-klepek. Udah cakep, jago, perfect banget pokoknya!"

"Iya, bener banget!" sahut Dian dengan senyum lebar yang tak bisa disembunyikan. "Dia selalu jadi yang paling mencolok di lapangan. Pasti banyak yang pengen deketin dia."

"Kalau dia mau pacaran, siap-siap aja deh, banyak saingannya," tambah Rina sambil tertawa. "Udah banyak yang ngantri soalnya!"

"Tapi, denger-denger ada gosip nih," Dian tiba-tiba menurunkan volume suaranya, seolah-olah hendak membocorkan sebuah rahasia. "Katanya Keenan tuh deket sama senior kita."

"Senior? Siapa tuh?" tanya Rina dengan penasaran.

"Claudia Amanda," jawab Dian sambil melirik dengan penuh arti. "Kakak kelas yang cantik itu loh!" tambah Dian

Mendengar nama Kak Claudia, aku langsung tertegun. Seketika, ingatanku melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu. Saat itu, aku tidak sengaja menabrak Kak Claudia di koridor sekolah, dan tanpa ampun, dia langsung menyiramku dengan air dari botol yang dia pegang. Aku masih ingat betapa terkejutnya aku waktu itu, dan bagaimana dia menatapku dengan ekspresi marah yang bikin jantungku berdegup kencang.

Tiba-tiba, Aline yang duduk di depanku ikut bicara dengan nada agak sinis. "Kak Claudia? Yang pernah nyiram kamu waktu itu? Aduh, bener sih cantik, tapi kalau galak gitu, mana mungkin Keenan mau," katanya sambil meminum air mineralnya.

Aku menoleh ke arahnya, baru sadar bahwa Aline juga mendengarkan obrolan Rina dan Dian.

"Gak mungkin deh kayaknya, masak iya Keenan suka sama dia?" Aline melanjutkan dengan nada ragu. "Senior itu emang populer sih, tapi waktu dia nyiram kamu, bener-bener bikin image dia hancur di mataku, All."

Belum sempat aku bereaksi, dua siswi di meja sebelah tiba-tiba terdiam seribu bahasa. Aku mengikuti tatapan mereka dan melihat Kak Claudia memasuki kantin dengan langkah anggun. Semua mata cowok di kantin langsung tertuju padanya, dan aku bisa melihat betapa mempesonanya dia, apalagi dengan aura percaya dirinya yang mengesankan.

Kak Claudia mendekati bu kantin dan memesan sebotol air mineral. Temannya yang berdiri di sampingnya bertanya dengan nada heran, "Cuma satu ?"

Kak Claudia menjawab dengan senyum lebar, "Iya, ini buat Keenan."

"Aduh, seriusan mereka deket?" bisik Aline, tampak benar-benar terkejut. Dia menatapku dengan mata yang hampir tidak percaya.

Aku mengangkat kedua bahuku, memberikan isyarat bahwa aku juga tidak tahu. 

Rasa bingung yang menggelayuti pikiranku semakin membuatku merasa tertekan. Aku membuang pikiran tentang gosip dan kejadian di taman belakang beberapa waktu lalu, ketika Keenan dengan serius mengungkapkan perasaannya. Semua itu terasa seperti bayangan yang terus menghantui. Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan rumor tentang Kak Claudia dan Keenan.

Dengan satu gerakan cepat, aku menghabiskan sisa makanan di mangkok ku. Aku sudah terlalu banyak berpikir dan merasa ingin mengalihkan perhatian sejenak. Melihat jam dinding di kantin yang menunjukkan bahwa istirahat kami hampir selesai, aku merasa perlu untuk bergerak cepat.

"Aline, aku mau ke perpus. Mau pinjem buku buat persiapan lomba," kataku sambil berdiri dari kursi.

Aline mengangguk, tampak mengerti. "Oke deh, hati-hati ya. Nanti kalau ada apa-apa, kabarin."

Aku hanya memberikan senyuman singkat sebagai balasan sebelum segera melangkah menuju pintu keluar kantin. Langkahku cepat, seolah-olah aku berharap bisa meninggalkan semua keraguan dan kekacauan pikiran di belakang. Setibanya di perpustakaan, aku merasa sedikit lega bisa fokus pada hal-hal yang lebih konkret, setidaknya untuk sementara waktu.

Setelah meminjam beberapa buku di perpustakaan, aku segera melangkah menuju kelas. Hanya tersisa sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Saat berjalan cepat, arah perpustakaan yang melewati lapangan olahraga membuatku tak sengaja melihat Keenan dan teman-temannya yang sedang beristirahat di tepi lapangan.

Ketika mataku tertuju pada Keenan, kenangan ucapannya di taman belakang kembali menghantui pikiranku. Aku berusaha keras untuk mengusir bayangan itu dan mempercepat langkahku. Namun, sebelum aku bisa benar-benar menjauh, tatapan kami bertemu. Keenan menatapku dalam-dalam, dan senyuman tipis terukir di wajahnya, membuat hatiku bergetar.

Rasa gugup segera menguasai diriku. Dengan jantung yang berdetak kencang, aku mencoba untuk tetap tenang. Tatapan kami terjalin seolah-olah waktu berhenti sejenak. Namun, aku segera mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkahku, berusaha menghindari perasaan yang semakin tak terkendali.

Saat akhirnya mencapai pintu kelas, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Senyum tipis Keenan masih terbayang di benakku, membuat perasaanku semakin campur aduk. Tetapi aku tahu, aku harus fokus pada pelajaran dan mengesampingkan perasaan ini, setidaknya untuk sementara.

Aku memasuki kelas dan melihat Aline sudah duduk di bangkunya, sibuk dengan catatannya. Tanpa ragu, aku segera menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Dia menoleh, menatapku dengan ekspresi penasaran.

"Kenapa, sih?" tanya Aline, tampak khawatir.

Aku hanya menggeleng cepat, berusaha menghilangkan kekhawatirannya. "Gak papa kok," jawabku singkat, berharap dia tidak bertanya lebih lanjut.

Aline memandangku sejenak, lalu sepertinya sadar aku tidak ingin membicarakannya, jadi dia mengalihkan topik. "Ngomong-ngomong, tentang OSIS," katanya, "Aku denger dari teman sekelas, katanya bakal ada dua orang dari kelas kita yang jadi kandidat OSIS."

Aku tersenyum tipis, merasa lega dengan perubahan topik. "Siapa?" tanyaku, mencoba ikut dalam percakapan.

Aline mengangkat kedua bahunya.

"Eh, tadi kayaknya guru-guru nyebut nama Alsha deh," kata seseorang dari belakang. Aku dan Aline yang sedang asyik ngobrol langsung menoleh bersamaan.

"Kafka..." bisikku pelan, setelah melihat Kafka yang berbicara. Mataku tak bisa teralihkan dari sosok di sampingnya. Keenan. Wajah dan rambutnya masih basah, dia sibuk memakai seragamnya. Sepertinya tadi dia sempat melepasnya saat bermain basket.

"Iya, bener tuh, neng Alsha tadi namanya disebut, tapi nggak tau kenapa," tambah Abhi, sementara Nevan hanya mengangguk-angguk, menguatkan pernyataannya.

"Mungkin kamu yang bakal kepilih, Al," ucap Aline, memandangku dengan penasaran.

"Semoga aja enggak," jawabku lirih, menghindari tatapan mereka.

"Kenapa, Sheena? Kamu nggak mau misal kepilih?" tanya Keenan, menatapku dengan serius.

"Aduh, dia tuh orangnya nggak suka ribet, Keenan. Jelas lah dia nggak mau ikut organisasi," sahut Aline, menjelaskan dengan nada santai.

"Tapi bukannya itu kesempatan bagus?" Keenan bertanya lagi, membuatku melihat ke arahnya.

Sebelum aku sempat merespons, suara dari speaker sekolah tiba-tiba menggema di seluruh ruangan, memecah suasana dan membuat obrolan kami terhenti. Semua kepala di kelas otomatis menoleh ke arah sumber suara, dan aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Suara itu, biasanya berisi pengumuman penting, kini menambah ketegangan di antara kami. Di saat yang sama, angin lembut dari jendela kelas menerpa wajahku, seolah mengingatkan bahwa apa pun yang akan diumumkan, mungkin akan mengubah hari ini.

"Assalamualaikum Wr. Wb. Mohon perhatiannya sebentar, untuk siswa yang disebutkan namanya harap langsung ke kantor guru. Clarabella Belvani XI IPA 1, Elysia Tamara XI IPA 1, Rey Algara XI IPA 1, Arshaka Najendra XI IPA 1, Ghisela Ananta XI IPA 2 dan Alshameyzea Afsheena XI IPA 2. Sekali lagi, siswa yang disebut namanya tadi dimohon segera berkumpul di kantor guru. Terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb."

"Tuh kan, Al, baru aja diomongin. Buruan sana ke ruang guru," ucap Aline, setengah bercanda.

Aku mengeluh dalam hati. Semoga saja ini bukan tentang OSIS. Dengan berat hati, aku beranjak dari tempat dudukku. Saat melewati Keenan, dia berkata lirih, "Semangat, Sheena," sambil tersenyum tipis ke arahku. Jantungku berdebar, dan aku langsung mengalihkan pandanganku, berusaha menyembunyikan rona di pipiku.

Kafka, Abhi, dan Nevan berdeham pelan di belakang Keenan, seolah menggoda temannya yang barusan menyemangatiku. Keenan hanya menatap mereka dengan tatapan datar, sementara aku bergegas keluar kelas, meninggalkan mereka yang masih bersenda gurau. Sensasi campur aduk antara gugup dan penasaran menyelimutiku saat aku melangkah menuju kantor guru.

---------

"Tadi Alsha dan Ghisel dipanggil ya sama Pak Iwan?" tanya Bu Sri, guru fisika sekaligus wali kelas kami. Beliau adalah wali kelas yang sangat baik menurutku. Saat mengajar, Bu Sri selalu punya cara supaya kami bisa fokus pada pelajaran. Kalian pasti tahu, kelas kami terkenal karena keramaiannya. Tapi soal prestasi, kelas kami masih bisa bersaing dengan kelas sebelah.

Pak Iwan adalah pembina OSIS sekaligus guru matematika paling galak di sekolah ini. Dia terkenal sangat killer. Saking tegasnya, kalau ada siswa yang terlambat masuk kelas lima menit saja, siswa itu tidak bisa ikut pelajaran sampai bel pulang sekolah. Selain itu, nilai rapor kita otomatis berkurang meskipun ujian belum dimulai.

"Iya, Bu," jawabku.

"Emang tadi ngapain, Bu, dipanggil? Buat perwakilan lomba ya, Bu?" tanya Abhi yang duduk di paling belakang.

"Bukan, jadi dalam waktu dekat ini sekolah kita akan mengadakan pemilihan ketua OSIS. Dan siswa yang tadi dipanggil itu adalah kandidatnya," jelas Bu Sri dengan suara tegas namun tenang.

"Loh, cuma dua perwakilan dari kelas kita?" tanya Abhi, matanya menyipit penuh rasa penasaran.

"Mentang-mentang Pak Iwan walasnya XI IPA 1, jadi beliau milih anak buahnya," nada Nevan terdengar iri, seolah menyiratkan ketidakadilan.

"Hus! Ngawur banget omongan lo, Van," Abhi menyikut Nevan, mencoba menghentikan spekulasinya.

"Nevan! Kamu sepertinya tidak ada jeranya ya, masuk ruang BK," suara Bu Sri tiba-tiba meninggi, menarik perhatian seluruh kelas. Semua siswa menoleh ke arahnya, membuat Nevan menundukkan kepala sebentar, tampak malu dan menyesal.

"Anak itu emang gak pernah kapok ya," ucap Aline, menggelengkan kepala.

"Sudah sudah," Bu Sri menengahi, "Jadi, kandidat OSIS baru bisa terpilih karena sudah dipertimbangkan baik-baik oleh para guru dan pengurus OSIS lama. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembina OSIS yang pilih kasih."

Setelah beberapa saat hening, Bu Sri melanjutkan, "Baiklah, kita mulai pelajarannya saja. Silakan buka bukunya, PR yang kemarin kita bahas sekarang..."

Teman-teman sekelas menghela napas pelan, hampir serempak. Mereka sebenarnya berharap Bu Sri terlalu sibuk membahas hal lain hingga lupa tentang PR. Namun, sayang sekali, Bu Sri bukan tipe guru yang mudah dikelabuhi.

"Yang belum selesai PR-nya, silakan maju ke depan," ucap Bu Sri tegas sambil mengeluarkan berkas-berkas dari tasnya.

Tanpa ragu, Keenan dan ketiga temannya maju ke depan kelas. Langkah mereka mantap, menunjukkan ketenangan meski mungkin dalam hati ada sedikit kekhawatiran. Para siswa yang duduk memperhatikan dengan campuran rasa lega dan cemas, berharap nama mereka tidak disebut berikutnya.

Bu Sri menatap mereka dengan pandangan tajam namun adil, siap untuk menegur atau memberi kesempatan. Kelas hening, hanya terdengar deru AC yang memenuhi ruangan dengan udara dingin. Ketegangan seolah menggantung di udara, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Astaghfirullah! Kalian lagi!? Sampai kapan kalian begini, heh? Kalian tidak bosan dihukum terus sama Bu guru?" Bu Sri mengeluh, suaranya penuh kelelahan dan frustrasi melihat kelakuan empat siswanya itu.

Keempat siswa itu hanya diam, menunduk dengan wajah penuh rasa bersalah. Mereka menggaruk-garuk rambut yang tidak gatal, tampak canggung dan tidak tahu harus berkata apa. Tatapan Bu Sri yang tajam dan jenuh seolah menembus mereka, membuat suasana semakin tegang. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kelas menyorot wajah-wajah mereka yang kini memerah, menambah kesan betapa malunya mereka di hadapan Bu Sri.

"Seragamnya sudah dikeluarkan, atribut tidak lengkap, apalagi kamu!" Bu Sri menarik-narik seragam Keenan. "Mana bet seragam mu?" Suaranya menggema di ruang kelas yang tiba-tiba terasa semakin sempit. Keenan hanya diam, menatap lantai, membuat wali kelas kami semakin naik darah. Wajah Bu Sri memerah, ekspresinya menunjukkan bahwa hari ini mood-nya benar-benar buruk.

"CEPETAN LARI KELILING HALAMAN SEKOLAH 50 KALI!!" teriak Bu Sri dengan suara menggelegar, membuat kami semua menunduk ketakutan. Suara itu seperti gemuruh, membuat suasana semakin tegang. Ini adalah hukuman paling berat menurutku, dan melihat Keenan yang biasanya tenang kini harus menerima amarah Bu Sri, membuat perasaanku campur aduk antara takut dan kasihan.

Sebenarnya, aku merasa ragu untuk mengangkat kepalaku, namun entah kenapa, rasa ingin tahuku mengalahkan rasa takutku. Aku sangat ingin melihat reaksi Keenan. Semakin lama, kekhawatiranku tentang keadaannya semakin mendalam. Pandanganku terfokus pada wajah Keenan, yang tampak tegang. Meskipun dia tetap diam, matanya memancarkan rasa ketidaknyamanan yang jelas.

Keenan dan ketiga temannya segera keluar dari kelas dengan langkah lesu, meninggalkan suasana yang kian hening. Aku mengamati mereka dari kejauhan, berusaha memahami beban berat yang harus mereka tanggung. Saat Keenan berbalik sejenak, mata kami bertemu dalam satu detik yang terasa lama. Dalam tatapan itu, aku melihat secercah kesedihan yang mendalam di matanya, membuat hatiku berdebar dengan penuh empati.

Aku menggigit bibir, berusaha menahan gelombang kecemasan yang tiba-tiba melanda. Kenapa perasaan ini muncul? Apakah karena aku mulai merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan antara kami?

Dengan hati berat, aku kembali fokus ke depan kelas, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggu. Namun, bayangan Keenan yang lelah dan tampak terbebani terus menghantui pikiranku, melayang di setiap celah perhatian yang ku punya sepanjang pelajaran. Setiap kali aku mencoba untuk menyerap materi pelajaran, wajahnya yang penuh kesedihan selalu kembali menghantui benakku, membuatku semakin sulit untuk berkonsentrasi.

---

Saat kami berjalan beriringan menuju kelas, Keenan akhirnya memecah keheningan. "Apa yang kamu rasain saat ini, Sheena?" tanyanya dengan nada serius.

Aku menghela napas, merasa kebingungan. "Aku nggak tau, Keenan," jawabku dengan jujur, mengungkapkan ketidakpastian yang mengganggu pikiranku.

Keenan mengangguk, seolah memahami kegundahan yang aku rasakan. "Aku juga," tambahnya singkat, lalu melanjutkan dengan penuh pemikiran, "Ragu, Sheena."

Aku berhenti mendengar kata-katanya, dan Keenan pun berhenti di sampingku. Aku menoleh, menatap wajah tegasnya yang kini memperlihatkan keraguan. "Kalau kamu ragu, kenapa kamu ngucapin kalimat tadi?" tanyaku, suaraku dipenuhi kebingungan dan sedikit ketidakpercayaan. Keenan menatapku dengan mata yang menyiratkan kedalaman perasaan, seolah berusaha menjelaskan sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

"Karena kita nggak pernah tahu ke arah mana pikiran kita bermuara, kita juga nggak bisa mengontrol apa yang sudah dirasa. Meskipun aku ragu saat ini, tapi kalimat yang aku lontarkan tadi tulus, Sheena," ucapnya dengan nada serius.

Suara Keenan menyentuhku dengan kekuatan yang tidak terduga. Aku bisa merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkannya, terlihat jelas dari cara dia menatapku dan gaya bicaranya. Rasa keraguan yang sempat aku rasakan mulai memudar, digantikan oleh keyakinan bahwa perasaannya memang nyata.

"Sheena? Kenapa diam?" tanya Keenan lagi, matanya menyelidik saat dia melihatku hanya terdiam, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Sheena,  terkadang kita dibunuh oleh pikiran kita sendiri, padahal itu belum tentu akan terjadi."

---

--

"Kenapa pikiranku saat ini dipenuhi oleh nama Keenan sih?" Aku melendeh di kursi teras, membiarkan diriku tenggelam dalam keraguan. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, tetapi rasa kantuk yang seharusnya datang justru tak kunjung menghampiri. Akhirnya, aku memutuskan untuk keluar rumah, duduk di bawah langit malam yang penuh bintang. Ini adalah salah satu kebiasaanku untuk menenangkan pikiran.

"Dunia itu jahat banget ya buat kita yang susah tidur dan gampang kepikiran." gumamku kepada langit yang seolah menjadi saksi kesedihanku.

Aku menghela napas panjang, perasaan lelah menyelimuti tubuhku. Dengan enggan, aku berdiri dari kursi, memutuskan untuk kembali ke dalam rumah dan mencoba lagi untuk menemukan kedamaian dalam tidur.

"Lebih jahat lagi, kalau dunia nggak mau merayakan dua orang yang saling cinta," terdengar suara dari belakangku. Aku menoleh dan melihat sosok seorang laki-laki tinggi mengenakan hoodie putih dan celana biru dongker. Earphone putih tampak mencolok di telinganya.

"Lo belum tidur?" tanyanya lagi, suara yang tenang namun penuh perhatian.

"Ini mau tidur," jawabku singkat.

"Syukurlah," katanya, seolah merasa lega.

Aku menatap Kafka dengan rasa ingin tahu yang mendalam. "Kamu ngapain ke sini, Kafka?" tanyaku, berusaha memahami alasan kehadirannya.

Kafka mengangkat bahu dengan santai. "Disuruh Keenan."

"Terus Keenan-nya mana?" aku bertanya lagi, penasaran.

"Dia ada urusan. Makanya dia nyuruh gue buat memastikan lo tidur nyenyak malam ini," jawab Kafka dengan nada tenang.

Aku menghela napas panjang, perasaan bingung mulai menyelimuti pikiranku. Kenapa Keenan melakukan semua ini? Rasa penasaran dan kekhawatiran mengisi pikiranku, seolah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pengawasan biasa di balik tindakan ini.

"Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang perlu lo tahu," Kafka memulai, suaranya terdengar serius namun lembut. "Sebenarnya, yang nyuruh gue buat ngebelain lo pas di koridor kelas 1 itu adalah Keenan. Dia yang minta gue buat jaga lo dari jauh."

Aku terdiam sejenak, kebingungan melintas di benakku. 'Kenapa bukan Keenan sendiri?' batinku

Kafka menatapku dengan tatapan serius. "Mungkin lo mikirnya ini berlebihan, tapi percayalah, Keenan benar-benar tulus ke lo. Dan sekarang lo ada di rumahnya, jadi gue mohon, jadilah rumah yang nyaman buat dia."

Aku masih menelaah ucapan Kafka, terjebak dalam makna kata-katanya. Rumah?

"Gue pergi dulu. Jangan lupa kunci pintunya dan tutup semua jendela. Gue nggak mau angin malam ini ganggu kenyamanan dua insan yang baru saja meluapkan perasaannya," ujar Kafka dengan nada serius, sebelum berbalik dan melangkah pergi.

Dia sudah melangkah jauh, menuju motornya yang terparkir di depan gerbang rumah. Motornya tampak tersembunyi di dalam kegelapan malam, membuatnya sulit terlihat. Aku memasuki rumah dengan kepala penuh pikiran yang kian bertambah.

--

Memoriku terus memutar kembali kejadian kemaren, seolah terjebak dalam putaran waktu yang tak berujung. Aku benar-benar merasa bingung dengan perasaanku hari ini.

'Nek? Aku masih tidak tahu apakah ini yang dimaksud dengan cinta yang sering diceritakan nenek dulu?' batinku.

Hanya waktu yang bisa memberiku jawaban. Namun, satu hal yang pasti, aku harus siap menghadapi apa pun yang akan datang.

BERSAMBUNG

Related chapters

  • About Me: Alshameyzea    Bab 4. Berharap?

    “Ketika malam menyelimuti dunia, keheningan menjadi panggung bagi perasaan yang belum terungkap, menunggu saat yang tepat untuk bersinar.” °°°° KRING! KRING! KRING!!! Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa-siswi diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa setiap akhir bukanlah penutupan, tapi awal dari harapan baru. Pulanglah dengan senyuman, dan esok datanglah dengan mimpi yang lebih besar. TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda. Akhir dari dua jam pelajaran yang terasa begitu panjang. Begitu suara bel menggema di seluruh ruangan, Bu Sri telah meninggalkan kelas setelah berpamitan. Kami semua segera bersiap-siap untuk pulang. Di saat yang sama, aku melihat Nevan dan Abhi berlari masuk, masing-masing menenteng tas Kafka dan Keenan. Wajah mereka basah oleh keringat, tapi tidak lama kemudian, mereka kembali keluar dengan langkah terburu-buru, tas masih erat di tangan. "Al, ikut ke kantin, yuk? Aku mau beli-be

    Last Updated : 2024-09-19
  • About Me: Alshameyzea    Bab 5. Dingin dan Harapan

    "Yang dekat belum tentu akan melekat. Yang berjarak pun belum tentu akan mendura. Tapi yang sudah menjadi takdirnya pasti akan mengikat." -Alshameyzea Afsheena °°°° Sebelum bel berbunyi, aku melangkah keluar dari kelas sejenak. Rasanya butuh waktu sebentar untuk melepaskan diri dari ruangan yang akan penuh dengan hitungan dan angka. Dengan langkah cepat, aku menuju tempat sampah di sudut koridor, meraut pensil yang mulai tumpul. Sambil melakukannya, pikiranku melayang ke pelajaran matematika yang sebentar lagi dimulai. Tak hanya soal-soal yang melintas di kepala, tapi juga hal-hal lain yang akhir-akhir ini sulit untuk aku hindari. Tiba-tiba, suara yang familiar mengusik keheningan pagi. "Sorry, Sheena. Semalam aku nggak jadi ke rumah kamu," suara Keenan, lembut tapi jelas, membuatku terkejut. Aku menoleh pelan ke arahnya. Dia berdiri di sampingku, sosoknya tiba-tiba begitu dekat. Ada sesuatu dalam caranya bicara yang membuat suasana menjadi canggung, meski kami sudah lama saling

    Last Updated : 2024-09-21
  • About Me: Alshameyzea    Bab 6. Langkah Tanpa Pilihan

    "Tidak ada perjalanan yang sempurna, bahkan langkah yang salah bisa menjadi bagian dari rute yang penuh makna" °°°° "Aline," panggilku lembut saat aku memasuki kelas, berharap suasana hatinya sudah membaik. Aku ingin bercerita banyak padanya, jadi aku perlu memulai dengan sapaan yang hangat. Namun, reaksi Aline begitu mengejutkan. "Ya ampun Alsha! Kamu ngapain pakai jaket kegedean?" dia berteriak dengan kaget, lalu tertawa keras. Suaranya menggema di ruangan, menambah kehebohan pagi itu. "Mana jalannya ngendap-ngendap kayak anak TK abis nyolong duit maknya, hahaha!" Aline benar-benar terhibur, menertawakan penampilanku yang tampaknya sangat lucu di matanya. Aku tercengang, merasa sedikit tersinggung oleh reaksi spontan Aline. 'Ini serius aku diginiin sama Aline?' batinku. "Ih, Aline, kok kamu gitu sih?" kataku dengan nada kesal, berusaha menahan rasa malu yang mulai muncul. "Duh, maaf-maaf, Al, aku nggak bisa nahan tawa. Lagian kamu sih!!! Itu jaket siapa yang kamu colong?" Al

    Last Updated : 2024-09-23
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti

    "Setiap hari bersamanya adalah bukti bahwa kebaikan dan perhatian masih ada di dunia ini."°°°°“Juara pertama OSDKI tahun 2014 dimenangkan oleh… Alshameyzea Afsheena!”Suara pengumuman itu menggetarkan ruangan, diikuti oleh tepuk tangan dan sorakan yang meriah. Di tengah keramaian, mataku mencari, berharap menemukan wajah-wajah yang kukenal. Sebuah sorakan pecah dari sampingku, suara salah satu teman sekelasku yang berdiri, ekspresi bangga terpancar jelas di wajahnya.“Sheena, kamu juara satu!” serunya penuh semangat, suaranya tenggelam di antara tepuk tangan yang semakin riuh.Dari panggung, MC tersenyum lebar sambil mengarahkan mikrofon ke arahku. “Silakan naik ke panggung, Alsha,” ajaknya dengan nada lembut, seakan ingin berbagi kebahagiaan ini denganku.Aku berdiri, gemetar sedikit, tapi perasaanku meluap penuh rasa syukur. Langkahku pelan, terasa berat karena bukan hanya tubuhku yang bergerak, tapi juga semua impian dan harapan yang menuntunku ke atas panggung. Saat aku tiba di

    Last Updated : 2024-09-26
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti (Part 2)

    "Alsha, kamu udah siap belum?" Suara Aline membuyarkan lamunanku, dengan nada ceria yang menyentuh.Aku tersadar dan menoleh padanya. "Iya, ayo berangkat," jawabku sambil tersenyum, mencoba menepis kerinduan yang menyelinap di pikiranku.Malam ini kami berencana menuju Grandfather Coffeeshop, tempat yang terletak tidak jauh dari rumah kami. Karena jaraknya yang dekat, kami memutuskan untuk jalan kaki. Langkah-langkah kami menapaki jalanan yang tenang, diterangi oleh lampu-lampu kota yang berkelip lembut. Kafka yang mengundang kami ke acara ini, dan hampir seluruh teman sekelas kami dijadwalkan hadir.Ketika kami sampai di depan rumah, langkah kami terhenti sejenak. Di depan gerbang, Keenan bersama teman-temannya sudah menunggu di atas motor mereka yang terparkir di pinggir jalan. Mereka tampak santai dan karismatik, dikelilingi oleh kilau lampu jalanan yang lembut.Kami melangkah mendekati gerbang dengan rasa penasaran. Aline, dengan tatapan campu

    Last Updated : 2024-09-26
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti (Part 3)

    Kafka lalu bergeser ke samping teman-temannya, yang tampak sedang berbincang dengan serius. Mereka tiba-tiba memarkirkan motor-motor mereka dengan rapi di depan rumahku, memperlihatkan tampilan motor-motor mereka yang mengkilap dan mengesankan di bawah cahaya lampu malam."Heh, kalian pada ngapain?" tanya Aline dengan nada bingung."Kita mau naik angkot juga bareng kalian," jawab Kafka, seraya melambaikan tangan ke arah angkot yang menunggu.Aku dan Aline saling bertukar pandang, masih kebingungan. "Udah, ayo sini, gue bantu seberangin," ucap Kafka, sambil melangkah mendekati kami. Dia membantu kami menyeberangi jalan dengan penuh perhatian, sementara aku terus merenung tentang alasan Keenan tidak bisa naik angkot dan mengapa teman-temannya tampak khawatir tentang hal itu.Keenan mempersilahkan aku duduk di kursi angkot yang empuk, dan dengan nada lembut, ia bertanya, "Apa aku boleh duduk di samping kamu?" Suaranya yang khas membuatku me

    Last Updated : 2024-09-26
  • About Me: Alshameyzea    Bab 8. Kisah di bawah Cahaya Temaram

    "Di antara jutaan wajah, aku memilihmu." -Alshameyzea Afsheena ••••Di luar kafe ini, setiap meja dirancang sederhana untuk empat orang, dengan kursi panjang yang mampu menampung dua orang berdampingan, menciptakan suasana akrab. Malam ini, kafe dipenuhi oleh tawa dan obrolan, aroma kopi yang menggoda, dan alunan musik lembut yang meresap ke dalam jiwa."Ayo duduk bareng aku," ajak Keenan, senyum hangat menghias wajahnya. Di bawah cahaya lampu temaram, matanya berkilau lembut, seolah menggoda hati yang mendengarnya.Aku mengangguk, "Ayo, Aline, kita duduk di sini saja." Namun, Aline yang masih menggenggam tanganku erat tampak ragu, gelisah dalam keramaian ini.Tiba-tiba, Kafka, dengan ketegasan yang tak terbantahkan, menarik mini bag Aline, menghentikannya. "Eh, lo mau kemana?" tanya Kafka, nada suaranya tenang, tanpa memberi ruang untuk perdebatan.Aline melotot marah, "Lepasin! Lo ngapain narik-narik tas gue? Kalau copot—""Nanti gue ganti," potong Kafka, tetap santai, seolah tak t

    Last Updated : 2024-09-27
  • About Me: Alshameyzea    Bab 8. Kisah di bawah Cahaya Temaram (Part 2)

    "Ih, Keenan, kamu kenapa sih?" Aku memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan pipi yang mungkin sudah memerah lebih dari sebelumnya.Keenan tertawa kecil, tangannya menyisir rambut dengan santai. "Okay, okay," ujarnya. "Kamu kalau jam segini ngapain aja di rumah?"Aku berpikir sejenak, memikirkan rutinitasku di rumah. "Aku biasanya baca buku, atau nonton televisi, atau ngobrol dengan Aline," jawabku, sambil mengenang kegiatan sehari-hariku.Keenan mendengarkan dengan penuh perhatian, senyum lembutnya tidak pernah pudar. "Tidurnya jam berapa emang?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu."Jam sepuluh malam," ucapku."Misal aku call kamu, boleh?" Keenan bertanya, nada suaranya mengandung harapan yang membuat hatiku bergetar.Namun, sebelum aku sempat menjawab, Aline sudah mendekat dengan cepat. "Yuk, Al, ikut aku ke kamar mandi bentar," katanya, memegang tanganku.Aku menoleh ke arah Keenan, yang masih duduk dengan tenang. Ali

    Last Updated : 2024-09-27

Latest chapter

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 7)

    “E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 6)

    Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 5)

    Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 4)

    Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 3)

    Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 2)

    Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa

    "Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men

  • About Me: Alshameyzea    Bab 49. Merilis Luka (Part 3)

    Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob

  • About Me: Alshameyzea    Bab 49. Merilis Luka (Part 2)

    "Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"

DMCA.com Protection Status