Home / Young Adult / About Me: Alshameyzea / Bab 2. Bolehkah Aku Mengenalmu?

Share

Bab 2. Bolehkah Aku Mengenalmu?

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-08-28 11:58:59

"Setiap kali kita bicara, aku merasa seperti menemukan sisi baru dari kamu yang makin indah."

•••

Setelah bel sekolah berbunyi, kami berenam melangkah keluar dengan langkah ringan, seolah hari ini membawa harapan baru. Keenan, dengan caranya yang khas, selalu tahu cara menghidupkan suasana. Dia mengajak kami. Aku, Aline, Kafka, Abhi, dan Nevan, Kembali ke toko buku yang kami kunjungi kemarin. Mungkin, pikirku, buku itu sudah kembali terpajang hari ini. Harapan yang sederhana, tapi cukup untuk mengisi hati dengan kegembiraan.

Ketika pintu toko terbuka, aroma khas buku baru langsung menyapa kami. Udara di dalam terasa lebih ringan, dipenuhi energi yang berbeda. Setiap sudut rak-rak buku tampak memanggil untuk dijelajahi, seolah ada ratusan cerita yang siap ditemukan dan dihidupkan kembali. Aku menggerakkan jemariku menyusuri buku-buku yang tertata rapi, mencoba menemukan novel yang selama ini aku cari. Namun, rasa harapanku perlahan memudar saat aku menyadari buku itu tak kunjung kutemukan.

Keenan, yang seolah bisa membaca ekspresi di wajahku, menghampiriku dengan penuh perhatian. "Belum restock ya? Yaudah, kita pulang atau masih mau liat-liat dulu?" tanyanya, menawarkan pilihan tanpa paksaan, namun penuh pengertian.

Aku menoleh ke Nevan yang hanya tersenyum sambil melirik jam tangannya. "Liat-liat dulu aja, sambil nunggu Abhi yang ke toilet," jawab Nevan dengan nada santai, seolah tak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan.

Saat aku melihat ke arah Aline dan Kafka, mereka hanya mengangguk pelan, memberikan isyarat untuk tetap di sini sejenak. Meski ada sedikit kekecewaan karena buku yang aku cari belum juga muncul, kehadiran Keenan dan yang lainnya membuat segalanya terasa lebih ringan. Terkadang, kebahagiaan bukan tentang mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi tentang momen-momen kecil yang tercipta di antara kekecewaan.

Kami pun mulai menjelajahi rak-rak buku dengan perlahan, langkah demi langkah, seolah tenggelam dalam dunia kecil masing-masing. Ada sesuatu yang menenangkan tentang suasana toko buku ini. Aroma khas kertas yang baru dicetak, suasana yang hening namun hangat, semua itu seperti terapi yang tak terucap. Di tengah kesibukan hidup, tempat ini menjadi oase yang menenangkan. Aku merasa, jika rumahku lebih dekat dengan toko ini, aku mungkin akan lebih sering menghabiskan waktu di sini daripada di rumah. Momen-momen sederhana seperti ini, di antara tumpukan buku, adalah tempat pelarian yang menyembuhkan jiwa. Bagiku.

Saat aku mencoba meraih sebuah buku yang terletak di rak yang terlalu tinggi, kakiku mulai terasa lelah. Tanganku berusaha menjangkau, namun buku itu terasa semakin jauh. Tiba-tiba, tanpa kusadari, seseorang meraih buku itu dari atas. Aku mendongak, dan di sana, Keenan berdiri di sampingku. Senyum lembut menghiasi wajahnya, membuatku tersipu.

Rasa malu dan terima kasih bercampur dalam hatiku saat aku menerima buku itu dari tangannya. Keenan tak berkata banyak, hanya tersenyum lebih lebar. Dalam senyum itu, ada pemahaman yang mendalam, seolah dia tahu betapa aku menginginkan buku tersebut, dan betapa hal-hal kecil seperti ini bisa berarti banyak bagiku.

"Kamu bener-bener suka buku ya," ucapnya pelan. Suara Keenan terdengar hangat, tenang, dan mengalir lembut di telingaku, menciptakan perasaan nyaman yang sulit dijelaskan.

Aku menoleh, mempertemukan tatapanku dengannya. "Iya, suka banget," jawabku, mencoba menyembunyikan betapa dalam sebenarnya rasa suka itu. Keenan tak langsung menjawab, hanya mengulurkan sebuah buku lain kepadaku, sampulnya biru gelap, dengan judul yang sederhana namun menarik perhatian.

"Aku rekomendasikan buku ini. Bagus buat kamu baca sambil nunggu novel yang kamu cari," ucapnya tenang, tapi penuh perhatian.

Aku menatap judul buku itu, Bolehkah Aku Mengenalmu?. Judulnya sederhana, namun penuh makna. Saat aku menatap Keenan kembali, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam dalam percakapan kami ini. Sesuatu yang tak hanya tentang buku, tetapi tentang bagaimana kita mengenal satu sama lain, tentang membuka diri meski perlahan.

"Bolehkah aku mengenalmu?" tanyaku pelan, nyaris seperti gumaman, namun cukup jelas untuk didengar.

Keenan tersenyum lembut, dan entah bagaimana, senyum itu menjawab lebih dari sekadar kata. "Iya, Sheena, bolehkah aku mengenalmu?" jawabnya dengan nada yang sama lembutnya.

Saat itu, aku pikir ucapan Keenan hanyalah permainan kata, seolah hanya mengulang judul buku yang dipegangnya. Kalimat sederhana, tak lebih dari candaan ringan. Namun, aku keliru. Ada makna yang lebih dalam di sana, tersembunyi di antara keheningan dan senyum lembut yang ia tunjukkan.

Tepat ketika aku mencoba merenungi makna kata-katanya, tiba-tiba Aline muncul di sampingku. Tanpa ragu, ia mengambil buku dari tanganku. "Lo udah kenal kan sama Alsha, buat apa masih kenalan lagi?" katanya dengan nada bercanda, disertai senyum jahil yang khas.

Aline menatap sampul buku dengan mata berbinar, seolah melihat sesuatu yang lebih dari sekadar kertas dan tinta. “Wah, Al, sampulnya lucu banget! Aesthetic gitu, dan judulnya menarik, ‘Bolehkah Aku Mengenalmu?’ Aku nggak sabar mau baca juga,” serunya, penuh semangat.

"Kamu udah baca, Keenan?" tanyaku, masih menatap buku itu dengan rasa ingin tahu.

"Hm?" Keenan terlihat sedikit bingung, kemudian tersadar. "Oh, iya, aku udah baca. Bukunya emang bagus. Kalian harus baca."

"Kalau gitu, kita beli buku ini aja," kata Aline, sambil menarik tanganku menuju kasir.

"Mas, yang ini ya," ucapku sambil menempatkan buku itu di meja kasir.

"Oh, buku ini sudah dibayar oleh cowok yang tadi," jawab kasir dengan nada santai, membuat kami semua terkejut.

"Hah?" Aku tercengang, tidak bisa mempercayai apa yang baru kudengar.

Nevan muncul dari belakangku, seperti biasa dengan gaya kasualnya. "Udah dibayar tadi sama Keenan," katanya dengan nada santai. "Masa iya dia ngasih sesuatu tapi lo yang bayar?"

Aku menatap Keenan, tapi dia sudah sibuk dengan hal lain, seperti tidak ada yang terjadi. Kafka, seperti biasanya, tetap tenang dan hanya mengisyaratkan kami untuk segera pergi. "Udah, yuk pulang. Abhi juga udah selesai," katanya sambil menunjuk Abhi yang muncul dari arah toilet.

Kami pun melangkah keluar. Angin sore yang lembut menyapu wajahku, dan seketika aku merasa ada yang berubah.

"Keenan, makasih banyak ya," ucapku, mencoba berbicara di atas motor yang melaju kencang. Keenan menoleh sebentar, "Apa, Sheena? Kamu bilang sesuatu?"

Aduh, sepertinya Keenan tidak bisa mendengar suaraku karena hiruk-pikuk jalanan yang ramai.

"Suara kamu tertiup angin, Sheena!" teriaknya.

Aku berusaha mendekatkan kepalaku ke telinganya. "Makasih banyak, Keenan!" teriakku dengan usaha keras melawan bising kendaraan di sekitar.

Tiba-tiba, Keenan mengurangi kecepatan motornya. "Hah? Apa, Sheena?" tanyanya, menoleh dengan penuh perhatian.

"Makasih banyak Keenan yang baik." aku mengulang, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.

Keenan tidak merespon apa-apa, tapi aku melihat dia mengulum senyumnya dari kaca spion.

Lima menit telah berlalu dalam keheningan yang tidak nyaman di antara kami. Aku berusaha mengusir rasa penasaran yang terus menggigit. Aku ingin sekali bertanya tentang kabar adik Keenan.

Keenan memiliki adik laki-laki bernama Kavin Aksara. Dia anak yang aktif dan ceria, mungkin kini usianya sudah lima tahun. Terakhir kali aku melihatnya adalah ketika Keenan membawanya ke acara perpisahan SMP. Aku ingat bagaimana Kavin kecil menggemaskan saat itu.

"Haloo, anak manis. Nama kamu siapa?" tanyaku dengan lembut pada Kavin, yang kini sedang digendong oleh Keenan.

"Apin, kakaa," jawabnya, dengan suara yang masih agak pelat namun lantang, membuatnya semakin menggemaskan.

Keenan tersenyum lembut dan menjelaskan, "Namanya Kavin. Dia baru belajar bicara, Sheena."

Momen itu selalu terukir dalam ingatanku setiap kali aku melihat Keenan-keluarganya, dan keceriaan kecil itu.

Tiba-tiba, bunyi klakson motor Keenan membuyarkan lamunanku. "Kamu ngelamun, Sheena?" tanya Keenan, suaranya penuh dengan nada tanya.

"Betah amat neng di bonceng abang Keenan." ucap Abhi yang membuatku segera turun dari motor.

"Biasa, lagi mikirin tagihan listrik udah nunggak 3 bulan." Aline menjawab asal, tapi jawaban itu membantuku untuk keluar dari situasi canggung tadi.

"Yuk, cabut," seru Nevan sambil membelokkan sepedanya, diikuti oleh Kafka yang juga mulai bergerak.

"Serius nih, gak ada yang bilang terima kasih?" protes Kafka, sambil melirik Aline.

"Oh, jadi lo gak ikhlas?" Aline langsung membalas dengan nada tinggi.

"Ikhlas lah," jawab Kafka, berusaha tenang.

"Bilang aja lo gak ikhlas kan bonceng gue!" kata Aline dengan nada usil.

"Duh, Aline," sahutku sambil menyikutnya dengan lembut.

"Apasih, iya iya," jawab Aline sambil merengut.

"Makasih!" ucap Aline lagi, kali ini dengan nada yang agak ketus.

"Mana ada orang bilang makasih kayak gitu," ujar Kafka, terlihat sedikit kesal.

"Heh Kafka! Lo Maunya apa sih!" Aline merespons dengan nada kesal.

Aku dan yang lainnya merasa seolah sedang menonton drama sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

"Nih ya, kalo kata gue, mending kalian jadian aja," ucap Nevan dengan nada santai, seolah-olah itu solusi yang paling logis.

Semua orang tertawa, meredakan ketegangan yang ada.

"Bener tuh, diliat-liat kalian cocok kok," celetuk Abhi tiba-tiba. "Jadian aja gak sih?"

"Hih, amit-amit!" seru mereka berbarengan, mengabaikan usulan Abhi dengan nada bercanda.

"Nah, kan jodoh," tambah Abhi dengan semangat.

Tawa kembali pecah di antara kami, namun aku tidak bisa membiarkan mereka terus begitu. Aline sudah mulai memasang muka masam, dan aku harus segera mengakhiri suasana ini sebelum sahabatku itu benar-benar badmood berkepanjangan.

"Makasih banyak ya, Kafka, udah mau nganterin Aline," ucapku dengan tulus.

"Nah, jadi cewek tuh gini, kayak Alsha. Udah cantik, kalem, dan gak galak!" ujar Kafka sambil menekankan kata 'galak', seakan-akan ingin memancing emosi Aline lebih jauh.

"Lo tuh yaa-" Aline hampir melontarkan kemarahan, tapi aku segera mencoba menenangkannya.

"Udah, udah. Mending kita masuk aja," kataku, berusaha meredakan situasi.

"Makasih sekali lagi ya, maaf ngerepotin kalian. Hati-hati di jalan," ucapku dengan penuh rasa terima kasih.

"Sama-sama, apa sih yang enggak buat Alsha," jawab Nevan dengan senyuman. Tanpa kusadari, Keenan berdecak malas, tampak sejenak tidak suka melihat perhatian Nevan pada ucapanku. Namun, aku terlalu fokus pada suasana hati Aline untuk menyadari ekspresi Keenan.

"Duh, panas banget ya hari ini," ucap Kafka sambil melihat ke arah Keenan.

"Heh Kafka, lo buta ya! Lagi mendung gini lu bilang panas!" seru Aline.

"Duh, bukan itu maksudnya," Abhi menepuk jidatnya pelan.

"Selain marah-marah, lo tau apa sih?" Kafka mendengus kesal.

"Eenak aja ngata-ngatain gue, gini-gini gue pernah juara satu!" ucap Aline dengan nada tingginya.

"Juara satu apa tuh?" tanya Abhi penasaran.

"Lomba makan kerupuk," jawab Aline dengan nada yang lebih rendah, membuat kita semua tertawa.

"Apaan sih, gak jelas lo!" ujar Kafka sambil menghidupkan motornya. Nevan pun juga ikut menghidupkan motornya.

Aku mengalihkan pandangan pada Keenan yang masih berdiri tenang di tempatnya. Saat ia membuka helmnya, rambutnya yang sedikit berantakan justru menambah kesan kasual namun tetap memikat. Meski begitu, ketampanannya tidak berkurang sedikit pun. Dengan wajah yang tegas dan penuh karisma, Keenan memang pantas menjadi salah satu siswa populer di SMAN Cendana. Setiap gerakannya, dari tatapan matanya yang tajam hingga senyum tipisnya, memancarkan aura percaya diri yang tak bisa diabaikan.

"Sama-sama, Sheena," ucapnya lembut, suara yang penuh perhatian membuatku terkejut.

"Hah?" tanyaku bingung.

"Yang tadi di atas motor." jelas Keenan.

"Jadi tadi kamu pura-pura nggak denger?" tanyaku, baru menyadari maksud ucapan Keenan setelah beberapa detik.

Keenan tertawa pelan, tawa yang hangat dan menyenangkan. "Canda, Sheena. Maaf ya."

Melihatnya tertawa seperti itu, ada perasaan aneh yang muncul dalam diriku. Meskipun awalnya aku merasa enggan, senyuman tulusnya membuatku merasa bingung, namun aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengiyakan.

Semenjak saat itu, aku suka tawa Keenan.

---

Saat sore hari perlahan memudar dan digantikan oleh senja yang merona lembut, hari itu seolah mengalir dengan tenang menuju malam. Cahaya matahari yang memudar menggantikan langit biru cerah dengan semburat oranye dan merah, menciptakan kanvas yang indah dan menenangkan.

Aku mengingat kembali momen-momen sore hari ketika kami berkeliling toko buku, keasyikan yang hampir menghilangkan rasa lelahku. Namun, saat matahari mulai tenggelam dan bintang-bintang satu per satu mulai menampakkan diri, suasana hati berubah seiring dengan pergeseran waktu.

Kini, malam telah tiba, dan dengan lembut membungkus dunia dalam pelukan gelapnya. Lampu-lampu kota bersinar seperti bintang-bintang yang jatuh, dan bulan purnama menggantung tinggi di langit, menyoroti keindahan malam dengan cahaya lembutnya.

Aku berdiri di dekat jendela, mengamati bagaimana hari berubah menjadi malam dengan keindahan yang tak tertandingi. Saat Aline telah terlelap dalam tidurnya, aku merasa dunia seakan berhenti sejenak, membiarkan aku menikmati kedamaian malam.

Bulan purnama yang menawan menyinari ruanganku, seolah menjadi saksi dari segala kerinduan dan keinginan yang ada di dalam diriku. Dengan suasana malam yang tenang dan bulan yang bersinar lembut, pikiranku kembali melayang ke buku yang belum berhasil kuperoleh. Kira-kira, siapa siswa SMANDA yang berhasil mendapatkan buku itu? Pikiranku melayang sambil menikmati keindahan malam.

Malam ini, aku merasa ada dorongan yang kuat untuk kembali menulis. Dengan lembut, aku membuka laptopku dan menyalakannya. Cahaya dari layar laptop memantul lembut di wajahku saat tanganku mulai bergerak cepat di atas keyboard. Sejak SMP, menulis adalah pelarian dan kebahagiaanku-sebuah cara untuk menyusun kata-kata dan mengungkapkan perasaan yang sulit diungkapkan secara langsung.

Aku tidak berharap kisah-kisah ini akan mengubah dunia atau menjadi terkenal. Bagiku, menulis adalah tentang mengabadikan momen-momen kecil yang berarti dalam hidupku. Ini tentang mengungkapkan perasaanku lewat tulisan, menjadikannya sebagai saksi perjalanan hidupku. Nama-nama yang melintas dalam hidupku, termasuk Keenan Aksara, menjadi bagian dari kisah yang kuabadikan dalam tulisan-tulisanku.

Keenan Aksara, laki-laki pertama yang benar-benar menjadi tokoh penting dalam ceritaku, hadir dengan segala keunikan dan maknanya sendiri. Nama itu, seperti bintang di langit malam, kini bersinar dalam dunia tulisanku. Sebuah cara untuk mengenang dan menghargai setiap detik yang pernah kami bagi.

Dengan penuh perhatian, aku mengetikkan setiap kata dengan penuh rasa, membiarkan kisah ini mengalir dari hati ke layar. Tidak ada harapan besar akan pengakuan atau kepopuleran; cukup bagi aku untuk mengetahui bahwa momen-momen ini, termasuk sosok Keenan, akan selalu terjaga dalam rangkaian kata-kata yang kuukir dengan sepenuh hati.

Setelah beberapa menit mengalirkan kata-kata di layar laptop, tiba-tiba perhatianku teralihkan oleh getaran halus dari ponselku. Notifikasi W******p masuk, membuyarkan lamunanku yang sedang mengalir begitu dalam.

+628*********: Lo Alsha kan? Urusan kita blm selesai!!!

Nomor yang tidak dikenal, tanpa info kontak yang jelas. Darimana dia mendapatkan nomorku? Aku yakin tidak pernah sembarangan memberikan nomor ponselku.

Alsha: Siapa ya?

Hening. Tak ada jawaban. Aku menunggu selama 30 menit, tapi tak ada respons. Malam sudah larut, dan aku tahu sudah waktunya untuk istirahat. Aku mematikan laptopku dengan perasaan tidak tenang, berusaha meraih tidur yang tentram.

---

"Bentar lagi ulangan Bahasa Inggris, ya ampun, aku nggak tahan dengan pelajaran ini," keluh cewek yang duduk di sebelahku. Memang, sebentar lagi ada ulangan bahasa Inggris setelah jam pertama berakhir. Semua siswa, termasuk aku, harus siap menghadapinya. Miss Keyla, guru bahasa Inggris kita, terkenal dengan ketegasannya di kelas, walaupun di luar kelas beliau sangat ramah.

"All, udah siap?" tanya Aline dengan ekspresi wajah yang terlihat lelah.

Aku mengangguk mantap.

Kubuka resleting ranselku, hendak menyimpan buku paket Biologi dan mengambil buku paket Bahasa Inggris. Eh?

"Kemana buku bahasa inggris ku?" lirihku, tanganku sibuk mencari-cari buku paket itu, nihil. Beneran gak ada.

"Cari apa All?" tanya Aline

"Buku paket Bahasa inggris."

"Loh? Hilang? Perasaan tadi malem aku liat kamu masukin ke tas."

"Itu dia, aneh kan? Apa aku taruh lagi ya? Aduh." Aku mencoba mengingat kembali kejadian semalam.

"Nih." seseorang telah menaruh buku paket Bahasa inggris di mejaku. "Pake punyaku aja kalo mau belajar." ucap cowok berwajah tegas itu

"Ceilah, sa ae pak ketu." ucap Abhi yang duduk paling belakang, entahlah, kenapa dia masih bisa melontarkan kalimat itu, padahal tangannya sibuk main handphone sejak tadi.

"Nggak usah Keenan, kalo kamu ngasih ini ke aku, terus kamu belajar pake apa?"

"Aku nggak perlu belajar." sahutnya dengan nada santai.

Aku menatapnya, kenapa gitu?

"Yah, neng Alsha, lupa ya? Kalo pak ketu kita itu masih keturunan orang bule?" jelas Abhi, dia teriak dari bangku belakang. Anak ini, kenapa bisa denger?

Tapi ada benernya juga kata Abhi.

"Dia udah fasih dari kecil, All" tambah Kafka yang duduk tepat di belakang kami berdua.

"Gak usah dengerin omongan mereka, aku nggak sepandai yang mereka kira kok. Dalam bahasa inggris, aku cuma taunya satu kalimat ini." akhirnya Keenan mulai bicara.

"Apa?" tanyaku penasaran.

"I want to grow old with you"

"Keenan!" Aku melotot padanya, padahal aku serius sekali menanti jawabannya

"Huhuy, grow old with you gak tuh," sahut Abhi dengan nada bercanda, sambil tersenyum lebar.

Aku tidak menimpali ucapan Abhi dan hanya menatap Keenan. "Don't be like that, Keenan," ucapku dengan nada serius, berharap dia mengerti maksudku.

Keenan mengerutkan keningnya, terlihat bingung. "Why?" tanyanya, mencoba mencari penjelasan.

Aku menarik napas sejenak sebelum menjawab. "Cowok itu yang dipegang omongannya, Keenan, dan kamu nggak boleh bercanda kayak itu, apalagi soal perasaan," kataku dengan nada tegas, memastikan dia mengerti betapa pentingnya hal itu.

Keenan menatapku dengan tatapan penuh arti. "Kalo aku serius?" balasnya dengan suara rendah, matanya mencari jawaban dari ekspresiku.

Tiba-tiba, Andi, ketua kelas kami, berlari masuk ke dalam kelas, membuat fokus kami berdua buyar.

"PENGUMUMAN, PENGUMUMAN!" teriaknya dengan penuh semangat.

"Pengumuman apa tuh?" sahut Abhi, penasaran.

"Mohon perhatiannya bentar," ucap Andi lagi, kali ini lebih tenang.

"Cepetan, woy! Kita udah merhatiin lo nih!" seru Nevan, meskipun matanya masih terpaku pada layar handphone-nya.

"Sabar dikit napa, Bang. Orang sabar banyak duitnya," sahut Abhi dengan nada menggoda.

"Kalo beneran gitu, gue rela memperluas sabar gue, seluas Samudra Pasifik," balas Nevan tanpa menoleh sedikit pun dari handphone-nya.

Andi menarik napas sejenak sebelum mengumumkan, "Miss Keyla nggak masuk hari ini, jadi kita... jamkos!" ada penekanan pada kata 'jamkos,' menunjukkan bahwa dia juga senang.

Teriakan kegembiraan memenuhi kelas kami. Jelas sekali bahwa jamkos adalah momen yang sangat ditunggu oleh para siswa, terutama ketika ujian yang seharusnya dilaksanakan tidak jadi.

"Woahhhh, akhirnya kita bisa mabar dengan puas, guys!" seru Abhi lagi, membuatku hanya bisa menggelengkan kepala dengan senyum tipis.

sebelum aku melanjutkan percakapanku dengan keenan tiba-tiba ponselku bunyi.

Ada notif wa masuk.

+628*********: Gue tunggu lo di taman blkg.

Aku menelan ludah dengan susah payah. Sebenarnya dia siapa sih? Aku penasaran. Oke, aku mencoba bersikap tenang. Aku harus menemui orang itu dan mencari tahu alasan dia mengancamku.

"Kenapa All?" ucap Aline

Aku menggeleng, "Gak papa."

"Ada sesuatu? Wajah kamu berubah setelah liat hp." tanya Keenan

"E-eh--"

+628*********: buruan kesini! 5 mnt!

Aku segera beranjak pergi, tanpa memberi tau apa-apa ke mereka.

"Alsha! mau kemana?" teriak Aline sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan kelas.

Sepi. Hening. Ini beneran taman belakang kan? monologku. Di jam segini memang sepi, karena masih ada jam pelajaran kedua, belum bel istirahat. Siswa masih di kelas.

Aku memutuskan untuk menunggu di taman belakang, meski rasa cemas semakin menghimpitku. Selama sepuluh menit aku berdiri di situ. Setiap detik terasa membosankan dan menegangkan, namun tidak ada satu pun sosok yang muncul dari kejauhan.

Dengan rasa frustrasi, aku mulai meragukan keputusan ini. Mungkin saja itu hanya lelucon atau ancaman kosong. Perlahan, aku memutuskan untuk pergi. Langkahku berat, setiap langkah terasa semakin berat karena ketidakpastian.

"Ehem." Tiba-tiba, ada seseorang di belakangku. Aku berbalik arah, terkejut melihat dia di sini. Bukannya dia masih di kelas tadi?

"Bunganya indah, seindah wajah gadis yang ada di depanku sekarang." Dia menyodorkan setangkai bunga mawar biru kepadaku. Aku terkejut.

Tiba-tiba banget?

"Ini asli?" tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian kalimat Keenan barusan. Selain bunga tulip, bunga mawar biru juga salah satu favoritku.

Dia mengangguk, tersenyum tipis. Beberapa detik kami terdiam dalam keheningan, suasana terasa canggung.

"Sheena, aku boleh nanya sesuatu nggak?" dia akhirnya memecah keheningan, dan aku mendongak, penasaran.

"Boleh." jawabku, mataku masih memperhatikan bunga yang kupegang, tapi aku tak bisa bohong kalau jantungku saat ini berdebar-debar.

"Coba kasih aku alasan kenapa aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu," tanya Keenan.

Aku terkejut mendengar kalimatnya, mendongak. Tiba-tiba pikiranku melayang pada sebuah buku yang kemarin Keenan belikan untukku. Judul buku itu sama dengan pertanyaan yang dia ajukan, 'Bolehkah Aku Mengenalmu?' Aku belum sempat membaca buku itu sepenuhnya, tapi aku ingat dengan jelas deskripsi di sampul belakangnya.

Buku itu menceritakan kisah seorang laki-laki yang berusaha mengenal seorang wanita yang ia cintai lebih dalam lagi.

"M-maksud kamu?" jawabku, sedikit gugup dan bingung.

Keenan melangkah lebih dekat, jarak di antara kami semakin menyusut. Aku bisa merasakan ketegangan di udara dan melihat dengan jelas ekspresi tegas di wajahnya.

"Bolehkah aku mengenalmu, Sheena?" tanya Keenan, suaranya lembut namun penuh arti.

Dengan mengingat buku itu, aku merasa seolah pertanyaan Keenan adalah bagian dari cerita yang belum sepenuhnya aku pahami. Kami sudah saling kenal sejak SMP, jadi tidak mungkin hanya sekedar tahu nama, kan?

"Bolehkah aku mengenalmu, Sheena?" Keenan mengulang pertanyaannya dengan serius, menunggu jawabanku.

"Kenapa kamu nanya gitu?" tanyaku akhirnya, suaraku hampir tidak terdengar.

Keenan memfokuskan pandangannya padaku, seolah mencoba membaca pikiranku.

"Karena aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekedar teman di antara kita. Aku pengen tau lebih banyak tentangmu-siapa kamu sebenarnya di luar dari apa yang terlihat."

Aku menelan ludah, merasakan kehangatan dan ketegangan bersamaan. Momen ini terasa sangat berbeda dari biasanya. Setiap detik rasanya memanjang, dan aku bisa merasakan betapa seriusnya Keenan dalam kata-katanya.

"K-kenapa aku?" tanyaku, mencoba memahami, meskipun sedikit gugup.

"Apa cinta harus punya alasan pada siapa dia akan berlabuh?" jawab Keenan dengan nada lembut namun penuh arti.

Jantungku berdebar kencang, membuatku semakin tertekan. "K-kamu serius?"

"I mean it," jawabnya tegas. "I can't forget you even for a second, Sheena. Kamu terus memenuhi pikiranku. Dan aku udah capek dengan itu semua."

Atmosfer di sekeliling kami berubah drastis. Aku terpaku, kata-kata Keenan terasa seperti pukulan yang tak terduga. Rasanya aku ingin meminta bantuan untuk melarikan diri dari situasi ini.

"I want to have you. Would you be mine, Sheena?" tanya Keenan dengan tatapan yang mendalam.

Kan, sesuatu yang aku takutkan terjadi. Aduh, jantungku..

Aku bingung mau jawab apa. Aku nggak mau menyakiti perasaannya. Keenan, dia temanku sejak SMP. Tapi aku juga nggak mau mengingkari janji seseorang.

"Maaf Keenan, tapi aku nggak mau pacaran." ucapku dengan suara bergetar, berusaha terdengar meyakinkan.

"I want to get to know you better. Dan semua itu nggak harus lewat pacaran." balas Keenan dengan lembut.

"Tapi-- "

"Why don't we give it the try? Cinta butuh waktu, Sheena. Dan aku akan nunggu waktu itu, dimana kamu akan merasakan hal yang sama seperti perasaanku saat ini." ucap Keenan yang diakhiri dengan senyum manisnya.

BERSAMBUNG

Related chapters

  • About Me: Alshameyzea    Bab 3. Kilasan Perasaan

    "Kadang, sebuah sentuhan singkat dari emosi bisa mengubah seluruh lanskap hati kita." °°°° Kantin SMAN Cendana mirip dengan kafe yang nyaman, dengan desain interior yang membuatku merasa seperti di rumah. Dindingnya berwarna cerah, dihiasi mural dan poster kegiatan yang penuh warna. Lampu gantung memberikan cahaya lembut yang memancarkan kehangatan, sementara meja-meja kayu dan kursi empuk mengundang setiap siswa untuk bersantai. Aku dan Aline duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap ke lapangan olahraga, dengan sinar matahari menerangi meja kami dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Aline, dengan semangat, mengaduk semangkok bakso di depannya. Aku duduk di seberangnya, juga menikmati makanan yang sama. Kantin ini selalu terasa nyaman, tapi hari ini ada sesuatu yang membuat suasana terasa sedikit berbeda, terutama dengan Aline yang terus-menerus menatapku sambil berbicara. "Kamu nggak mau nyalonkan jadi kandidat ketua OSIS?" tanya Aline, sambil memerhatikan bakso di se

    Last Updated : 2024-09-18
  • About Me: Alshameyzea    Bab 4. Berharap?

    “Ketika malam menyelimuti dunia, keheningan menjadi panggung bagi perasaan yang belum terungkap, menunggu saat yang tepat untuk bersinar.” °°°° KRING! KRING! KRING!!! Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa-siswi diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa setiap akhir bukanlah penutupan, tapi awal dari harapan baru. Pulanglah dengan senyuman, dan esok datanglah dengan mimpi yang lebih besar. TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda. Akhir dari dua jam pelajaran yang terasa begitu panjang. Begitu suara bel menggema di seluruh ruangan, Bu Sri telah meninggalkan kelas setelah berpamitan. Kami semua segera bersiap-siap untuk pulang. Di saat yang sama, aku melihat Nevan dan Abhi berlari masuk, masing-masing menenteng tas Kafka dan Keenan. Wajah mereka basah oleh keringat, tapi tidak lama kemudian, mereka kembali keluar dengan langkah terburu-buru, tas masih erat di tangan. "Al, ikut ke kantin, yuk? Aku mau beli-be

    Last Updated : 2024-09-19
  • About Me: Alshameyzea    Bab 5. Dingin dan Harapan

    "Yang dekat belum tentu akan melekat. Yang berjarak pun belum tentu akan mendura. Tapi yang sudah menjadi takdirnya pasti akan mengikat." -Alshameyzea Afsheena °°°° Sebelum bel berbunyi, aku melangkah keluar dari kelas sejenak. Rasanya butuh waktu sebentar untuk melepaskan diri dari ruangan yang akan penuh dengan hitungan dan angka. Dengan langkah cepat, aku menuju tempat sampah di sudut koridor, meraut pensil yang mulai tumpul. Sambil melakukannya, pikiranku melayang ke pelajaran matematika yang sebentar lagi dimulai. Tak hanya soal-soal yang melintas di kepala, tapi juga hal-hal lain yang akhir-akhir ini sulit untuk aku hindari. Tiba-tiba, suara yang familiar mengusik keheningan pagi. "Sorry, Sheena. Semalam aku nggak jadi ke rumah kamu," suara Keenan, lembut tapi jelas, membuatku terkejut. Aku menoleh pelan ke arahnya. Dia berdiri di sampingku, sosoknya tiba-tiba begitu dekat. Ada sesuatu dalam caranya bicara yang membuat suasana menjadi canggung, meski kami sudah lama saling

    Last Updated : 2024-09-21
  • About Me: Alshameyzea    Bab 6. Langkah Tanpa Pilihan

    "Tidak ada perjalanan yang sempurna, bahkan langkah yang salah bisa menjadi bagian dari rute yang penuh makna" °°°° "Aline," panggilku lembut saat aku memasuki kelas, berharap suasana hatinya sudah membaik. Aku ingin bercerita banyak padanya, jadi aku perlu memulai dengan sapaan yang hangat. Namun, reaksi Aline begitu mengejutkan. "Ya ampun Alsha! Kamu ngapain pakai jaket kegedean?" dia berteriak dengan kaget, lalu tertawa keras. Suaranya menggema di ruangan, menambah kehebohan pagi itu. "Mana jalannya ngendap-ngendap kayak anak TK abis nyolong duit maknya, hahaha!" Aline benar-benar terhibur, menertawakan penampilanku yang tampaknya sangat lucu di matanya. Aku tercengang, merasa sedikit tersinggung oleh reaksi spontan Aline. 'Ini serius aku diginiin sama Aline?' batinku. "Ih, Aline, kok kamu gitu sih?" kataku dengan nada kesal, berusaha menahan rasa malu yang mulai muncul. "Duh, maaf-maaf, Al, aku nggak bisa nahan tawa. Lagian kamu sih!!! Itu jaket siapa yang kamu colong?" Al

    Last Updated : 2024-09-23
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti

    "Setiap hari bersamanya adalah bukti bahwa kebaikan dan perhatian masih ada di dunia ini."°°°°“Juara pertama OSDKI tahun 2014 dimenangkan oleh… Alshameyzea Afsheena!”Suara pengumuman itu menggetarkan ruangan, diikuti oleh tepuk tangan dan sorakan yang meriah. Di tengah keramaian, mataku mencari, berharap menemukan wajah-wajah yang kukenal. Sebuah sorakan pecah dari sampingku, suara salah satu teman sekelasku yang berdiri, ekspresi bangga terpancar jelas di wajahnya.“Sheena, kamu juara satu!” serunya penuh semangat, suaranya tenggelam di antara tepuk tangan yang semakin riuh.Dari panggung, MC tersenyum lebar sambil mengarahkan mikrofon ke arahku. “Silakan naik ke panggung, Alsha,” ajaknya dengan nada lembut, seakan ingin berbagi kebahagiaan ini denganku.Aku berdiri, gemetar sedikit, tapi perasaanku meluap penuh rasa syukur. Langkahku pelan, terasa berat karena bukan hanya tubuhku yang bergerak, tapi juga semua impian dan harapan yang menuntunku ke atas panggung. Saat aku tiba di

    Last Updated : 2024-09-26
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti (Part 2)

    "Alsha, kamu udah siap belum?" Suara Aline membuyarkan lamunanku, dengan nada ceria yang menyentuh.Aku tersadar dan menoleh padanya. "Iya, ayo berangkat," jawabku sambil tersenyum, mencoba menepis kerinduan yang menyelinap di pikiranku.Malam ini kami berencana menuju Grandfather Coffeeshop, tempat yang terletak tidak jauh dari rumah kami. Karena jaraknya yang dekat, kami memutuskan untuk jalan kaki. Langkah-langkah kami menapaki jalanan yang tenang, diterangi oleh lampu-lampu kota yang berkelip lembut. Kafka yang mengundang kami ke acara ini, dan hampir seluruh teman sekelas kami dijadwalkan hadir.Ketika kami sampai di depan rumah, langkah kami terhenti sejenak. Di depan gerbang, Keenan bersama teman-temannya sudah menunggu di atas motor mereka yang terparkir di pinggir jalan. Mereka tampak santai dan karismatik, dikelilingi oleh kilau lampu jalanan yang lembut.Kami melangkah mendekati gerbang dengan rasa penasaran. Aline, dengan tatapan campu

    Last Updated : 2024-09-26
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti (Part 3)

    Kafka lalu bergeser ke samping teman-temannya, yang tampak sedang berbincang dengan serius. Mereka tiba-tiba memarkirkan motor-motor mereka dengan rapi di depan rumahku, memperlihatkan tampilan motor-motor mereka yang mengkilap dan mengesankan di bawah cahaya lampu malam."Heh, kalian pada ngapain?" tanya Aline dengan nada bingung."Kita mau naik angkot juga bareng kalian," jawab Kafka, seraya melambaikan tangan ke arah angkot yang menunggu.Aku dan Aline saling bertukar pandang, masih kebingungan. "Udah, ayo sini, gue bantu seberangin," ucap Kafka, sambil melangkah mendekati kami. Dia membantu kami menyeberangi jalan dengan penuh perhatian, sementara aku terus merenung tentang alasan Keenan tidak bisa naik angkot dan mengapa teman-temannya tampak khawatir tentang hal itu.Keenan mempersilahkan aku duduk di kursi angkot yang empuk, dan dengan nada lembut, ia bertanya, "Apa aku boleh duduk di samping kamu?" Suaranya yang khas membuatku me

    Last Updated : 2024-09-26
  • About Me: Alshameyzea    Bab 8. Kisah di bawah Cahaya Temaram

    "Di antara jutaan wajah, aku memilihmu." -Alshameyzea Afsheena ••••Di luar kafe ini, setiap meja dirancang sederhana untuk empat orang, dengan kursi panjang yang mampu menampung dua orang berdampingan, menciptakan suasana akrab. Malam ini, kafe dipenuhi oleh tawa dan obrolan, aroma kopi yang menggoda, dan alunan musik lembut yang meresap ke dalam jiwa."Ayo duduk bareng aku," ajak Keenan, senyum hangat menghias wajahnya. Di bawah cahaya lampu temaram, matanya berkilau lembut, seolah menggoda hati yang mendengarnya.Aku mengangguk, "Ayo, Aline, kita duduk di sini saja." Namun, Aline yang masih menggenggam tanganku erat tampak ragu, gelisah dalam keramaian ini.Tiba-tiba, Kafka, dengan ketegasan yang tak terbantahkan, menarik mini bag Aline, menghentikannya. "Eh, lo mau kemana?" tanya Kafka, nada suaranya tenang, tanpa memberi ruang untuk perdebatan.Aline melotot marah, "Lepasin! Lo ngapain narik-narik tas gue? Kalau copot—""Nanti gue ganti," potong Kafka, tetap santai, seolah tak t

    Last Updated : 2024-09-27

Latest chapter

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 7)

    “E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 6)

    Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 5)

    Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 4)

    Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 3)

    Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 2)

    Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa

    "Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men

  • About Me: Alshameyzea    Bab 49. Merilis Luka (Part 3)

    Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob

  • About Me: Alshameyzea    Bab 49. Merilis Luka (Part 2)

    "Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"

DMCA.com Protection Status