Share

Bab 2. Bolehkah Aku Mengenalmu?

"Menelusuri kedalaman hati adalah seni yang memerlukan keleluasaan, di mana setiap tanya membuka tabir baru dari keindahan yang tersembunyi."

°°°°

Setelah bel sekolah berbunyi, kami berenam melangkah keluar dari sekolah dengan semangat baru. Keenan, yang selalu tahu cara menghibur, mengajakku, Aline, Kafka, Abhi, dan Nevan ke toko buku yang kami kunjungi kemarin. Berharap buku itu udah restock hari ini. Aku bisa merasakan kegembiraan di setiap langkahku saat kami memasuki toko buku yang penuh keajaiban ini. Udara di dalam toko terasa berbeda, mengalir dengan aroma buku-buku baru yang membangkitkan rasa ingin tahuku.

Ruang yang luas dan rak-rak buku yang tertata rapi di hadapanku seolah-olah memanggilku untuk menjelajah. Aku menggerakkan tanganku di sepanjang rak buku, berharap menemukan buku yang selama ini aku cari. Namun, rasa harapanku seakan lenyap saat aku tidak menemukan edisi langka yang aku impikan.

Keenan menatapku dengan penuh perhatian, seolah membaca setiap ekspresi di wajahku. "Gimana? Kita pulang atau masih mau liat-liat novel dulu? Siapa tahu ada yang menarik."

Aku mengarahkan pandanganku ke Nevan, yang tampak santai sambil melirik jam tangannya. "Kayaknya liat-liat dulu deh, sambil nunggu Abhi. Dia ke toilet tadi," ucap Nevan dengan nada ringan.

Saat aku menoleh ke Aline dan Kafka, mereka menganggukkan kepala.

Meskipun aku merasa sedikit kecewa karena buku yang kucari tidak ada, perhatian Keenan membuatku merasa lebih baik. Di antara tumpukan buku yang memikat dan suasana toko yang hangat, aku merasa senang bisa berbagi waktu seperti ini dengan mereka.

Akhirnya, kami mulai berkeliling, menjelajahi rak-rak buku yang menjulang tinggi. Aku meresapi momen ini dengan penuh kepuasan, karena mencari novel di antara tumpukan buku-buku baru adalah salah satu aktivitas yang paling aku nikmati. Aroma khas buku yang segar dan harum seolah menenangkan jiwa dan membuatku merasa di rumah. Seandainya saja rumahku terletak lebih dekat dengan toko buku ini, aku pasti akan lebih sering menghabiskan waktu di sini daripada di rumahku sendiri. Momen-momen seperti ini, di tengah ratusan cerita yang menunggu untuk ditemukan, adalah surga kecilku sendiri. Hehe.

Saat aku berusaha mencapai sebuah buku yang terletak di rak yang terlalu tinggi, aku terpaksa menjinjit untuk meraihnya. Kaki-kakiku sudah mulai merasa lelah, dan rasanya buku itu semakin menjauh dari jangkauanku. Tiba-tiba, tanpa aku sadari, tangan seseorang meraih buku tersebut dari atas. Aku mendongak dan melihat Keenan yang berdiri di sampingku, senyum lembut terukir di wajahnya. Senyumnya penuh dengan kebaikan, seolah-olah dia tahu betapa aku sangat menginginkan buku itu. Rasa malu dan terima kasih bercampur aduk di dalam hatiku saat aku menerima buku itu darinya. Keenan hanya tersenyum lebih lebar, dan dalam tatapan sederhana itu, aku merasa seolah-olah dia memahami segala yang aku rasakan tanpa perlu banyak kata.

Keenan memanggil namaku dengan lembut, "Sheena." Entah mengapa, aku sangat menyukai cara dia menyebut namaku -terutama ketika dia memanggilku dengan nama kecil itu. Suara Keenan terdengar sopan di telingaku, membuahkan rasa nyaman yang tak bisa aku jelaskan saat aku berbicara dengannya.

Aku menoleh, posisi kami saling berhadapan. "Iya?"

Keenan tidak langsung menjawab. Dia hanya menyodorkan sebuah buku bersampul biru ke arahku. Aku memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu, dan judul buku itu segera menarik perhatian dan minatku.

"Aku rekomendasikan buku yang bagus buat kamu baca, sambil nunggu novel itu," ucap Keenan dengan nada yang tenang namun penuh perhatian.

Aku menatap judul buku itu dengan seksama, lalu mendongak ke arah Keenan. "Bolehkah aku mengenalmu?" tanyaku lirih, terbuai oleh kesederhanaan judul buku yang tampaknya menyimpan makna mendalam.

Keenan tersenyum lembut, seolah-olah dia mengerti betul makna di balik pertanyaanku. "Iya, bolehkah aku mengenalmu, Sheena?" jawabnya dengan nada yang sama lembutnya.

Saat itu, aku mengira bahwa kalimatnya hanya merupakan permainan kata dari judul buku yang dipegangnya. Namun, ternyata aku salah.

Tiba-tiba, Aline muncul di sampingku, tangannya bergerak mengambil buku dari genggamanku. "Kan lo udah kenal Alsha, ngapain masih mau kenalan lagi?" ucapnya sambil tersenyum, menatapku dengan sorot mata yang penuh canda.

Aline menatap sampul buku dengan penuh antusiasme. "Wah, Al, sampulnya lucu banget! Aesthetic gitu, dan judulnya juga menarik. 'Bolehkah Aku Mengenalmu?' Aku nggak sabar mau baca juga," serunya dengan semangat.

"Apa kamu udah baca, Keenan?" tanyaku, masih menatap buku itu dengan rasa ingin tahu.

"Hm?" Keenan terlihat sedikit bingung, kemudian tersadar. "Oh, iya, aku udah baca. Bukunya emang bagus. Kalian harus baca."

"Kalau gitu, kita beli buku ini aja," kata Aline, sambil menarik tanganku menuju kasir.

"Mas, yang ini ya," ucapku sambil menempatkan buku itu di meja kasir.

"Oh, buku ini sudah dibayar oleh cowok yang tadi," jawab kasir dengan nada santai, membuat kami semua terkejut.

"Hah?" Aku tercengang, tidak bisa mempercayai apa yang baru kudengar.

Tiba-tiba Nevan datang dari belakangku, "Udah dibayar tadi sama Keenan," katanya dengan nada santai. "Masa iya dia ngasih sesuatu tapi lo yang bayar?"

"Udahlah, ayo pulang," kata Kafka sambil menunjuk ke arah Abhi yang baru keluar dari toilet. "Abhi juga udah selesai." Kami pun segera pulang.

"Keenan, makasih banyak ya," ucapku, mencoba berbicara di atas motor yang melaju kencang. Keenan menoleh sebentar, "Apa, Sheena? Kamu bilang sesuatu?"

Aduh, sepertinya Keenan tidak bisa mendengar suaraku karena hiruk-pikuk jalanan yang ramai.

"Suara kamu tertiup angin, Sheena!" teriaknya.

Aku berusaha mendekatkan kepalaku ke telinganya. "Makasih banyak, Keenan!" teriakku dengan usaha keras melawan bising kendaraan di sekitar.

Tiba-tiba, Keenan mengurangi kecepatan motornya. "Hah? Apa, Sheena?" tanyanya, menoleh dengan penuh perhatian.

"Makasih banyak Keenan yang baik." aku mengulang, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.

Keenan tidak merespon apa-apa, tapi aku melihat dia mengulum senyumnya dari kaca spion.

Lima menit telah berlalu dalam keheningan yang tidak nyaman di antara kami. Aku berusaha mengusir rasa penasaran yang terus menggigit. Aku ingin sekali bertanya tentang kabar adik Keenan.

Keenan memiliki adik laki-laki bernama Kavin Aksara. Dia anak yang aktif dan ceria, mungkin kini usianya sudah lima tahun. Terakhir kali aku melihatnya adalah ketika Keenan membawanya ke acara perpisahan SMP. Aku ingat bagaimana Kavin kecil menggemaskan saat itu.

"Haloo, anak manis. Nama kamu siapa?" tanyaku dengan lembut pada Kavin, yang kini sedang digendong oleh Keenan.

"Apin, kakaa," jawabnya, dengan suara yang masih agak pelat namun lantang, membuatnya semakin menggemaskan.

Keenan tersenyum lembut dan menjelaskan, "Namanya Kavin. Dia baru belajar bicara, Sheena."

Momen itu selalu terukir dalam ingatanku setiap kali aku melihat Keenan—keluarganya, dan keceriaan kecil itu.

Tiba-tiba, bunyi klakson motor Keenan membuyarkan lamunanku. "Kamu ngelamun, Sheena?" tanya Keenan, suaranya penuh dengan nada tanya.

"Betah amat neng di bonceng abang Keenan." ucap Abhi yang membuatku segera turun dari motor.

"Biasa, lagi mikirin tagihan listrik udah nunggak 3 bulan." Aline menjawab asal, tapi jawaban itu membantuku untuk keluar dari situasi canggung tadi.

"Yuk, cabut," seru Nevan sambil membelokkan sepedanya, diikuti oleh Kafka yang juga mulai bergerak.

"Serius nih, gak ada yang bilang terima kasih?" protes Kafka, sambil melirik Aline.

"Oh, jadi lo gak ikhlas?" Aline langsung membalas dengan nada tinggi.

"Ikhlas lah," jawab Kafka, berusaha tenang.

"Bilang aja lo gak ikhlas kan bonceng gue!" kata Aline dengan nada usil.

"Duh, Aline," sahutku sambil menyikutnya dengan lembut.

"Apasih, iya iya," jawab Aline sambil merengut.

"Makasih!" ucap Aline lagi, kali ini dengan nada yang agak ketus.

"Mana ada orang bilang makasih kayak gitu," ujar Kafka, terlihat sedikit kesal.

"Heh Kafka! Lo Maunya apa sih!" Aline merespons dengan nada kesal.

Aku dan yang lainnya merasa seolah sedang menonton drama sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

"Nih ya, kalo kata gue, mending kalian jadian aja," ucap Nevan dengan nada santai, seolah-olah itu solusi yang paling logis.

Semua orang tertawa, meredakan ketegangan yang ada.

"Bener tuh, diliat-liat kalian cocok kok," celetuk Abhi tiba-tiba. "Jadian aja gak sih?"

"Hih, amit-amit!" seru mereka berbarengan, mengabaikan usulan Abhi dengan nada bercanda.

"Nah, kan jodoh," tambah Abhi dengan semangat.

Tawa kembali pecah di antara kami, namun aku tidak bisa membiarkan mereka terus begitu. Aline sudah mulai memasang muka masam, dan aku harus segera mengakhiri suasana ini sebelum sahabatku itu benar-benar badmood berkepanjangan.

"Makasih banyak ya, Kafka, udah mau nganterin Aline," ucapku dengan tulus.

"Nah, jadi cewek tuh gini, kayak Alsha. Udah cantik, kalem, dan gak galak!" ujar Kafka sambil menekankan kata 'galak', seakan-akan ingin memancing emosi Aline lebih jauh.

"Lo tuh yaa--" Aline hampir melontarkan kemarahan, tapi aku segera mencoba menenangkannya.

"Udah, udah. Mending kita masuk aja," kataku, berusaha meredakan situasi.

"Makasih sekali lagi ya, maaf ngerepotin kalian. Hati-hati di jalan," ucapku dengan penuh rasa terima kasih.

"Sama-sama, apa sih yang enggak buat Alsha," jawab Nevan dengan senyuman. Tanpa kusadari, Keenan berdecak malas, tampak sejenak tidak suka melihat perhatian Nevan pada ucapanku. Namun, aku terlalu fokus pada suasana hati Aline untuk menyadari ekspresi Keenan.

"Duh, panas banget ya hari ini," ucap Kafka sambil melihat ke arah Keenan.

"Heh Kafka, lo buta ya! Lagi mendung gini lu bilang panas!" seru Aline.

"Duh, bukan itu maksudnya" Abhi menepuk jidatnya pelan.

"Selain marah-marah, lo tau apa sih?" Kafka mendengus kesal.

"Eenak aja ngata-ngatain gue, gini-gini gue pernah juara satu!" ucap Aline dengan nada tingginya.

"Juara satu apa tuh?" tanya Abhi.

"Lomba makan kerupuk" jawab Aline dengan nada yang lebih rendah, membuat kita semua tertawa.

"Apaan sih, gak jelas Lo!" ujar Kafka sambil menghidupkan motornya. Nevan pun juga ikut menghidupkan motornya.

Aku mengalihkan pandangan pada Keenan yang masih berdiri tenang di tempatnya. Saat ia membuka helmnya, rambutnya yang sedikit berantakan justru menambah kesan kasual namun tetap memikat. Meski begitu, ketampanannya tidak berkurang sedikit pun. Dengan wajah yang tegas dan penuh karisma, Keenan memang pantas menjadi salah satu siswa populer di SMAN Cendana. Setiap gerakannya, dari tatapan matanya yang tajam hingga senyum tipisnya, memancarkan aura percaya diri yang tak bisa diabaikan.

"Sama-sama, Sheena," ucapnya lembut, suara yang penuh perhatian membuatku terkejut.

"Hah?"

"Yang tadi di atas motor."

"Jadi tadi kamu pura-pura nggak denger?" tanyaku, baru menyadari maksud ucapan Keenan setelah beberapa detik.

Keenan tertawa pelan, tawa yang hangat dan menyenangkan. "Canda, Sheena. Maaf ya."

Melihatnya tertawa seperti itu, ada perasaan aneh yang muncul dalam diriku. Meskipun awalnya aku merasa enggan, senyuman tulusnya membuatku merasa bingung, namun aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengiyakan.

Semenjak saat itu, aku semakin menyukai setiap kesempatan untuk melihat tawa Keenan, seakan-akan setiap tawa yang ia lontarkan memiliki daya tarik tersendiri yang membuat hariku lebih cerah.

Saat sore hari perlahan memudar dan digantikan oleh senja yang merona lembut, hari itu seolah mengalir dengan tenang menuju malam. Cahaya matahari yang memudar menggantikan langit biru cerah dengan semburat oranye dan merah, menciptakan kanvas yang indah dan menenangkan.

Aku mengingat kembali momen-momen sore hari ketika kami berkeliling toko buku, keasyikan yang hampir menghilangkan rasa lelahku. Namun, saat matahari mulai tenggelam dan bintang-bintang satu per satu mulai menampakkan diri, suasana hati berubah seiring dengan pergeseran waktu.

Kini, malam telah tiba, dan dengan lembut membungkus dunia dalam pelukan gelapnya. Lampu-lampu kota bersinar seperti bintang-bintang yang jatuh, dan bulan purnama menggantung tinggi di langit, menyoroti keindahan malam dengan cahaya lembutnya.

Aku berdiri di dekat jendela, mengamati bagaimana hari berubah menjadi malam dengan keindahan yang tak tertandingi. Saat Aline telah terlelap dalam tidurnya, aku merasa dunia seakan berhenti sejenak, membiarkan aku menikmati kedamaian malam.

Bulan purnama yang menawan menyinari ruanganku, seolah menjadi saksi dari segala kerinduan dan keinginan yang ada di dalam diriku. Dengan suasana malam yang tenang dan bulan yang bersinar lembut, pikiranku kembali melayang ke buku yang belum berhasil kuperoleh. Kira-kira, siapa siswa SMANDA yang berhasil mendapatkan buku itu? Pikiranku melayang sambil menikmati keindahan malam.

Malam ini, aku merasa ada dorongan yang kuat untuk kembali menulis. Dengan lembut, aku membuka laptopku dan menyalakannya. Cahaya dari layar laptop memantul lembut di wajahku saat tanganku mulai bergerak cepat di atas keyboard. Sejak SMP, menulis adalah pelarian dan kebahagiaanku—sebuah cara untuk menyusun kata-kata dan mengungkapkan perasaan yang sulit diungkapkan secara langsung.

Aku tidak berharap kisah-kisah ini akan mengubah dunia atau menjadi terkenal. Bagiku, menulis adalah tentang mengabadikan momen-momen kecil yang berarti dalam hidupku. Ini tentang mengungkapkan perasaanku lewat tulisan, menjadikannya sebagai saksi perjalanan hidupku. Nama-nama yang melintas dalam hidupku, termasuk Keenan Aksara, menjadi bagian dari kisah yang kuabadikan dalam tulisan-tulisanku.

Keenan Aksara, laki-laki pertama yang benar-benar menjadi tokoh penting dalam ceritaku, hadir dengan segala keunikan dan maknanya sendiri. Nama itu, seperti bintang di langit malam, kini bersinar dalam dunia tulisanku—sebuah cara untuk mengenang dan menghargai setiap detik yang pernah kami bagi.

Dengan penuh perhatian, aku mengetikkan setiap kata dengan penuh rasa, membiarkan kisah ini mengalir dari hati ke layar. Tidak ada harapan besar akan pengakuan atau kepopuleran; cukup bagi aku untuk mengetahui bahwa momen-momen ini, termasuk sosok Keenan, akan selalu terjaga dalam rangkaian kata-kata yang kuukir dengan sepenuh hati.

Setelah beberapa menit mengalirkan kata-kata di layar laptop, tiba-tiba perhatianku teralihkan oleh getaran halus dari ponselku. Notifikasi W******p masuk, membuyarkan lamunanku yang sedang mengalir begitu dalam.

+628*********: Lo Alsha kan? Urusan kita blm selesai!!!

Nomor yang tidak dikenal, tanpa info kontak yang jelas. Darimana dia mendapatkan nomorku? Aku yakin tidak pernah sembarangan memberikan nomor ponselku.

Alsha: Siapa ya?

Hening. Tak ada jawaban. Aku menunggu selama 30 menit, tapi tak ada respons. Malam sudah larut, dan aku tahu sudah waktunya untuk istirahat. Aku mematikan laptopku dengan perasaan tidak tenang, berusaha meraih tidur yang tentram.

---

"Bentar lagi ulangan Bahasa Inggris, ya ampun, aku nggak tahan dengan pelajaran ini," keluh cewek yang duduk di sebelahku. Memang, sebentar lagi ada ulangan bahasa Inggris setelah jam pertama berakhir. Semua siswa, termasuk aku, harus siap menghadapinya. Miss Keyla, guru bahasa Inggris kita, terkenal dengan ketegasannya di kelas, walaupun di luar kelas beliau sangat ramah.

"Al, udah siap?" tanya Aline dengan ekspresi wajah yang terlihat lelah.

Aku mengangguk mantap.

Kubuka resleting ranselku, hendak menyimpan buku paket Biologi dan mengambil buku paket Bahasa Inggris. Eh?

"Kemana buku bahasa inggris ku?" lirihku, tanganku sibuk mencari-cari buku paket itu, nihil. Beneran tidak ada.

"Cari apa Al?" tanya Aline.

"Buku paket Bahasa inggris."

"Loh? Hilang? Perasaan tadi malem aku liat kamu masukin ke tas."

"Itu dia, aneh kan? Apa aku taruh lagi ya? Aduh." Aku mencoba mengingat kembali kejadian semalam.

"Nih." seseorang telah menaruh buku paket Bahasa inggris di mejaku. "Pake punyaku aja kalo mau belajar." ucap cowok berwajah tegas itu.

"Ceilah, sa ae pak ketu." ucap Abhi yang duduk paling belakang, entahlah, kenapa dia masih bisa melontarkan kalimat itu, padahal tangannya sibuk main handphone sejak tadi.

"Nggak usah Keenan, kalo kamu ngasih ini ke aku, terus kamu belajar pake apa?"

"Aku nggak perlu belajar." sahutnya dengan nada santai.

Aku menatapnya, kenapa gitu?

"Yah, neng Alsha, lupa ya? Kalo pak ketu kita itu masih keturunan orang bule?" jelas Abhi, dia teriak dari bangku belakang. Anak ini, kenapa bisa denger?

Tapi ada benernya juga kata Abhi.

"Dia udah fasih dari kecil, Al" tambah Kafka yang duduk tepat di belakang kami berdua.

"Gak usah dengerin omongan mereka, aku nggak sepandai yang mereka kira kok. Dalam bahasa inggris, aku cuma taunya satu kalimat ini." akhirnya Keenan mulai bicara.

"Apa?" tanyaku penasaran.

"I want to grow old with you"

"Keenan!" Aku melotot padanya, padahal aku serius sekali menanti jawabannya.

"Huhuy, grow old with you gak tuh," sahut Abhi dengan nada bercanda, sambil tersenyum lebar.

Aku tidak menimpali ucapan Abhi dan hanya menatap Keenan. "Don't be like that, Keenan," ucapku dengan nada serius, berharap dia mengerti maksudku.

Keenan mengerutkan keningnya, terlihat bingung. "Why?" tanyanya, mencoba mencari penjelasan.

Aku menarik napas sejenak sebelum menjawab. "Cowok itu yang dipegang omongannya, Keenan, dan kamu nggak boleh bercanda kayak itu, apalagi soal perasaan," kataku dengan nada tegas, memastikan dia mengerti betapa pentingnya hal itu.

Keenan menatapku dengan tatapan penuh arti. "Kalo aku serius?" balasnya dengan suara rendah, matanya mencari jawaban dari ekspresiku.

Tiba-tiba, Andi, ketua kelas kami, berlari masuk ke dalam kelas, membuat fokus kami berdua buyar.

"PENGUMUMAN, PENGUMUMAN!" teriaknya dengan penuh semangat.

"Pengumuman apa tuh?" sahut Abhi, penasaran.

"Mohon perhatiannya bentar," ucap Andi lagi, kali ini lebih tenang.

"Cepetan, woy! Kita udah merhatiin lo nih!" seru Nevan, meskipun matanya masih terpaku pada layar handphone-nya.

"Sabar dikit napa, Bang. Orang sabar banyak duitnya," sahut Abhi dengan nada menggoda.

"Kalo beneran gitu, gue rela memperluas sabar gue, seluas Samudra Pasifik," balas Nevan tanpa menoleh sedikit pun dari handphone-nya.

Andi menarik napas sejenak sebelum mengumumkan, "Miss Keyla nggak masuk hari ini, jadi kita... jamkos!" ada penekanan pada kata 'jamkos,' menunjukkan bahwa dia juga senang.

Teriakan kegembiraan memenuhi kelas kami. Jelas sekali bahwa jamkos adalah momen yang sangat ditunggu oleh para siswa, terutama ketika ujian yang seharusnya dilaksanakan tidak jadi.

"Woahhhh, akhirnya kita bisa mabar dengan puas, guys!" seru Abhi lagi, membuatku hanya bisa menggelengkan kepala dengan senyum tipis.

sebelum aku melanjutkan percakapanku dengan keenan tiba-tiba ponselku bunyi.

Ada notif wa masuk.

+628*********: Gue tunggu lo di taman blkg.

Aku menelan ludah dengan susah payah. Sebenarnya dia siapa sih? Aku penasaran. Oke, aku mencoba bersikap tenang. Aku harus menemui orang itu dan mencari tahu alasan dia mengancamku.

"Kenapa Al?" ucap Aline.

Aku menggeleng, "Gak papa."

"Ada sesuatu? Wajah kamu berubah setelah liat hp." tanya Keenan.

"E-eh--"

+628*********: buruan kesini! 5 mnt!

Aku segera beranjak pergi, tanpa memberi tau apa-apa ke mereka.

"Alsha! mau kemana?" teriak Aline sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan kelas.

Sepi. Hening. Ini beneran taman belakang kan? monologku. Di jam segini memang sepi, karena masih ada jam pelajaran kedua, belum bel istirahat. Siswa masih di kelas.

Aku memutuskan untuk menunggu di taman belakang, meski rasa cemas semakin menghimpitku. Selama sepuluh menit aku berdiri di situ. Setiap detik terasa membosankan dan menegangkan, namun tidak ada satu pun sosok yang muncul dari kejauhan.

Dengan rasa frustrasi, aku mulai meragukan keputusan ini. Mungkin saja itu hanya lelucon atau ancaman kosong. Perlahan, aku memutuskan untuk pergi. Langkahku berat, setiap langkah terasa semakin berat karena ketidakpastian.

"Ehem." Tiba-tiba, ada seseorang di belakangku. Aku berbalik arah, terkejut melihat dia di sini. Bukannya dia masih di kelas tadi?

"Bunganya indah, seindah wajah gadis yang ada di depanku sekarang." Dia menyodorkan setangkai bunga mawar biru kepadaku.

Tiba-tiba banget?

Namun, mataku membesar penuh rasa heran. "Ini asli?" Aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku. Selain bunga tulip, bunga mawar biru juga salah satu favoritku.

Dia mengangguk, tersenyum tipis. Beberapa detik kami terdiam dalam keheningan, suasana terasa canggung namun penuh makna.

"Sheena, aku boleh nanya sesuatu nggak?" dia akhirnya memecah keheningan, dan aku mendongak, penasaran.

"Boleh." jawabku, mataku masih memperhatikan bunga yang kupegang.

"Coba kasih aku alasan kenapa aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu," tanya Keenan dengan tatapan yang dalam.

Aku terkejut mendengar kalimatnya, mendongak, dan jantungku tiba-tiba berdebar sangat kencang, seolah berusaha keluar dari dadaku. Di tengah kecemasan itu, pikiranku melayang pada sebuah buku yang kemarin Keenan belikan untukku. Judul buku itu sama dengan pertanyaan yang dia ajukan, "Bolehkah Aku Mengenalmu?" Aku belum sempat membaca buku itu sepenuhnya, tapi aku ingat dengan jelas deskripsi di sampul belakangnya. Buku itu menceritakan kisah seorang laki-laki yang berusaha mengenal seorang wanita yang ia cintai lebih dalam lagi.

"M-maksud kamu?" jawabku, sedikit gugup dan bingung.

Keenan melangkah lebih dekat, jarak di antara kami semakin menyusut. Aku bisa merasakan ketegangan di udara dan melihat dengan jelas ekspresi tegas di wajahnya.

"Bolehkah aku mengenalmu, Sheena?" tanya Keenan, suaranya lembut namun penuh arti.

Dengan mengingat buku itu, aku merasa seolah pertanyaan Keenan adalah bagian dari cerita yang belum sepenuhnya aku pahami. Kami sudah saling kenal sejak SMP, jadi tidak mungkin hanya sekedar kenalan, kan?

"Bolehkah aku mengenalmu, Sheena?" Keenan mengulang pertanyaannya dengan serius, menunggu jawabanku.

"Kenapa kamu nanya gitu?" tanyaku akhirnya, suaraku hampir tidak terdengar.

Keenan memfokuskan pandangannya padaku, seolah mencoba membaca pikiranku. "Karena aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekedar teman di antara kita. Aku pengen tau lebih banyak tentangmu—siapa kamu sebenarnya di luar dari apa yang terlihat."

Aku menelan ludah, merasakan kehangatan dan ketegangan bersamaan. Momen ini terasa sangat berbeda dari biasanya. Setiap detik rasanya memanjang, dan aku bisa merasakan betapa seriusnya Keenan dalam kata-katanya.

"K-kenapa aku?" tanyaku, mencoba memahami, meskipun sedikit gugup.

"Apa cinta harus punya alasan pada siapa dia akan berlabuh?" jawab Keenan dengan nada lembut namun penuh arti.

Jantungku berdebar kencang, membuatku semakin tertekan. "K-kamu serius?"

"I mean it," jawabnya tegas. "I can't forget you even for a second, Sheena. Kamu terus memenuhi pikiranku. Dan aku udah capek dengan itu semua."

Atmosfer di sekeliling kami berubah drastis. Aku terpaku, kata-kata Keenan terasa seperti pukulan yang tak terduga. Rasanya aku ingin meminta bantuan untuk melarikan diri dari situasi ini.

"I want to have you. Would you be mine, Sheena?" tanya Keenan dengan tatapan yang mendalam.

Apa ku bilang, sesuatu yang aku takutkan itu terjadi hari ini. Aduh, jantungku..

Aku bingung mau jawab apa. Aku nggak mau menyakiti perasaannya. Keenan, dia temanku sejak SMP. Tapi aku juga nggak mau mengingkari janji seseorang.

"Maaf Keenan, tapi aku nggak mau pacaran." ucapku dengan suara bergetar, berusaha terdengar meyakinkan.

"I want to get to know you better. Dan semua itu nggak harus lewat pacaran." balas Keenan dengan lembut.

"Tapi.. " ucapku lirih.

"Why don't we give it the try? Cinta butuh waktu, Sheena. Dan aku akan nunggu waktu itu, dimana kamu akan merasakan hal yang sama seperti perasaanku saat ini." ucap Keenan yang diakhiri dengan senyum manisnya.

Sebelum aku sempat mengungkapkan perasaanku lebih dalam, tangan Keenan sudah menarikku lembut. "Ayo kembali ke kelas, jangan di sini lama-lama," ujarnya dengan nada penuh perhatian, mencoba mengalihkan perhatian dari situasi yang canggung ini.

Aku tidak bisa menolak, tubuhku merasa pasrah terhadap keadaan. Kami melangkah beriringan menjauhi taman belakang, dan suasana yang tadinya penuh ketegangan kini berganti dengan ketenangan yang menyelimutiku secara perlahan. Setiap langkah terasa seperti memindahkan beban pikiranku ke tempat yang lebih jauh, namun juga membiarkan ruang untuk rasa ingin tahuku semakin mendalam.

Saat kami mendekati kelas, pikiranku dipenuhi oleh kata-kata Keenan yang terus berputar di benakku. Rasa yang membingungkan dan keputusan yang belum sepenuhnya aku pahami seolah menyelimuti diriku dengan lapisan misteri yang semakin tebal.

Rasa ingin tahuku semakin membesar, seolah ada teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan. Kembali ke kelas, dengan segala perubahan yang terjadi di dalam diriku, aku merasa seolah berada di persimpangan antara yang diketahui dan yang belum terungkap. Dengan setiap detik yang berlalu, aku semakin merasakan betapa dalamnya perjalanan ini—sebuah perjalanan yang tampaknya baru saja dimulai, penuh dengan janji akan kejutan dan penemuan yang belum pernah ku bayangkan.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status