Beranda / Fiksi Remaja / About Me: Alshameyzea / Bab 1. Kalung, Buku, dan Takdir

Share

About Me: Alshameyzea
About Me: Alshameyzea
Penulis: litrcse

Bab 1. Kalung, Buku, dan Takdir

Penulis: litrcse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Apa yang kita anggap hilang mungkin sebenarnya hanya menunggu untuk ditemukan kembali dalam bentuk yang lebih bermakna."

°°°°

Jam istirahat berlalu dengan ritme yang terasa familiar, seolah hari ini tak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Di hadapanku, tumpukan tugas Kimia menyelimuti meja, seakan meja kelas kami menjadi tempat berlindung dari hiruk-pikuk di luar. Suara tawa dan obrolan dari luar kelas terdengar samar, seperti hanya bayangan dari dunia yang jauh. Di sini, kami hanya berkutat dengan buku, catatan, dan angka. Seakan-akan dunia di luar jendela tak pernah ada.

"Aku masih bingung nih, Al. Gimana cara nentuin jumlah proton?" Aline bertanya, suaranya lembut tapi terdengar penuh ketidakyakinan, sementara dia sibuk membolak-balik halaman buku Kimia yang sudah mulai lusuh. Kami memutuskan untuk menggunakan waktu istirahat ini mengerjakan tugas dari Bu Aminah. Jajanan terpaksa ditunda, demi rumus-rumus yang entah kenapa terasa lebih berat hari ini.

"Jumlah proton sama dengan nomor atom unsur, Lin. Kalau nomor atomnya 8, berarti protonnya juga 8," jawabku tanpa banyak berpikir, mencoba fokus pada soal-soal di bukuku sendiri.

"Terus, neutronnya gimana?" Aline melanjutkan, membuatku berhenti sejenak untuk menjelaskan. Dia begitu serius, dan aku paham bagaimana rasanya tersesat dalam kerumitan angka-angka ini.

"Jumlah neutron bisa dihitung dengan mengurangi massa atom dari nomor atom. Misalnya, kalau nomor atomnya 8 dan massa atomnya 16, berarti neutronnya 8," kataku, mencoba menyederhanakan rumus yang kadang terasa terlalu kaku.

Sambil tersenyum lelah, aku menyadari betapa hidup kita seringkali serupa dengan rumus-rumus ini. Ada bagian-bagian yang perlu dikurangi, ditambahkan, atau disesuaikan. Tak semua berjalan lurus, tetapi itulah yang membuat perjalanan ini bermakna. Belajar menerima kekurangan dan kelebihan yang ada di setiap langkah.

Aline mengangguk, tampak sedikit lebih paham. "Terus, kalau elektron gimana?" Dia menoleh ke arahku, ekspresinya berubah melas. "Ayolah, Al, kamu kan jago di bidang ini. Kasihanilah temanmu yang nggak paham ini."

Aku menarik napas panjang, sambil tersenyum kecil. "Jumlah elektron sama dengan jumlah proton, kalau unsurnya netral. Jadi kalau ada 8 proton, ya ada 8 elektron juga." Kalimat itu keluar dengan mudah, meski aku tahu, hidup tak sesederhana itu. Ada kalanya jumlahnya tak selalu seimbang.

"Kalau unsur itu ion? Elektronnya beda dong, ya?" tanyanya lagi.

"Benar, kalau ion positif, berarti dia kehilangan elektron. Sebaliknya, kalau ion negatif, dia dapat tambahan elektron," jelasku sambil menutup bukuku. Lagi-lagi, ini semua terasa seperti metafora bagi hidup kita. Saat kita kehilangan sesuatu, kita jadi lebih ringan, tapi ada kalanya kehilangan itu menyisakan ruang kosong yang tak mudah diisi. Begitu juga sebaliknya, saat kita menerima terlalu banyak, kadang beban itu justru terasa semakin berat.

Aline tersenyum lega. "Makasih, Al."

"Sama-sama," jawabku, sambil menghela napas panjang. Tugas selesai, setidaknya untuk saat ini.

Saat aku menyimpan buku-buku ke dalam tas, ada perasaan lega yang perlahan-lahan tumbuh. Bukan karena tugas yang akhirnya selesai, tapi karena aku menyadari, dalam kesederhanaan hari ini, aku belajar satu hal penting. Hidup ini adalah perjalanan panjang, di mana kita terus belajar, terus mencari keseimbangan, terus menambah dan mengurangi, hingga kita menemukan apa yang benar-benar penting bagi diri kita.

Dan meskipun tumpukan rumus dan formula ini hanya sebagian kecil dari keseharian, mereka mengajarkan bahwa hidup tidak pernah hitam-putih. Ada ruang untuk kesalahan, ruang untuk belajar, dan yang terpenting, ruang untuk tumbuh.

---

KRING! KRING! KRING!

Bel sekolah yang berbunyi itu selalu memiliki efek yang sama. Sebuah tanda yang menandai akhir dari pelajaran dan awal kebebasan sementara. Setiap siswa SMAN Cendana meresponsnya dengan langkah cepat dan senyum lega, seolah beban yang ditanggung sejak pagi akhirnya terangkat. Tapi bagiku, suara itu lebih dari sekadar tanda pulang. Itu adalah momen untuk berhenti, sejenak melepaskan pikiran dari segala tuntutan, dan kembali mengingat kata-kata bapak dan ibu guru yang sering terasa seperti petuah bijak.

Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa pertemuan dan perpisahan terjadi terlalu cepat. Namun, kenangan dan perasaannya akan tinggal terlalu lama. Sampai jumpa esok hari dengan semangat yang baru. Jangan lupa tersenyum hari ini kepada dia yang berharga bagimu.

TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda.

Rutinitas seperti ini. Bel, tugas, dan kata-kata penyemangat. Seakan membentuk ritme hidupku yang sering kali terisi dengan kesibukan tanpa jeda. Tapi hari ini, sesuatu terasa berbeda. Mungkin karena ada sedikit ruang untuk tersenyum, untuk meresapi momen kecil yang tak selalu terpikirkan di tengah kesibukan.

Setelah bel berhenti, aku dan Aline, seperti biasa, mengambil ponsel dan mulai membuka media sosial. Sebuah rutinitas lain yang sering kali membuat kami tenggelam dalam dunia yang jauh dari sini, dunia yang penuh dengan gambar dan kata-kata yang membanjiri layar.

Saat aku menelusuri feed media sosial, sebuah postingan menarik perhatian. @swayanika_store mengumumkan bahwa mereka hanya memiliki 50 eksemplar buku yang siap dijual. “Kalian mau baca buku ini? Cepat datang ke toko kami! Buruan! Terbatas loh!” tulis mereka, disertai emoji yang memberi kesan ceria. Semangat promosi itu terasa menular, membuatku membayangkan kerumunan orang yang berdesak-desakan di toko.

Di kolom komentar, @fndllaa menulis dengan antusias, “Pulang sekolah langsung otw nih!” Semangatnya seolah menular padaku, mengingatkan betapa serunya berburu buku baru setelah seharian di sekolah. Tak jauh dari situ, @raisyaaptri juga ikut berkomentar, “Wah wah, Amazed! Buku impiankuuu!” Suaranya penuh kegembiraan, seakan ia sudah membayangkan halaman-halaman yang akan segera dibaca.

Tapi yang paling menarik adalah komentar dari @n.shakaa, yang dengan santai menulis, “Just wait n see. Minlay.” Ada kepercayaan diri dalam kata-katanya, seolah dia sudah mengetahui sesuatu yang orang lain belum ketahui.

Aku tersenyum membaca semua komentar ini. Rasanya seperti berada di tengah percakapan hangat tentang buku, di mana semua orang berbagi antusiasme yang sama. Dalam hati, aku berjanji untuk segera mengunjungi toko itu dan merasakan euforia mencari buku baru yang sudah lama ditunggu-tunggu.

"Al! Kamu sudah lihat belum postingan terbaru dari swayanika store?" tanya Aline tiba-tiba, semangat yang mendadak mengalir dalam suaranya menarik perhatianku.

"Iya, akhirnya buku itu keluar juga," kataku sambil tersenyum, membiarkan kegembiraan kecil itu mengisi hati. Entah kenapa, ada kepuasan yang sederhana dalam hal-hal seperti ini. Menunggu, berharap, dan akhirnya melihat sesuatu yang dinantikan terwujud.

"Itu kan buku yang kamu pengen banget?" Aline bertanya lagi, matanya berbinar. "Mau ke sana gak?"

"Tentu saja!" jawabku tanpa ragu, tapi tak bisa menahan diri untuk menoleh dan bertanya, "Tumben kamu antusias, biasanya kamu paling malas ke toko buku."

Aline tersenyum lebar, kali ini dengan ekspresi khasnya yang penuh rahasia. "Di sebelah toko buku itu ada warung seblak baru buka, Al. Aku mau nyicip, hehe,"

Aku tak bisa menahan tawa mendengar jawabannya. "Udah kuduga, Lin," kataku sambil tertawa. Tapi di balik canda itu, aku sadar, ada banyak hal sederhana dalam hidup ini yang seringkali membawa kita kembali. Kembali pada momen yang membuat kita merasa ringan, bebas, dan terhubung dengan diri sendiri. Entah itu melalui sebuah buku yang lama dinantikan, atau semangkuk seblak di warung baru.

"Katanya enak banget, loh. Nanti aku traktir deh," lanjut Aline, kali ini dengan senyum yang lebih hangat.

"Deal," jawabku, membiarkan diriku ikut tersenyum. Dan di momen itu, aku merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebahagiaan kecil. Ada semacam rasa damai, sebuah pengingat bahwa dalam hidup yang penuh dengan tugas dan rutinitas, selalu ada ruang untuk menikmati hal-hal kecil, tertawa, dan membiarkan diri kita sembuh dari kepenatan yang tak selalu terlihat.

Terkadang, healing itu tak selalu tentang menyendiri atau meditasi. Kadang, ia datang dalam bentuk obrolan sederhana, tawa, dan secangkir kebersamaan dengan teman yang bisa membuat kita merasa pulih, tanpa kita sadari.

Postingan terbaru dari @swayanika_store memenuhi layar ponselku, menampilkan foto-foto buku yang sudah lama aku impikan. Seharusnya ini menjadi momen yang menyenangkan, tetapi saat mataku tertuju pada komentar yang penuh antusiasme, rasa khawatir mulai muncul. Orang-orang sudah berlomba mendapatkannya, dan aku merasa cemas kalau buku itu akan habis sebelum sempat kumiliki.

Kekhawatiran seperti ini sering membuatku secara refleks meraih kalung yang selalu kugantung di leher, seolah-olah benda itu bisa memberiku rasa tenang. Tapi saat tanganku menyentuh kulit leherku, aku tersentak.

"Kalungku mana?" gumamku pelan, seraya panik mulai merayap.

Kalung itu bukan sekadar aksesori; itu adalah hadiah dari nenekku, sebuah simbol penuh makna yang mengingatkanku pada cinta dan kenangan. Tanpa berpikir panjang, aku menutup aplikasi di ponsel dan mulai meraba-raba tas serta loker di meja. Setiap barang yang kukeluarkan tidak menenangkan perasaanku. Bukannya menemukan kalung, aku semakin tenggelam dalam kecemasan, berharap kalung itu terselip di antara buku atau catatan.

"Apa yang kamu cari, Al?" suara Aline memecah fokusku. Dia melihatku dengan tatapan bingung saat aku membongkar isi tasku tanpa kendali.

"Kalung," jawabku dengan suara gemetar. Aku bisa merasakan ketakutan mulai menyelimuti. Kalung ini terlalu berharga untuk hilang.

"Tadi pas penjas kamu masih pakai, kan?" Aline mengingatkanku, membuatku berhenti sejenak. Kalung itu mungkin tertinggal di lapangan.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku buru-buru memasukkan barang-barang kembali ke tas dan langsung berlari menuju lapangan.

"Eh, Al! Tunggu dulu!" teriak Aline, tapi aku sudah terlalu larut dalam rasa panik untuk mendengarnya.

BRAK!

Tiba-tiba lenganku terhantam keras, membuatku tersentak dan aku memegangi lengan yang nyeri. Ketika menoleh, kulihat kakak kelas yang memegang tumpukan berkas terjatuh, dan dokumen-dokumen itu tersebar luas di lantai koridor depan kelas X. Dalam kepanikanku, aku tidak sengaja menabraknya.

"Hati-hati dong kalau jalan!" seru seorang cewek dengan nada tajam. Dia sibuk mengumpulkan berkas-berkas yang berserakan tanpa menoleh ke arahku. Claudia Amanda. Aku mengenal namanya dari berbagai cerita. Cewek cantik yang terkenal dengan kepintarannya dan telah meraih juara umum di sekolah kami selama satu semester berturut-turut.

"M-maaf, Kak. Aku nggak liat tadi. " Tanganku segera bergerak untuk membantu membereskan berkas-berkasnya. Setelah selesai, aku berharap bisa menghindari masalah lebih lanjut.

Dia mendongak, tatapannya tajam dan menusuk.

"Oh, ternyata lo yang nabrak gue! Kalau jalan, pakai mata dong!" bentaknya.

"I-iya, Kak, maaf," jawabku, menunduk sedikit takut. Suaranya yang keras dan penuh kemarahan menggema di sepanjang koridor. Beruntung anak-anak sudah pulang, jika tidak, pasti akan jadi tontonan.

"Maaf maaf! Lo gak liat kalah ada gue, hah!"

Air dingin dari botol mineral yang dia pegang langsung membasahi seragamku hingga kuyup. Aku merasakan dinginnya menembus kain, membuatku merasa seolah-olah terhanyut dalam rasa malu. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, aku menunduk, merasa tidak berdaya di hadapan kakak kelas yang terkenal dengan sikapnya yang keras. Aku tahu, aku memang salah.

"Eh permisi kak, kan teman saya udah minta maaf, kenapa harus disiram pake air sih" ucap Aline yang tiba-tiba muncul dari belakang, dia merangkulku.

"Lo gak usah ikut campur!" dia mendorong Aline sampai terjatuh.

Tiba-tiba saja ada sosok lelaki yang menengahi kami, dia berdiri tegap di depanku dan Aline. Badannya lumayan kekar, earphone putih melekat di telinganya. Kafka Dirgantara. Teman sekelas. Meskipun cuek, dia siswa yang paling royal ke teman sekelasnya, hampir setiap bulan dia sering mengajak kami makan-makan di luar.

"Ngapain lo? Mau jadi pahlawan kesiangan?" ucap kak Claudia sambil tersenyum miring ke arah Kafka.

"Kalau iya kenapa?" Kafka melepas earphonenya lalu menyimpannya ke dalam saku celananya.

Kak Claudia berdecak. "Sok lo!"

Aku berdiri terpaku, tidak percaya dengan apa yang kulihat. Kafka, dengan wajah penuh kemarahan, tiba-tiba menumpahkan air dari botolnya ke arah kakak kelas yang berdiri di hadapan kami. Air itu mengalir deras, membasahi pakaian kak Claudia, dan menciptakan jejak basah yang menetes di lantai.

"Itu hukuman buat lo karena udah bikin baju Alsha basah, gimana? Imbang kan?"

Wajah senior itu memerah, matanya menatap tajam ke arah Kafka.

Satu tinjuan tiba-tiba melayang ke wajah Kafka, menghentak keras dan membuat tubuhnya mundur selangkah. Pada saat yang sama, aku melihat ekspresi tegas dan marah di wajah orang itu, dia menunjukkan kemarahan dan otoritasnya. Bukan kak Claudia yang nonjok, tapi sosok laki-laki yang tinggi badannya hampir sama dengan Kafka. Aku tahu dia siapa, ketua OSIS di SMAN Cendana. Senior sekaligus teman sekelas kak Claudia.

Davin Ananta.

Kafka, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa sakit, hanya tersenyum sinis. "Kalau lo nggak tau apa-apa, mending diem!" tinju Kafka melayang cepat ke arah Davin, membuatnya terjatuh.

Aku terkejut, tapi di saat yang sama, aku mulai memahami sesuatu. Terkadang, kekacauan di luar hanyalah cerminan dari kekacauan di dalam diri kita sendiri. Saat melihat mereka bertarung, aku menyadari, betapa seringnya aku juga berperang dengan diriku sendiri, melawan rasa takut, melawan rasa tidak berdaya. Namun, tidak seperti pertarungan fisik di depanku ini, perang di dalam diriku membutuhkan lebih dari sekadar keberanian untuk membalas.

Pertarungan ini seharusnya tak perlu terjadi. Semua ini hanyalah akibat dari ego yang terluka, dari kebutuhan untuk mempertahankan harga diri yang salah arah. Tapi bukankah aku juga sering terjebak dalam perang serupa dengan diriku sendiri? Mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tak penting, melindungi diri dari rasa sakit yang mungkin bisa kusembuhkan jika aku mau menerima dan menghadapinya.

Kak Claudia berteriak, mencoba membantu Kak Davin berdiri. "Berani banget mukul senior lo sendiri! Ingat, lo itu cuma adek kelas, lo lupa ya!" katanya penuh emosi.

Tapi Kafka hanya menatapnya dengan tenang, matanya memancarkan keteguhan yang tidak biasa. "Gue ingat kok, kalian itu senior gue," jawabnya pelan, tapi tegas.

"Tapi dia sendiri yang ngajarin adek kelasnya buat nggak sopan. Lo lupa barusan kalau ketos yang sok berkuasa ini nonjok adek kelasnya?"

Mungkin dalam kehidupan, kita sering diajari oleh situasi dan orang-orang di sekitar kita untuk menjadi sesuatu yang bukan diri kita. Kita lupa untuk mendengarkan diri sendiri, membiarkan rasa takut dan rasa malu menguasai. Saat melihat Kafka menghadapi kakak kelas, aku menyadari bahwa ada kekuatan dalam ketenangan, kekuatan dalam keberanian untuk bertahan, bukan hanya melawan.

Dan di sini, aku belajar bahwa healing tak selalu datang dari ketenangan atau meditasi, tapi dari keberanian untuk menghadapi apa yang menakutkan kita, bahkan saat kita merasa tak berdaya. Mungkin, seperti Kafka yang berani berdiri di depan kami dan membela tanpa takut, aku juga harus mulai berani menghadapi diriku sendiri, berdamai dengan kekacauan yang ada di dalam, dan menemukan cara untuk menyembuhkan tanpa perlu berperang.

Guru tiba-tiba datang, membubarkan semua ketegangan ini. Kafka dan Kak Davin dipanggil ke ruang BK, sementara aku dan Aline hanya bisa saling berpandangan.

Saat semuanya mereda, aku dan Aline memutuskan untuk pergi ke ruang UKS mengambil obat untuk Kafka. Lorong kelas yang sepi kini menjadi tempat pelarian kami, duduk bertiga di bangku depan kelas X. Di luar jendela, angin berhembus pelan, menyentuh daun-daun yang bergoyang, sementara kesunyian menyelimuti kami, hanya sesekali terpecah oleh bisikan lembut dari alam.

Di tengah ketenangan ini, aku masih tak habis pikir, Kafka, yang selama ini terlihat cuek dan tak peduli, rela mengalami semua ini demi aku. Bagiku, peristiwa tadi tak terlalu berarti, tapi bagi Kafka, ternyata lebih dari itu. Namun, di antara semua kekacauan yang terjadi, pikiranku masih terpaku pada satu hal: kehilangan kalung yang sangat berharga.

“Gak usah, Al, gue bisa sendiri,” katanya dengan nada rendah, sambil meraih obat yang kusodorkan. Meski suaranya lembut, ada sesuatu yang lebih dalam di sana, rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan secara langsung. Tatapan matanya tegas, tapi menyiratkan kehangatan yang jarang kulihat sebelumnya. Dia selalu berusaha mandiri, menutupi kelembutan hatinya.

“Makasih banyak, Kafka. Dan maaf...” ucapku pelan, menundukkan kepala. Ada perasaan bersalah yang tak bisa kutahan lagi.

“Maaf buat apa, Al?” Kafka bertanya tanpa menoleh, tetap fokus merawat luka di sudut bibirnya yang lebam. “Gak ada yang perlu dimaafin.”

“Maaf karena udah bikin kamu kena masalah, sampai dipanggil guru BK segala,” jawabku pelan, suaraku hampir tak terdengar.

Kafka tetap sibuk dengan lukanya, tak terlalu peduli dengan ucapanku. “Baju lo basah. Cepetan ganti, ntar masuk angin,” katanya santai, seolah semua ini bukan hal besar.

Aku terdiam sejenak, terkejut oleh perhatian kecilnya yang terasa begitu tulus. “Iya, nanti aku ganti. Tapi tetap aja, maaf ya,” ujarku sekali lagi, masih merasa bersalah.

Kafka akhirnya menoleh, memperlihatkan senyumnya yang samar. “Udah, Al. Lo gak perlu minta maaf terus. Itu udah tugas gue.”

Kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan perasaan asing di dadaku. Apa maksudnya tugas? Aku melirik Aline, dan tampaknya dia juga sama bingungnya denganku. Ketenangan di sekitar kami berubah jadi perasaan berat, penuh pertanyaan yang belum terjawab.

“Tugas? Maksudnya?” tanyaku, penasaran dengan maksud tersembunyi di balik ucapannya.

“Ya, tugas gue buat jagain lo,” jawabnya tanpa ragu. “Kalau ada yang nyakitin lo, gue gak bakal diem aja.”

Kata-katanya menyentuh sesuatu dalam diriku, semacam perasaan hangat yang menjalar, membuka luka-luka kecil yang mungkin selama ini tidak kusadari. Bagaimana mungkin seseorang yang selama ini terlihat begitu dingin bisa berkata sesuatu yang begitu bermakna?

Aku mencoba menelan emosi yang mulai berkecamuk, tak ingin terlihat lemah di depannya. Tapi sulit rasanya mengabaikan semua yang baru saja dia ucapkan. Kafka, yang selama ini diam dan cuek, ternyata memiliki kedalaman yang tak pernah kutahu.

“Jangan natap gue kayak gitu, Al,” katanya sambil berdiri pelan. “Lupakan aja yang tadi gue bilang.”

Namun, meski dia memintaku untuk melupakan, kata-katanya sudah tertanam dalam benakku. Ada sesuatu yang menggetarkan di sana, mungkin harapan atau perasaan yang selama ini terkubur di bawah sikap dinginnya. Sesuatu yang baru kusadari, bahwa kadang, orang-orang di sekitar kita menyimpan luka dan beban mereka sendiri, dan dengan cara yang tak terduga, mereka menyembuhkan kita.

Saat Kafka melangkah pergi, dia meninggalkan kata-kata terakhir yang masih bergema di hatiku, “Setiap kejadian nggak bisa disimpulin gitu aja. Kadang, hal-hal kayak gini ngebuat kita berharap lebih dari apa yang seharusnya kita terima.”

Suara langkahnya yang semakin menjauh meninggalkan keheningan yang berat, tapi di dalam keheningan itu, aku menemukan kelegaan. Kadang, orang-orang muncul dalam hidup kita bukan hanya untuk menemani, tapi untuk membantu kita memahami diri sendiri, bahwa proses penyembuhan tidak selalu datang dari diri kita sendiri, melainkan dari hubungan kita dengan orang lain.

Kata-kata Kafka terus bergema dalam pikiranku, seperti hujan yang perlahan membasahi tanah kering, meninggalkan bekas lembut di tiap sudut hati. Apa sebenarnya yang dia maksud dengan 'tugas' itu? Aku berusaha mencernanya, namun semakin aku mencoba, semakin pikiranku terasa kabur, seperti kabut yang tebal menyelimuti.

“Al, kamu gak apa-apa?” Suara lembut Aline membuyarkan lamunanku. Seperti angin sepoi yang tiba-tiba datang, membangunkanku dari lautan pikiran yang dalam. Aku menggeleng pelan, mencoba menyingkirkan rasa bingung yang menyesakkan dada.

Aline selalu begitu, selalu tahu kapan aku butuh diingatkan untuk kembali menjejak bumi.

“Udah, nanti lagi mikirnya. Sekarang kamu harus ganti baju dulu. Kasihan, kamu udah kedinginan dari tadi.” Nada tegasnya yang diiringi perhatian membuatku sadar bahwa aku telah terlalu lama terjebak dalam lamunanku sendiri.

Aku hanya mengangguk. Rasanya seperti kembali ke kenyataan setelah lama tersesat dalam pikiranku sendiri. Baju basah ini seakan menjadi metafora dari semua perasaan yang kubiarkan menumpuk terlalu lama, dingin, lembap, dan menempel erat. Aku harus melepaskannya, meski itu sulit.

"Eh, kita jadi ke toko buku, kan?" Tiba-tiba Aline bertanya lagi, suaranya riang namun penuh kepedulian. Aku hanya bisa tersenyum kecil sambil melirik jam. Sudah hampir sore, dan entah bagaimana hari ini berlalu begitu cepat di tengah segala kerumitan yang melanda.

"Ya ampun, kamu pasti lupa," dia tertawa pelan, nadanya menggoda. "Untung aku ingetin."

Aku tersenyum tipis. “Ya udah, aku ganti baju dulu, bentar.” Tanpa menunggu jawaban, aku bergegas menuju kamar mandi. Perasaan hangat dari perhatian Aline sejenak mengalahkan dingin yang merayap di kulitku.

Aline, meski dia lebih muda dariku, rasanya seperti dia yang selalu menjagaku. Padahal, kalau dilihat dari usia, aku yang seharusnya jadi kakak. Namun, entah kenapa, dialah yang seringkali menuntunku keluar dari kekusutan batin yang kerap kali menyelimuti. Hanya beda empat hari, tapi rasanya seperti ada peran yang terbalik di antara kami.

Aku ingat pertama kali bertemu dengannya. Hari itu, di lorong sekolah yang ramai, seorang gadis dengan seragam SMA menyapaku. Rambutnya panjang menjuntai, posturnya sedikit lebih tinggi dariku, dan senyumannya… ah, senyum itu, begitu tulus, begitu menenangkan. Aku ingat bagaimana meski suaranya agak berat, dia langsung membuatku merasa seperti bertemu seseorang yang aku butuhkan, tanpa aku sadari sebelumnya.

“Hai! Namaku Ashaline Elleana. Panggil aja Aline. Nama kamu siapa?” ucapnya ringan, seolah-olah kami sudah saling kenal lama. Dan, dari situlah semuanya bermula. Sejak hari itu, Aline menjadi sosok yang selalu ada, baik di sekolah maupun di luar. Dia bukan hanya teman, dia seperti cahaya kecil yang perlahan menerangi ruang-ruang gelap dalam diriku.

Aline bahkan setuju untuk tinggal bersamaku, ketika tahu aku tinggal sendiri. “Daripada kamu ngekos, mending tinggal di rumahku aja,” ucapku saat itu, mencoba menawarkan kenyamanan yang sebenarnya aku juga butuhkan. Kami berdua sama-sama tahu rasanya kehilangan sesuatu yang tak terlihat, entah itu keluarga, perhatian, atau hanya rasa aman.

Dengan kehadiran Aline, rumah yang tadinya terasa kosong dan hampa mulai terasa seperti tempat yang benar-benar bisa disebut 'rumah'. Aku yang dulu selalu merasa ditinggalkan dan diabaikan oleh orang tuaku, kini punya seseorang yang membuatku merasa dipedulikan. Di saat mereka sibuk dengan dunia mereka yang jauh, Aline menjadi penawar sepi di hari-hari yang panjang.

—-

Saat Aline dan aku berjalan menuju gerbang sekolah, pandanganku tak sengaja tertuju pada sekelompok siswa laki-laki di area parkiran. Di antara mereka, aku melihat Keenan Aksara, teman lama dari SMP yang kebetulan bersekolah di sini. Rasa terkejut dan bahagia menyergapku. Betapa menyenangkannya menemukan sosok yang aku kenal di SMAN Cendana, di tengah kerumunan wajah baru yang asing.

Keenan, dengan keturunan Jawa dan Rusia, memiliki wajah blasteran yang mudah dikenali. Tingginya menjulang, dan meskipun rambut pirangnya kini mulai menghitam, entah karena semir atau alami, dia tetap sama, sosok yang ku kenal dengan baik. Dia satu kelas denganku di XI IPA 2, cukup populer bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keahliannya bermain basket.

Dari SMP hingga sekarang, kami masih berteman dekat. Bagiku, Keenan adalah anak yang baik, tak pernah berubah meskipun banyak yang menganggapnya nakal dan kasar. Kenangan bersamanya selalu hangat dan penuh makna. Ada rasa aman ketika bersamanya, seolah-olah waktu tidak pernah memisahkan kami.

Dari jarak yang cukup jauh, aku juga bisa mengenali Kafka. Biasanya tersembunyi di balik kerumunan, kali ini dia tampak lebih menonjol. Entah mengapa, ada perasaan yang menggelitik saat melihatnya. Mungkin ini efek dari kalimat-kalimatnya tadi.

Sementara itu, Nevan Kalangga, yang dikenal dengan kenakalannya, sedang berbicara dengan teman-temannya. Di belakangnya, Keenan duduk di atas motor sportnya, tampak tidak terlalu tertarik dengan percakapan yang berlangsung. Varelino Abhisar, si humoris di kelas, juga ikut meramaikan suasana. Semua ini terasa akrab, seperti bagian dari sebuah film yang pernah ku tonton.

“Hai, Sheena. Kenapa buru-buru amat? Mau ke mana?” Suara Keenan memecah lamunanku, entah sejak kapan ia tiba di sini. Helm full-face-nya dilepas, memperlihatkan wajahnya yang tegas di balik jaket jeans hitam yang tampak kusut. Di balik penampilan yang sedikit berantakan, ada sesuatu pada Keenan yang selalu membuatku merasa... tenang. Sorot matanya penuh percaya diri, dan senyum yang menghiasi wajahnya seolah bisa menghilangkan beban yang tadinya terasa menyesakkan. Keenan, si pemilik wajah tegas, begitu aku menjulukinya.

Ada kehangatan yang tak pernah berubah darinya. Seperti mentari sore yang perlahan tenggelam, namun tetap meninggalkan jejak hangat di langit senja. Tanpa sadar, senyumku pun merekah, merasakan momen sederhana ini. Keenan selalu punya cara untuk membuat segala hal terasa lebih ringan, seolah dunia yang berat sekalipun bisa dikesampingkan untuk sesaat.

Tapi sebelum aku sempat menjawab, Aline sudah lebih dulu angkat bicara dengan nada cepat dan tegas, "Aduh, Keenan, kita mau ke toko buku yang lagi ramai nih." Tangan Aline menggandeng lenganku, menarikku seolah meminta untuk segera melangkah.

Keenan hanya tersenyum kecil, namun tatapannya tetap terkunci padaku. Ada keseriusan di matanya, namun tetap tersimpan kehangatan yang tak pernah hilang. "Mau aku antar?" suaranya lembut, meskipun terdengar sederhana, tawarannya penuh dengan makna.

Aline segera merespons dengan nada tegas, “Heh! Mau bonceng tiga? Enak saja!” Aku tahu Aline sedang berusaha mengendalikan situasi, seperti biasa. Dia selalu berusaha menjaga segala sesuatu tetap teratur, tak memberi ruang untuk hal-hal yang tak pasti.

Keenan hanya mengangkat alis dan tertawa kecil, menunjukkan senyum santainya yang selalu membuat segalanya tampak mudah. "Ya nggak lah, Sheena bareng gue," katanya yakin, seolah itu adalah solusi paling logis.

Aline menghentikan langkahnya dan menatap Keenan dengan sorot mata tak puas. "Lah terus? Gue mau dikemanain?" protesnya, suaranya meninggi, menuntut jawaban yang jelas.

Tapi Keenan tetap tenang. Dengan santai, dia menoleh ke arah teman-temannya dan berteriak, "Woy!" Suaranya menggema di udara sore yang tenang, memanggil teman-temannya yang segera bergerak mendekat. Mereka semua tampak menganggap ini biasa saja, bagian dari keseharian yang sudah mereka kenal.

Aku berdiri di sana, sedikit tersesat dalam keributan itu, merasa tak tahu harus bereaksi bagaimana. Kafka, yang biasanya diam dan tak menonjol, muncul terakhir. Tatapannya sekilas bertemu dengan mataku, namun seperti biasa, tak ada ekspresi yang jelas. Di matanya, ada keheningan yang dalam, seakan ada sesuatu yang tak pernah bisa diucapkan.

Keenan lalu berseru lagi dengan nada santai, "Siapa yang mau bonceng Aline? Gue traktir seminggu."

Nevan segera menyahut, mendorong Abhi menjauh, "Hus, hus, sana! Lo bareng Kafka aja. Biar gue yang nganter Aline."

Kafka, yang jarang terlibat dalam percakapan seperti ini, langsung menolak, "Gak, gak! Gue gak mau bonceng Abhi," jawabnya tegas.

Abhi, seperti biasa, tak mau kalah dalam bercanda, "Lo jatuh dari langit, Kaf? Soalnya setan biasanya gitu."

Kafka menatapnya tajam, "Oh, jadi lo mau bilang gue setan?"

Abhi langsung mengangkat tangannya dengan ekspresi bersalah, "Eh, bro, gue cuma bercanda! Jangan baper dong."

Tapi di tengah keributan itu, ada sesuatu yang menarikku kembali ke dalam diriku sendiri. Sore sudah hampir jam tiga, dan sejujurnya, aku tak ingin terlibat dalam perdebatan atau gurauan mereka. Rasa lelah yang tak terlihat terasa menyelimutiku, dan aku tahu ada hal yang lebih dalam dari sekadar ini, sebuah kebutuhan untuk menjaga jarak, untuk merawat diri.

“Aku sama Aline naik angkot aja deh, nggak mau ngerepotin kalian,” ucapku lembut, berusaha tegas dalam keputusan yang kuambil. Ada keinginan untuk tetap mandiri, untuk menjaga ruangku sendiri, meski sekecil apa pun itu.

Aline, dengan tatapan penuh makna, menarik lenganku lagi. "Biar kita dianter aja, lumayan hemat ongkos. Lagian, belum tentu cepet dapet angkot," bisiknya lembut. Perkataannya membuatku berpikir ulang. Benar juga, mungkin memanfaatkan tawaran mereka bukan pilihan yang buruk.

Aku mengangguk perlahan, menyerah pada keputusan yang lebih praktis. Mungkin ini adalah pelajaran tentang bagaimana terkadang kita perlu membuka diri, menerima bantuan, dan tidak selalu menolak karena takut merepotkan orang lain.

Di tengah hiruk-pikuk kecil itu, Aline berteriak, "Yaudah ayo, keburu stok bukunya habis nih! Jadi nganter nggak?"

Kafka, yang tak pernah terlalu ekspresif, menatap Aline sejenak lalu berkata pelan, "Ya udah, buruan naik. Jangan ngoceh mulu." Ada nada kesal tapi perhatian di suaranya, sesuatu yang tak biasa keluar darinya.

Keenan lalu mengulurkan tangannya ke arahku, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Bareng aku," ucapnya, penuh percaya diri namun dengan kelembutan yang menenangkan.

“Ah elah, berasa kayak dongeng aja, pangeran yang menyambut tuan putrinya." goda Abhi.

"Iri bilang!" timpal Nevan.

Abhi mengangkat bahu, "Gue nggak iri, ya! Gue cuma ngerasa nyes aja, gini amat jadi jomblo." Keluhannya membuat teman-temannya tertawa.

Aku tersenyum, menyadari bahwa di tengah-tengah momen-momen kecil ini, ada ruang untuk sembuh. Setiap interaksi, baik dengan Keenan, Aline, Kafka, atau yang lainnya, mengajarkan sesuatu, tentang bagaimana melepaskan, menerima, dan menyadari bahwa dalam perjalanan ini, kita tak pernah benar-benar sendiri.

Keenan menoleh lagi padaku, helm full-face kembali terpasang di kepalanya. "Jangan lupa pegangan, Sheena," ucapnya pelan.

---

Saat kami akhirnya tiba di toko buku, perasaan penuh semangat yang meluap sebelumnya berubah pelan-pelan menjadi kekecewaan. Langkah kami terburu menuju rak yang katanya menampilkan novel yang sangat aku nantikan, hanya untuk mendapati rak itu kosong, tanpa satu pun eksemplar tersisa. Aku menatapnya dengan perasaan hampa.

"Yah, udah kehabisan kita," ucapku lirih, mencoba menyembunyikan kekecewaan yang terasa menggumpal.

Aline di sampingku menghela napas panjang, jelas ia juga tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. "Gara-gara kalian sih, lama amat debatnya. Tuh lihat, jadi kehabisan kan." Nada suaranya yang keras membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah kami.

Tapi aku tahu ini bukan soal waktu atau debat, terkadang ada hal-hal yang memang tak bisa kita kendalikan. Kehabisan buku, misalnya.

Aku mencoba menarik napas dalam, seolah kekecewaan itu bisa kutenangkan dengan satu tarikan napas. "Mungkin lain kali kita bisa dapetin bukunya," ucap Aline, suaranya kali ini lebih lembut, mungkin dia juga merasakan kekecewaanku.

Tapi kemudian aku melihat Keenan, mondar-mandir di antara rak buku, tampak seperti sedang mencari sesuatu yang penting. Wajahnya serius, berbeda dari biasanya. Rasa penasaran menyelusup perlahan dalam diriku.

"Kamu cari apa, Keenan?" tanyaku dengan pelan.

Keenan menoleh ke arahku, matanya penuh tekad. "Novel yang kamu mau, Sheena."

Jawaban itu membuatku tertegun. "Tapi sudah habis, Keenan," aku mencoba mengingatkannya. Meski begitu, ada sesuatu dalam suaraku yang terdengar seperti keputusasaan yang halus, seolah aku berharap ia bisa menemukan cara lain.

Keenan tersenyum kecil, dan tanpa ragu dia mendekati petugas toko. "Siapa tahu masih ada, atau mungkin belum dipajang oleh petugas. Aku akan tanya," ucapnya, begitu yakin. Rasanya takjub melihat seseorang yang rela berusaha untuk sesuatu yang bahkan sudah jelas tak ada.

Aku memperhatikan dia berbicara dengan petugas, berharap ada sedikit keajaiban terselip di antara jawaban yang sudah aku duga sebelumnya. Namun, ketika petugas menggeleng, memberitahu bahwa novel itu benar-benar sudah habis, rasanya seperti ada yang runtuh di dalam diriku. Harapan kecil yang tadi sempat muncul kini menghilang.

Tapi Keenan tetap di sana, tak menyerah. Ia masih mencoba mencari celah lain. "Beneran nggak ada, mas?" tanyanya lagi, suaranya tetap lembut, tapi kali ini penuh keinginan. Sebuah harapan yang nyaris sama dengan apa yang aku rasakan.

Petugas toko menghela napas, seolah mengerti betapa pentingnya ini bagi kami. "Sudah habis, dik," katanya dengan nada sabar. "Tapi tadi saya lihat dua siswa dengan seragam yang sama seperti kalian. Mereka berhasil mendapatkan stok terakhir."

Seketika, hatiku bergetar. Dua siswa? Siapa mereka? Harapan yang sempat padam tiba-tiba kembali menyala, meski hanya setitik.

"Aku bantu cari tahu siapa yang berhasil dapat bukunya, Sheena," bisik Keenan pelan di telingaku. Kata-katanya terdengar seperti janji yang sederhana, namun terasa begitu hangat.

Di saat seperti ini, aku menyadari, mungkin bukan soal bukunya. Bukan soal mendapatkan atau kehilangan sesuatu yang kita inginkan. Tapi tentang bagaimana kita merespons kekecewaan itu. Tentang kehadiran seseorang yang bersedia melangkah lebih jauh untuk kita, bahkan ketika segalanya tampak tak mungkin.

BERSAMBUNG

Bab terkait

  • About Me: Alshameyzea    Bab 2. Bolehkah Aku Mengenalmu?

    "Setiap kali kita bicara, aku merasa seperti menemukan sisi baru dari kamu yang makin indah." ••• Setelah bel sekolah berbunyi, kami berenam melangkah keluar dengan langkah ringan, seolah hari ini membawa harapan baru. Keenan, dengan caranya yang khas, selalu tahu cara menghidupkan suasana. Dia mengajak kami. Aku, Aline, Kafka, Abhi, dan Nevan, Kembali ke toko buku yang kami kunjungi kemarin. Mungkin, pikirku, buku itu sudah kembali terpajang hari ini. Harapan yang sederhana, tapi cukup untuk mengisi hati dengan kegembiraan. Ketika pintu toko terbuka, aroma khas buku baru langsung menyapa kami. Udara di dalam terasa lebih ringan, dipenuhi energi yang berbeda. Setiap sudut rak-rak buku tampak memanggil untuk dijelajahi, seolah ada ratusan cerita yang siap ditemukan dan dihidupkan kembali. Aku menggerakkan jemariku menyusuri buku-buku yang tertata rapi, mencoba menemukan novel yang selama ini aku cari. Namun, rasa harapanku perlahan memudar saat aku menyadari buku itu tak kunjung kute

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • About Me: Alshameyzea    Bab 3. Kilasan Perasaan

    "Kadang, sebuah sentuhan singkat dari emosi bisa mengubah seluruh lanskap hati kita." °°°° Kantin SMAN Cendana mirip dengan kafe yang nyaman, dengan desain interior yang membuatku merasa seperti di rumah. Dindingnya berwarna cerah, dihiasi mural dan poster kegiatan yang penuh warna. Lampu gantung memberikan cahaya lembut yang memancarkan kehangatan, sementara meja-meja kayu dan kursi empuk mengundang setiap siswa untuk bersantai. Aku dan Aline duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap ke lapangan olahraga, dengan sinar matahari menerangi meja kami dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Aline, dengan semangat, mengaduk semangkok bakso di depannya. Aku duduk di seberangnya, juga menikmati makanan yang sama. Kantin ini selalu terasa nyaman, tapi hari ini ada sesuatu yang membuat suasana terasa sedikit berbeda, terutama dengan Aline yang terus-menerus menatapku sambil berbicara. "Kamu nggak mau nyalonkan jadi kandidat ketua OSIS?" tanya Aline, sambil memerhatikan bakso di se

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • About Me: Alshameyzea    Bab 4. Berharap?

    “Ketika malam menyelimuti dunia, keheningan menjadi panggung bagi perasaan yang belum terungkap, menunggu saat yang tepat untuk bersinar.” °°°° KRING! KRING! KRING!!! Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa-siswi diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa setiap akhir bukanlah penutupan, tapi awal dari harapan baru. Pulanglah dengan senyuman, dan esok datanglah dengan mimpi yang lebih besar. TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda. Akhir dari dua jam pelajaran yang terasa begitu panjang. Begitu suara bel menggema di seluruh ruangan, Bu Sri telah meninggalkan kelas setelah berpamitan. Kami semua segera bersiap-siap untuk pulang. Di saat yang sama, aku melihat Nevan dan Abhi berlari masuk, masing-masing menenteng tas Kafka dan Keenan. Wajah mereka basah oleh keringat, tapi tidak lama kemudian, mereka kembali keluar dengan langkah terburu-buru, tas masih erat di tangan. "Al, ikut ke kantin, yuk? Aku mau beli-be

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • About Me: Alshameyzea    Bab 5. Dingin dan Harapan

    "Yang dekat belum tentu akan melekat. Yang berjarak pun belum tentu akan mendura. Tapi yang sudah menjadi takdirnya pasti akan mengikat." -Alshameyzea Afsheena °°°° Sebelum bel berbunyi, aku melangkah keluar dari kelas sejenak. Rasanya butuh waktu sebentar untuk melepaskan diri dari ruangan yang akan penuh dengan hitungan dan angka. Dengan langkah cepat, aku menuju tempat sampah di sudut koridor, meraut pensil yang mulai tumpul. Sambil melakukannya, pikiranku melayang ke pelajaran matematika yang sebentar lagi dimulai. Tak hanya soal-soal yang melintas di kepala, tapi juga hal-hal lain yang akhir-akhir ini sulit untuk aku hindari. Tiba-tiba, suara yang familiar mengusik keheningan pagi. "Sorry, Sheena. Semalam aku nggak jadi ke rumah kamu," suara Keenan, lembut tapi jelas, membuatku terkejut. Aku menoleh pelan ke arahnya. Dia berdiri di sampingku, sosoknya tiba-tiba begitu dekat. Ada sesuatu dalam caranya bicara yang membuat suasana menjadi canggung, meski kami sudah lama saling

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • About Me: Alshameyzea    Bab 6. Langkah Tanpa Pilihan

    "Tidak ada perjalanan yang sempurna, bahkan langkah yang salah bisa menjadi bagian dari rute yang penuh makna" °°°° "Aline," panggilku lembut saat aku memasuki kelas, berharap suasana hatinya sudah membaik. Aku ingin bercerita banyak padanya, jadi aku perlu memulai dengan sapaan yang hangat. Namun, reaksi Aline begitu mengejutkan. "Ya ampun Alsha! Kamu ngapain pakai jaket kegedean?" dia berteriak dengan kaget, lalu tertawa keras. Suaranya menggema di ruangan, menambah kehebohan pagi itu. "Mana jalannya ngendap-ngendap kayak anak TK abis nyolong duit maknya, hahaha!" Aline benar-benar terhibur, menertawakan penampilanku yang tampaknya sangat lucu di matanya. Aku tercengang, merasa sedikit tersinggung oleh reaksi spontan Aline. 'Ini serius aku diginiin sama Aline?' batinku. "Ih, Aline, kok kamu gitu sih?" kataku dengan nada kesal, berusaha menahan rasa malu yang mulai muncul. "Duh, maaf-maaf, Al, aku nggak bisa nahan tawa. Lagian kamu sih!!! Itu jaket siapa yang kamu colong?" Al

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti

    "Setiap hari bersamanya adalah bukti bahwa kebaikan dan perhatian masih ada di dunia ini."°°°°“Juara pertama OSDKI tahun 2014 dimenangkan oleh… Alshameyzea Afsheena!”Suara pengumuman itu menggetarkan ruangan, diikuti oleh tepuk tangan dan sorakan yang meriah. Di tengah keramaian, mataku mencari, berharap menemukan wajah-wajah yang kukenal. Sebuah sorakan pecah dari sampingku, suara salah satu teman sekelasku yang berdiri, ekspresi bangga terpancar jelas di wajahnya.“Sheena, kamu juara satu!” serunya penuh semangat, suaranya tenggelam di antara tepuk tangan yang semakin riuh.Dari panggung, MC tersenyum lebar sambil mengarahkan mikrofon ke arahku. “Silakan naik ke panggung, Alsha,” ajaknya dengan nada lembut, seakan ingin berbagi kebahagiaan ini denganku.Aku berdiri, gemetar sedikit, tapi perasaanku meluap penuh rasa syukur. Langkahku pelan, terasa berat karena bukan hanya tubuhku yang bergerak, tapi juga semua impian dan harapan yang menuntunku ke atas panggung. Saat aku tiba di

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti (Part 2)

    "Alsha, kamu udah siap belum?" Suara Aline membuyarkan lamunanku, dengan nada ceria yang menyentuh.Aku tersadar dan menoleh padanya. "Iya, ayo berangkat," jawabku sambil tersenyum, mencoba menepis kerinduan yang menyelinap di pikiranku.Malam ini kami berencana menuju Grandfather Coffeeshop, tempat yang terletak tidak jauh dari rumah kami. Karena jaraknya yang dekat, kami memutuskan untuk jalan kaki. Langkah-langkah kami menapaki jalanan yang tenang, diterangi oleh lampu-lampu kota yang berkelip lembut. Kafka yang mengundang kami ke acara ini, dan hampir seluruh teman sekelas kami dijadwalkan hadir.Ketika kami sampai di depan rumah, langkah kami terhenti sejenak. Di depan gerbang, Keenan bersama teman-temannya sudah menunggu di atas motor mereka yang terparkir di pinggir jalan. Mereka tampak santai dan karismatik, dikelilingi oleh kilau lampu jalanan yang lembut.Kami melangkah mendekati gerbang dengan rasa penasaran. Aline, dengan tatapan campu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • About Me: Alshameyzea    Bab 7. Bukti (Part 3)

    Kafka lalu bergeser ke samping teman-temannya, yang tampak sedang berbincang dengan serius. Mereka tiba-tiba memarkirkan motor-motor mereka dengan rapi di depan rumahku, memperlihatkan tampilan motor-motor mereka yang mengkilap dan mengesankan di bawah cahaya lampu malam."Heh, kalian pada ngapain?" tanya Aline dengan nada bingung."Kita mau naik angkot juga bareng kalian," jawab Kafka, seraya melambaikan tangan ke arah angkot yang menunggu.Aku dan Aline saling bertukar pandang, masih kebingungan. "Udah, ayo sini, gue bantu seberangin," ucap Kafka, sambil melangkah mendekati kami. Dia membantu kami menyeberangi jalan dengan penuh perhatian, sementara aku terus merenung tentang alasan Keenan tidak bisa naik angkot dan mengapa teman-temannya tampak khawatir tentang hal itu.Keenan mempersilahkan aku duduk di kursi angkot yang empuk, dan dengan nada lembut, ia bertanya, "Apa aku boleh duduk di samping kamu?" Suaranya yang khas membuatku me

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 7)

    “E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 6)

    Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 5)

    Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 4)

    Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 3)

    Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa (Part 2)

    Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam

  • About Me: Alshameyzea    Bab 50. Melangitkan Rasa

    "Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men

  • About Me: Alshameyzea    Bab 49. Merilis Luka (Part 3)

    Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob

  • About Me: Alshameyzea    Bab 49. Merilis Luka (Part 2)

    "Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"

DMCA.com Protection Status