Share

About Me: Alshameyzea
About Me: Alshameyzea
Penulis: litrcse

Bab 1. Kalung, Buku, dan Takdir

"Apa yang kita anggap hilang mungkin sebenarnya hanya menunggu untuk ditemukan kembali dalam bentuk yang lebih bermakna."

.....

Jam istirahat berlanjut dengan ritme yang monoton, sementara tumpukan tugas Kimia menyelimuti meja kelas kami. Tempat yang biasanya digunakan untuk istirahat sejenak kini dipenuhi buku dan catatan, menciptakan sebuah pulau kecil di tengah lautan kebisingan sekolah. Suasana di kelas terasa seperti dunia terisolasi, di mana tawa riuh dari luar hanya menjadi gema samar yang mengganggu kekhusyukan kami dalam hitungan angka dan unsur. Kami tenggelam dalam setiap rumus dan formula, seakan-akan dunia di luar jendela tidak pernah ada.

"Al, aku masih bingung nih. Gimana sih cara mengetahui jumlah proton?" tanya Aline, tangannya sibuk membolak-balik halaman buku paket Kimia. Meskipun jam istirahat, kami memutuskan untuk menyelesaikan tugas Kimia yang diberikan Bu Aminah, sehingga jajanan kami terpaksa ditunda.

"Jumlah proton itu sama dengan nomor atom unsur, Lin. Misalnya, kalau nomor atomnya 8, berarti jumlah protonnya juga 8," sahutku, tanganku terus bekerja menjawab setiap soal di bukuku sendiri.

"Terus, gimana dengan neutronnya?" tanya Aline lagi.

"Jumlah neutron bisa dihitung dengan cara mengurangi massa atom dari nomor atom. Misalnya, kalau nomor atomnya 8 dan massa atomnya 16, berarti jumlah neutronnya 16 dikurangi 8, hasilnya 8," jelasku

"Okay, sekarang tinggal nyari elektron. Caranya?" Aline menoleh ke arahku dengan tatapan penuh harapan, dan aku bisa melihat senyuman di wajahnya. "Hehe, ayolah Al, kamu kan jago di bidang ini. Kasihanilah temanmu ini," ucapnya dengan ekspresi melas. Aku menghela napas panjang.

"Jumlah elektron itu sama dengan jumlah proton pada unsur yang netral. Jadi, kalau ada 8 proton, berarti ada 8 elektron juga," jawabku.

"Jadi, kalau unsur itu ion, jumlah elektronnya bisa berbeda dari jumlah proton, ya?" tanya Aline.

"Betul sekali. Jika unsur itu ion positif, maka ia kehilangan elektron, sehingga jumlah elektronnya lebih sedikit daripada jumlah proton. Sebaliknya, jika ionnya negatif, maka ia mendapatkan elektron tambahan, sehingga jumlah elektronnya lebih banyak daripada jumlah proton," ucapku sambil menutup halaman buku.

Aline mengangguk sambil tersenyum. "Makasih, Al!."

"Sama-sama." jawabku, sambil tersenyum.

Dengan napas lega, aku mengumpulkan seluruh tugas yang telah selesai dan menyimpannya di dalam tas. Tugas dari Bu Aminah beres. Sekarang, kami siap untuk pelajaran selanjutnya, beranjak dari dunia rumus yang sejenak mengisi hari-hari kami, menuju petualangan baru di kelas berikutnya.

---

KRING! KRING! KRING!

Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. Semua siswa SMAN Cendana diperbolehkan pulang ke rumah, meninggalkan kelas dengan langkah ceria. Suara bel yang mengalun lembut itu bukan hanya tanda berakhirnya pelajaran, tetapi juga pengingat akan pesan-pesan bijak dari bapak dan ibu guru.

Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa pertemuan dan perpisahan terjadi terlalu cepat. Namun, kenangan dan perasaannya akan tinggal terlalu lama. Sampai jumpa esok hari dengan semangat yang baru. Jangan lupa tersenyum hari ini kepada dia yang berharga bagimu.

TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda.

Begitulah rutinitas sehari-hari kami. Suara bel yang dinantikan setiap siswa SMAN Cendana, bukan hanya sekadar sinyal untuk pulang, tetapi juga momen yang menghidupkan semangat kami. Setiap bel menandai akhir pelajaran, sekaligus menyambut dengan penuh antusiasme, menunggu apa kutipan inspiratif yang akan mengisi akhir hari kami.

Setelah bel tanda akhir pelajaran berbunyi, aku dan Aline segera mengeluarkan ponsel kami dan memeriksa media sosial. Dalam hiruk-pikuk pelajaran yang baru saja berakhir, Aline tiba-tiba berseru penuh antusias, menarik perhatianku dengan cepat.

"Al! Al! Kamu sudah lihat belum postingan terbaru dari @swayanika_store?" Aline bertanya dengan mata berbinar-binar.

Aku segera membuka ponsel dan melihat layar yang dipenuhi komentar dan gambar-gambar buku. "Iya, aku sudah lihat. Akhirnya!" jawabku sambil tersenyum, meresapi kegembiraan yang terpancar dari komentar-komentar penuh semangat.

"Itu kan buku yang kamu tunggu-tunggu selama ini? Mau ke sana gak?!!" Aline bertanya lagi, suaranya penuh harapan.

"Pasti dong!" jawabku mantap, lalu menoleh ke Aline dengan rasa ingin tahu. "Tumben kamu antusias gitu? Biasanya kamu paling malas kalau diajak ke toko buku."

Aline tersenyum lebar, ekspresinya dipenuhi rasa senang. "Aku denger kabar kalau di sebelah toko buku itu ada warung seblak yang baru buka. Aku mau nyicip, hehe."

"Udah kuduga," balasku sambil tertawa, membuat Aline ikut tertawa.

"Katanya enak loh, Al. Nanti aku traktir deh kamu."

"Oke," jawabku, senang mendengar tawaran Aline.

Sementara kami bercanda, aku menatap layar ponsel yang menampilkan postingan terbaru dari Swayanika Store. Foto-foto buku yang sangat ingin kupunya memenuhi layar, diikuti dengan komentar-komentar antusias dari para pengikutnya. Namun, alih-alih merasa gembira, mataku tertumbuk pada salah satu komentar yang menunjukkan betapa banyak orang sudah membeli buku itu. Rasa kecewa perlahan menyusup, namun pikiran tentang buku yang hampir tidak tersisa segera tergantikan oleh kekhawatiran yang lebih mendalam.

Tiba-tiba, aku teringat akan kalung yang kupakai. Kalung itu bukan sekadar perhiasan- itu hadiah dari nenekku, sesuatu yang penuh makna dan kenangan. Dengan cepat, aku menutup aplikasi media sosial dan mulai meraba-raba tas dan loker meja. Aku mulai panik, menarik keluar setiap barang yang ada di dalam tas, berharap menemukan kalung yang mungkin terselip di antara buku-buku dan catatan.

"Nyari apa, Al?" tanya Aline, terkejut melihatku yang sibuk meraba-raba loker meja dan mengeluarkan segala isi tasku dengan panik.

"Kalung," jawabku dengan nada khawatir.

"Loh? Bukannya tadi pas penjas masih kamu pake?" tanya Aline, membuatku berhenti sejenak dan menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Pasti kalungku ketinggalan di lapangan.

Tanpa membuang waktu, aku cepat-cepat memasukkan kembali isi tasku, menutupnya rapat, dan berlari menuju lapangan dengan langkah tergesa-gesa.

"Eh Al! Tunggu!" teriak Aline saat aku berlari meninggalkannya sendirian di kelas.

Saat aku berlari dan tenggelam dalam kepanikan, tiba-tiba lenganku terhantam keras, membuatku tersentak dan memegangi lengan yang nyeri. Ketika aku menoleh, kulihat kakak kelas yang memegang tumpukan berkas terjatuh, dan dokumen-dokumen itu tersebar luas di lantai koridor depan kelas X. Dalam kepanikanku, aku tidak sengaja menabraknya.

"Hati-hati dong kalau jalan!" seru seorang cewek dengan nada tajam. Dia sibuk mengumpulkan berkas-berkas yang berserakan tanpa menoleh ke arahku. Claudia Amanda-aku mengenal namanya dari berbagai cerita. Cewek cantik yang terkenal dengan kepintarannya dan telah meraih juara umum di sekolah kami selama dua semester berturut-turut.

"M-maaf, Kak. Aku nggak liat tadi. " Tanganku segera bergerak untuk membantu membereskan berkas-berkasnya. Setelah selesai, aku berharap bisa menghindari masalah lebih lanjut.

Dia mendongak, tatapannya tajam dan menusuk.

"Oh, ternyata lo yang nabrak gue! Kalau jalan, pake mata dong!" bentaknya.

"I-iya, Kak, maaf," jawabku, menunduk sedikit takut. Suaranya yang keras dan penuh kemarahan menggema di sepanjang koridor. Beruntung anak-anak sudah pulang, jika tidak, pasti akan jadi tontonan.

"Maaf maaf! Lo gak liat kalo ada gue hah!"

Air dingin dari botol mineral yang dia pegang langsung membasahi seragamku hingga kuyup. Aku merasakan dinginnya menembus kain, membuatku merasa seolah-olah terhanyut dalam rasa malu. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, aku menunduk, merasa tidak berdaya di hadapan kakak kelas yang terkenal dengan sikapnya yang keras. Aku tahu, aku memang salah.

"Eh permisi kak, kan temen saya udah minta maaf, kenapa harus disiram pake air sih" ucap Aline yang tiba-tiba muncul dari belakang, dia merangkulku.

"Lo gak usah ikut campur!" dia mendorong Aline sampai terjatuh.

Tiba-tiba saja ada sosok lelaki yang menengahi kami, dia berdiri tegap di depanku dan Aline. Badannya lumayan kekar, earphone putih melekat di telinganya. Kafka Dirgantara. Teman sekelas. Meskipun cuek, dia siswa yang paling royal ke teman sekelasnya, hampir setiap bulan dia sering mengajak kami makan-makan di luar.

"Ngapain Lo? Mau jadi pahlawan kesiangan?" ucap kak Claudia sambil tersenyum miring ke arah Kafka.

"Kalo iya kenapa?" Kafka melepas earphonenya lalu menyimpannya ke dalam saku celananya.

Clara berdecak. "Sok Lo!"

Aku berdiri terpaku, tidak percaya dengan apa yang kulihat. Kafka, dengan wajah penuh kemarahan, tiba-tiba menumpahkan air dari botolnya ke arah kakak kelas yang berdiri di hadapan kami. Air tersebut mengalir deras, membasahi pakaian senior itu, dan menciptakan jejak basah yang menetes di lantai. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, menambah suasana yang sudah sangat tegang.

"Itu hukuman buat lo karena udah bikin baju Alsha basah, gimana? Imbang kan?"

Wajah senior itu memerah, matanya menatap tajam ke arah Kafka.

Satu tinjuan tiba-tiba melayang ke wajah Kafka, menghentak keras dan membuat tubuhnya mundur selangkah. Pada saat yang sama, aku melihat ekspresi tegas dan marah di wajah orang itu, dia menunjukkan kemarahan dan otoritasnya. Bukan kak Claudia yang nonjok, tapi sosok laki-laki yang tinggi badannya hampir sama dengan Kafka. Aku tahu dia siapa, ketua OSIS di SMAN Cendana. Senior sekaligus teman sekelas kak Claudia. Davin Ananta.

Aku dan Aline takut melihat suasana ini, mau ikut campur tapi tidak tahu harus ngapain. Kami berdua hanya memegang tangan erat satu sama lain.

"Beraninya kok sama cewek," ucap Ketos itu, menunjukkan sikap merendahkan.

Kafka tersenyum sinis. "Kalo lo nggak tau apa-apa, mending diem!" jawabnya tegas.

Tiba-tiba, tangan Kafka melayang dengan cepat dan tegas ke arah kak Davin, membuatnya terjatuh ke lantai. Kejadian itu mengejutkanku, ternyata kekuatan tinju Kafka jauh lebih besar dari yang kukira.

"Lo nggak sopan banget, ya!" seru kak Claudia, berusaha membantu kak Davin berdiri. "Berani banget mukul senior lo sendiri! Ingat, lo itu cuma adek kelas, lo lupa ya!"

Kafka melangkahkan kakinya ke arah Kak Davin dengan tatapan tajam. Ck! "Gue inget kok, kalo kalian itu senior gue," katanya dengan nada dingin. "Gue nggak sopan? Lo sendiri yang ngajarin adek kelas lo untuk nggak sopan.

Kafka berbalik menatap kak Claudia dengan tajam. "Lo lupa beberapa detik yang lalu, Ketos yang sok berkuasa di sekolah ini nonjok adek kelasnya sendiri?"

Aku dan Aline saling berpandangan, hanya bisa mendengar perdebatan mereka dan mencerna setiap kalimat yang Kafka ucapkan. Ketegangan yang mengalir dalam ruangan seperti asap yang perlahan menghilang saat seorang guru tiba-tiba membubarkan kerumunan. Kafka dan Kak Davin dipanggil ke ruang BK, meninggalkan kami dalam kebingungan yang menggelora.

Saat semuanya mereda, aku dan Aline memutuskan untuk mengambil obat di ruang UKS untuk Kafka. Kini, di lorong kelas yang sepi, kami bertiga duduk di bangku depan kelas X, dikelilingi oleh suara lembut dari luar jendela yang menyentuh daun-daun yang bergoyang. Hening yang mendalam menyelimuti kami, hanya dipenuhi oleh suara lembut dan bisikan yang terpecah oleh suasana yang masih mencekam.

Aku masih tidak menyangka bahwa Kafka, yang selama ini aku anggap cuek dan jauh, rela mengalami segala ini hanya untuk membela diriku dalam sebuah konfrontasi yang tampaknya tidak seberapa penting. Namun, di sisi lain, pikiranku terus menerus terbebani oleh kehilangan kalungku yang sangat berharga.

"Gak usah, Al, gue bisa sendiri," ucap Kafka dengan suara yang lembut, namun penuh rasa, sambil meraih obat yang kutawarkan. Tatapannya yang tegas namun lembut menunjukkan betapa dia menghargai usaha kami, meskipun dia berusaha tetap mandiri.

"Makasih banyak, Kafka. Dan maaf..." ucapku, menatapnya dengan rasa bersalah.

"Maaf buat apa, Al?" Kafka bertanya, masih sibuk merawat sudut bibirnya yang terluka akibat tonjokan Kak Davin.

"Maaf udah bikin kamu seperti ini, sampai-sampai dipanggil guru BK.

Kafka tidak menggubris ucapanku, tetap fokus pada lukanya. "Baju lo basah. Buruan ganti biar gak masuk angin."

Aku menatap Kafka, terkejut oleh kepeduliannya yang tampaknya tak terduga. "Iya, nanti aku ganti baju. Sekali lagi, maaf ya, Kafka."

Kafka menoleh dan tersenyum simpul padaku. "Lo ngapain minta maaf terus, Al? Itu udah tugas gue."

Hening sejenak. Aku menatap Aline, dan bisa merasakan kebingungannya yang sama denganku. Suasana di sekitar kami tiba-tiba terasa berat, penuh tanda tanya.

"Tugas? Maksudnya?" aku memberanikan diri untuk bertanya, mencoba memahami.

"Ya, tugas gue buat jagain lo," jawab Kafka, matanya penuh ketegasan. "Kalo ada yang nyakitin lo, gue nggak bakal segan-segan ngasih dia pelajaran.

Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku, dan dadaku terasa mendekat ke tenggorokan. Ada semacam dorongan mendalam yang membuatku merasa terjaga, menandakan ketegangan yang baru muncul. Perasaan ini begitu kuat hingga membuatku sulit berfokus pada apapun selain tatapan Kafka yang penuh makna.

Kafka, seorang teman sekelas yang terkenal cuek dan jarang bicara, benar-benar mengejutkanku dengan kata-katanya tadi. Bagaimana mungkin orang yang biasanya begitu dingin bisa melontarkan kalimat yang begitu menyentuh?

Satu hal yang tak bisa kulupakan tentang Kafka, dia teman dekat Keenan.

"Gak usah natap gue kayak gitu, Al," kata Kafka, sambil berdiri dengan perlahan. "Lupakan aja kalimat gue barusan."

Dia memandang kami sejenak, kemudian melanjutkan, "Dan lo perlu ingat ini, setiap kejadian yang menimpa kita nggak selalu bisa disimpulkan dengan mudah. Kadang, hal-hal seperti ini bisa membuat hati kita berharap lebih.

Setelah ucapan terakhirnya, Kafka pergi meninggalkan kami berdua, meninggalkan kesan mendalam dan banyak pertanyaan di benak kami.

--

"Dan lo perlu ingat ini, setiap kejadian yang menimpa kita nggak selalu bisa disimpulkan dengan mudah. Kadang, hal-hal seperti ini bisa membuat hati kita berharap lebih."

"Lo ngapain minta maaf terus Al? Itu udah tugas gue."

"Ya, tugas gue buat jaga lo, kalau ada yang nyakitin lo, gue nggak bakal segan-segan ngasih dia pelajaran."

Kata-kata Kafka terus berputar dalam benakku, seakan melukis gambaran baru dalam kepalaku tentang arti dari 'tugas' yang dia sebutkan. Aku masih termenung, tenggelam dalam kebingunganku. Ketika suara Aline memecah keheningan, rasanya seperti lonceng yang membangunkanku dari lamunan yang mendalam.

"Alsha? Kamu gak papa?" tanya Aline, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Aku menggeleng, berusaha menyapu rasa bingung yang menggelayuti pikiranku. Ketenangan dalam suaranya menjadi penyejuk di tengah kebingunganku, memaksa aku untuk kembali menghadapi realitas.

"Udah, nanti lagi mikirnya, sekarang kamu harus ganti baju dulu. Kasihan tuh, tubuh kamu udah kedinginan dari tadi," ucap Aline dengan nada tegas namun peduli. Aku mengangguk pelan, menyadari bahwa jika tidak segera ganti baju, besok aku mungkin akan sakit dan tidak bisa masuk sekolah-padahal besok ada ulangan Bahasa Inggris.

"Eh, kita jadi ke toko buku kan?" Aline bertanya, menghentikan langkahku. Aku teringat, benar juga, hari ini kami sudah merencanakan untuk pergi ke toko buku. Aku melirik jam di tanganku, sudah hampir larut.

"Tuh kan, aku tau pasti kamu bakal lupa. Untung aku ingetin," Aline melanjutkan dengan nada bercanda.

"Ya udah, aku ke kamar mandi dulu. Tunggu bentar ya!" Tanpa menunggu jawaban, aku berlari menuju kamar mandi sekolah untuk mengganti baju olahraga yang tadi aku pakai saat pelajaran penjas.

Aline, meskipun usianya lebih muda dariku, adalah orang yang sangat mengenalku dengan baik. Dia bukan hanya teman, tapi seperti seorang kakak yang selalu ada untukku. Padahal, aku yang seharusnya menjadi kakak, karena usiaku lebih tua darinya. Ya, meskipun usia kami hanya beda 4 hari saja.

Aku ingat betul bagaimana kami pertama kali bertemu. Saat itu, di lorong sekolah yang ramai, seorang cewek dengan seragam SMA menyapaku. Postur tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku, rambutnya panjang menjuntai, dan senyumannya menawan. Meskipun suaranya agak berat seperti cowok, ia memiliki aura ramah yang langsung membuatku merasa nyaman.

"Hai! Namaku Aline. Nama kamu siapa?" tanyanya dengan ceria.

"Halo! Namaku Alsha. Salam kenal, ya," balasku dengan senyuman.

Itulah awal mula perkenalan kami. Sejak saat itu, kami menjadi dekat. Aline adalah siswi pertama yang aku kenal sejak aku masuk SMAN Cendana. Kami selalu bersama, entah di sekolah maupun di luar sekolah. Ketika aku tahu bahwa Aline berasal dari kota seberang, aku menawarkan agar dia tinggal di rumahku, daripada harus ngekos.

"Daripada kamu ngekos, mending kamu tinggal bareng aku aja. Aku juga tinggal sendirian di rumahku," ucapku saat itu.

Aline sempat ragu, jadi aku menambahkan, "Aline, kamu gak perlu bayar apa-apa. Aku akan bilang ke orang tuaku, supaya mereka ijinin kamu tinggal bareng aku."

Akhirnya, Aline menyetujuinya, dan kami pun tinggal bersama. Hanya berdua di rumah. Orang tuaku? Mereka sibuk bekerja dan sepertinya lupa pada anaknya sendiri. Selama 15 tahun, mereka membiarkanku tinggal dengan nenekku. Setelah nenek dan kakek meninggal, aku dibawa ke Jakarta. Ku kira aku akan tinggal bersama orang tuaku, tetapi ternyata aku salah. Mereka malah pergi ke luar negeri untuk bekerja. Kerja, kerja, dan kerja-sepertinya itulah satu-satunya tujuan hidup mereka.

Dengan Aline di sampingku, setidaknya aku tidak merasa sendirian. Dia membuat segalanya terasa lebih baik.

Selain Aline, aku juga berjumpa kembali dengan seorang teman lama dari SMP yang kebetulan bersekolah di sini. Betapa mengejutkannya ketika aku bertemu dengannya di SMAN Cendana, padahal aku tahu dia bukan asli orang sini. Senang rasanya akhirnya ada sosok yang aku kenal di SMA ini. Namanya Keenan Aksara, anak keturunan Jawa dan Rusia yang wajahnya tampak blasteran. Tingginya mencapai 170 cm, dan meskipun rambut pirangnya kini mulai menghitam, entah karena semir atau alami, dia tetap menjadi sosok yang ku kenal. Keenan juga satu kelas denganku, di XI IPA 2. Dia cukup populer di sekolah ini, bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keahliannya dalam bermain basket.

"Pagi, Sheena," sapanya setiap pagi dengan panggilan kecilku.

Keenan selalu memulai paginya dengan sikap yang sama, konsisten dari masa SMP hingga kelas XI sekarang. Sementara itu, teman-teman sekelasku kerap memandangnya dengan stereotip yang berbeda-katanya dia nakal dan kasar. Namun, aku tidak mempercayai semua itu, setidaknya karena pengalamanku dengannya selalu positif.

---

Saat aku dan Aline berjalan menuju gerbang sekolah, pandanganku tak sengaja tertuju pada sekelompok siswa laki-laki yang sedang berbincang di area parkiran. Mereka adalah teman-teman Keenan. Dari jarak yang cukup jauh, aku bisa mengenali Kafka, yang biasanya tersembunyi di balik kerumunan. Tapi kali ini, entah kenapa, dia tampak lebih menonjol di mataku.

Aku memperhatikan mereka sebentar, meskipun tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Seorang siswa dengan kaos hitam yang kelihatan di balik seragam yang sengaja dibukanya, Nevan Kalangga, atau biasa dipanggil Nevan, tampak sedang berbicara dengan yang lain. Di sekolah, Nevan terkenal dengan kenakalannya hingga sering dipanggil ke ruang BK. Sementara itu, Keenan yang sedang duduk di atas motor sportnya, tampak tidak terlalu tertarik dengan percakapan teman-temannya.

Disamping Nevan, ada siswa lain yang juga ikut berbicara. Varelino Abhisar, atau Abhi, siswa yang paling banyak bicara di kelas. Pertanyaannya yang tak pernah habis sering membuat guru-guru kewalahan, tapi kehumorisannya membuat suasana kelas menjadi berwarna.

Di sisi lain, aku masih bisa merasakan pandangan Kafka yang sempat melirik ke arahku. Apa maksudnya? Aku tak bisa memikirkan jawaban yang tepat, jadi aku hanya terus berjalan bersama Aline, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.

"Hai, Sheena. Kenapa buru-buru amat? Mau ke mana?" Suara Keenan muncul tiba-tiba, mengagetkanku. Dia sudah ada di depanku, melepas helm full-face-nya. Jaket jeans hitamnya kusut, sama seperti seragamnya yang selalu terlihat sedikit berantakan. Tapi, di balik semua itu, ada sesuatu pada rahangnya yang tegas, matanya yang penuh percaya diri, dan senyum yang mampu membuat kekhawatiranku sirna seketika.

Aku selalu merasa ada kehangatan dalam dirinya. Sederhana, tapi nyata. Seperti mentari sore yang pelan-pelan menghilang, tapi meninggalkan jejak cahaya hangat yang terus menyelinap dalam pikiran. Tanpa bisa kucegah, senyumku melebar. Keenan memiliki cara membuatku merasa lebih ringan, seolah dunia tak seberat yang terlihat.

Tapi sebelum aku sempat membalas, Aline sudah menjawab, dengan nada yang cepat dan tegas. "Aduh, Keenan. Kita mau ke toko buku yang lagi rame nih," katanya, menggandeng lenganku, menarikku menjauh.

Keenan tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap padaku. Ada keseriusan di sana, tapi juga kehangatan yang tak pernah hilang. “Mau aku anter?” suaranya tenang, sedikit lembut, seperti tawaran yang sederhana tapi penuh makna.

"Heh! Mau bonceng tiga? Enak aja!" Aline menjawabnya cepat, nada suaranya penuh ketegasan. Aku tahu dia hanya ingin memastikan situasi tetap terkendali. Aline selalu seperti itu—tak suka memberi ruang untuk situasi yang tak pasti.

Keenan hanya mengangkat alis, dengan senyum santainya yang selalu membuat semuanya tampak lebih mudah. "Ya nggak lah, Alsha bareng gue," katanya, suaranya ringan namun penuh keyakinan. Seolah-olah itu solusi yang paling masuk akal.

Aline menghentikan langkahnya dan menatap Keenan dengan ketidakpuasan yang jelas. “Lah terus? Gue mau dikemanain?” suaranya kini lebih tinggi, matanya menuntut jawaban yang jelas.

Tapi Keenan tak terganggu. Dengan ketenangan yang sama, dia menoleh ke arah teman-temannya dan berteriak, "Woy!" Suaranya bergema di udara sore yang tenang, dan dalam hitungan detik, teman-temannya mulai bergerak mendekat. Semuanya tampak begitu biasa bagi mereka, seolah ini bagian dari rutinitas sehari-hari.

Aku berdiri di sana, merasa aneh karena tak tahu harus bereaksi bagaimana. Di antara keributan itu, Kafka muncul terakhir, seperti biasa, diam dan sedikit terpisah dari yang lain. Tatapannya sekilas bertemu denganku, tapi tak ada ekspresi yang jelas. Hanya keheningan dalam matanya yang terasa lebih dalam dari yang bisa kukatakan.

"Siapa di antara kalian yang mau bonceng Aline, gue traktir selama seminggu," tanya Keenan pada teman-temannya.

"Hus! Lo bareng Kafka aja, biar gue yang nganterin Aline." Nevan mengusir Abhi dengan nada tegas.

"Gak, gak! Gue gak mau bonceng Abhi." Kafka tiba-tiba melepas earphone-nya, menyuarakan penolakannya dengan nada tegas. Aku merasa tertarik melihat sisi lain dari Kafka yang jarang terlihat.

"Lo itu jatuh dari langit, Kaf? Soalnya setan biasanya gitu," ucap Abhi dengan sindiran yang membuatku sedikit tersenyum. Abhi selalu punya cara untuk menambahkan humor dalam situasi yang serius.

"Oh, jadi lo mau bilang kalo gue itu setan?" sahut Kafka, nada suaranya mengancam, tangannya mengepal erat seolah siap untuk memukul.

"Ehh, bro, gue bercanda kok!" jawab Abhi dengan cepat, tangannya terangkat ke depan sebagai tanda permohonan maaf. "Gue gak serius, cuma buat lucu-lucuan aja. Jangan baper lah!"

Tapi saat ini aku tidak mau mendengar mereka bertengkar, ini sudah hampir jam 3 sore.

"Aduh, aku sama Aline naik angkot aja deh, nggak mau ngerepotin kalian," ucapku dengan nada lembut namun tegas. Keputusan ini rasanya adalah cara terbaik untuk menghindari keributan lebih lanjut.

Aline menarik tanganku dengan lembut, lalu berbisik pelan di telingaku. "Biar kita dianter mereka aja, lumayan kan bisa hemat di ongkos, selain itu, biar kita juga hemat waktu. Toh, kita juga belum tentu cepet dapet angkot." Kata-katanya membuatku berpikir sejenak. Memang, memanfaatkan tawaran mereka akan lebih efisien. Aku mengangguk setuju, merasa keputusan Aline adalah yang paling bijaksana saat ini.

"Yaudah ayo, buruan, keburu stok bukunya abis nih. Jadi nganter nggak!" Teriak Aline di tengah keributan teman-teman Keenan.

"Buset, galak banget nih cewek," kata Kafka dengan nada pelan, mungkin merasa sedikit terkejut dengan semangat Aline.

Sementara itu, aku mengamati Kafka yang dengan cepat mengulurkan helm ke arah Aline. Momen ini tampaknya mengungkap sisi lain dari Kafka yang jarang aku lihat.

"Nih, ayo buruan naik, jangan ngoceh mulu." Ujar Kafka sambil menyodorkan helm dengan ekspresi yang campur aduk antara kesal dan perhatian.

Eh? Aline bareng Kafka? pikirku dalam hati, sedikit bingung melihat Aline yang sudah memakai helm dan Kafka yang tampaknya bersedia mengantarnya. Perasaanku campur aduk antara rasa terima kasih dan rasa ingin tahu.

Di satu sisi, Keenan mengulurkan tangannya ke arahku, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Bareng aku," ucapnya dengan nada ramah dan penuh percaya diri.

Abhi dari belakang ikut berkomentar dengan nada menggoda, "Ah elah, berasa kayak dongeng aja, pangeran yang menyambut tuan putrinya."

Nevan langsung menimpali dengan ceria, "Iri bilang!"

Abhi mengangkat bahu, "Gue nggak iri, ya! Gue cuma ngerasa nyes aja, gini amat jadi jomblo." Keluhannya membuat kami semua tertawa, suasana menjadi lebih ceria.

Keenan tersenyum dan menatapku dengan serius, "Jangan lupa pegangan, Sheena." ucap Keenan sebelum kami berangkat.

Ketika akhirnya kami tiba di toko buku, suasana penuh semangat yang kami rasakan sebelumnya segera berubah menjadi kekecewaan. Kami bergegas menuju rak tempat novel yang kami cari dipajang. Namun, pandangan kami terhenti pada rak yang kosong, tanpa sisa satu eksemplar pun.

"Yah, udah kehabisan kita," keluhku, mataku merunduk melihat kekosongan yang mengecewakan itu.

Aline menghela napas panjang, ekspresinya menunjukkan rasa kesal. "Gara-gara kalian sih, lama amat debatnya. Tuh lihat, jadi kehabisan kan," ujarnya dengan nada kecewa, membuat beberapa pengunjung di toko menoleh ke arah kami.

"Sabar ya, Al. Mungkin lain kali kita bisa dapetin buku itu," ucap Aline mencoba menenangkan.

Namun, rasa bingung menyelimuti pikiranku. Di tengah-tengah kekacauan itu, aku melihat Keenan mondar-mandir di toko, tampak seperti sedang mencari sesuatu.

"Kamu cari apa, Keenan?" tanyaku penasaran.

Keenan menoleh dengan ekspresi serius. "Novel yang kamu mau, Sheena."

"Sayangnya, novel itu sudah habis," jawabku, merasakan sedikit rasa putus asa.

"Siapa tahu masih ada, atau mungkin belum dipajang oleh petugas toko. Tunggu sebentar, aku akan tanya ke mereka," ucapnya dengan tekad yang membuatku terkejut.

Aku mengamati Keenan dengan penuh harapan saat ia mendekati petugas toko. Tak pernah kusangka, Keenan masih berusaha untuk mendapatkan novel yang sangat aku inginkan.

"Permisi, mas. Novel dengan judul ini masih ada nggak?" tanya Keenan sambil menunjuk pada daftar buku yang kami cari.

Petugas toko yang sedang sibuk menata buku-buku di rak mengangkat kepala. "Maaf, dik. Novel itu sudah habis hari ini. Stoknya terbatas dan sudah terjual habis."

Keenan tidak menyerah. "Beneran nggak ada, mas?"

"Iya."

"Tapi kalau nggak salah lihat, tadi saya sempat melihat dua orang laki-laki dengan seragam almamater yang sama seperti kalian. Mereka berhasil mendapatkan novel itu dari stok terakhir," tambah petugas toko.

Aku menatap Keenan dengan penuh harapan, berharap ada solusi. "Siapa, mas?" tanyaku, merasa ada sedikit harapan untuk meminjam novel dari orang yang dimaksud.

"Maaf, dik. Saya kurang tahu."

"Tapi, mas, apa mas nggak punya catatan nama pembeli?" Keenan bertanya dengan nada lembut namun penuh harapan.

"Nggak, dik. Kami nggak menyimpan catatan nama pembeli untuk buku-buku seperti ini," jawab petugas toko, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Oh, okay. Makasih, mas," ucap Keenan sebelum kami berpaling dan meninggalkan petugas toko yang kembali sibuk dengan tugasnya.

Perasaan kecewa masih membekas dalam diriku, namun ada satu siswa yang berhasil mendapatkan novel itu. Meskipun kami tidak dapat menemukannya, aku berharap bisa mencari tahu siapa yang beruntung itu.

"Nanti aku bantu cari tahu siapa yang berhasil mendapatkan novel itu, Sheena," bisik Keenan lembut di telingaku.

Aku tertegun mendengar tawarannya. Keenan selalu bersikap baik padaku. Apakah dia memang sebaik itu atau ada alasan lain di balik semua kebaikannya? Hatiku terasa hangat dengan kepedulian yang dia tunjukkan, namun juga penuh rasa ingin tahu.

Saat aku melangkah keluar dari toko buku, rasa kecewa akibat kehabisan novel yang telah lama kuincar menyelimuti pikiranku. Namun, seiring dengan perasaan tersebut, aku baru menyadari sesuatu yang jauh lebih penting.

Kalung itu. Kalung yang selama ini selalu kukenakan bukan hanya sebagai perhiasan, tetapi sebagai warisan berharga dari nenekku. Aku baru sadar kehilangan kalung itu setelah sekian lama terlupakan dalam hiruk-pikuk pencarian novel yang gagal. Kalung itu bukan sekadar barang, melainkan sebuah penghubung antara masa lalu dan masa kini, simbol dari kenangan yang terpatri dalam jiwaku.

Aku kembali mengingat betapa sebelumnya aku mencarinya dengan panik di lapangan. Namun kehebohan dan ketegangan hari ini telah menghapus ingatanku tentang hal itu. Kini, selain kehilangan kesempatan untuk mendapatkan buku yang sangat kuinginkan, aku juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kalung yang penuh makna itu mungkin telah lenyap.

Kehilangan buku dan kalung ini terasa seperti bagian dari kisah yang lebih besar, sesuatu yang belum sepenuhnya ku mengerti. Keduanya, meskipun berbeda dalam bentuk dan arti, merupakan bagian dari perjalanan hidupku. Aku merasa bahwa kehilangan ini mungkin lebih dari sekadar kebetulan—mungkin ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang akan mengubah hidupku.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status