All Chapters of Malam Pertama dengan Janda Anak 2: Chapter 11 - Chapter 20

40 Chapters

11. Istri Rangkap Pembantu

Aku tiba di rumah jam sebelas malam. Terlalu asik bercakap-cakap dengan orang tua Luna, membuatku lupa waktu. Sudah lama memang kami tak bertemu. Terakhir saat aku dan papanya tidak sengaja bertemu di acara pernikahan salah satu guru SMA kami. Tumben, lampu depan masih menyala, tapi rumah sepi. Aku membuka pintu dengan mudah karena tidak terkunci. "Assalamu'alaikum, Mbak Aini," panggilku. Namun, tak ada sahutan. Aku mengunci pintu kembali, kemudian memadamkan lampu ruang tamu. Aku terkejut saat melewati ruang makan dan melihat mbak Aini tengah tertidur. Ada aneka makanan terhidang di atas meja. Ya, ampun, aku lupa! Lupa kalau tadi pagi, aku minta mbak Aini untuk memasak. "Mbak, bangun!" Panggilku sambil menyentuh pundaknya dengan jari telunjuk. Wanita itu tersentak. "Eh, ya, ampun, saya ketiduran. Maaf, Mas. Mau makan ya, saya ---""Mbak, saya udah makan tadi. Maaf saya gak ngabarin Mbak Aini." Aku menahan tangan wanita itu saat hendak beranjak dari kursinya. "Oh, udah makan. Te
Read more

12. Menjadi Istri, tapi Bukan Istri Beneran

PoV Aini"Tadi malam ada apa, Ai? Kamu pulang diantar siapa?" tanya bu Santi; ibu dari Eko. Tetangga yang sama-sama memulung barang bekas plastik. "Oh, itu, mm... orang itu gak sengaja menyerempet saya di jalan, Bu, tapi tanggung jawab. Makanya saya diantar sampai atas. Oh, iya, Bu. Ini saya bayar utang beli beras kemarin." Aku menyerahkan uang seratus ribu dari dalam saku dasterku yang sudah lusuh. "Masih licin banget lembaran merahnya. Apa ini dari lelaki semalam?" tanya bu Santi penasaran. Aku pun mengangguk. Memang dari mas Dhuha. Mahar yang dia berikan untukku. "Uang ganti rugi?" aku tersenyum. Bu Santi benar-benar penasaran. "Ya sudah, saya terima. Tapi kamu gak papa, gak luka'kan?""Nggak, Bu, udah saya kasih minyak. Nanti juga sembuh. Saya mau keliling dulu. Mumpung Intan masih tidur.""Ya sudah sana jalan. Biar saya yang temenin Intan sama Izzam! Makannya udah kamu siapin kan?" aku mengangguk. Sudah masak semur telur dan tahu tadi dengan bumbu seadanya dan peralatan dapur
Read more

13. Luna Bertemu Aini

"Jadi nama kamu Aini?" tanya seorang wanita yang dipanggil mama oleh mas Dhuha. Itu berarti ini ibu mertuaku. Tatapannya tak bersahabat. Jelas saja, anaknya yang tampan dan kaya menikahi janda anak dua. "Iya, Bu. Eh, Ma," jawabku terbata. "Siapa suruh kamu panggil Saya mama? Saya belum menerima kamu jadi menantu di rumah ini!" Aku menelan ludah. Tenang Aini, kata suamimu, kamu hanya perlu jawab seperlunya saja. "Baik, Bu." "Suami kamu ke mana? Meninggal atau kabur?" "Suami saya.... ""Ibu, Intan nangis!" Seru Izzam dari dalam kamar. "Bu, maaf, saya ke kamar dulu." Aku pun bergegas berlari masuk ke kamar. Untunglah Intan menangis dengan suara kencang, sehingga alasannya tepat sekali aku untuk meninggalkan sejenak ibu mertuaku. Aku terkejut saat beliau tiba di rumah karena mas Dhuha tidak pesan apapun perihal kedatangan ibunya. Bisa jadi memang beliau ingin tiba-tiba saja berkunjung untuk mencari informasi tentangku dan anak-anakku."Ibu, itu nenek kan?" tanya Izzam yang duduk di
Read more

14. Kalian Belum Malam Pertama?

Sore hari, setelah semua tamu pulang, akhirnya aku bisa bermain bersama Izzam dan Intan. Kami main di halaman belakang. Ada bola kecil yang sudah kotor tergeletak begitu saja di dekat pot bunga. Bola itu aku cuci bersih, kemudian aku mainkan bersama Izzam. Intan anteng duduk di atas karpet sambil mengunyah biskuit. "Ibu, udah, ah, mainnya. Mau makan kolak yang dibuat Ibu," ujar Izzam dengan napas yang terengah-engah. "Boleh, cuci tangan dulu dan ganti baju ya. Setelah itu baru makan kolak. Ibu ambilkan juga untuk adek." Izzam masuk ke dalam rumah untuk menunaikan perintahku. Lanjut aku pun mencuci tangan sampai bersih, lalu menyiapkan kolak pisang dua mangkuk untuk Izzam dan Intan. "Enak sekali." Izzam mengangkat ibu jarinya. "Makasih Ibu," katanya lagi. "Sama-sama." Aku menyuapi Intan makan kolak pisang. Tet! Suara bel berbunyi. "Ibu lihat dulu tamunya. Mungkin ayah Dhuha pulang." Aku menaruh Intan di atas karpet, lalu bergegas membuka pintu rumah. Rupanya ada mas Hakim, sep
Read more

15. Kamu Harus Menghamili Aini!

Pov Dhuha"Opa mana?" tanyaku pada mama dengan setengah berbisik. "Lagi di depan, sama anak sambung kamu." Mamaku menyahut tanpa semangat. Aku tahu, mama begitu kecewa dengan keputusanku. "Ma, maafin, Dhuha ya," kataku sambil merangkul pundak mama. "Gak mudah!" Mama menepis tangan ini. "Mama yakin ada yang gak beres antara kamu dan perempuan itu. Gak mungkin kamu tiba-tiba udah nikah dengan wanita di bawah standar kamu dan keluarga kita. Dhuha, dia janda, kamu CEO, pemilik perusahaan. Anak satu-satu dan cucu laki-laki pertama Fauzi Wiratama. Dia udah ada anak, kamu bujangan. Kamu kira Mama gak gila mikirin kamu dan wanita itu?!""Ma... suaranya!" Mama benar-benar berteriak. Aku yakin sekali Aini dengar, tapi mau bagaimana lagi. Untunglah aku bisa mengkondisikan Aini untuk tidak perlu memedulikan ucapan mama karena memang kami menikah karena kesepakatan. Jika kami menikah atas dasar cinta dan mama bersikap seperti ini, aku yakin Aini pasti sedih sekali. "Ma, eh, Bu... Mas, makan s
Read more

16. Kesempatan dalam Kesempitan

"Ya sudah kalau nggak mau, saya cuma nawarin he he he.... " Aini pun langsung merosot turun dan berbaring di ats karpet.. "Di atas sini kasurnya lega, kenapa harus tidur di bawah?" Aini hanya tersenyum saja. "Saya di sini saja, Mas. Di sini juga empuk banget. Gak papa Intan aja yang tidur di kasur atas sama Mas Dhuha. Gak muat kalau saya ikutan di atas, nanti kesempitan. Kalau saya tidur terlalu dekat dengan Mas Dhuha, nanti Mas Dhuha malah ngambil kesempatan." Aku tertawa terpingkal-pingkal. "Dasar aneh! Ya sudah, terserah kamu saja! Aku ngambil kesempatan apa, coba? Tuker kulit? Ha ha ha.... " Aini hanya menyeringai saja. Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya, tapi wanita itu malah tidur miring ke arahku. "Oh, iya, Mas, saya besok mau ke rumah lama ya?" aku langsung berbalik, kembali menghadapnya. "Mau ngapain?" tanyaku heran. "Setiap tanggal dua puluh, bos Anton selalu kirimin saya sembako.""Siapa itu bos Anton?" tanyaku lagi. "Bos lapak barang-barang bekas. Duda, tapi
Read more

17. Ciuman Pertama

"Enak sekali masakan istri kamu, Dhuha. Opa suka ini. Sudah lama Opa gak makan tempe goreng seperti ini," ujar opa begitu semangat. Ini sudah empat potong tempe yang ia habiskan dengan cepat. "Hanya tempe goreng, Opa," jawabku santai. Aku baru saja duduk dengan pakaian rapi hendak ke kantor. Jika ada opa di rumah, aku wajib sekali terlihat sibuk. Padahal aslinya aku begitu malas ke kantor. "Ini tempe goreng yang dibumbui. Coba aja kamu cicipi. Tumis kangkungnya juga enak. Berasa bumbu dan aduh, Opa tinggal di sini saja deh, masakan istri kamu mengingatkan Opa dengan masakan oma." Aku melirik Aini yang hanya bisa tersenyum di tempatnya. Ia pasti bingung kenapa opa begitu memuji tempe goreng biasa buatannya. "Jangan terlalu banyak minyak, nanti Opa kambuh lagi!""Nggak bakalan. Tempe ini adalah makanan sehat. Kamu jangan protes mulu kalau Opa muji istri kamu. Harusnya kamu senang, toh!" aku pun akhirnya mengambil tempe goreng yang sejak tadi diagung-agungkan opa Fauzi. Dan... rasanya
Read more

18. Pernikahan Kontrak, jadi Jangan Berharap Lebih

"Ada apa, Mas? Kamu kenyang ya? Kenapa gak makan makanan yang aku bawakan?" tanya Luna sambil terus menatapku. "Oh, bukan, Luna. Aku hanya lagi kepikiran pekerjaan. Maafkan jika mood-ku lagi agak berantakan hari ini," kataku lagi sambil tersenyum. "Bukan karena pembantu kamu yang kerja bawa anak itu kan?" "Oh, bukan itu. Baiklah, aku makan. Kamu udah makan?""Belum, aku emang pengen makan bareng kamu, Mas. Mama udah masakin ini, masa gak dimakan. Ayo, kita makan sama-sama." Aku pun akhirnya mengangguk. Kasihan juga dengan Luna sudah jauh-jauh berkunjung ke kantor jika makanannya tidak aku makan. Kami makan dengan santai. Luna selalu bisa menjadi teman ngobrol yang asik dan juga seru. Sampai makanan yang tadinya tidak bernafsu untuk aku cicipi, kini sudah habis. Perutku kekenyangan dan pikirin ini sedikit plong. "Maaf kalau aku tanggung waktu sibuk kamu ya, Mas," ujarnya sambil membereskan tempat bekal. "Luna, aku yang minta maaf, selalu aja bikin kamu repot. Makanan mama selalu
Read more

19. Ke mana Aini?

"Halo, Hakim, lu di mana?""Gue di Bandung. Ini bini lu nelpon gue tadi siang, tapi gue gak angkat karena meeting. Gue telepon balik, udah gak nyambung. Emang ada apa?""Loh, Aini nelpon lu? Dia gak nelepon gue. Emang dia hapa nomor HP lu, kok bisa? Parah tuh cewek, HP suami sendiri gak dihapalin, malah nelpon ke lu!""Udah, Dhu, bukan waktunya banyak nanya. Kata opa, Aini gak pulang-pulang ini udah malam. Pamit ke puskesmas. Bener itu?""Iya, bener, tadi ijin ke gue.""Lu anter?""Nggaklah, gue ngantor, mana gue tahu dia naik apa? Lagian gue gak tahu nomor telepon dia. Aini emang punya HP?""Ada, gue kasih kan, hadiah pernikahan lu berdua!""Ah, sial! Kenapa gak ngomong lu?! Mana nomornya, cepat kirim!" aku benar-benar kesal, sekaligus panik. Ke mana Aini, kenapa perginya lama? Apa jangan-jangan dia yang menelepon aku tadi siang? Sebuah kontak dikirimkan oleh Hakim. Aku pun langsung mengeceknya dan benar sekali, nomornya sama dengan nomor yang tadi siang aku abaikan. Ada lima pangg
Read more

20. Paniknya Dhuha

Malam itu juga, aku langsung menuju Sukabumi. Hakim pun katanya akan datang, tapi ia berangkat dari Bandung. Aku ditemani Putra. Penjelasan Putra membuatku tidak bisa menyetir dengan benar. Aku khawatir nanti malah kami kenapa-napa di jalan. "Lu yakin gak ada lagi yang lu sembunyikan dari gue kan, Put?" tanyaku pada Putra."Nanti saja setelah kita sampai di Sukabumi. Petugas di sana yang akan menjelaskan. Lu bukannya CEO, kenapa istri lu imunisasi di puskesmas? Bangkrut apa gimana lu?" aku tak tahu harus menjawab apa. "Istri gue yang keukeuh mau ke puskesmas. Ini pelajaran buat gue, lain kali, gue anter aja," jawabku tak yakin. Ada banyak rencana di kepala ini. Mungkin salah satunya adalah dengan memberikan rumah yang layak huni untuk Aini dan kedua anaknya, saat kami berpisah nanti. Mungkin aku pun harus mensupport keuangan mereka, seperti yang sekolah, dan belanja harian. Anggap saja, Intan dan Izzam adalah anak yatim yang aku angkat jadi anak. Mungkin seperti anak asuh gitu. T
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status