Semua Bab Malam Pertama dengan Janda Anak 2: Bab 41 - Bab 50

230 Bab

41. Bagaimana Kalau Hamil?

"Lihat Aini, begitu banyak lelaki yang memperebutkan kamu. Gak yang ini, gak yang ono, keduanya sama-sama mabuk kepayang. Padahal kulit kita sama hitam, badan kita sama kurus, tapi.... " Santi melirik Anton yang tersenyum. "Tapi Mbak Santi anaknya satu. Aini anak dua dan perlu dibela, sedangkan Mbak Santi anaknya baru satu, Eko doang! Bapaknya juga gak tahu siapa... " Anton ikut duduk diantara Aini dan Santi. "Ish, malah buka aib! Udah, ada apa Bos kemari?" tanya Santi masih dengan intonasi kesal. "Ini kan acara cewek-cewek ngobrol. Masa kepo terus?" "Yang bawa kamu ke sini itu aku, jadi terserah aku mau kepo atau nggak.""Sudah, sudah, kenapa Bu Santi dan Bos Anton malah bertengkar? Saya sangat berterima kasih karena masih ada teman-teman yang peduli dengan saya dan anak." Aini merangkul pundak Santi sambil tersenyum hangat. "Saya gak mau memikirkan yang lain, saat ini saya mau fokus kerja dan urus anak-anak saja.""Rumah kamu tersapu banjir, Ai. Kamu mau tidur di mana? Mau kerj
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-20
Baca selengkapnya

42. Opa Fauzi Mencari Izzam

"Permisi Bu Guru, saya opanya Izzam. Siswa TK A yang baru masuk. Saya mau jemput cucu saya," kata opa Fauzi pada salah satu guru yang sedang mengantarkan siswa yang sudah dijemput orang tuanya. Ya, pria paruh baya itu sengaja memberikan kejutan pada Izzam setelah tiga hari pergi keluar kota karena ada urusan kantor. "Oh, Izzam udah gak sekolah sejak kemarin, Opa. Saya telepone ibunya, tapi gak tersambung." Wajah opa Fauzi langsung kebingungan. Apa cicitnya sakit? Meski bukan cicit kandung, tapi opa suka dengan Izzam yang pintar dan penurut. "Oh, gitu, wah, saya gak tahu. Baiklah kalau gitu, Bu Guru, saya pamit." Opa masuk ke dalam mobilnya tak bersemangat. Ia menoleh ke samping, melihat box besar terbungkus kertas kado. Hadiah yang ia belikan untuk Izzam. Ia pun membelikan hadiah untuk Aini dan Intan. "Kita ke mana lagi, Tuan?" tanya Pak Ganjar yang bertugas sebagai sopir opa Fauzi. "Ke rumah Dhuha saja langsung. Saya udah kangen cicit saya." Opa Fauzi tersenyum. Membayangkan beta
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-20
Baca selengkapnya

43. Luna Bertengkar dengan Dhuha

Luna masih menangis di kamarnya karena menyesali perbuatannya yang berlebihan pada lelaki yang seharusnya ia hormati dan ia sayangi. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Dhuha karena lelaki itu pun kecewa akan sikap sang Istri yang diluar kendali. Pria itu meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia baru saja melihat video sang Istri yang mencaci dan berteriak pada opa Fauzi. "Mas, maafin aku," kata Luna sedih. "Harusnya kamu minta maaf pada opa." Dhuha menghela napas. "Aku takut, Mas. Kita jadi bagaimana? Tadi aku terlalu berlebihan pada opa karena aku gak tahu. Coba aku tahu dia opa kamu, pasti aku akan layani dengan baik, Mas.""Tapi kamu berlebihan, Sayang dan setiap ucapan yang keluar dari bibir kamu, membuat aku syok. Aku pun kecewa. Sudahlah, bereskan lagi pakaian kamu, kita balik ke apartemen!" Dhuha berdiri dari duduknya, tetapi Luna menghentikan gerakan suaminya. "Mas, kamu marah juga sama aku?" "Bedakan marah dengan kecewa. Sudah terlanjur membuat opa kesal. Kita pergi saja du
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-21
Baca selengkapnya

44. Minta Modal

Aini keluar dari kamar dan mendapati Izzam sedang duduk melamun di kursi tamu. Ia menghampiri putranya yang tengah bersedih. Ya, Izzam sedih karena belum sekolah, padahal ia baru saja masuk sekolah TK. "Izzam, main di depan yuk!" Ajak Aini mengalihkan perhatian Izzam. Anak lelaki kecil itu menggeleng. "Gak mau, Bu." Tiba-tiba saja matanya sudah berair. "Kalau mau sekolah, harus banyak duit ya, Bu?" tanya Izzam. "Apa Izzam ngamen aja?" "Eh, kenapa Izzam bilang gitu? Bos Anton lagi cari sekolahan untuk Izzam yang dekat dari rumah kita sekarang ini. Biar gak usah naik angkot atau ojek. Yang bisa jalan kaki ke sekolah." Wajah Izzam yang sejak awal murung, kini berubah semringah. "Beneran, Bu?" tanya Izzam antusias. Aini mengangguk sambil mengusap pucuk kepala Izzam. Takkan mungkin ia biarkan anak sekecil Izzam bertarung di jalanan demi bisa sekolah. Biar ia saja yang bekerja banting tulang untuk Izzam dan Intan, meskipun bukan buah hati yang lahir dari rahimnya. "Ibu beneran, Ibu g
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-21
Baca selengkapnya

45. Bertemu Teman Lama

POV LunaIni adalah hari kesepuluh aku menikah dengan mas Dhuha, tetapi sampai detik ini, suamiku belum menyentuhku. Aku pernah menggodanya, tetapi gagal. Yang ada, ia marah dan memilih tidur di sofa ruang tamu. Kami memang pindah ke sebuah rumah untuk sementara. Rumah salah satu teman mas Dhuha yang memang dikontrakkan. Rumah mewah di komplek perumahan elit. Ada empat kamar besar di sini karena papa, mama, dan Dion ikut tinggal bersama kami. Apakah ini yang membuat mas Dhuha uring-uringan enggan menyentuhku? Apartemen yang kemarin kami tinggali, bagi Mas Dhuha sangat privasi dan ia tidak mau ada banyak orang yang wara-wiri di sana. Apalagi Dion kerap membawa temannya belajar kelompok atau sekedar main game. Padahal aku sudah menegur Dion, tapi tetap saja adikku itu membandel. Alhasil, aku yang dapat wajah masam dan sikap kesal suamiku. "Ada apa, Nak?" aku menoleh pada ibu yang menyentuh bahuku. "Gak papa, Bu." Aku tersenyum. "Ibu perhatikan, sejak tadi bengong saja. Kenapa gak j
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-22
Baca selengkapnya

46. Obat Perangsang

"Maaf, Lun, jika pertanyaan gue agak pribadi." Nisa terlihat tak nyaman. "Pertanyaan apa? Lu mah, kayak sama orang lain aja. Santai dong!" Nisa tertawa pelan. "Lu masih virgin atau udah.... "Aku tertawa "Mungkin kalau gue bilang, gue masih virgin. Lo pasti gak percaya, tapi kenyataannya gitu. Gue masih orisinal. Pernah punya cowok bule dua kali, tapi gue nolak saat mereka ngajak bercinta. Bukannya apa, gue belum benar-benar falling in love aja. Beda kalau Dhuha yang ajak, mungkin gue mau ha ha ha.... ""Wah, keren, lu! Ya udah, pas banget kalau lu ngasih mahkota lu sama Dhuha. Dia pasti makin cinta sama lo!"Aku mampir di apotek untuk membeli obat yang disebutkan Nisa. Maklum saja, Nisa memang awalnya perawat di rumah sakit swasta, tetapi saat suaminya memboyongnya ke Surabaya, Nisa berhenti bekerja dan mendedikasikan hidupnya untuk keluarganya. Aku percaya obat yang diresepkan olehnya adalah obat mujarab. Iseng-iseng aku pernah kasih di minuman suamiku, malah besoknya aku gak bi
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-22
Baca selengkapnya

47. Digendong ke Kamar

Aku merasakan tubuh pria itu menegang saat aku menarik risleting celananya turun. "Mbak, jangan gila!" ia menahan tanganku, tetapi aku terus memaksa sambil mengeluarkan air mata. "Saya gak akan minta apapun, Mas, saya hanya minta tolong." Aku menarik sweater dengan kasar, hingga tersisa lingerie ku saja. Aku tahu pria itu semakin tak berkutik. "Mas, tolong!" Aku mengarahkan tangannya ke dadaku. "Mbak yang mulai, jadi jangan salahkan saya!" Untuk selanjutnya yang aku rasakan adalah sebuah pergulatan luar biasa di dalam mobil. Aku meledak-ledak, meski aku kesakitan. Aku pun mengeluarkan air mata pedih, antara menyesal dan juga marah. Bukan aku tak tahu apa yang aku lakukan, tetapi semua ini terjadi karena mas Dhuha. Ia adalah orang yang harus disalahkan. "Mbak masih p-perawan! Ya, ampun, bagaimana ini?" pria itu nampak kebingungan. "Te-ri-ma kasih," ucapku tersendat-sendat. Napasku masih terengah-engah dan juga tubuhku lemas. Pria itu segera merapikan baju dan celananya. Entah ke
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-22
Baca selengkapnya

48. Gak Pulang

PoV DhuhaKalau gak ada satu, setengah milyar juga gak papa, Dhuha. Papa perlu banget. Cuma kamu menantu papa yang bisa menolong papa. Aku menekan pangkal hidung dengan kuat. Sejak orang tua Luna tinggal bersamaku, tidak habis urusan uang, uang, dan uang. Bukan jutaan lagi atau belasan juta, tapi milyaran. Satu milyar sudah pernah aku berikan, tapi tidak ada nampak di matanya. Empat belas hari berumah tangga, selama empat belas hari juga aku dibuat sakit kepala, sampai aku malas pulang. "Dhuha, lo kenapa? Itu, Om Fauzan nungguin lo ngomong," ujar Hakim sambil menyikut tanganku. "Eh, i-iya, kenapa?" tanyaku masih belum tersambung dengan apa yang sedang ditunggu enam orang dalam ruang rapat. "Sepertinya sejak menikah, kamu banyak melamun. Ada apa? Jika ada masalah, selesaikan dahulu secara baik-baik, baru kamu ngantor. Kalau gini, kamu bikin kerjaan jadi lambat. Ada apa, Dhuha?" tanya om Fauzan dengan nada tegasnya. "Bukan apa-apa, Om. Cuma lagi gak enak badan aja. Mungkin kecapean
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-23
Baca selengkapnya

49. Minta Ijin pada Mama

"Lo gak ngantor? Nanti istri lo nyariin, Dhu." Aku menyesap kopi susu buatan Hakim. Dia anak bujangan yang pintar sekali meracik kopi karena Hakim pernah ikut kursus selama dua bulan. Ia pun punya cafe kopi kecil di daerah Depok karena memang sesuka itu Hakim dengan kopi. "Ngantor, tapi siang. Gue ada meeting jam sepuluh di Sudirman. Sebelum meeting, gue mau mampir ke rumah mama. Gue mau bilang kalau gue mau cerai aja." Hakim tertawa mendengar ucapanku yang antusias, sedangkan aku hanya bisa berdecih sebal. "Lo puas banget liat gue sial!" tawa Hakim semakin menggelegar. "Sorry, soalnya nasib lo itu tragis, Dhuha. Ya udah, semoga mama lo ngerti. 😂Gue cabut dulu." Hakim pun pergi dengan mobil sport nya. Aku kembali menghabiskan kopi yang tersisa seperempat. Setelahnya, aku langsung memesan taksi online. Pakaian kerjaku masih ada di rumah mama. Sehingga aku berganti pakaian nanti di sana saja. Jam sudah berada di angka delapan lebih lima belas menit. Aku sampai di rumah mama dengan
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-24
Baca selengkapnya

50. Tanda Merah

Aku tersentak saat ponselku berdering nyaring. Aku berusaha bangun mencari benda pipih itu, tetapi aku merasakan berat pada dadaku. Seketika itu juga aku tersadar, itu adalah tangan Luna yang memelukku. Aku telah tidur dengan Luna dan kini aku pun hanya bisa menyesalinya. Luna tidur dengan lelap di balik selimut merah maron milikku. Ada tanda merah di lehernya, bukan hanya satu, tapi ada banyak dan itu karena kelakuanku. Pelan-pelan aku menyingkirkan lengan Luna agar ia tidak terbangun. Aku tidak siap jika ia bangun dan menatapku dengan tatapan mengejek. Aku bergegas masuk ke kamar mandi sambil membawa ponselku. Benar saja, vendor yang hari ini janjian denganku yang menelepon. "Halo.""Halo, Pak Dhuha, kami sudah jalan ke lokasi. Pak Dhuha ada di mana?""Oh, Pak Rico ya. Ini saya baru saja bangun. Maafkan saya lagi kurang sehat, tadi minum obat. Rupanya malah ketiduran. Saya mungkin terlambat, tapi pertemuan kita hari ini tetap ada ya Pak Rico. Mohon saya ditunggu.""Apa mau di res
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-24
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
23
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status