Aku tersentak saat ponselku berdering nyaring. Aku berusaha bangun mencari benda pipih itu, tetapi aku merasakan berat pada dadaku. Seketika itu juga aku tersadar, itu adalah tangan Luna yang memelukku. Aku telah tidur dengan Luna dan kini aku pun hanya bisa menyesalinya. Luna tidur dengan lelap di balik selimut merah maron milikku. Ada tanda merah di lehernya, bukan hanya satu, tapi ada banyak dan itu karena kelakuanku. Pelan-pelan aku menyingkirkan lengan Luna agar ia tidak terbangun. Aku tidak siap jika ia bangun dan menatapku dengan tatapan mengejek. Aku bergegas masuk ke kamar mandi sambil membawa ponselku. Benar saja, vendor yang hari ini janjian denganku yang menelepon. "Halo.""Halo, Pak Dhuha, kami sudah jalan ke lokasi. Pak Dhuha ada di mana?""Oh, Pak Rico ya. Ini saya baru saja bangun. Maafkan saya lagi kurang sehat, tadi minum obat. Rupanya malah ketiduran. Saya mungkin terlambat, tapi pertemuan kita hari ini tetap ada ya Pak Rico. Mohon saya ditunggu.""Apa mau di res
"Eh, suamiku sudah pulang." "Duh, kaget! Kirain kamu udah tidur." Aku mengurut dada karena terkejut. Dalam kegelapan kamar, Luna menyapaku. Sepertinya memang sengaja, buktinya sekarang dia sedang menertawakanku. Segera saja aku menekan saklar lampu. "Mau aku buatkan minum, Mas?" aku menoleh ke belakang dan kali ini, Luna menghampiriku hanya dengan br@ dan kain segitiganya. Padahal kamar ini dingin. Apa ia tidak takut masuk angin? Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas. Aku ambil sarung kotak-kotak yang ada di pinggir ranjang, lalu aku berikan padanya. "Tadi pagi, aku karena pusing, makanya kita bisa bercin t@. Sekarang aku lagi gak pusing, justru aku lagi sadar, sehingga aku gak mau mengulanginya. Pakai itu dan aku gak usah dibuatkan air karena aku mau tidur. Aku capek!" Wajah Luna langsung cemberut. Namun, tumben ia menurut, apa karena ia takut aku tinggalkan. Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai mandi, Luna sudah menyiapkan baju piyamaku di ranjan9. Pa
PoV Aini"Lauknya apa saja, Mas?" "Lauk ikan tongkol suwir, capcay, sama sambal goreng kentang. Jangan lupa sambalnya ya, Mbak." Aku mengangguk, lalu mengambil semua menu yang diangkat pelanggan warung makan tempat aku bekerja. Alhamdulillah, setelah mulai bekerja dan sibuk mengurus anak-anak, perlahan aku bisa melupakan mas Dhuha. Bukan sepenuhnya, tetapi aku mulai menerima takdir. Langit dan bumi memang tidak akan pernah bisa berdekatan. Jaraknya jauh dan tidak terukur. Aku rasa, mas Dhuha pun tidak akan bisa menemukanku di sini. Ayolah, Aini, sadar. Dhuha udah bahagia dengan istrinya, Luna. Mereka setara dan cocok. Tidak mungkin Dhuha capek-capek mau nyari kamu, gak ada manfaatnya juga. Benar sekali, fokusku saat ini adalah bekerja dan mengurus anak saja. Izzam sudah mulai sekolah di PAUD yang didaftarkan oleh bos Anton. Intan boleh aku bawa saat aku bekerja karena pemilik warung makan ini masih saudara bos Anton. Senangnya hati ini dikelilingi orang-orang baik. "Ini, Mas." A
"Minum dulu obatnya, Nak." Aku memberikan sendok obat sirup pada Izzam. Putraku demam sudah dua hari dan hari ini aku terpaksa ijin tidak bekerja. Aku membawa Izzam ke puskesmas. Untunglah aku tidak pernah telat membayar BPJS meskipun aku hanya bekerja mulung barang bekas dan botol plastik. Sehingga anak-anak cepat aku bawa berobat jika sakit. Intan pun sama. Sebenarnya Intan dan Izzam termasuk jarang sakit, tetapi karena rutinitas harian yang baru, berangkat terlalu pagi dan pulang juga malam hari, sehingga tubuh Izzam masih adaptasi. "Pengen muntah, Bu," kata Izzam sambil menutup mulutnya. "Gak papa, nanti juga hilang. Ini, cium aroma kayu putih, pasti gak pengen muntah lagi." Aku memberikan kayu putih pada Izzam. Anak lelakiku itu pun menurut. "Nonton televisi aja ya, Ibu mau jemur cucian. Kalau mau muntah, panggil Ibu." Izzam mengangguk. Aku berjalan membawa keranjang cucian dari ruang cuci. Sekilas aku melirik kamarku untuk mengecek Intan, apakah masih nyenyak tidur. Untung s
Di lain tempat, Luna yang seharian melakukan perawatan ke salon, sama sekali belum membuka ponselnya. Jadi, kalimat talak yang dikirim oleh Dhuha sama sekali belum ia baca. Setelah melakukan rangkaian peremajaan diri, ia merasa lebih rileks dan tenang. Meskipun sebenarnya saat ini di kepalanya banyak sekali hal yang harus ia selesaikan. Kring! KringLuna baru tersadar saat nama papanya muncul di layar ponsel. "Halo, Pa.""Halo, Luna, kamu di mana? Ada Dhuha pulang, tapi dia sepertinya sedang memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Bibik yang bilang, cepat kamu pulang!""Hah, mas Dhuha... b-baik, Pa, Luna akan segera pulang. Papa please, tahan dulu suami Luna ya!""Oke, tapi cepat." Luna segera menaruh kembali ponselnya ke dalam tas. "Mbak, saya rasa sudah cukup rambut saya di blow-nya. Saya mau pulang, ada urusan. Jadi semuanya berapa?" kata Luna tergesa-gesa. Ia melangkah cepat menuju kasir. "Perawatan saya berapa, Mbak? Atas nama Luna.""Mbak Luna total perawatan dikenakan biaya s
"Aku sengaja menahan diri untuk nggak kasi tahu kamu, Mas, karena aku maunya surprise, t-tapi...." Luna terisak. Maria menghampiri menantunya yang masih terbaring di brangkar rumah sakit, tetapi sudah berada di kamar perawatan VIP. Wanita itu tersenyum sambil mengusap kepala menantunya. "Jangan khawatirkan Dhuha. Talaknya tidak berlaku karena kamu sedang hamil." Wanita itu tersenyum penuh haru. Tentu saja, hal ini yang sudah ia nantikan sejak lama. Cucu dari cucu pertama keluarga suaminya. Cucu kebanggaan yang akan meneruskan perusahaan keluarga. "Dhuha akan bersikap manis, Mama yang jamin. Ya kan, Dhu?" Dhuha mengangguk sambil memberikan senyumnya. Wanita itu memanggil putranya untuk mendekat. "Peluk istri kamu. Wanita ini hamil anak cucu keturunan kita. Masalah yang ada saat ini, bisa kita selesaikan secara kekeluargaan. Betul begitu Pak Heri?" Maria menoleh pada besannya. "Anak saya akan membantu sebisanya karena anak saya bukan tulang punggung keluarga istri. Anak saya tidak
"Tapi lebih baik jangan yang masih saudara. Mmm... kata bu Santi, ada duda yang senang sama kamu. Anton namanya. Betul begitu?" Aini hanya menyeringai saja. Bu Santi benar-benar ember bocor! Gumam Aini dalam hati. "Oh, itu, Aini belum memikirkan sampai ke sana Opa. Biarlah mengalir begitu saja. Kalau jodohnya, pasti ketemu. Lagian, Aini masih kapok berumah tangga." Aini mengulum senyum. "Opa paham!""Oh, iya, Opa. M-mas Dhuha dan Mbak Luna bagaimana kabarnya?" tanya Aini berbasa-basi. "Luna sedang hamil anak Dhuha. Baru saja ketahuan beberapa hari lalu." Wajah Aini langsung mematung. "Kamu gak papa'kan?""Oh, gak papa, Opa. Alhamdulillah, akhirnya Opa punya cicit beneran." Aini berusaha meredakan gejolak hati yang tak menentu setelah ucapan opa Fauzi. Wanita itu sampai harus mengepalkan tangan agar tidak ketahuan gemetar. "Opa jemput Izzam sekolah dulu, setelah itu, baru Opa ke kantor." "Baik, Opa, maaf sudah merepotkan Opa." Pria paruh baya itu hanya tersenyum saja sambil menga
"Dhuha, kenapa kamu belum pilih mau model undangan yang mana? Sudah sepuluh macam Mama kirim ke kamu. Masa gak ada satu pun yang kamu suka. Heran, deh, sama pernikahan sendiri gak semangat!" Dhuha melirik jam dinding di kantornya yang sudah berada di angka sembilan malam. Ia baru saja selesai meeting zoom dan mamanya langsung menelepon begitu ponsel ia aktifkan. "Dhuha terserah Mama aja. Tanya Luna saja.""Kalian ini, Luna bilang tanya kamu karena takut nanti salah kalau pilihan dia." "Nggak, Ma, pilih aja bebas. Mau pake undangan online dan offline bebas. Dhuha mau balik dulu, Ma. Udah kemalaman ini. Udah ya, Ma." Lelaki itu segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Berjalan menuju lift dengan langkah tak semangat. Di satu sisi ia bahagia akan menjadi ayah, tetapi rasa bahagianya masih mengganjal. Ada yang tidak beres dengannya, tetapi ia tidak tahu apa. "Malam Pak Dhuha.""Malam Pak Adi." Dhuha menahan kakinya yang baru saja akan keluar dari lobi utama. "Pak Adi sopir o
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang