Home / Romansa / Mereka Bilang Kakakku Pelakor / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Mereka Bilang Kakakku Pelakor: Chapter 1 - Chapter 10

68 Chapters

Lelaki Asing

Seharusnya ini hari bahagia untuknya, tapi semua sirna saat mendengar kabar itu. “Aku hanya ingin melihat akhir hidup wanita perebut milik orang lain.” Dengan dagunya yang angkuh laki-laki itu menunjuk pusara mbak Nina. “Apa maksudmu?” Tangan Kia terkepal dengan erat mendengar ucapan laki-laki itu, andai saja ini bukan di depan pusara kakaknya yang baru saja meninggal, tentu akan dengan senang hati dia memaki laki-laki ini. “Sudah jelas bukan kalau kakakmu hanya wanita simpanan suami sepupuku.” Kia menarik napas dalam berusaha mengumpulkan rasa sabar, duka yang dari tadi deras menyelimutinya selama perjalanan dari gedung tempat dia wisuda ke tempat peristirahatan terakhir kakaknya itu berubah menjadi amarah yang siap meledak. Padahal mbak Nina, kemarin masih menghubunginya dan meminta maaf tidak bisa ikut mendampinginya wisuda karena sedang hamil muda. Itu sebuah berita yang sangat membahagikan, apalagi Kia juga mendapat kabar kalau dia mendapat ipk terbaik. Sungguh Kia tida
Read more

Istri Simpanan

Sudah sepuluh kali panggilan dan semuanya langsung ditolak. Dengan gemas Kia mengulang lagi panggilannya, dia punya cukup waktu saat ini apalagi untuk mencerca kakak iparnya itu. Demi Tuhan kakaknya baru saja meninggal dan suaminya meninggalkannya seperti sampah yang tak berguna. “Mas dimana kenapa tidak ada di rumah saat mbak Nina meninggal?” Itu bunyi pesan yang Kia kirimkan, tapi hanya ada dua centang biru saja tanpa ada balasan.Tak sabar, Kia menelpon lagi nomer kakak iparnya itu dan hal yang sama juga terjadi. “Sialan!” Kia mengganggam erat ponselnya. Otaknya berputar cepat. Dia ingin tahu apa yang sedang terjadi, tiba-tiba matanya menatap pintu kamar sang kakak. Memang sejak menikah Mbak Nina hanya beberapa kali menginap di kamar itu, tapi tidak ada salahnya bukan mencoba. Perlahan Kia berdiri diiringi pandangan bingung kedua orang tuanya. “Nduk kamu mau kemana?” tanya sang ibu dengan parau. Kia menatap wajah kedua orang tuanya sebentar lalu berkata. “Kia ingin meme
Read more

Kehilangan Lagi

Kia sering mendengar pepatah yang mengatakan mulutmu adalah harimaumu. Pepatah yang sangat pas untuk mengungkapkan keadaan keluarganya saat ini, tapi bedanya bukan mulut mereka yang menjadi harimau tapi mulut para tetangga yang bergunjing telah berhasil menerkam kenyamanan keluarga Kia, bahkan saat pengajian kematian kakaknya, nyinyiran tetangga tak juga berkurang. “Apa Kang Sardi dulu tidak tahu kalau Nina itu istri kedua? Seharusnya menikah kan ada surat-surat,” kalimat lembut penuh racun itu terucap dari bibir salah satu adik ayahnya yang saat ini menghadiri pengajian tujuh hari meninggalnya mbak Nina. Mereka bahkan tidak peduli saat kalam-kalam Allah dibaca dengan begitu indahnya. Kedatangan paman dan bibi Zafran, juga absennya laki-laki itu semenjak kematian mbak Nina membuat gosip makin santer terdengar, bahkan tak jarang Kia harus pulang dengan amarah yang menguasai dirinya setelah keluar rumah, syukurlah ibu punya jalan keluar yang sangat bagus untuk itu yaitu, tidak mempe
Read more

Karma Pelakor

Hanya berjarak beberapa hari bendera kuning di depan rumah Kia kembali dikibarkan. “Kasihan ya pak Sardi, dia juga ikut mendapat karma karena perbuatan Nina.” Gerombolan kecil ibu-ibu itu bahkan tak peduli kalau suara mereka jelas terdengar oleh orang lain, padahal kini mereka sedang ada di halaman rumah Kia bersama para pelayat yang lain.“Pak Sardi juga salah mau-maunya menikahkan anaknya dengan suami orang.” “Iya juga, mungkin ini doa istri pertama yang tersakiti, apalagi keluarga Zafran pernah ke sini.”“Oh iya aku dengar itu, padahal sudah kejadian kayak gini mereka tidak kapok juga minta uang pada Zafran.” “Mereka tidak minta, keluarga Zafran yang memberi sebagai kompensasi, tapi mereka tak mau.” “Halah itu pasti cuma sok saja, setelah mereka pulang pasti telepon Zafran minta uangnya ditransfer saja.” “Bisa jadi, sayang sekali padahal dulu mereka orang baik.” “Siapa yang tidak suka dengan uang,” kata salah satu dari mereka yang diiringi anggukan setuju yang lain. Geromb
Read more

Tetangga Oh Tetangga

"Pergilah, di sini tidak ada yang bisa kamu lakukan." Kia menggeleng. "Tidak Kia, tidak akan meninggalkan ibu sendiri." "Tak ada yang bisa kamu lakukan di sini, maksud ibu... kamu tidak bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dari ini di sini." Kia meluruskan kertas di depannya dan menatap surat itu dengan pandangan bimbang, dia tidak mungkin meninggalkan ibunya sendiri di sini menghadapi semuanya. Sudah hampir empat puluh hari kematian bapaknya tapi perlakuan orang-orang masih saja sama yang menganggap mereka sampah bau yang patut dihindari. Beberapa bulan yang lalu Kia memang memasukkan lamaran ke perusahaan ini, itu sebelum mbak Nina meninggal dan tentu saja saat semuanya masih baik-baik saja. Rencana Kia, dia akan bekerja di perusahaan itu. Bukan perusahaan favorit memang tapi gaji yang ditawarkan cukup besar untuk ukuran lulusan baru seperti dirinya dan yang paling penting lokasinya tidak jauh dari... rumah mbak Nina.Bahkan bapak dan ibunya dulu setuju karena Kia tidak akan
Read more

6. Terlanjur Basah

“Bawa tamunya masuk, nduk. Kita perlu bicara baik-baik apapun masalahnya.” Sekilas Kia menoleh dan mendapati ibunya berdiri di depan pintu dengan wajah cemas, dan tidak perlu jadi jenius untuk menebak kenapa sang ibu bereaksi demikian. Kejadian yang akhir-akhir ini terjadi pada keluarganya juga wajah sangarnya pasti sudah mengatakan kalau ada masalah yang terjadi. Kia menyesal kenapa dia tak langsung mengusir laki-laki ini. “Kamu dengar bukan,” katanya tanpa menoleh pada laki-laki itu dan melangkah masuk ke dalam rumah. Tanpa kata sang ibu mengelus bahu Kia dan membimbingnya masuk ke dalam rumah, senyum menenangkan menghiasi bibirnya, memuat Kia begitu heran bagaimana ibunya masih bisa tersenyum setenang itu saat keadaan seperti ini. Dan jujur saja Kia... iri melihatnya. “Kamu siapa, Nak?” tanya ibu begitu mereka sudah duduk dengan benar, sebenarnya sang ibu sudah meminta Kia untuk mengambilkan minuman dan makanan kecil untuk si tamu, tapi Kia dengan bandel malah masih tetap
Read more

7. Hidup Baru

“Kamu benar tidak punya hubungan apapun dengan laki-laki itu, Ki?” Kia langsung cemberut saat bi Asih lagi-lagi bertanya hal itu untuk kesekian kalinya, tindakan isengnya membuat gosip tentang keluarga mereka semakin liar, bahkan ibunya yang sekarang sudah janda menjadi korban, banyak para ibu yang dulu berteman dengan ibunya menjauh, takut suaminya direbut. Kia bukannya merasa bersalah tapi malah ingin tertawa mendengar cerita bibinya itu. “Ibu-ibu itu kayaknya kurang piknik, aku Cuma bercanda mereka kira serius.” Sejujurnya Kia sudah muak dengan gosip yang mengatakan mbak Nina perebut suami orang, meski banyak bukti mengungkap kebenarannya tapi Kia tidak yakin Mbak Nina akan melakukan itu dengan sengaja, dia pasti punya alasan dan karena dia belum tahu alasan itu, cara terbaik adalah dengan mengalihkan mereka pada isu yang lain. “Kamu itu sudah tahu mereka tidak bisa bercanda malah kamu goda seperti itu
Read more

8. Amit-amit

“Maaf pak Amir masih ada meeting dengan direktur sampai jam sepuluh.” Cobaan pertama saat memulai kehidupan kerjanya adalah ... menunggu. Di surat panggilan kerja itu tertulis jelas kalau dia harus hadir jam tujuh tepat untuk tanda tangan kontrak, tapi ternyata kepala HRD yang menanganinya sedang ada meeting. Bukan cobaan besar sebenarnya tapi membuat sebal juga. Perlahan Kia melangkah ke sofa yang ditunjukkan resepsionis tadi. Apa ini karma karena dia menolak sarapan pagi yang disiapkan sang ibu sejak hari masih gelap tadi. Ah kenapa kata itu sekarang sangat familiar di kehidupannya. Kia menggeleng berusaha mengenyahkan pikiran tak penting.Berusaha menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya karena untuk kembali ke kontrakan malas sekali rasanya jika nanti harus bolak-balik. Game membasmi zombie menjadi pilihannya, mungkin dengan banyaknya zombie yang bisa dia basmi akan mengurangi karma
Read more

9. Fakta Menyakitkan

“Ibu masih punya uang simpanan untuk kita makan tiga bulan ke depan,” kata ibu tiba-tiba yang membuat Kia langsung mengerutkan keningnya tak mengerti. “Apa kamu tidak nyaman dengan pekerjaan itu?” Kalau ini bukan ibunya, Kia pasti berpikir kalau Ibu mengikutinya tadi atau yang lebih modern menempelkan alat pelacak pada dirinya, untuk mengetahui apa yang terjadi padanya hari ini. “Semuanya baik-baik saja, Bu,” kata Kia lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri, semuanya memang baik-baik saja, dia sudah diterima kerja dengan tugas yang menurutnya tak terlalu berat dan gaji yang lumayan besar. Jadi tidak ada masalah bukan, kecuali... Dan Kia yakin dia akan bisa mengatasinya. “Kamu yakin?” tanya sang ibu sekali lagi. Kia terdiam sebentar haruskan dia mengatakan pada sang ibu tentang pertemuannya dengan Biru? Setelah terdiam sejenak akhirnya Kia berkata. “Ibu ingat Sabiru bukan, l
Read more

10. Tak Terima

“Mbak Nina memang pelakor,” gumam Kia lirih. CITTT! Brak! “KALAU KAMU INGIN MATI JANGAN DI DEPAN MOBILKU!” Kia langsung mendongak saat mengenali suara bentakan itu, matanya menatap nanar pada laki-laki yang berjalan ke arahnya dengan wajah marah. Tubuhnya jatuh terduduk di aspal tanpa dia sadari. Jiwa Kia rasanya melanyang setelah menemukan surat ini, dia bahkan tidak tahu bagaimana bisa kembali ke daerah ini. Kia berushaa berdiri, tapi kakinya terasa sakit sekali, dengan tangan bergetar dia meraba kakinya yang sakit dan mengangkat tangannya begitu menyentuh cairan berwarna merah... darahnya. Dipaksa tubuhnya untuk berdiri tapi rasa nyeri itu seperti tangan yak kasat mata yang menghalanginya. Biru menatap Kia dengan mata menyipit, berjalan mendekati wanita itu dan mendengus saat melihat kakinya yang terluka. Dengan muka masam dia mengulurkan tangannya bermak
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status