Share

Kehilangan Lagi

Author: Ajeng padmi
last update Last Updated: 2024-06-14 16:18:06

Kia sering mendengar pepatah yang mengatakan mulutmu adalah harimaumu. 

Pepatah yang sangat pas untuk mengungkapkan keadaan keluarganya saat ini, tapi bedanya bukan mulut mereka yang menjadi harimau tapi mulut para tetangga yang bergunjing telah berhasil menerkam kenyamanan keluarga Kia, bahkan saat pengajian kematian kakaknya, nyinyiran tetangga tak juga berkurang. 

“Apa Kang Sardi dulu tidak tahu kalau Nina itu istri kedua? Seharusnya menikah kan ada surat-surat,” kalimat lembut penuh racun itu terucap dari bibir salah satu adik ayahnya yang saat ini menghadiri pengajian tujuh hari meninggalnya mbak Nina. 

Mereka bahkan tidak peduli saat kalam-kalam Allah dibaca dengan begitu indahnya. 

Kedatangan paman dan bibi Zafran, juga absennya laki-laki itu semenjak kematian mbak Nina membuat gosip makin santer terdengar, bahkan tak jarang Kia harus pulang dengan amarah yang menguasai dirinya setelah keluar rumah, syukurlah ibu punya jalan keluar yang sangat bagus untuk itu yaitu, tidak memperbolehkan Kia keluar rumah tanpa menggunakan headset di telinganya. 

Setidaknya menurut ibu, lagu-lagu atau apapun yang diputar di ponsel Kia lebih baik dari pada nyonyiran tetangga. 

“Ini salahku memang yang tidak membaca detail semua surat itu.” Kia bisa melihat penyesalan yang tampak di wajah tua bapaknya, tapi sepertinya hal itu luput dari pandangan orang-orang yang bertekad kuat mendapatkan bahan gosip. 

“Atau kamu memang sengaja melakukannya, Kang supaya dapat mantu kaya dan bisa hidup enak.” 

Ini sudah tidak bisa ditolelir lagi, apalagi saat bapak mencengkeram dadanya dengan wajah nelangsa. 

“Apa bibi ingin punya mantu miskin,  aku do’akan deh supaya terkabul.” Kia langsung duduk di dekat kaki bapaknya setelah memberikan segelas air. 

Pandangannya begitu tajam pada adik ayahnya ini, heran saja kenapa bibinya ini rela datang lebih awal dan membantu di sini, padahal biasanya paling anti datang yah kalau tidak mbak Nina meminta mereka datang untuk memberikan cendera mata atau hadiah yang mereka sukai tentunya.

“Kamu memang tidak tahu sopan santun Kia, beda dengan mbakmu-“ 

“Akhirnya bibi ingat juga kalau mbak Nina orang baik dan sering memberi bantuan untuk bibi dan anak bibi,” kata Kia kejam  yang langsung mendapat teguran dari bapaknya. 

“Lihat, Kang-“ 

“Sudah, Nah, kamu ngaji di depan saja, nanti bajumu kotor,” kata Bapak dengan pelan berusaha mengendalikan suasana dan meminta Kia dengan isyarat tangannya untuk membantu sang ibu. 

Dan Kia menghabiskan waktu dengan mondar-mandir untuk mengantar hidangan dari dapur ke ruang tamu seorang diri dan menatap sinis beberapa sepupunya yang lebih memilih langsung makan tanpa disuruh padahal para tamu saja belum mulai makan. 

“Yang ikhlas, nduk, ini juga untuk mbakmu,” kata ibu sambil tersenyum tipis saat melihat wajah Kia yang sudah siap memuntahkan lahar. 

“Kia ihlas kok, ihlas banget malah.” 

“Ihlas itu tidak usah dikatakan keras-keras dan tidak perlu memasang wajah cemberut begitu,” kata sang ibu dengan senyum bijak. 

Kia mengambil kembali makanan di piring sambil bergumam kalau ibunya terlalu baik. 

Saat acara telah selesai Kia merasa badannya sudah akan remuk, apalagi dia juga harus mencuci puluhan piring hanya ditemani bi Asih saja, yang Kia tahu pasti juga sangat lelah membantu dari tadi, meski tidak mengeluh sih. 

Kia  menghempaskan tubuhnya pada Kursi tapi langsung bangkit lagi saat melihat bapaknya menggulung karpet di teras depan dan hanya meninggalkan karpet di ruang tamu saja. 

“Biar Kia saja, Pak, bapak istirahat saja nanti sakit,” kata Kita yang tahu bapaknya pasti memaksakan dirinya lagi. 

“Tidak apa-apa, nduk. Mau hujan soalnya.” 

“Iya sih tapi bukan harus bapak juga, banyak orang di sini tapi Cuma numpang makan dan bergunjing,” kata Kia sambil melirik sinis pada para sepupunya di ruang tamu yang bersenda gurau sambil makan makanan ringan. 

“Hust, kamu itu, mereka itu tamu, lagi pula hanya ini yang bisa bapakmu lakukan untuk mbakmu.” 

Kia menoleh saat suara bapaknya melemah dan dia tahu rasa bersalah telah menguasai bapaknya. 

“Mbak Nina punya kesempatan untuk menolak, tapi tidak dia lakukan jadi dia pasti punya alasan kuat untuk itu,” kata Kia dengan bijak. 

Bapak mengelus kepala Kia sebentar sambil melemparkan senyum sendu. “Bapak mau ke kamar dulu, mau tiduran capek sekali rasanya.” 

“Tuh kan Kia benar, bapak harus jaga kesehatan,” gumam Kia, tangannya langsung menuntun sang ayah untuk ke kamar.

“Bapak sudah makan?” tanya Kia penuh perhatian saat membantu bapaknya untuk berbaring dan memasang selimut. 

“Sudah tadi, tapi bapak haus sekarang, Kia bisa tolong ambilkan minuman untuk bapak.” 

Kia mengangguk dan berjalan ke arah dapur, dilihatnya sang ibu yang menata makanan dalam sebuah wadah.

“Mau dibawa ke mana, Bu?” tanya Kia. 

“Bibimu minta untuk sarapan besok.” 

“Bi Asih?” 

“Bukan Bi Sanah.” 

Kia langsung melengos, benalu tua itu tetap saja mau enaknya sendiri tanpa mau usaha, batinnya kesal. 

Kia melangkah ke rak piring dan mencari gelas untuk membuat minuman. “Tidak buat teh? Tumben kamu minum air hangat?” tanya sang ibu. 

“Ini untuk bapak,” kata Kia singkat. 

Sang ibu mengangguk dan menggumamkan perintah pada Kia untuk menemani bapaknya, dan kia mengangguk tanpa keberatan itu yang memang dia akan lakukan. 

Beberapa kerabat masih berbicang di ruang tamu, meski para wanita dan anak-anak kebanyakan sudah tidur di kamar depan yang memang disiapkan untuk saudara yang menginap. 

Kia membuka pintu kamar orang tuanya dengan pelan dan tersenyum melihat bapaknya sudah tidur dengan tenang masih mengunakan sarung dan baju koko, mungkin baru selesai sholat, dia melangkah masuk dan meletakkan minuman yang dibawanya di meja kecil di samping ranjang. 

“Pak, ini airnya bangun dulu,” kata Kia pelan, tapi suatu perasaan tak nyaman langsung membajiri Kia saat dilihatnya sang bapak hanya diam saja dan tangan yang dia pegang sangat dingin. 

Tangan Kia bergetar dengan hebat, mulutnya tak hentinya mengucap doa yang dia tahu. Getaran tubuhnya meningkat saat tangannya ada di depan hidung sang ayah.

“Tidak ada,” katanya dengan gemetar. 

Kia merebahkan tubuhnya di atas dada sang bapak dan berusaha mendengar sekecil apapun detak jantung di dalam sana, tapi nihil. 

“Pak! Bangun.” Air matanya tiba-tiba menetes, digoyangnya tangan sang bapak lebih keras lagi, mungkin saja karena terlalu lelah beliau tidur sangat lelap. “Pak!” katanya lagi yang sekarang telah menjadi teriakan kesedihan. 

Kia bahkan tak mendengar suara-suara serombongan orang yang menyerbu masuk ke kamar orang tuanya. 

“Kenapa, nduk?” tanya sang ibu  yang sudah ada di samping Kia, tapi pandangannya nanar menatap tubuh sang suami yang diam tak bergerak. 

“Ba-bapakmu kenapa?” 

Kia berdiri menatap ibunya yang memperlihatkan wajah penuh linglung. “Bapak tidak bernapas, bu,” kata Kia lamat-lamat.

Related chapters

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   Karma Pelakor

    Hanya berjarak beberapa hari bendera kuning di depan rumah Kia kembali dikibarkan. “Kasihan ya pak Sardi, dia juga ikut mendapat karma karena perbuatan Nina.” Gerombolan kecil ibu-ibu itu bahkan tak peduli kalau suara mereka jelas terdengar oleh orang lain, padahal kini mereka sedang ada di halaman rumah Kia bersama para pelayat yang lain.“Pak Sardi juga salah mau-maunya menikahkan anaknya dengan suami orang.” “Iya juga, mungkin ini doa istri pertama yang tersakiti, apalagi keluarga Zafran pernah ke sini.”“Oh iya aku dengar itu, padahal sudah kejadian kayak gini mereka tidak kapok juga minta uang pada Zafran.” “Mereka tidak minta, keluarga Zafran yang memberi sebagai kompensasi, tapi mereka tak mau.” “Halah itu pasti cuma sok saja, setelah mereka pulang pasti telepon Zafran minta uangnya ditransfer saja.” “Bisa jadi, sayang sekali padahal dulu mereka orang baik.” “Siapa yang tidak suka dengan uang,” kata salah satu dari mereka yang diiringi anggukan setuju yang lain. Geromb

    Last Updated : 2024-06-14
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   Tetangga Oh Tetangga

    "Pergilah, di sini tidak ada yang bisa kamu lakukan." Kia menggeleng. "Tidak Kia, tidak akan meninggalkan ibu sendiri." "Tak ada yang bisa kamu lakukan di sini, maksud ibu... kamu tidak bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dari ini di sini." Kia meluruskan kertas di depannya dan menatap surat itu dengan pandangan bimbang, dia tidak mungkin meninggalkan ibunya sendiri di sini menghadapi semuanya. Sudah hampir empat puluh hari kematian bapaknya tapi perlakuan orang-orang masih saja sama yang menganggap mereka sampah bau yang patut dihindari. Beberapa bulan yang lalu Kia memang memasukkan lamaran ke perusahaan ini, itu sebelum mbak Nina meninggal dan tentu saja saat semuanya masih baik-baik saja. Rencana Kia, dia akan bekerja di perusahaan itu. Bukan perusahaan favorit memang tapi gaji yang ditawarkan cukup besar untuk ukuran lulusan baru seperti dirinya dan yang paling penting lokasinya tidak jauh dari... rumah mbak Nina.Bahkan bapak dan ibunya dulu setuju karena Kia tidak akan

    Last Updated : 2024-06-14
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   6. Terlanjur Basah

    “Bawa tamunya masuk, nduk. Kita perlu bicara baik-baik apapun masalahnya.” Sekilas Kia menoleh dan mendapati ibunya berdiri di depan pintu dengan wajah cemas, dan tidak perlu jadi jenius untuk menebak kenapa sang ibu bereaksi demikian. Kejadian yang akhir-akhir ini terjadi pada keluarganya juga wajah sangarnya pasti sudah mengatakan kalau ada masalah yang terjadi. Kia menyesal kenapa dia tak langsung mengusir laki-laki ini. “Kamu dengar bukan,” katanya tanpa menoleh pada laki-laki itu dan melangkah masuk ke dalam rumah. Tanpa kata sang ibu mengelus bahu Kia dan membimbingnya masuk ke dalam rumah, senyum menenangkan menghiasi bibirnya, memuat Kia begitu heran bagaimana ibunya masih bisa tersenyum setenang itu saat keadaan seperti ini. Dan jujur saja Kia... iri melihatnya. “Kamu siapa, Nak?” tanya ibu begitu mereka sudah duduk dengan benar, sebenarnya sang ibu sudah meminta Kia untuk mengambilkan minuman dan makanan kecil untuk si tamu, tapi Kia dengan bandel malah masih tetap

    Last Updated : 2024-10-01
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   7. Hidup Baru

    “Kamu benar tidak punya hubungan apapun dengan laki-laki itu, Ki?” Kia langsung cemberut saat bi Asih lagi-lagi bertanya hal itu untuk kesekian kalinya, tindakan isengnya membuat gosip tentang keluarga mereka semakin liar, bahkan ibunya yang sekarang sudah janda menjadi korban, banyak para ibu yang dulu berteman dengan ibunya menjauh, takut suaminya direbut. Kia bukannya merasa bersalah tapi malah ingin tertawa mendengar cerita bibinya itu. “Ibu-ibu itu kayaknya kurang piknik, aku Cuma bercanda mereka kira serius.” Sejujurnya Kia sudah muak dengan gosip yang mengatakan mbak Nina perebut suami orang, meski banyak bukti mengungkap kebenarannya tapi Kia tidak yakin Mbak Nina akan melakukan itu dengan sengaja, dia pasti punya alasan dan karena dia belum tahu alasan itu, cara terbaik adalah dengan mengalihkan mereka pada isu yang lain. “Kamu itu sudah tahu mereka tidak bisa bercanda malah kamu goda seperti itu

    Last Updated : 2024-10-01
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   8. Amit-amit

    “Maaf pak Amir masih ada meeting dengan direktur sampai jam sepuluh.” Cobaan pertama saat memulai kehidupan kerjanya adalah ... menunggu. Di surat panggilan kerja itu tertulis jelas kalau dia harus hadir jam tujuh tepat untuk tanda tangan kontrak, tapi ternyata kepala HRD yang menanganinya sedang ada meeting. Bukan cobaan besar sebenarnya tapi membuat sebal juga. Perlahan Kia melangkah ke sofa yang ditunjukkan resepsionis tadi. Apa ini karma karena dia menolak sarapan pagi yang disiapkan sang ibu sejak hari masih gelap tadi. Ah kenapa kata itu sekarang sangat familiar di kehidupannya. Kia menggeleng berusaha mengenyahkan pikiran tak penting.Berusaha menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya karena untuk kembali ke kontrakan malas sekali rasanya jika nanti harus bolak-balik. Game membasmi zombie menjadi pilihannya, mungkin dengan banyaknya zombie yang bisa dia basmi akan mengurangi karma

    Last Updated : 2024-10-01
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   9. Fakta Menyakitkan

    “Ibu masih punya uang simpanan untuk kita makan tiga bulan ke depan,” kata ibu tiba-tiba yang membuat Kia langsung mengerutkan keningnya tak mengerti. “Apa kamu tidak nyaman dengan pekerjaan itu?” Kalau ini bukan ibunya, Kia pasti berpikir kalau Ibu mengikutinya tadi atau yang lebih modern menempelkan alat pelacak pada dirinya, untuk mengetahui apa yang terjadi padanya hari ini. “Semuanya baik-baik saja, Bu,” kata Kia lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri, semuanya memang baik-baik saja, dia sudah diterima kerja dengan tugas yang menurutnya tak terlalu berat dan gaji yang lumayan besar. Jadi tidak ada masalah bukan, kecuali... Dan Kia yakin dia akan bisa mengatasinya. “Kamu yakin?” tanya sang ibu sekali lagi. Kia terdiam sebentar haruskan dia mengatakan pada sang ibu tentang pertemuannya dengan Biru? Setelah terdiam sejenak akhirnya Kia berkata. “Ibu ingat Sabiru bukan, l

    Last Updated : 2024-10-01
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   10. Tak Terima

    “Mbak Nina memang pelakor,” gumam Kia lirih. CITTT! Brak! “KALAU KAMU INGIN MATI JANGAN DI DEPAN MOBILKU!” Kia langsung mendongak saat mengenali suara bentakan itu, matanya menatap nanar pada laki-laki yang berjalan ke arahnya dengan wajah marah. Tubuhnya jatuh terduduk di aspal tanpa dia sadari. Jiwa Kia rasanya melanyang setelah menemukan surat ini, dia bahkan tidak tahu bagaimana bisa kembali ke daerah ini. Kia berushaa berdiri, tapi kakinya terasa sakit sekali, dengan tangan bergetar dia meraba kakinya yang sakit dan mengangkat tangannya begitu menyentuh cairan berwarna merah... darahnya. Dipaksa tubuhnya untuk berdiri tapi rasa nyeri itu seperti tangan yak kasat mata yang menghalanginya. Biru menatap Kia dengan mata menyipit, berjalan mendekati wanita itu dan mendengus saat melihat kakinya yang terluka. Dengan muka masam dia mengulurkan tangannya bermak

    Last Updated : 2024-10-02
  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   11. Juragan

    Kupu-kupu yang indah memang lebih disukai orang dari pada ulat yang menggelikan. Kia bergidik sendiri saat menganalogikan dirinya sebagai ulat dan Biru sebagai kupu-kupu, ada rasa tak terima tapi itulah yang terjadi sekarang. Jika Biru yang bicara dan mengurus semuanya, semua dokter dan perawat itu memperlakukannya seperti pasien prioritas yang sedang sekarat.Meski ada untungnya juga mereka tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan perawatan dan perawat muda tadi juga dengan senang hati mengambilkan obat untuk Kia, ‘adik Biru’ yang telah membuatnya terpesona. Dan Biru yang sadar betul dengan semua pesona yang dia miliki memanfaatkan itu sebaik mungkin untuk mempermudah urusannya meski masih dengan wajah datar tanpa senyum. Kia sampai heran sendiri, apa yang menarik dari laki-laki berwajah papan seperti itu? apa selera para wanita sekarang sudah berubah atau memang dia yang ketinggalan jaman? “Aku akan mengantarmu ke kontrakanmu,” gumam Biru tanpa menatap Kia. “Kamu tahu kontrak

    Last Updated : 2024-10-02

Latest chapter

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   68. Hidup Baru

    Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   67. Barter

    Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung  pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   66. Tak Romantis

    "Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   65. Perawat

    Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   64. Salah Sangka

    "Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   63. Terbiasa Sendiri

    "Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   Tragedi

    Tidak ada senyum di wajah Renata sepanjag acara itu berlangsung. Bagi Kia hal itu cukup wajar, Jika dia yang mendapati suaminnya menikah lagi, mungkin bukan hanya wajahnya yang masam, tapi dia akan langsung balik badan dan tak akan mau melihat wajah mereka lagi. Kia akan sangat mengagumi ketegaran Renata, andai saja.... "Kenapa tidak langsung menikah?" bisik Kia pada Biru yang pandangannya masih terpaku pada prosesi tukar cincin pada pasangan calon pengantin. "Wanita itu anak orang kaya bukan, dia pasti ingin pesta yang selayaknya." "Meski dia istri kedua," kata KIa sinis. "Yah mau bagaimana lagi, dia cintanya sama mas Zafran.""Kamu yakin itu cinta, bukan karena tujuan lain?" Sepertinya Kia sudah ketularan penyakit julid LIta. Biru kembali mengangkat bahunya. "Kamu bilang ingin melihat mereka menikah, tapi kamu kenapa pertanyaanmu seolah kamu tidak suka dengan calon istri mas Zafran." "Bukan tidak suka sih, hanya kok tidak masuk akal saja." "Bukankah cinta katanya mem

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   61. Cinta Gila

    "Kamu yakin ini rumah calon istri ketiga Zafran?" tanya Kia sekali lagi. Dia sampai melangkah ke depan Biru dan menatap laki-laki itu tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Tentu saja mbak Rena minggu lalu mengajakku kemari, dan maaf kali ini tidak seperti pernikahan mas Zafran dan kakakmu yang hanya diketahui mereka saja, sekarang semua keluarga besar tahu." "Mereka juga mendukung, termasuk om dan tantemu?" tanya Kia dan anggukan yang diberikan Biru membuat Kia menggelenng tak percaya. "Dan kamu juga mendukungnya?" "Kalau bisa aku ingin menghentikannya, untuk itulah aku mengajakmu ke sini." "Aku tidak punya hak." "Aku tahu, tapi kamu akan mengingatkan mereka pada kasus kakakmu, lagi pula ini acara keluarga dan sudah sepantasnya aku mengajak teman dekatku," jawab Biru mantap. Kia tak menjawab dia kembali berbalik dan menatap bangunan di depannya, bukan bangunan modern yang megah memang, bahkan bagian depan di dominasi oleh kayu berukir rumit khas jawa. "Sepertinya me

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   60. Tak Sama

    "Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status