Share

Kehilangan Lagi

Kia sering mendengar pepatah yang mengatakan mulutmu adalah harimaumu. 

Pepatah yang sangat pas untuk mengungkapkan keadaan keluarganya saat ini, tapi bedanya bukan mulut mereka yang menjadi harimau tapi mulut para tetangga yang bergunjing telah berhasil menerkam kenyamanan keluarga Kia, bahkan saat pengajian kematian kakaknya, nyinyiran tetangga tak juga berkurang. 

“Apa Kang Sardi dulu tidak tahu kalau Nina itu istri kedua? Seharusnya menikah kan ada surat-surat,” kalimat lembut penuh racun itu terucap dari bibir salah satu adik ayahnya yang saat ini menghadiri pengajian tujuh hari meninggalnya mbak Nina. 

Mereka bahkan tidak peduli saat kalam-kalam Allah dibaca dengan begitu indahnya. 

Kedatangan paman dan bibi Zafran, juga absennya laki-laki itu semenjak kematian mbak Nina membuat gosip makin santer terdengar, bahkan tak jarang Kia harus pulang dengan amarah yang menguasai dirinya setelah keluar rumah, syukurlah ibu punya jalan keluar yang sangat bagus untuk itu yaitu, tidak memperbolehkan Kia keluar rumah tanpa menggunakan headset di telinganya. 

Setidaknya menurut ibu, lagu-lagu atau apapun yang diputar di ponsel Kia lebih baik dari pada nyonyiran tetangga. 

“Ini salahku memang yang tidak membaca detail semua surat itu.” Kia bisa melihat penyesalan yang tampak di wajah tua bapaknya, tapi sepertinya hal itu luput dari pandangan orang-orang yang bertekad kuat mendapatkan bahan gosip. 

“Atau kamu memang sengaja melakukannya, Kang supaya dapat mantu kaya dan bisa hidup enak.” 

Ini sudah tidak bisa ditolelir lagi, apalagi saat bapak mencengkeram dadanya dengan wajah nelangsa. 

“Apa bibi ingin punya mantu miskin,  aku do’akan deh supaya terkabul.” Kia langsung duduk di dekat kaki bapaknya setelah memberikan segelas air. 

Pandangannya begitu tajam pada adik ayahnya ini, heran saja kenapa bibinya ini rela datang lebih awal dan membantu di sini, padahal biasanya paling anti datang yah kalau tidak mbak Nina meminta mereka datang untuk memberikan cendera mata atau hadiah yang mereka sukai tentunya.

“Kamu memang tidak tahu sopan santun Kia, beda dengan mbakmu-“ 

“Akhirnya bibi ingat juga kalau mbak Nina orang baik dan sering memberi bantuan untuk bibi dan anak bibi,” kata Kia kejam  yang langsung mendapat teguran dari bapaknya. 

“Lihat, Kang-“ 

“Sudah, Nah, kamu ngaji di depan saja, nanti bajumu kotor,” kata Bapak dengan pelan berusaha mengendalikan suasana dan meminta Kia dengan isyarat tangannya untuk membantu sang ibu. 

Dan Kia menghabiskan waktu dengan mondar-mandir untuk mengantar hidangan dari dapur ke ruang tamu seorang diri dan menatap sinis beberapa sepupunya yang lebih memilih langsung makan tanpa disuruh padahal para tamu saja belum mulai makan. 

“Yang ikhlas, nduk, ini juga untuk mbakmu,” kata ibu sambil tersenyum tipis saat melihat wajah Kia yang sudah siap memuntahkan lahar. 

“Kia ihlas kok, ihlas banget malah.” 

“Ihlas itu tidak usah dikatakan keras-keras dan tidak perlu memasang wajah cemberut begitu,” kata sang ibu dengan senyum bijak. 

Kia mengambil kembali makanan di piring sambil bergumam kalau ibunya terlalu baik. 

Saat acara telah selesai Kia merasa badannya sudah akan remuk, apalagi dia juga harus mencuci puluhan piring hanya ditemani bi Asih saja, yang Kia tahu pasti juga sangat lelah membantu dari tadi, meski tidak mengeluh sih. 

Kia  menghempaskan tubuhnya pada Kursi tapi langsung bangkit lagi saat melihat bapaknya menggulung karpet di teras depan dan hanya meninggalkan karpet di ruang tamu saja. 

“Biar Kia saja, Pak, bapak istirahat saja nanti sakit,” kata Kita yang tahu bapaknya pasti memaksakan dirinya lagi. 

“Tidak apa-apa, nduk. Mau hujan soalnya.” 

“Iya sih tapi bukan harus bapak juga, banyak orang di sini tapi Cuma numpang makan dan bergunjing,” kata Kia sambil melirik sinis pada para sepupunya di ruang tamu yang bersenda gurau sambil makan makanan ringan. 

“Hust, kamu itu, mereka itu tamu, lagi pula hanya ini yang bisa bapakmu lakukan untuk mbakmu.” 

Kia menoleh saat suara bapaknya melemah dan dia tahu rasa bersalah telah menguasai bapaknya. 

“Mbak Nina punya kesempatan untuk menolak, tapi tidak dia lakukan jadi dia pasti punya alasan kuat untuk itu,” kata Kia dengan bijak. 

Bapak mengelus kepala Kia sebentar sambil melemparkan senyum sendu. “Bapak mau ke kamar dulu, mau tiduran capek sekali rasanya.” 

“Tuh kan Kia benar, bapak harus jaga kesehatan,” gumam Kia, tangannya langsung menuntun sang ayah untuk ke kamar.

“Bapak sudah makan?” tanya Kia penuh perhatian saat membantu bapaknya untuk berbaring dan memasang selimut. 

“Sudah tadi, tapi bapak haus sekarang, Kia bisa tolong ambilkan minuman untuk bapak.” 

Kia mengangguk dan berjalan ke arah dapur, dilihatnya sang ibu yang menata makanan dalam sebuah wadah.

“Mau dibawa ke mana, Bu?” tanya Kia. 

“Bibimu minta untuk sarapan besok.” 

“Bi Asih?” 

“Bukan Bi Sanah.” 

Kia langsung melengos, benalu tua itu tetap saja mau enaknya sendiri tanpa mau usaha, batinnya kesal. 

Kia melangkah ke rak piring dan mencari gelas untuk membuat minuman. “Tidak buat teh? Tumben kamu minum air hangat?” tanya sang ibu. 

“Ini untuk bapak,” kata Kia singkat. 

Sang ibu mengangguk dan menggumamkan perintah pada Kia untuk menemani bapaknya, dan kia mengangguk tanpa keberatan itu yang memang dia akan lakukan. 

Beberapa kerabat masih berbicang di ruang tamu, meski para wanita dan anak-anak kebanyakan sudah tidur di kamar depan yang memang disiapkan untuk saudara yang menginap. 

Kia membuka pintu kamar orang tuanya dengan pelan dan tersenyum melihat bapaknya sudah tidur dengan tenang masih mengunakan sarung dan baju koko, mungkin baru selesai sholat, dia melangkah masuk dan meletakkan minuman yang dibawanya di meja kecil di samping ranjang. 

“Pak, ini airnya bangun dulu,” kata Kia pelan, tapi suatu perasaan tak nyaman langsung membajiri Kia saat dilihatnya sang bapak hanya diam saja dan tangan yang dia pegang sangat dingin. 

Tangan Kia bergetar dengan hebat, mulutnya tak hentinya mengucap doa yang dia tahu. Getaran tubuhnya meningkat saat tangannya ada di depan hidung sang ayah.

“Tidak ada,” katanya dengan gemetar. 

Kia merebahkan tubuhnya di atas dada sang bapak dan berusaha mendengar sekecil apapun detak jantung di dalam sana, tapi nihil. 

“Pak! Bangun.” Air matanya tiba-tiba menetes, digoyangnya tangan sang bapak lebih keras lagi, mungkin saja karena terlalu lelah beliau tidur sangat lelap. “Pak!” katanya lagi yang sekarang telah menjadi teriakan kesedihan. 

Kia bahkan tak mendengar suara-suara serombongan orang yang menyerbu masuk ke kamar orang tuanya. 

“Kenapa, nduk?” tanya sang ibu  yang sudah ada di samping Kia, tapi pandangannya nanar menatap tubuh sang suami yang diam tak bergerak. 

“Ba-bapakmu kenapa?” 

Kia berdiri menatap ibunya yang memperlihatkan wajah penuh linglung. “Bapak tidak bernapas, bu,” kata Kia lamat-lamat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status