Share

6. Terlanjur Basah

“Bawa tamunya masuk, nduk. Kita perlu bicara baik-baik apapun masalahnya.”

Sekilas Kia menoleh dan mendapati ibunya berdiri di depan pintu dengan wajah cemas, dan tidak perlu jadi jenius untuk menebak kenapa sang ibu bereaksi demikian. Kejadian yang akhir-akhir ini terjadi pada keluarganya juga wajah sangarnya pasti sudah mengatakan kalau ada masalah yang terjadi.

Kia menyesal kenapa dia tak langsung mengusir laki-laki ini.

“Kamu dengar bukan,” katanya tanpa menoleh pada laki-laki itu dan melangkah masuk ke dalam rumah.

Tanpa kata sang ibu mengelus bahu Kia dan membimbingnya masuk ke dalam rumah, senyum menenangkan menghiasi bibirnya, memuat Kia begitu heran bagaimana ibunya masih bisa tersenyum setenang itu saat keadaan seperti ini. Dan jujur saja Kia... iri melihatnya.

“Kamu siapa, Nak?” tanya ibu begitu mereka sudah duduk dengan benar, sebenarnya sang ibu sudah meminta Kia untuk mengambilkan minuman dan makanan kecil untuk si tamu, tapi Kia dengan bandel malah masih tetap duduk sambil menatap tajam sang tamu.

“Saya Sabiru, ibu bisa memanggil saya Biru,” kata laki-laki itu tenang.

“Saya bu Munawaroh dan ini putri saya Zakia. Jadi keperluan nak Biru ini apa ya?” tanya ibu dengan ramah.

“Saya hanya diiminta mengembalikan ini.”

Kia mengambil map yang diletakkan Biru di atas meja dan membukanya bersama-sama dengan sang ibu.

Napas mereka berdua langsung tercekat saat membaca apayang ada di dalamnya.

“Apa maksudnya dengan mengembalikan?” tanya Kia tak mengerti.

Sebagaimana ibunya Kia juga bisa membaca dengan jelas bahwa itu adalah sertifikat rumah yang selama ini di tempat Mbak Nina dan Zafran di kota atau begitulah yang Kia kira selama ini.

“Renata yang memintaku mengembalikan ini.”

“Renata?” tanya Kia bingung.

“Istri Mas Zafran,” jawab Biru pendek.

Seperti ada yang menggelitik perutnya dan membuatnya mual ingin muntah saat mendengar kata istri untuk Zafran yang selama ini Kia yakini hanya untuk Mbak Nina.

Membuatnya tak bisa lagi mengelak kalau memang Zafran yang dia kira sangat mencintai mbak Nina ternyata sudah punya istri dan sekarang sepeninggal mbak Nina kembali pada istrinya seolah mbak Nina tak pernah ada dalam hidupnya.

“Memangnya rumah itu milik siapa?” kali ini sang ibu yang bertanya.

“Saya kurang tahu soal itu,” kata Biru sopan meski bagi Kia sikapnya tetap saja memuakkan.

“Apa Zafran tahu?” sang ibu kembali bertanya, ada pedih yang berusaha dia redam saat menyebut nama menantunya itu.

“Iya, dia tahu.”

“Kenapa bukan dia yang datang, apa dia terlalu pengecut untuk mengakui kesalahannya dan berlindung di balik istrinya,” kali Ini Kia tak bisa menahan diri lagi, dia sangat ingin bertemu dengan Zafran, dan meminta penjelasan untuk semua ini.

Dua tahun lamanya, Kia mengenal laki-laki itu setelah pernikahannya dengan mbak Nina. Selama ini Kia mengenalnya sebagai laki-laki yang bertanggung jawab dan sayang pada kakaknya, bahkan tak jarang Zafran membelikan hadiah untuk Kia.

Selama ini Kia terbuai oleh kebaikan laki-laki itu, jika saja ada orang yang mengatakan kejadian yang sebenarnya beberapa bulan yang lalu Kia akan lantang bilang orang itu sudah sinting.

“Mas Zafran banyak urusan.”

“Benarkah,” kata Kia dengan nada merendahkan yang membuat Biru menatapnya dengan tak suka sampai sang ibu menyenggol lengannya memintanya tenang.

Zafran tak menjawab, tapi matanya yang bersinar dengan tajam dan menusuk membuat Kia makin meradang, laki-laki ini sama sekali tidak berhak untuk marah karena tindakan pengecut Zafran.

“Apa sepupumu tahu kalau suaminya menikah lagi?” kallimat itu sudah lama tertahan di lidah Kia dan akhirnya dia tanyakan juga.

“Itu bukan urusanku.”

“Hebat sekali, orang yang memaki mbak Nina di depan kuburnya sekarang berkata seperti itu,” kata Kia dengan pandangan mengejek, sedangkan wajah Biru langsung memerah entah menahan marah atau malu.

Sedangkan sang ibu yang duduk di samping Kia memperhatikan perdebatan dua orang itu dalam diam dan sedikit terkejut saat Kia tiba-tiba bertanya padanya.

“Apa ibu akan menerima ini?” tanya Kia dengan tatapan dingin tanpa senyum, dia tahu pandangannya akan membuat sang ibu sakit hati tapi Kia perlu melakukan ini semua supaya sang ibu bisa lebih kuat dan tidak terlalu baik lagi.

“Sebaiknya nak Biru bawa saja kembali pada Zafran, kami sama sekali tidak berhak atas ini.”

“Tapi-“

“Sertifikat itu memang atas nama Nina tapi kami tidak tahu dari mana dia mendapatkan uang itu, lagi pula setelah Nina meninggal yang berhak mewarisi hartanya adalah suaminya,” kata sang ibu lirih.

“Tapi mas Zafran tidak menginginkannya.”

“Maka dia bisa menjualnya, lagi pula kami ingin hidup tenang dan kami juga berjanji tidak akan menganggu harta maupun waktu Zafran seperti janji kami pada paman dan bibinya,” kata ibu lembut tapi tegas.

Kia tersenyum lebar, dengan jawaban sang ibu. Mereka memang orang miskin tapi bukan berarti mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang.

Mereka sudah cukup mendapat hinaan dan cacian untuk kesalahan yang bahkan tidak mereka lakukan.

“Kalau tidak ada lagi kamu bisa pergi sekarang,” kata kia lagi setelah hening beberapa saat.

Biru menggeleng pelan. “Kalian keras kepala, baiklah aku akan bilang pada mas Zafran dan mbak Rena tentang ini. Tapi sebelumnya ini kunci rumah itu, mungkin kalian ingin membereskan barang-barang almarhumah.”

Kia menatap kunci itu beberapa saat dan memutuskan mengambilnya, mungkin saja dia bisa mendapatkan petunjuk di sana.

Keduanya masih duduk di kursi ruang tamu begitu Biru keluar dari rumah mereka, keduanya larut dalam pemikiran masing-masing sampai suara berisik

Kia bangkit dari duduknya dan menatap ke halaman rumahnya yang penuh dengan beberapa tetangga, heran dengan apa yang membuat mereka berkerumun Kia melangkahkan kaki ke arah mereka dan betapa kesalnya dia saat menangkap percakapan mereka.

“Saya punya anak gadis yang jauh lebih cantik dari Kia, kalau masnya mau bisa saya kenalkan.”

“Saya juga punya, Kia itu kakaknya pelakor jangan sampai kamu yang ganteng ini kena Karma.”

Biru ditarik ke kanan dan ke kiri oleh ibu-ibu tetangganya.

Wajah rupawan dan tubuh yang bagus ditunjang dengan penampilan yang mahal... astaga kenapa dia jadi memuji laki-laki bermulut pedas itu.

Kia memutar langkahnya ke dalam rumah berusaha tidak peduli dengan keributan di luar sana sedangkan sang ibu yang menyusul Kia hanya menggelengkan kepala tak habis pikir.

Akan tetapi satu pikiran jail menyelinap di benak Kia, dia lalu memutar langkahnya lagi dan berjalan ke luar rumah.

“Mas Biru terima kasih ya hadiahnya tadi, aku suka... Ah ya mas tidak masalah bukan kalau istrimu sampai tahu keberadaanku, mas pasti membelaku kan,” kata Kia dengan nada genit yang membuatnya mual sendiri.

Para ibu yang tadi mengerumuni Biru langsung menatap berang pada Kia, lalu tanpa diminta pergi begitu saja.

“Yah maaf deh aku membuat penggemarmu pergi,” kata Kia tanpa rasa bersalah dan berbalik ke dalam rumah, meninggalkan Biru yang melongo di tempatnya.

Sekalian deh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status