“Bawa tamunya masuk, nduk. Kita perlu bicara baik-baik apapun masalahnya.”
Sekilas Kia menoleh dan mendapati ibunya berdiri di depan pintu dengan wajah cemas, dan tidak perlu jadi jenius untuk menebak kenapa sang ibu bereaksi demikian. Kejadian yang akhir-akhir ini terjadi pada keluarganya juga wajah sangarnya pasti sudah mengatakan kalau ada masalah yang terjadi. Kia menyesal kenapa dia tak langsung mengusir laki-laki ini. “Kamu dengar bukan,” katanya tanpa menoleh pada laki-laki itu dan melangkah masuk ke dalam rumah. Tanpa kata sang ibu mengelus bahu Kia dan membimbingnya masuk ke dalam rumah, senyum menenangkan menghiasi bibirnya, memuat Kia begitu heran bagaimana ibunya masih bisa tersenyum setenang itu saat keadaan seperti ini. Dan jujur saja Kia... iri melihatnya. “Kamu siapa, Nak?” tanya ibu begitu mereka sudah duduk dengan benar, sebenarnya sang ibu sudah meminta Kia untuk mengambilkan minuman dan makanan kecil untuk si tamu, tapi Kia dengan bandel malah masih tetap duduk sambil menatap tajam sang tamu. “Saya Sabiru, ibu bisa memanggil saya Biru,” kata laki-laki itu tenang. “Saya bu Munawaroh dan ini putri saya Zakia. Jadi keperluan nak Biru ini apa ya?” tanya ibu dengan ramah. “Saya hanya diiminta mengembalikan ini.” Kia mengambil map yang diletakkan Biru di atas meja dan membukanya bersama-sama dengan sang ibu. Napas mereka berdua langsung tercekat saat membaca apayang ada di dalamnya. “Apa maksudnya dengan mengembalikan?” tanya Kia tak mengerti. Sebagaimana ibunya Kia juga bisa membaca dengan jelas bahwa itu adalah sertifikat rumah yang selama ini di tempat Mbak Nina dan Zafran di kota atau begitulah yang Kia kira selama ini. “Renata yang memintaku mengembalikan ini.” “Renata?” tanya Kia bingung. “Istri Mas Zafran,” jawab Biru pendek. Seperti ada yang menggelitik perutnya dan membuatnya mual ingin muntah saat mendengar kata istri untuk Zafran yang selama ini Kia yakini hanya untuk Mbak Nina. Membuatnya tak bisa lagi mengelak kalau memang Zafran yang dia kira sangat mencintai mbak Nina ternyata sudah punya istri dan sekarang sepeninggal mbak Nina kembali pada istrinya seolah mbak Nina tak pernah ada dalam hidupnya. “Memangnya rumah itu milik siapa?” kali ini sang ibu yang bertanya. “Saya kurang tahu soal itu,” kata Biru sopan meski bagi Kia sikapnya tetap saja memuakkan. “Apa Zafran tahu?” sang ibu kembali bertanya, ada pedih yang berusaha dia redam saat menyebut nama menantunya itu. “Iya, dia tahu.” “Kenapa bukan dia yang datang, apa dia terlalu pengecut untuk mengakui kesalahannya dan berlindung di balik istrinya,” kali Ini Kia tak bisa menahan diri lagi, dia sangat ingin bertemu dengan Zafran, dan meminta penjelasan untuk semua ini. Dua tahun lamanya, Kia mengenal laki-laki itu setelah pernikahannya dengan mbak Nina. Selama ini Kia mengenalnya sebagai laki-laki yang bertanggung jawab dan sayang pada kakaknya, bahkan tak jarang Zafran membelikan hadiah untuk Kia. Selama ini Kia terbuai oleh kebaikan laki-laki itu, jika saja ada orang yang mengatakan kejadian yang sebenarnya beberapa bulan yang lalu Kia akan lantang bilang orang itu sudah sinting. “Mas Zafran banyak urusan.” “Benarkah,” kata Kia dengan nada merendahkan yang membuat Biru menatapnya dengan tak suka sampai sang ibu menyenggol lengannya memintanya tenang. Zafran tak menjawab, tapi matanya yang bersinar dengan tajam dan menusuk membuat Kia makin meradang, laki-laki ini sama sekali tidak berhak untuk marah karena tindakan pengecut Zafran. “Apa sepupumu tahu kalau suaminya menikah lagi?” kallimat itu sudah lama tertahan di lidah Kia dan akhirnya dia tanyakan juga. “Itu bukan urusanku.” “Hebat sekali, orang yang memaki mbak Nina di depan kuburnya sekarang berkata seperti itu,” kata Kia dengan pandangan mengejek, sedangkan wajah Biru langsung memerah entah menahan marah atau malu. Sedangkan sang ibu yang duduk di samping Kia memperhatikan perdebatan dua orang itu dalam diam dan sedikit terkejut saat Kia tiba-tiba bertanya padanya. “Apa ibu akan menerima ini?” tanya Kia dengan tatapan dingin tanpa senyum, dia tahu pandangannya akan membuat sang ibu sakit hati tapi Kia perlu melakukan ini semua supaya sang ibu bisa lebih kuat dan tidak terlalu baik lagi. “Sebaiknya nak Biru bawa saja kembali pada Zafran, kami sama sekali tidak berhak atas ini.” “Tapi-“ “Sertifikat itu memang atas nama Nina tapi kami tidak tahu dari mana dia mendapatkan uang itu, lagi pula setelah Nina meninggal yang berhak mewarisi hartanya adalah suaminya,” kata sang ibu lirih. “Tapi mas Zafran tidak menginginkannya.” “Maka dia bisa menjualnya, lagi pula kami ingin hidup tenang dan kami juga berjanji tidak akan menganggu harta maupun waktu Zafran seperti janji kami pada paman dan bibinya,” kata ibu lembut tapi tegas. Kia tersenyum lebar, dengan jawaban sang ibu. Mereka memang orang miskin tapi bukan berarti mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang. Mereka sudah cukup mendapat hinaan dan cacian untuk kesalahan yang bahkan tidak mereka lakukan. “Kalau tidak ada lagi kamu bisa pergi sekarang,” kata kia lagi setelah hening beberapa saat. Biru menggeleng pelan. “Kalian keras kepala, baiklah aku akan bilang pada mas Zafran dan mbak Rena tentang ini. Tapi sebelumnya ini kunci rumah itu, mungkin kalian ingin membereskan barang-barang almarhumah.” Kia menatap kunci itu beberapa saat dan memutuskan mengambilnya, mungkin saja dia bisa mendapatkan petunjuk di sana. Keduanya masih duduk di kursi ruang tamu begitu Biru keluar dari rumah mereka, keduanya larut dalam pemikiran masing-masing sampai suara berisik Kia bangkit dari duduknya dan menatap ke halaman rumahnya yang penuh dengan beberapa tetangga, heran dengan apa yang membuat mereka berkerumun Kia melangkahkan kaki ke arah mereka dan betapa kesalnya dia saat menangkap percakapan mereka. “Saya punya anak gadis yang jauh lebih cantik dari Kia, kalau masnya mau bisa saya kenalkan.” “Saya juga punya, Kia itu kakaknya pelakor jangan sampai kamu yang ganteng ini kena Karma.” Biru ditarik ke kanan dan ke kiri oleh ibu-ibu tetangganya. Wajah rupawan dan tubuh yang bagus ditunjang dengan penampilan yang mahal... astaga kenapa dia jadi memuji laki-laki bermulut pedas itu. Kia memutar langkahnya ke dalam rumah berusaha tidak peduli dengan keributan di luar sana sedangkan sang ibu yang menyusul Kia hanya menggelengkan kepala tak habis pikir. Akan tetapi satu pikiran jail menyelinap di benak Kia, dia lalu memutar langkahnya lagi dan berjalan ke luar rumah. “Mas Biru terima kasih ya hadiahnya tadi, aku suka... Ah ya mas tidak masalah bukan kalau istrimu sampai tahu keberadaanku, mas pasti membelaku kan,” kata Kia dengan nada genit yang membuatnya mual sendiri. Para ibu yang tadi mengerumuni Biru langsung menatap berang pada Kia, lalu tanpa diminta pergi begitu saja. “Yah maaf deh aku membuat penggemarmu pergi,” kata Kia tanpa rasa bersalah dan berbalik ke dalam rumah, meninggalkan Biru yang melongo di tempatnya. Sekalian deh.“Kamu benar tidak punya hubungan apapun dengan laki-laki itu, Ki?” Kia langsung cemberut saat bi Asih lagi-lagi bertanya hal itu untuk kesekian kalinya, tindakan isengnya membuat gosip tentang keluarga mereka semakin liar, bahkan ibunya yang sekarang sudah janda menjadi korban, banyak para ibu yang dulu berteman dengan ibunya menjauh, takut suaminya direbut. Kia bukannya merasa bersalah tapi malah ingin tertawa mendengar cerita bibinya itu. “Ibu-ibu itu kayaknya kurang piknik, aku Cuma bercanda mereka kira serius.” Sejujurnya Kia sudah muak dengan gosip yang mengatakan mbak Nina perebut suami orang, meski banyak bukti mengungkap kebenarannya tapi Kia tidak yakin Mbak Nina akan melakukan itu dengan sengaja, dia pasti punya alasan dan karena dia belum tahu alasan itu, cara terbaik adalah dengan mengalihkan mereka pada isu yang lain. “Kamu itu sudah tahu mereka tidak bisa bercanda malah kamu goda seperti itu
“Maaf pak Amir masih ada meeting dengan direktur sampai jam sepuluh.” Cobaan pertama saat memulai kehidupan kerjanya adalah ... menunggu. Di surat panggilan kerja itu tertulis jelas kalau dia harus hadir jam tujuh tepat untuk tanda tangan kontrak, tapi ternyata kepala HRD yang menanganinya sedang ada meeting. Bukan cobaan besar sebenarnya tapi membuat sebal juga. Perlahan Kia melangkah ke sofa yang ditunjukkan resepsionis tadi. Apa ini karma karena dia menolak sarapan pagi yang disiapkan sang ibu sejak hari masih gelap tadi. Ah kenapa kata itu sekarang sangat familiar di kehidupannya. Kia menggeleng berusaha mengenyahkan pikiran tak penting.Berusaha menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya karena untuk kembali ke kontrakan malas sekali rasanya jika nanti harus bolak-balik. Game membasmi zombie menjadi pilihannya, mungkin dengan banyaknya zombie yang bisa dia basmi akan mengurangi karma
“Ibu masih punya uang simpanan untuk kita makan tiga bulan ke depan,” kata ibu tiba-tiba yang membuat Kia langsung mengerutkan keningnya tak mengerti. “Apa kamu tidak nyaman dengan pekerjaan itu?” Kalau ini bukan ibunya, Kia pasti berpikir kalau Ibu mengikutinya tadi atau yang lebih modern menempelkan alat pelacak pada dirinya, untuk mengetahui apa yang terjadi padanya hari ini. “Semuanya baik-baik saja, Bu,” kata Kia lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri, semuanya memang baik-baik saja, dia sudah diterima kerja dengan tugas yang menurutnya tak terlalu berat dan gaji yang lumayan besar. Jadi tidak ada masalah bukan, kecuali... Dan Kia yakin dia akan bisa mengatasinya. “Kamu yakin?” tanya sang ibu sekali lagi. Kia terdiam sebentar haruskan dia mengatakan pada sang ibu tentang pertemuannya dengan Biru? Setelah terdiam sejenak akhirnya Kia berkata. “Ibu ingat Sabiru bukan, l
“Mbak Nina memang pelakor,” gumam Kia lirih. CITTT! Brak! “KALAU KAMU INGIN MATI JANGAN DI DEPAN MOBILKU!” Kia langsung mendongak saat mengenali suara bentakan itu, matanya menatap nanar pada laki-laki yang berjalan ke arahnya dengan wajah marah. Tubuhnya jatuh terduduk di aspal tanpa dia sadari. Jiwa Kia rasanya melanyang setelah menemukan surat ini, dia bahkan tidak tahu bagaimana bisa kembali ke daerah ini. Kia berushaa berdiri, tapi kakinya terasa sakit sekali, dengan tangan bergetar dia meraba kakinya yang sakit dan mengangkat tangannya begitu menyentuh cairan berwarna merah... darahnya. Dipaksa tubuhnya untuk berdiri tapi rasa nyeri itu seperti tangan yak kasat mata yang menghalanginya. Biru menatap Kia dengan mata menyipit, berjalan mendekati wanita itu dan mendengus saat melihat kakinya yang terluka. Dengan muka masam dia mengulurkan tangannya bermak
Kupu-kupu yang indah memang lebih disukai orang dari pada ulat yang menggelikan. Kia bergidik sendiri saat menganalogikan dirinya sebagai ulat dan Biru sebagai kupu-kupu, ada rasa tak terima tapi itulah yang terjadi sekarang. Jika Biru yang bicara dan mengurus semuanya, semua dokter dan perawat itu memperlakukannya seperti pasien prioritas yang sedang sekarat.Meski ada untungnya juga mereka tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan perawatan dan perawat muda tadi juga dengan senang hati mengambilkan obat untuk Kia, ‘adik Biru’ yang telah membuatnya terpesona. Dan Biru yang sadar betul dengan semua pesona yang dia miliki memanfaatkan itu sebaik mungkin untuk mempermudah urusannya meski masih dengan wajah datar tanpa senyum. Kia sampai heran sendiri, apa yang menarik dari laki-laki berwajah papan seperti itu? apa selera para wanita sekarang sudah berubah atau memang dia yang ketinggalan jaman? “Aku akan mengantarmu ke kontrakanmu,” gumam Biru tanpa menatap Kia. “Kamu tahu kontrak
Hidup memang penuh dengan pilihan. Bahkan kadang dia tidak mampu untuk memilih satupun di antara, tapi tetap saja kita harus memilih yang terbaik dari yang terburuk sekalipun bukan. Setidaknya itulah yang dilakukan Kia saat ini. Dia dan sang ibu sudah membayar lunas rumah kontrakan ini selama satu tahun ke depan dan karena mereka bukan orang kaya yang bisa menghamburkan uang seenaknya, jadi pilihan mereka tinggal tetap menempati rumah kontrakan ini meski tidak menyukai pemiliknya kalau mereka masih ingin makan dengan benar paling tidak sebulan ke depan. “Jadi apa yang kamu lakukan dengan bapak ganteng itu, dek. Gosipnya menyebar dengan cepat.” Pagi-pagi sekali mbak Dilla memang sudah menyambangi kontrakannya dengan alasan akan mengajaknya berbelanja bulanan, tapi Kia curiga kalau itu hanya alasan saja supaya dia mendengar berita tadi malam dari mulutnya. “Dia menabrakku dan mengantarku pulang,” kata Kia sengaja menghilangkan bagian d
“Kia apa yang kamu lakukan! Siapa dia!” Kia menoleh pada mbak Dila yang berdiri dengan napas terangah-engah, mungkin wanita itu berlari mengikutinya juga. “Mbak ayo kejar mobil itu,” kata Kia yang membuat mbak Dila menotot. “Kita tidak bawa kendaraan Ki, dengan apa mengejar dan kita juga tidak punya sayap, kalau kamu lupa,” kata mbak Dila lambat-lambat seperti menerangkan pada anak kecil bandel, membuat Kia kesal. “Taksi pesan taksi... ponselku mati.. ayolah, mbak!” kata Kia mendesak.“Jika dia memang tidak ingin bicara denganmu percuma saja kamu mengejarnya.” Kata mbak Dilla yang dengan perlahan membuka tasnya dan mengerluarkan ponselnya dari sana. Kia diam tidak ingin mengganggu, meski dia sudah tak sabar untuk mendapatkan taksi untuk mengejar mobil Zafran. “Aku sudah pesan tapi perlu waktu.” “Apa disekitar sini tidak ada taksi offline, biasanya mereka banyak di-“ “Memang tapi itu di depan sa
"KIa apa yang kamu lakukan, pergilah. Mas mohon," kata Zafran dengan raut wajah khawatir. Tapi Kia sama sekali tidak menggubris hal itu, dia tahu tindakannya ini salah dan sangat ceroboh, tapi rasa sakit dan kecewa dalam hatinya tidak bisa dia tahan lagi. Mbak Nina, kakaknya yang berharga diperlakukan seperti sampah oleh laki-laki yang harusnya melindunginya, apapun alasan pernikahan mereka Kia tidak terima mbak NIna diperlakukan seperti ini. "Kenapa aku harus pergi?" tanya Kia dengan nada menantang. "Ki, mas akan berikan apapun yang kamu inginkan. Mobil, uang yang banyak, rumah barang mewah semuanya, katakan saja, tapi tolong sekarang kamu pergi dulu," kata Zafran penuh permohonan. "Baguslah kalau mas sadar diri dan mau mengabulkan semua keinginanku," kata Kia sambil tersenyum lebar. Zafran menghela napas lega dan menarik tangan KIa ke luar pagar, tapi Kia tetap berdiri di tempatnya. "Tapi sayang bukan itu yang aku inginkan," kata Kia lamat-lamat, memastikan Zafran mendengar u
Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr
Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan
"Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam
Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem
"Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya
"Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa
Tidak ada senyum di wajah Renata sepanjag acara itu berlangsung. Bagi Kia hal itu cukup wajar, Jika dia yang mendapati suaminnya menikah lagi, mungkin bukan hanya wajahnya yang masam, tapi dia akan langsung balik badan dan tak akan mau melihat wajah mereka lagi. Kia akan sangat mengagumi ketegaran Renata, andai saja.... "Kenapa tidak langsung menikah?" bisik Kia pada Biru yang pandangannya masih terpaku pada prosesi tukar cincin pada pasangan calon pengantin. "Wanita itu anak orang kaya bukan, dia pasti ingin pesta yang selayaknya." "Meski dia istri kedua," kata KIa sinis. "Yah mau bagaimana lagi, dia cintanya sama mas Zafran.""Kamu yakin itu cinta, bukan karena tujuan lain?" Sepertinya Kia sudah ketularan penyakit julid LIta. Biru kembali mengangkat bahunya. "Kamu bilang ingin melihat mereka menikah, tapi kamu kenapa pertanyaanmu seolah kamu tidak suka dengan calon istri mas Zafran." "Bukan tidak suka sih, hanya kok tidak masuk akal saja." "Bukankah cinta katanya mem
"Kamu yakin ini rumah calon istri ketiga Zafran?" tanya Kia sekali lagi. Dia sampai melangkah ke depan Biru dan menatap laki-laki itu tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Tentu saja mbak Rena minggu lalu mengajakku kemari, dan maaf kali ini tidak seperti pernikahan mas Zafran dan kakakmu yang hanya diketahui mereka saja, sekarang semua keluarga besar tahu." "Mereka juga mendukung, termasuk om dan tantemu?" tanya Kia dan anggukan yang diberikan Biru membuat Kia menggelenng tak percaya. "Dan kamu juga mendukungnya?" "Kalau bisa aku ingin menghentikannya, untuk itulah aku mengajakmu ke sini." "Aku tidak punya hak." "Aku tahu, tapi kamu akan mengingatkan mereka pada kasus kakakmu, lagi pula ini acara keluarga dan sudah sepantasnya aku mengajak teman dekatku," jawab Biru mantap. Kia tak menjawab dia kembali berbalik dan menatap bangunan di depannya, bukan bangunan modern yang megah memang, bahkan bagian depan di dominasi oleh kayu berukir rumit khas jawa. "Sepertinya me
"Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.