Kanaya Anggia Wardana terpaksa harus menikah dengan pria yang cintanya pernah ia tolak saat masih duduk di bangku sekolah. Adalah Leonardo Cakra Barata, pemuda yang sering dibully dan diejek cupu karena berkacamata tebal yang ternyata adalah pewaris dari sebuah group perusahaan besar. Kondisi perusahaan keluarga Kanaya yang bangkrut dan kedua orangtua yang mengalami koma usai kecelakaan, memaksa Kanaya menerima perjodohannya dengan Leon. Sayangnya, Leon yang masih memendam sakit hati malah semakin membenci Kanaya oleh sebab kenyataan bahwa perempuan yang dinikahinya sudah tidak perawan lagi. Dan sejak hari itu, tidak ada kehidupan pernikahan yang indah. Hidup Kanaya terasa seperti di neraka, sebab Leon menjadi pria paling menakutkan bagi Kanaya.
View MoreKanaya tiba di apartemennya menjelang sore hari. Meletakkan tas serta barang bawaannya lebih dulu, Kanaya lantas berjalan ke arah dapur, mengambil segelas air bening yang bisa diminum dari keran secara langsung.
Namun, baru saja gelas itu menempel di bibirnya, bunyi ponsel dengan nada khusus yang selalu membuatnya riang membuat Kanaya urung dan memilih untuk berlari menggapai gawainya. “Halo, Pa,” sapanya riang. “Maaf Nona Kanaya. Ini saya, asisten pribadi Tuan.” “Oh, Iya. Ada apa, Om? Kok tumben Om telepon pakai hp khususnya Papa? Papa ke mana?” “Tuan…” Hening sejenak membuat Kanaya mengerutkan keningnya. Baru beberapa jam yang lalu ia berkomunikasi dengan kedua orangtua yang memberi semangat sebelum melakukan presentasi. Namun kini perasaannya mendadak gelisah karena panggilan yang tak biasa tersebut. “Ada apa sama Papa, Om?” “Tuan dan Nyonya sekarang berada di rumah sakit, Nona. Mereka mengalami kecelakaan pesawat.” “Apa!?” Kaki Kanaya mendadak terasa seperti jelly. Gadis itu terduduk di lantai dengan tubuh gemetar. Kabar buruk itu hadir di tengah kabar bahagia yang hendak ia sampaikan pada kedua orangtuanya. Kanaya merasa bingung. Hingga suara panggilan di seberang telepon sana yang terus memanggil namanya menyadarkan Kanaya pada kenyataan. “Lalu bagaimana kondisi Mama dan Papa sekarang ini, Om?” “Mereka sedang ditangani tim dokter ahli, Nona. Saya belum bisa menjelaskan detailnya. Karena saya juga baru tiba di sini.” “Bagaimana bisa kecelekaan itu terjadi? Papa dan Mama mau ke mana malam-malam begini?” Perbedaan waktu yang cukup rentang membuat Kanaya jelas paham dan penasaran kenapa kedua orangtuanya melakukan perjalanan mendadak menggunakan pesawat dan di malam hari tanpa mengabari ia dan adik-adiknya seperti biasa. “Kami masih menyeledikinya, Nona. Yang saya tahu mereka memang ingin membuat kejutan untuk Nona dengan berkunjung ke sana. Tapi seharusnya mereka pergi besok pagi.” Kanaya merasa bersalah. “Bagaimana dengan adik-adik?” “Saya belum memberitahu mereka. Apa perlu saya yang beritahu atau Nona sendiri yang akan menelepon mereka?” Kanaya terdiam. Kedua adiknya juga bersekolah dan tinggal di luar negeri. Tapi Kanaya tahu saat ini mereka sedang tidur. “Tidak perlu. Jangan beritahu dulu mereka sampai saya tiba di sana.” “Baik Nona. Saya sudah memesankan tiket. Akan ada yang menjemput Nona di apartemen satu jam lagi.” “Baik. Terima kasih, Om." “Baik, Nona. Selamat siang.” “Selamat siang.” Kanaya menangis sambil menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, Tangisannya terdengar sangat memilukan. Namun hal itu hanya sesaat ia lakukan sebab tak ada waktu bagi Kanaya untuk bersedih sekarang. Ia harus segera kembali ke negaranya dan memastikan kondisi orangtuanya. Menyapu wajahnya yang basah Kanaya lantas menyugar rambutnya yang panjang sebelum mengikatnya. Ia berkemas dengan cepat dan memasukkan barang-barang yang perlu dibawa. Sisanya biar nanti diurus orang-orang papanya yang ada di sini untuk dikirim menyusul. Kanaya lantas bergegas turun dari apartemennya dan pergi ke Bandara bersama orang suruhan yang sudah ditugaskan. Sesampainya di Bandara Kanaya langsung memasuki pesawat yang akan berangkat sekitar setengah jam lagi. “Mari saya tunjukkan tempat duduk, Nona Kanaya.” Seorang pramugari lantas berucap dan mengarahkannya secara khusus. “Terima kasih.” “Sama-sama, Nona. Jika perlu sesuatu panggil saja. Kami akan dengan senang hati membantu.” Kanaya menganguk lalu duduk dan memejamkan matanya, memikirkan banyak hal tentang kedua orangtuanya hingga tak menyadari buliran bening mengalir dari kedua ekor matanya. “Perlu sapu tangan?” Kanaya langsung membuka mata, tak menyadari kehadiran seorang pria yang kini tersenyum sambil mengulurkan sapu tangan padanya. “Ambil saja. Tidak apa.” Kanaya menatap pria dan sapu tangan yang diulurkan itu bergantian. “Indonesia?” Kanaya mengangguk. “Terima kasih,” jawab Kanaya menyerah dan menerima sapu tangan yang terus diulurkan padanya. “Something bad happened?” Kanaya mengangguk. “Saya baru dikabari kalau orangtua saya mengalami kecelakaan.” “Oh, soo sory to hear that. Bagaimana keadaan mereka sekarang?” Kanaya hanya bisa menggeleng, air matanya meleleh lebih banyak kemudian. Pria yang duduk di samping Kanaya memberinya semangat. “Maaf saya jadi curhat. Padahal kita belum kenal.” “It’s okay. Memang kenapa kalau kamu bercerita tentang kesedihan kamu pada orang yang baru kamu kenal?” Kanaya memaksakan senyumnya. Pria lantas memanggil pramugari dan memintanya mengambilkan minuman serta makanan ringan untuk Kanaya. “Terima kasih.” Kanaya menyimpan makanan yang diberikan pria dan kembali menatap ke jendela. Pesawat pun mengudara dengan kecepatan terbaik, membawa penumpang kembali ke negara mereka yang sama. “Rumah kamu di mana?” tanya pria begitu mereka selesai mengurus imigrasi. “Jakarta pusat." "Saya antar mau?” Kanaya menggeleng. “Terima kasih. Saya sudah dijemput.” “Okay kalau begitu. Semangat, ya.” Kanaya mengangguk, berharap bisa bertemu pria itu kembali dan membalas kebaikannya yang mungkin tak seberapa selama di pesawat tadi. Tiba di rumah sakit, Kanaya bergegas mencari ruangan tempat di mana kedua orangtuanya dirawat. Sang asisten pribadi papanya yang menunggu di depan ruangan langsung bangun dan menghampiri ketika melihat Kanaya tiba. “Selamat datang, Nona.” “Bagaimana kondisi Mama dan Papa?” “Silakan masuk,” jawabnya membukakan pintu. Kanaya melihat kedua orangtuanya terbaring bersisian di atas ranjang rumah sakit dengan kondisi tak sadarkan diri. Hatinya perih. “Mereka koma, Nona.” Dunia Kanaya seolah runtuh. Tubuh yang mendadak lemas dan hampir ambruk langsung ditahan oleh asisten pribadi papanya. Kanaya pun dipapah menuju sofa agar. “Pesawat mengalami masalah dan harus melakukan pendaratan darurat. Tapi karena tidak stabil, belum sempat mendarat sempurna pesawat setengah jatuh dan tergelincir,” terang asisten pribadi papanya tersebut. “Apa mereka akan segera sadar?” “Dokter masih harus melakukan beberapa tes lagi. Dan mereka menunggu Nona datang untuk memberi persetujuan sebagai keluarga terdekat.” Kanaya mengerti. Ia lantas berdiri seraya menghampiri kedua orangtuanya yang ingin sekali dipeluk. Namun ketukan di pintu kamar perawatan itu membuat langkah Kanaya terhenti. “Siapa?” tanya Kanaya pada asisten papanya. Sang asisten segera membuka pintu dan seketika munculnya seorang pria paruh baya yang ia taksir seusia papanya. “Anda mau mencari siapa, Tuan?” “Kamu Kanaya, bukan?” Kanaya tertegun. Ia jelas tidak mengenal pria perlente yang berdiri di hadapannya tersebut. “Silakan masuk, Tuan.” Kanaya semakin bertanya-tanya karena rupanya sang asisten mengenal pria tersebut. “Om kenal sama tuan ini?” Sang asisten mengangguk lantas menjelaskan singkat siapa orang yang akhirnya diperkenalkan sebagai sahabat karib papanya sejak muda itu. Kanaya tidak tahu. Namun samar-samar ia seperti pernah mendengar papanya menceritakan tentang sahabatnya yang tinggal lama di luar negeri tersebut. “Duduk Kanaya. Saya ingin membicarakan sesuatu dengan kamu.” Kanaya patuh dan bersisian dengan pria tersebut. “Saya tahu ini waktu yang tidak tepat. Tapi perusahaan papamu harus segera Om ambil alih.” “Maksud, Om?” “Perusahaan Papamu sebetulnya mengalami masalah keuangan sudah cukup lama. Dan ia sempat meminta bantuan pada Om beberapa hari lalu.” “Papa nggak pernah cerita.” “Tentu saja. Ia pasti tak ingin membebanimu,” terangnya lalu menatap ke arah ranjang dengan tatapan sendu. Begitupun dengan Kanaya. “Jadi, apa maksud kedatangan Om ke sini untuk menjelaskan hal itu?” Pria itu mengangguk. “Lalu apa yang harus Kanaya lakukan untuk membantu?” “Tidak ada.” Kanaya terheran. Pria itu lantas mengulurkan sebuah berkas yang diminta untuk dibaca dengan seksama. “Om tidak tahu kenapa Papamu tiba-tiba meminta Om untuk membuat perjanjian seperti itu. Sepertinya hal ini sudah ia perkirakan sebelumnya. Karena itu, tugas Om sekarang ini adalah membantu perusahaan papamu yang akan bangkrut. Om membutuhkan tanda tangan dan persetujuanmu.” Bergegas Kanaya memberikan kuasanya dan memubuhkan tanda tangan di atas materai dalam berkas tersebut. Ia kemudian menatap melas pada pria tersebut. “Lakukan apapun untuk menyelamatkan perusahaan Papa. Tolong, Om. Kanaya akan melakukan apapun untuk membantu, Om.” “Om akan melakukan sebisa mungkin untuk menyelamatkan kalian. Dan ada satu lagi yang harus kamu lakukan.” “Apa? Katakan saja, Om. Kanaya akan melakukannya.” “Kamu harus melaksanakan perjodohan yang sudah diatur Papamu dan Om sejak lama.""Bunda tahu kesalahan Leon sulit dimaafkan. Tapi Bunda harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik. Bagaimanapun, Bunda dan Ayah bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu, Kanaya."Setelah pulang dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Kanaya akhirnya memutuskan pindah rumah.Bunda Leon mengusap ujung matanya yang basah. Ia terpaksa melepas kepergian Kanaya yang ingin memulai hidup sendiri di rumah barunya selama menunggu perceraiannya dengan Leon."Iya, Bunda. Kanaya juga minta maaf kalau selama ini Kanaya belum menjadi anak yang baik untuk Bunda dan Ayah.""Kalau perlu sesutu, jangan sungkan hubungi Ayah dan Bunda," pesan ayah Leon diangguki Kanaya.Kanaya lantas masuk ke dalam mobil. Ia diantar ke rumah kontrakan sederhana yang akan ditempatinya sementara.Meski kedua mertuanya sudah menawarkan apartemen mewah untuk Kanaya tinggali, namun Kanaya merasa lebih nyaman dengan pilihannya sendiri.Selain karena Kanaya ingin lepas dari keluarga Leo
"Kanaya?"Kanaya yang baru selesai makan siang kaget begitu melihat kehadiran sabahabat lama di ruang perawatannya.""Di? Bener itu kamu, Di?"Didi mengangguk lalu menghampiri Kanaya dan memeluknya."Kangen ih! Kamu ke mana aja, sih?""Kamu yang ke mana aja? Btw kamu kok tau aku di sini?" tanya Kanaya membuat Didi mengulum bibir resah sambil menatap Kanaya."Leon?" tebak Kanaya diangguki Didi pelan. Namun diluar dugaan Kanaya tersenyum pada sahabatnya tersebut. "Ada untungnya punya suami kaya raya.""Kanaya." Yang diucapkan Kanaya terdengar menyedihkan bagi Didi."Kamu apa kabar?" alih-alih Kanaya."Aku baik.""Datang sama siapa? Kata Clarisa kamu di Singapur. Udah nikah.""Sama Bani. Tapi dia nunggu di mobil. Soalnya anak kami masih kecil. Nggak boleh masuk rumah sakit 'kan."Kanaya melebarkan bola matanya lucu. "Bani yang dulu..."Mereka lalu tertawa hingga obrolan-obrolan masa lalu meluncur begitu saja. Membuat Kanaya terlihat lebih ceria."Nggak nyangka banget. Kalian nikah sampe
Tiba di hotel Leon segera membersihkan dirinya. Ia memilih berendam di dalam bathup guna menenangkan keresahan yang kini mulai mengganggunya setelah pertemuan dengan Didi dan Bani.Leon mulai menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya pada Kanaya. Namun, meski masalalunya terbuka kembali, Leon masih memerlukan bukti yang kuat.Ia harus balas dendam pada orang-orang yang sudah membuat ia salah sangka pada Kanaya. Batinnya bergejolak.Memikirkan Kanaya yang sedang berada di rumah sakit membuat Leon berbegas menyelesaikan mandinya dan menelepon sang Bunda."Ada apa?" suara ketus Bunda Leon membuat sang anak menghela napas pelan."Kanaya gimana kondisinya, Bund?""Perlu kamu tahu? Bukannya kamu benci sama dia?""Bund, tolong. Leon tahu Leon salah. Tapi Bunda juga nggak bisa menyalahkan Leon sepenuhnya. Semua ini salah paham.""Tapi Bunda dan Ayah tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi laki-laki jahat sejahat apapun perlakukan orang terhadap kita. Apalagi Kanaya itu istri kamu. Dia pere
Leon tiba di Bandara Changi Air Port Singapura. Lima jam setelah pertemuannya dengan Clarisa di supermarket, sepupu dari Didi, sahabat Kanaya saat masih bersekolah. Ya, setelah berbicara di telepon melalui Clarisa, Leon bergegas menyambangi Didi yang kini tinggal di Singapura. Leon benar-benar tak sabar ingin menanyakan semua hal yang kini bergumul di dalam kepalanya. Dan demi hal itu, Leon rela meninggalkan apapun yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Termasuk meeting pentingnya dengan seorang klien dari Jerman. “Bisa kita bertemu sekarang?” “Hah? Kamu di mana memangnya?” “Aku sudah tiba di Singapura,” terang Leon sambil berjalan menuju mobil yang menunggunya. “Arya, kamu gila?” seru Didi di seberang sambungan telepon sana. “Kita harus bertemu. Ini tentang Kanaya,” ujarnya kali ini. “Hah? Kanaya? Maksud kamu?” Sebelumnya Leon memang tidak membahas soal Kanaya saat berbicara dengan Didi. Karena itu kali ini ia menggunakan nama Kanaya agar Didi bisa segera bertemu dengannya. “
Leon baru saja menceritakan masalalu yang membuatnya sangat membenci Kanaya di hadapan kedua orangtuanya.Kanaya hanya bisa menitikkan air mata. Selama ini ia bertanya-tanya kenapa dulu Leon yang semula ia kenal sebagai Arya tega memperkosanya di gudang sekolah. Dan kini Kanaya tahu kenapa Leon sangat membencinya.Leon mengira Kanaya lah yang menjadi penyebab dari semua kesalahpahaman yang sudah berlangsung hingga belasan tahun lamanya.“Apa benar begitu Kanaya?”Kanaya menggeleng. “Apa Bunda dan Ayah ingat waktu kakek dan nenek Kanaya meninggal?”Tuan Barata, Ayah Leon lantas menatap sang istri. Mencari-cari jawaban yang tampak kesulitan untuk diingat.“Waktu Tuan Wardana meninggal, bukankah kita sedang berada di Monako, sayang?”“Ayah benar. Waktu itu bukannya Mbak Sarah sedang ulang tahu, ya? Kita mengadakan pesta di resort,” terang Bunda Leon diangguki sang suami. Lanjutnya, “Kalau tidak salah tanggal lahir Mbak Sarah…”“7 Oktober?” Kanaya lebih dulu menyela.“Bagaimana kamu tahu?
Flash back.... "Ngegambar terus, sekali-kali gambar masa depan kamu donk, Ya."Kanaya terkekeh dengan celoteh sahabatnya tersebut. "Kamu ngomong apa, sih, Di? Sana jajan ke kantin aja. Daripada ganggu aku." Didi berdecak. Namun tak bicara lagi setelahnya. Ia hanya mengamati kegiatan Kanaya yang sedang menyelesaikan desaian pakaian yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba. "Akhirnya!" seru Kanaya lega lalu meregangkan tangan dan badannya. "Ikut aku, yuk!" Tanpa aba-aba Didi langsung meraih tangan Kanaya dan mengajaknya keluar kelas."Eh, mau ke mana?"Didi tak menjawab. Ia bergegas membawa Kanaya dengan cepat. "Di, pelan-pelan dong!" "Duh, nanti keburu bel masuk, Kanaya.""Memang kita mau ke mana?" ulang Kanaya semakin penasaran."Nanti juga kamu tahu."Didi rupanya membawa Kanaya menuju gudang belakang sekolah. Dan di sana sudah menunggu seorang anak laki-laki yang terlihat mondar mandir resah dengan segenggam bunga daisy yang ia sembunyikan di balik punggungnya."Arya!" Did
"Ga! Aku nggak mau!" Kanaya menolak keras ketika Leon memaksa ia melayaninya di atas tempat tidur setelah mereka tiba di rumah.Leon sengaja mengajak pulang Kanaya lebih cepat alih-alih agar persoalan tentang nama lamanya tidak terungkap. "Kamu nggak punya hak menolak!" Kanaya memberanikan diri menatap Leon dengan garang. "Aku punya hak! Saat kamu mengucapkan janji pernikah, kamu juga berjanji akan menggauliku dengan baik. Bukan dengan paksaan seperti ini," bentaknya dengan suara bergetar dan nafas yang memburu. Sayangnya Leon tak peduli. Ia semakin mengencangkan cengkramannya di pergelangan tangan Kanaya yang ia letakkan di atas kepala sang istri. Membuat Kanaya mengaduh kesakitan. "Persetan dengan janji pernikahan! Aku menikahimu karena terpaksa! Dan semua itu-" "Terus saja gunakan alasanmu untuk membuatku merasa bersalah dan akhirnya menerima semua perlakuan kasarmu."Leon semakin marah. Rahangnya terlihat mengetat dan cengkramannya semakin menyakiti Kanaya hingga membuat san
Kanaya menatap pergelangan tangannya yang membiru akibat ulah Leon semalam. Meski bukan hal yang baru bagi Kanaya, namun orang lain yang tidak mengetahuinya akan mengira kalau Kanaya mengalami penganiayaan. Kanaya lantas mencari salep yang biasa ia gunakan untuk menghilangkan lebam dan memar di tubuhnya. Namun bersamaan dengan itu, bel apartemennya berbunyi. Kanaya memastikan lebih dulu melalaui interkom. Setelah yakin dengan siapa yang datang, Kanaya pun membukakan pintu dengan senang hati. Namun senyum bahagia itu mendadak kikuk ketika ibu mertua yang tak Kanaya lihat di interkom tiba-tiba muncul sambil menenteng belanjaan. “Bunda.” “Halo, Sayang.” Kanaya membalas pelukan dan kecupan bunda Leon dengan sedikit canggung. Terlebih ia takut ibu mertuanya tersebut melihat bekas memar di pergelangan tangannya. “Kamu sedang sibuk?” “Nggak, Bunda. Tapi Bunda kenapa nggak mengabari Kanaya kalau mau ke sini?” Kanaya bertanya sambil membantu membereskan belanjaan yang dibawa Miranti d
Petir menggelegar begitu Leon tiba di atap apartemen yang memang dijadikan taman khusus bagi penghuni gedung.Suara pintu yang terbuka tak mengalihkan perhatian Kanaya sedikitpun di tepi pagar atap gedung tersebut.Petugas keamanan yang datang bersama Leon lantas menawarkan jas hujan yang diterima Leon dengan segera.“Boleh tolong tinggalkan kami berdua? Suasana hati istri saya sedang tidak baik. Mungkin itu sebabnya dia pergi ke sini. Kalau ada orang yang melihat, saya takut dia tidak nyaman,” tutur Leon dengan ramah dan sopan.“Ah, baik kalau begitu. Saya akan menunggu di dalam supaya jika Pak Leon butuh bantuan, tinggal panggil saja.”Leon mengangguk lalu mengucapkan terima kasih sebelum berjalan menghampiri Kanaya yang belum menyadari kehadirannya.Bahkan hingga tubuh Leon hanya beberapa langkah di belakang Kanaya, perempuan itu tampak bergeming.Leon menaikkan satu alisnya ke atas, alih-alih memakaikan jas hujan pada tubuh Kanaya, Leon membiarkan tubuhnya basah seperti Kanaya yan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments