Leon baru saja menceritakan masalalu yang membuatnya sangat membenci Kanaya di hadapan kedua orangtuanya.Kanaya hanya bisa menitikkan air mata. Selama ini ia bertanya-tanya kenapa dulu Leon yang semula ia kenal sebagai Arya tega memperkosanya di gudang sekolah. Dan kini Kanaya tahu kenapa Leon sangat membencinya.Leon mengira Kanaya lah yang menjadi penyebab dari semua kesalahpahaman yang sudah berlangsung hingga belasan tahun lamanya.“Apa benar begitu Kanaya?”Kanaya menggeleng. “Apa Bunda dan Ayah ingat waktu kakek dan nenek Kanaya meninggal?”Tuan Barata, Ayah Leon lantas menatap sang istri. Mencari-cari jawaban yang tampak kesulitan untuk diingat.“Waktu Tuan Wardana meninggal, bukankah kita sedang berada di Monako, sayang?”“Ayah benar. Waktu itu bukannya Mbak Sarah sedang ulang tahu, ya? Kita mengadakan pesta di resort,” terang Bunda Leon diangguki sang suami. Lanjutnya, “Kalau tidak salah tanggal lahir Mbak Sarah…”“7 Oktober?” Kanaya lebih dulu menyela.“Bagaimana kamu tahu?
Leon tiba di Bandara Changi Air Port Singapura. Lima jam setelah pertemuannya dengan Clarisa di supermarket, sepupu dari Didi, sahabat Kanaya saat masih bersekolah. Ya, setelah berbicara di telepon melalui Clarisa, Leon bergegas menyambangi Didi yang kini tinggal di Singapura. Leon benar-benar tak sabar ingin menanyakan semua hal yang kini bergumul di dalam kepalanya. Dan demi hal itu, Leon rela meninggalkan apapun yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Termasuk meeting pentingnya dengan seorang klien dari Jerman. “Bisa kita bertemu sekarang?” “Hah? Kamu di mana memangnya?” “Aku sudah tiba di Singapura,” terang Leon sambil berjalan menuju mobil yang menunggunya. “Arya, kamu gila?” seru Didi di seberang sambungan telepon sana. “Kita harus bertemu. Ini tentang Kanaya,” ujarnya kali ini. “Hah? Kanaya? Maksud kamu?” Sebelumnya Leon memang tidak membahas soal Kanaya saat berbicara dengan Didi. Karena itu kali ini ia menggunakan nama Kanaya agar Didi bisa segera bertemu dengannya. “
Tiba di hotel Leon segera membersihkan dirinya. Ia memilih berendam di dalam bathup guna menenangkan keresahan yang kini mulai mengganggunya setelah pertemuan dengan Didi dan Bani.Leon mulai menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya pada Kanaya. Namun, meski masalalunya terbuka kembali, Leon masih memerlukan bukti yang kuat.Ia harus balas dendam pada orang-orang yang sudah membuat ia salah sangka pada Kanaya. Batinnya bergejolak.Memikirkan Kanaya yang sedang berada di rumah sakit membuat Leon berbegas menyelesaikan mandinya dan menelepon sang Bunda."Ada apa?" suara ketus Bunda Leon membuat sang anak menghela napas pelan."Kanaya gimana kondisinya, Bund?""Perlu kamu tahu? Bukannya kamu benci sama dia?""Bund, tolong. Leon tahu Leon salah. Tapi Bunda juga nggak bisa menyalahkan Leon sepenuhnya. Semua ini salah paham.""Tapi Bunda dan Ayah tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi laki-laki jahat sejahat apapun perlakukan orang terhadap kita. Apalagi Kanaya itu istri kamu. Dia pere
"Kanaya?"Kanaya yang baru selesai makan siang kaget begitu melihat kehadiran sabahabat lama di ruang perawatannya.""Di? Bener itu kamu, Di?"Didi mengangguk lalu menghampiri Kanaya dan memeluknya."Kangen ih! Kamu ke mana aja, sih?""Kamu yang ke mana aja? Btw kamu kok tau aku di sini?" tanya Kanaya membuat Didi mengulum bibir resah sambil menatap Kanaya."Leon?" tebak Kanaya diangguki Didi pelan. Namun diluar dugaan Kanaya tersenyum pada sahabatnya tersebut. "Ada untungnya punya suami kaya raya.""Kanaya." Yang diucapkan Kanaya terdengar menyedihkan bagi Didi."Kamu apa kabar?" alih-alih Kanaya."Aku baik.""Datang sama siapa? Kata Clarisa kamu di Singapur. Udah nikah.""Sama Bani. Tapi dia nunggu di mobil. Soalnya anak kami masih kecil. Nggak boleh masuk rumah sakit 'kan."Kanaya melebarkan bola matanya lucu. "Bani yang dulu..."Mereka lalu tertawa hingga obrolan-obrolan masa lalu meluncur begitu saja. Membuat Kanaya terlihat lebih ceria."Nggak nyangka banget. Kalian nikah sampe
"Bunda tahu kesalahan Leon sulit dimaafkan. Tapi Bunda harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik. Bagaimanapun, Bunda dan Ayah bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu, Kanaya."Setelah pulang dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Kanaya akhirnya memutuskan pindah rumah.Bunda Leon mengusap ujung matanya yang basah. Ia terpaksa melepas kepergian Kanaya yang ingin memulai hidup sendiri di rumah barunya selama menunggu perceraiannya dengan Leon."Iya, Bunda. Kanaya juga minta maaf kalau selama ini Kanaya belum menjadi anak yang baik untuk Bunda dan Ayah.""Kalau perlu sesutu, jangan sungkan hubungi Ayah dan Bunda," pesan ayah Leon diangguki Kanaya.Kanaya lantas masuk ke dalam mobil. Ia diantar ke rumah kontrakan sederhana yang akan ditempatinya sementara.Meski kedua mertuanya sudah menawarkan apartemen mewah untuk Kanaya tinggali, namun Kanaya merasa lebih nyaman dengan pilihannya sendiri.Selain karena Kanaya ingin lepas dari keluarga Leo
Kanaya tiba di apartemennya menjelang sore hari. Meletakkan tas serta barang bawaannya lebih dulu, Kanaya lantas berjalan ke arah dapur, mengambil segelas air bening yang bisa diminum dari keran secara langsung. Namun, baru saja gelas itu menempel di bibirnya, bunyi ponsel dengan nada khusus yang selalu membuatnya riang membuat Kanaya urung dan memilih untuk berlari menggapai gawainya. “Halo, Pa,” sapanya riang. “Maaf Nona Kanaya. Ini saya, asisten pribadi Tuan.” “Oh, Iya. Ada apa, Om? Kok tumben Om telepon pakai hp khususnya Papa? Papa ke mana?” “Tuan…” Hening sejenak membuat Kanaya mengerutkan keningnya. Baru beberapa jam yang lalu ia berkomunikasi dengan kedua orangtua yang memberi semangat sebelum melakukan presentasi. Namun kini perasaannya mendadak gelisah karena panggilan yang tak biasa tersebut. “Ada apa sama Papa, Om?” “Tuan dan Nyonya sekarang berada di rumah sakit, Nona. Mereka mengalami kecelakaan pesawat.” “Apa!?” Kaki Kanaya mendadak terasa seperti jel
Kanaya duduk di antara ranjang ayah dan ibunya yang masih terbaring koma. Sambil mengelap tangan papanya yang terbaring di sisi kanan, gadis itu terus bercerita dengan tatapan pada sang mama yang terbaring dengan kondisi serupa di sebelah kiri.“Kanaya nggak tahu harus gimana, Ma? Om itu bilang kalau nanti siang Kanaya harus ketemu sama Leon. Kanaya penasaran kenapa Papa menjodohkan Kanaya dengan Leon, bahkan sejak masih kecil.”Kanaya terus bercerita meski tidak ada yang menanggapi. Hanya suara lengkingan monitor pendeteksi kehidupan yang mengisi percakapan satu arah Kanaya dengan kedua orangtunya tersebut.“Mama juga, Mama kok nggak bilang sama Kanaya kalau Papa sudah mempersiapkan jodoh untuk Kanaya?” rajuknya manja seperti sedang bercerita pada sang mama seperti biasanya.Helaan napas beratnya pun terdengar kemudian. Ia menggeser kursinya ke arah ranjang sang mama dan bergantian mengelap tangan serta wajah wanita yang masih terlihat cantik di usia lanjutnya itu.“Tapi Kanaya perca
Kanaya berusaha tegar di hadapan orangtuanya meski mereka sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri.Hari menjelang malam ketika Kanaya kembali ke rumah sakit. Ia berkeliling kota lebih dulu guna melenyapkan jejak kesedihan yang tertinggal di wajahnya setelah puas menangis di gedung kosong siang tadi.Kanaya juga sengaja pulang ke rumah untuk membawa beberapa barang yang akan ia tata di dalam ruang perawatan orangtuanya. Seperti pigura foto dan beberapa benda yang mengingatkan kenangan indah bersama orangtua dan adik-adiknya.“Malam sekali, Nona.” Sang asisten menyapa begitu melihat pintu terbuka dan Kanaya masuk menghampirinya di sofa.“Iya, Om. Maaf, ya. Tadi aku pulang dulu ke rumah buat ambil pakaian dan barang-barang lain,” ujar Kanaya sambil mengangkat tas jinjing di tangannya. “Om pasti capek ya nunggu lama di sini.”“Tidak. Saya bisa sambil bekerja tadi. Masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan sebelum perusahaan diambil sepenuhnya nanti.”Kanaya teringat sesuatu. “Ter
"Bunda tahu kesalahan Leon sulit dimaafkan. Tapi Bunda harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik. Bagaimanapun, Bunda dan Ayah bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu, Kanaya."Setelah pulang dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Kanaya akhirnya memutuskan pindah rumah.Bunda Leon mengusap ujung matanya yang basah. Ia terpaksa melepas kepergian Kanaya yang ingin memulai hidup sendiri di rumah barunya selama menunggu perceraiannya dengan Leon."Iya, Bunda. Kanaya juga minta maaf kalau selama ini Kanaya belum menjadi anak yang baik untuk Bunda dan Ayah.""Kalau perlu sesutu, jangan sungkan hubungi Ayah dan Bunda," pesan ayah Leon diangguki Kanaya.Kanaya lantas masuk ke dalam mobil. Ia diantar ke rumah kontrakan sederhana yang akan ditempatinya sementara.Meski kedua mertuanya sudah menawarkan apartemen mewah untuk Kanaya tinggali, namun Kanaya merasa lebih nyaman dengan pilihannya sendiri.Selain karena Kanaya ingin lepas dari keluarga Leo
"Kanaya?"Kanaya yang baru selesai makan siang kaget begitu melihat kehadiran sabahabat lama di ruang perawatannya.""Di? Bener itu kamu, Di?"Didi mengangguk lalu menghampiri Kanaya dan memeluknya."Kangen ih! Kamu ke mana aja, sih?""Kamu yang ke mana aja? Btw kamu kok tau aku di sini?" tanya Kanaya membuat Didi mengulum bibir resah sambil menatap Kanaya."Leon?" tebak Kanaya diangguki Didi pelan. Namun diluar dugaan Kanaya tersenyum pada sahabatnya tersebut. "Ada untungnya punya suami kaya raya.""Kanaya." Yang diucapkan Kanaya terdengar menyedihkan bagi Didi."Kamu apa kabar?" alih-alih Kanaya."Aku baik.""Datang sama siapa? Kata Clarisa kamu di Singapur. Udah nikah.""Sama Bani. Tapi dia nunggu di mobil. Soalnya anak kami masih kecil. Nggak boleh masuk rumah sakit 'kan."Kanaya melebarkan bola matanya lucu. "Bani yang dulu..."Mereka lalu tertawa hingga obrolan-obrolan masa lalu meluncur begitu saja. Membuat Kanaya terlihat lebih ceria."Nggak nyangka banget. Kalian nikah sampe
Tiba di hotel Leon segera membersihkan dirinya. Ia memilih berendam di dalam bathup guna menenangkan keresahan yang kini mulai mengganggunya setelah pertemuan dengan Didi dan Bani.Leon mulai menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya pada Kanaya. Namun, meski masalalunya terbuka kembali, Leon masih memerlukan bukti yang kuat.Ia harus balas dendam pada orang-orang yang sudah membuat ia salah sangka pada Kanaya. Batinnya bergejolak.Memikirkan Kanaya yang sedang berada di rumah sakit membuat Leon berbegas menyelesaikan mandinya dan menelepon sang Bunda."Ada apa?" suara ketus Bunda Leon membuat sang anak menghela napas pelan."Kanaya gimana kondisinya, Bund?""Perlu kamu tahu? Bukannya kamu benci sama dia?""Bund, tolong. Leon tahu Leon salah. Tapi Bunda juga nggak bisa menyalahkan Leon sepenuhnya. Semua ini salah paham.""Tapi Bunda dan Ayah tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi laki-laki jahat sejahat apapun perlakukan orang terhadap kita. Apalagi Kanaya itu istri kamu. Dia pere
Leon tiba di Bandara Changi Air Port Singapura. Lima jam setelah pertemuannya dengan Clarisa di supermarket, sepupu dari Didi, sahabat Kanaya saat masih bersekolah. Ya, setelah berbicara di telepon melalui Clarisa, Leon bergegas menyambangi Didi yang kini tinggal di Singapura. Leon benar-benar tak sabar ingin menanyakan semua hal yang kini bergumul di dalam kepalanya. Dan demi hal itu, Leon rela meninggalkan apapun yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Termasuk meeting pentingnya dengan seorang klien dari Jerman. “Bisa kita bertemu sekarang?” “Hah? Kamu di mana memangnya?” “Aku sudah tiba di Singapura,” terang Leon sambil berjalan menuju mobil yang menunggunya. “Arya, kamu gila?” seru Didi di seberang sambungan telepon sana. “Kita harus bertemu. Ini tentang Kanaya,” ujarnya kali ini. “Hah? Kanaya? Maksud kamu?” Sebelumnya Leon memang tidak membahas soal Kanaya saat berbicara dengan Didi. Karena itu kali ini ia menggunakan nama Kanaya agar Didi bisa segera bertemu dengannya. “
Leon baru saja menceritakan masalalu yang membuatnya sangat membenci Kanaya di hadapan kedua orangtuanya.Kanaya hanya bisa menitikkan air mata. Selama ini ia bertanya-tanya kenapa dulu Leon yang semula ia kenal sebagai Arya tega memperkosanya di gudang sekolah. Dan kini Kanaya tahu kenapa Leon sangat membencinya.Leon mengira Kanaya lah yang menjadi penyebab dari semua kesalahpahaman yang sudah berlangsung hingga belasan tahun lamanya.“Apa benar begitu Kanaya?”Kanaya menggeleng. “Apa Bunda dan Ayah ingat waktu kakek dan nenek Kanaya meninggal?”Tuan Barata, Ayah Leon lantas menatap sang istri. Mencari-cari jawaban yang tampak kesulitan untuk diingat.“Waktu Tuan Wardana meninggal, bukankah kita sedang berada di Monako, sayang?”“Ayah benar. Waktu itu bukannya Mbak Sarah sedang ulang tahu, ya? Kita mengadakan pesta di resort,” terang Bunda Leon diangguki sang suami. Lanjutnya, “Kalau tidak salah tanggal lahir Mbak Sarah…”“7 Oktober?” Kanaya lebih dulu menyela.“Bagaimana kamu tahu?
Flash back.... "Ngegambar terus, sekali-kali gambar masa depan kamu donk, Ya."Kanaya terkekeh dengan celoteh sahabatnya tersebut. "Kamu ngomong apa, sih, Di? Sana jajan ke kantin aja. Daripada ganggu aku." Didi berdecak. Namun tak bicara lagi setelahnya. Ia hanya mengamati kegiatan Kanaya yang sedang menyelesaikan desaian pakaian yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba. "Akhirnya!" seru Kanaya lega lalu meregangkan tangan dan badannya. "Ikut aku, yuk!" Tanpa aba-aba Didi langsung meraih tangan Kanaya dan mengajaknya keluar kelas."Eh, mau ke mana?"Didi tak menjawab. Ia bergegas membawa Kanaya dengan cepat. "Di, pelan-pelan dong!" "Duh, nanti keburu bel masuk, Kanaya.""Memang kita mau ke mana?" ulang Kanaya semakin penasaran."Nanti juga kamu tahu."Didi rupanya membawa Kanaya menuju gudang belakang sekolah. Dan di sana sudah menunggu seorang anak laki-laki yang terlihat mondar mandir resah dengan segenggam bunga daisy yang ia sembunyikan di balik punggungnya."Arya!" Did
"Ga! Aku nggak mau!" Kanaya menolak keras ketika Leon memaksa ia melayaninya di atas tempat tidur setelah mereka tiba di rumah.Leon sengaja mengajak pulang Kanaya lebih cepat alih-alih agar persoalan tentang nama lamanya tidak terungkap. "Kamu nggak punya hak menolak!" Kanaya memberanikan diri menatap Leon dengan garang. "Aku punya hak! Saat kamu mengucapkan janji pernikah, kamu juga berjanji akan menggauliku dengan baik. Bukan dengan paksaan seperti ini," bentaknya dengan suara bergetar dan nafas yang memburu. Sayangnya Leon tak peduli. Ia semakin mengencangkan cengkramannya di pergelangan tangan Kanaya yang ia letakkan di atas kepala sang istri. Membuat Kanaya mengaduh kesakitan. "Persetan dengan janji pernikahan! Aku menikahimu karena terpaksa! Dan semua itu-" "Terus saja gunakan alasanmu untuk membuatku merasa bersalah dan akhirnya menerima semua perlakuan kasarmu."Leon semakin marah. Rahangnya terlihat mengetat dan cengkramannya semakin menyakiti Kanaya hingga membuat san
Kanaya menatap pergelangan tangannya yang membiru akibat ulah Leon semalam. Meski bukan hal yang baru bagi Kanaya, namun orang lain yang tidak mengetahuinya akan mengira kalau Kanaya mengalami penganiayaan. Kanaya lantas mencari salep yang biasa ia gunakan untuk menghilangkan lebam dan memar di tubuhnya. Namun bersamaan dengan itu, bel apartemennya berbunyi. Kanaya memastikan lebih dulu melalaui interkom. Setelah yakin dengan siapa yang datang, Kanaya pun membukakan pintu dengan senang hati. Namun senyum bahagia itu mendadak kikuk ketika ibu mertua yang tak Kanaya lihat di interkom tiba-tiba muncul sambil menenteng belanjaan. “Bunda.” “Halo, Sayang.” Kanaya membalas pelukan dan kecupan bunda Leon dengan sedikit canggung. Terlebih ia takut ibu mertuanya tersebut melihat bekas memar di pergelangan tangannya. “Kamu sedang sibuk?” “Nggak, Bunda. Tapi Bunda kenapa nggak mengabari Kanaya kalau mau ke sini?” Kanaya bertanya sambil membantu membereskan belanjaan yang dibawa Miranti d
Petir menggelegar begitu Leon tiba di atap apartemen yang memang dijadikan taman khusus bagi penghuni gedung.Suara pintu yang terbuka tak mengalihkan perhatian Kanaya sedikitpun di tepi pagar atap gedung tersebut.Petugas keamanan yang datang bersama Leon lantas menawarkan jas hujan yang diterima Leon dengan segera.“Boleh tolong tinggalkan kami berdua? Suasana hati istri saya sedang tidak baik. Mungkin itu sebabnya dia pergi ke sini. Kalau ada orang yang melihat, saya takut dia tidak nyaman,” tutur Leon dengan ramah dan sopan.“Ah, baik kalau begitu. Saya akan menunggu di dalam supaya jika Pak Leon butuh bantuan, tinggal panggil saja.”Leon mengangguk lalu mengucapkan terima kasih sebelum berjalan menghampiri Kanaya yang belum menyadari kehadirannya.Bahkan hingga tubuh Leon hanya beberapa langkah di belakang Kanaya, perempuan itu tampak bergeming.Leon menaikkan satu alisnya ke atas, alih-alih memakaikan jas hujan pada tubuh Kanaya, Leon membiarkan tubuhnya basah seperti Kanaya yan