Pertemuan yang disangkanya tidak terduga sebenarnya adalah jebakan untuk mereka. Meet Victor Barnett. Pengusaha kaya raya yang memiliki paras dan kehidupan yang sempurna. Dirinya selalu menutup hatinya untuk perempuan yang menggodanya. CEO ini sangat membenci pengkhianatan karena wanita yang dulunya dicintainya dengan tega mengkhianatinya tepat di saat dirinya akan menyatakan perasaannya. Meet Callista Efigenia. Wanita yatim-piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Dengan kecerdasan otaknya, Callista berhasil meraih beasiswa di Sidney. Kecintaannya kepada lukisan nyatanya menjadi boomerang bagi dirinya. Entah apa yang terjadi malam itu hingga Callista terbangun di sisi lelaki yang dicintainya. Alih-alih senang, Callista merasa kecewa. Ternyata alur pertemuannya dengan Victor, lelaki yang dicintainya, sudah dikendalikan oleh Zero, kenalannya saat dirinya mengunjungi pameran seni. Setelah tujuh tahun mereka bertemu lagi. Keadaan dan situasi sudah berubah. Semuanya berubah. Kecuali kesalahpahaman di antara keduanya. Bagaimana Callista membeberkan semua kebenarannya. Apalagi sekarang dirinya memiliki anak yang harus disembunyikannya dari Victor? See me on my I****g**m @fish.tro
View More“Jangan sungkan, Callis. Tidak mungkin kalian selamanya tinggal di unit. Suatu saat kalian pasti membutuhkan rumah. Oleh karena itu, lebih baik kalian memilih rumah secepatnya. Aku akan merasa sangat sedih karena kalian menolak hadiah pernikahan dariku.” Callis semakin merasa bersalah saat mendengar ucapan terakhir Abraham. Bukannya ingin menolak, Callis hanya merasa sangat tidak enak jika menerima hadiah semahal itu. “Aku akan mendiskusikannya dengan Victor terlebih dahulu, Mom, Dad.” “Aku selalu setuju dengan pilihanmu, Callie. Semua keputusanmu adalah keputusanku juga.” Callis ingin mencakar mulut Victor yang tersenyum usil di sebelah sana. Bukannya membantu, Victor malah semakin mendorongnya. Lihat saja nanti, Callis pastikan bahwa Victor akan tidur di luar. *** Victor beserta keluarganya memasuki rumah yang menjadi kado pernikahannya. Rumah ini sangat luas bagi Callis. Namun, jika dibandingkan dengan mansion milik keluarga Abraham tentu tidak ada apa-apanya. Callis memang mem
“Yow! Kedua sahabatku sedang bercengkrama tanpa mengajakku.” Nick menyenggolkan bahunya kepada Victor dan Dave dengan wajah cengengesan.“Sudah lama kita tidak bertemu,” ujar Dave pada sahabatnya itu.“Yah, Si Diktaktor itu memaksaku untuk mengurus cabang di Indonesia setelah dia memaksa untuk mengambil alih cabang itu sebelumnya,” sindir Nick pada Victor. “Aku membutuhkan banyak adaptasi saat di sana,” keluhnya.Victor hanya meliriknya malas. Dia sangat paham bahwa Nick sangat suka mendramatisir semua hal. “Wow! Siapa wanita cantik yang sedang bersama istrimu itu, Bro?” tunjuk Nick pada Meghan.“Alihkan tatapanmu dari kekasihku, atau akan ku keluarkan bola matamu dari tempatnya, Nick.”***Callis dan Victor saat ini sudah berada di kamar pengantin. Tubuh Callis terasa sangat lelah, namun Callis merasa sangat puas. Pesta pernikahan yang dijalani nyatanya sangat jauh lebih menyenangkan dibandingkan yang pernah diimpikannya. Victor sangat bersungguh-sungguh saat dirinya berkata bahwa a
Tanpa bantahan, Callis bergerak ke arah Victor dan menyandarkan kepalanya ke dada Victor. Tangan Victor juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengelus rambut wanitanya. “Tadi katanya ingin membahas tentang pernikahan kita?” tanya Victor untuk membuka percakapannya. “Sebentar.” Callis segera beranjak dan mengambil tabnya yang dia simpan di meja yang berada di sudut kamar. Setelah mendapatkannya, Callis kembali ke posisi awal. “Tanpa mengingat pilihanku, aku ingin kau memilih dekorasi serta hal lain yang kita butuhkan untuk pernikahan kita.” Cassie menyodorkan tab yang sudah menayangkan beberapa pilihan itu pada Victor. Malam itu dihabiskan oleh sepasang suami istri, yang akan kembali menikah, dengan diskusi. *** Waktu berlalu dengan cukup baik. Baik Callis maupun Victor, mereka akhirnya menyiapkan pernikahan ini dengan bersungguh-sungguh. Hari besar yang dinantikan akhirnya datang juga. Saat ini, Callis sedang mempersiapkan dirinya untuk pemberkatan. Isabella, sang ibu, serta
Dengan pelan, Callis menggerakkan kepalanya hingga tatapan mata mereka saling berbalas. “Tidak perlu meminta maaf, Vic. Yang terpenting, tidak ada lagi salah paham di antara kita.” Callis mengucapkannya dengan nada bergetar karena harus menahan tangisannya.“Aku ingin memulai semuanya dengan benar, Callis.”Ucapan Victor membuat Callis harus mengernyitkan dahinya karena tidak paham dengan maksud Victor.“Ayo kita melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh pasangan yang akan menikah. Mulai dari persiapan pernikahan, pemberkatan, hingga resepsi. Aku ingin melakukan semuanya denganmu. Aku ingin merasakan menjadi kekasih yang menunggu pasangannya untuk fitting baju. Aku ingin melakukan foto pra-nikah, aku ingin mengucapkan janji untuk selalu menjadi saksimu di hadapan Tuhan dan aku ingin memiliki foto pernikahan yang dapat dipajang di ruang tamu. Bahkan jika kau mau, aku juga ingin melakukan rangkaian budaya pernikahan seperti yang biasanya Mom ceritakan padaku saat aku kecil. Aku ingin m
Begitu sampai di kantor, banyak karyawan yang menyapa ketiganya. Namun, hanya Callis yang membalas sapaan mereka. Baik Victor maupun Reis hanya diam dan berjalan lurus. Callis menggelengkan kepalanya melihat Victor dan Reis yang bergandengan tangan meninggalkannya di belakang. Callis sengaja memperlambat jalannya dan benar dugaannya. Victor dan Reis terlalu fokus pada jalan di depannya tanpa mempedulikan sekitar. Begitu kedua lelaki berbeda generasi itu hendak mencapai lift, Callis mempercepat langkahnya agar keduanya tidak sadar bahwa dirinya sempat terhindar.Dasar dua lelaki sok keren, gumam Callis dengan sedikit kekehan.Adam yang sudah menunggu di samping lift para petinggi segera menekan tombol pada lift agar terbuka. “Selamat siang, Tuan Barnett, Tuan Muda Barnett… dan Nyonya Barnett.”Callis berdecih dan masuk ke lift bersama ketiganya–Victor, Reis, dan Adam. Callis sangat tahu bahwa Adam sedang mengejeknya dan itu membuatnya kesal. Callis ingin sekali memukul lengan Adam. Nam
Callis masih setia mengelus punggung Reis yang masih sesenggukan di dadanya. Bahkan, Reis duduk di pangkuan Callis karena masih tidak ingin lepas dari ibunya. “Nangisnya udahan dong, sayang.” Callis mencoba melepaskan pelukan Reis padanya.Pelukan Reis terlepas. Callis akhirnya dapat melihat wajah Reis yang memerah sebab tangis. Bahkan, mata Reis masih basah karena air mata yang belum kering. Air mata Reis kembali menetes saat menatap wajah ibu yang sangat dirindukannya.“Gantengnya Mommy jadi jelek soalnya nangis mulu,” ledek Callis dengan mengelap wajah Reis yang basah karena air mata dan keringat. “Reis kangen banget sama Mommy,” rengek Reis dengan kembali memeluk Callis, tapi tidak seerat tadi. “Mommy juga kangen banget sama anak Mommy yang paling ganteng ini.”“Mommy, aku laper banger,” rengek Reis yang dijawab dengan kekehan oleh Callis.***Callis dan Reis sampai di Four Season, salah satu restoran yang berkolaborasi dengan TBGroup. Sejak mereka hidup dengan Victor, lelaki it
Callis! Ini bukan pengalaman pertamamu! Jangan berlaga seperti orang suci! Teriak Callis dalam hatinya.Akan tetapi, tidak bisa. Callis tidak bisa mengontrol dirinya. Victor dan posisi mereka yang terbilang cukup intim membuatnya tidak bisa mengendalikan dirinya. Kaki Callis terasa sangat lemas seperti jeli. Namun, dirinya tidak akan terjatuh dan membuatnya malu.Tuhan! Tolong hamba, jerit Callis.“I love you, Baby Girl.” Belum sedetik Callis mencerna ucapan Victor, bibir Callis langsung menjadi sasaran Victor.***Callis terbangun saat dirinya merasa pelukan hangat yang semalaman telah memanjakannya menghilang. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya matahari yang ternyata sudah terang. Callis terlambat bangun!Callis segera beranjak dari tidurnya begitu sadar bahwa dirinya sudah sangat terlambat untuk bangun. Kepala Callis sontak terasa pening karena berdiri dengan cepat dari tidurnya.“Hi, dear. Jangan terburu-buru. Reis sudah berangkat ke sekolah diantar oleh ma
Callis dan Victor berjalan beriringan. Setelah sampai di unitnya, Victor segera memasuki kamar pribadinya untuk membersihkan tubuh. Callis berdiri di tengah ruang tamu, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Callis ingin membersihkan dirinya. Namun, kamar yang digunakan selama di sini adalah kamar utama, dengan kata lain kamar Victor. Rasanya, Callis akan merasa canggung jika masuk ke kamar tersebut tanpa permisi. Lama tidak tinggal di unit Victor membuat Callis menjadi asing padahal tidak ada yang berubah dari tempat tinggal Victor tersebut.Tak lama, Victor keluar dari kamarnya dan segera menghampiri Callis. Victor sudah mengganti tuksedonya dengan pakaian yang lebih santai. Rambut Victor terlihat sedikit basah dan berantakan. Ketampanan Victor meningkat berkali-kali lipat dengan penampilan tersebut.“Kau tidak ingin membersihkan diri?” tanya Victor dengan heran.“Aku… Um… Aku.” Callis bingung harus bagaimana untuk menyuarakan kecanggungannya.“Aku akan keluar sebentar.” Victor men
Callis menitipkan belanjaannya di tempat penitipan. Setelah itu, dirinya bergerak untuk menuju ke tempat di mana Victor menunggunya. Di sana, terdapat Victor yang sedang menikmati ice cream dengan tenang, sangat kontras pemudi yang menatap Victor dengan menunjukkan ekspresi tertarik yang ketara.“Cih.” Callis berdecih melihat segerombolan pemudi itu. Di umur segitu, mereka harusnya fokus belajar. Bukannya malah nongkrong tidak jelas di kafe. Lagi pula, apakah mereka tidak sadar jika Victor terlihat jauh lebih tua dibandingkan mereka. Atau malah mereka mencari lelaki seumur Victor untuk dijadikan ayah gula?Sebelum menghampiri Victor, Callis memasang senyum yang sangat manis. Dirinya lalu bergerak dengan riang mendekati Victor. “Ah, maaf sekali, Sayang. Karena menungguku, kau harus menunggu di sini dengan bosan,” ujar Callis dengan manja. Tak lupa, Callis juga membubuhkan satu kecupan di pipi kanan Victor.***Victor mengernyitkan alisnya saat melihat gelagat aneh dari Callis. “Apa yan
Aku meregangkan otot punggungku sebelum aku benar-benar berdiri dari kursiku. Setelah seharian berkutat dengan pekerjaanku—yang sepertinya—tidak akan ada habisnya, aku memilih untuk langsung pulang, alih-alih mengikuti teman kerjaku untuk bersama-sama melepas penat di salah satu café dekat hotel. Masih ada satu lagi tanggung jawabku yang sudah menanti. “Callis, lu nggak mau nongki dulu?” tanya Raya, salah satu temanku. Aku menggeleng. “Nggak dulu Ray. Masih ada urusan.” Raya sedikit memberengut. “Lu nggak pernah ikut, Call. Sekali-kali lah main bareng yang lain.” Aku tertawa. “Gue orang sibuk,” setelah mengatakan itu, aku beranjak dari meranjak dari belakang meja resepsionis. &nbs...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments