Beranda / Romansa / Betrayal / Chapter 6: Destroyer

Share

Chapter 6: Destroyer

Dengan wajah datarnya, Callis dapat melihat kilatan mata Mr. Barnett yang berkobar. “Kau ingin aku percaya dengan pengkhianat sepertimu?” desis Mr. Barnett dengan penuh penekanan di setiap katanya. Callis bahkan sedikit ketakutan mendengar aura yang dikeluarkan Mr. Barnett. Tentu saja Callis tidak menunjukkan ketakutannya. Bisa-bisa lelaki di depannya ini semakin besar kepala.

“Saya tidak pernah berbohong. Saat itu saya juga dijebak. Tolong percaya pada saya,” Callis menelengkupkan tangannya di depan dada. Meminta belas kasih dari Mr. Barnett. Di dalam hatinya, Callis mengumpat dan mengatai atasannya ini. Tidak bisakah dirinya mendengar apa yang sebenarnya terjadi malam itu?

“Hentikan omong kosongmu dan keluarlah dari ruanganku. Jika kau memilih resign, aku akan lebih menghancurkan hidupmu lagi.”

Callis tidak memiliki pilihan lagi. Dirinya harus merelakan ketenangan hidupnya agar Mr. Barnett tidak sampai mengetahui keberadaan Reis. Sepertinya dirinya harus kembali membatasi kehidupan sosial Reis.

Maafkan Mommy, Reis.

***

Callis memasuki ruangannya dengan penuh kekesalan. Dia merasa terjebak. Tentu saja lelaki itu sudah merencanakan sebelumnya. Bahkan Callis belum mengetahui nama depannya. Dengan gerakan kasar Callis membuka laporan dari direktur menyebalkan itu.

Victor Barnett.

Ternyata namanya adalah Victor. Guna meredamkan sedikit kekesalannya, Callis meremas profil dari Victor. Andaikan dia berani, Callis akan meremas wajah sombong dan—sialannya—tampan itu. Callis membanting laporan itu dan memukul kepalanya kesal. Bahkan mata kiri Callis sampai mengeluarkan setetes air mata saking kesalnya.

Callis mendengar tiga tepukan tangan dan langsung mendongakkan kepalanya. Di sana, berdiri Victor dengan wajah congkaknya berjalan ke arah meja Callis. “Tak perlu terlalu bersemangat. Nikmati saja pekerjaanmu.”

Enyahlah ke neraka!

Callis mencoba tersenyum. “Mr. Bartlett membutuhkan bantuan saya?”

“Apa kau ingin menjadi asistenku selama aku berada di Indonesia? Sepertinya akan menyenangkan.”

Hell, no! “Sebuah kehormatan untuk bisa menjadi asisten Mr. Barnett,” Callis menundukkan kepalanya menunjukkan rasa hormatnya pada Victor. “Namun saya memiliki tanggung jawab di front office departement.”

“Kalau kau mau aku bisa memberikan posisi yang kau inginkan asal kau mau menjadi asistenku,” Victor menyeringai menatap wajah Callis yang menahan amarah.

Apa kau gila, Victor?! “Terima kasih, Mr, Barnett. Tapi sebaiknya Anda memberikan kesempatan pada karyawan lain,” Callis masih mempertahankan senyum terpaksanya. Jika ada orang lain yang melihat, mungkin mereka mengira Callis sedang menahan kencing.

“Ah sayang sekali. Pak Gunawan sudah menyetujuinya,” seringai Victor merupakan alarm bagi Callis.

“Kau…” ucapan Callis terputus karena ada panggilan dari telepon kantornya. “Iya, Pak Gunawan,” Callista menatap Victor dengan kesal. Victor yang ditatap seperti itu hanya mengedikkan bahunya tak acuh. “Baik, Pak. Saya akan bekerja semaksimal mungkin.”

Well, kau sudah menyetujuinya. Bisakah kau membelikanku sarapan? Aku belum sarapan.”

Callis mendudukkan dirinya di kursi dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Ya Tuhan. Bisakah kau biarkan aku hidup tenang, Victor?” ucap Callis lemah. Dirinya bahkan tidak lagi menggunakan bahasa formal kepadanya.

Victor mengangkat alisnya tertarik. “Ternyata kau sudah mengetahui namaku?”

Callis menatap Victor dengan pandangan menyerah. “Aku akan menjelaskan semua kesalahpahaman kita. Beri aku waktu lima menit saja.”

Pandangan Victor yang tadinya santai menggelap. Tangan Victor menggenggam erat hingga mengeluarkan otot-ototnya. “Kau sendiri yang mengingatkanku dengan pengkhianatanmu, Callie,” nyali Callis kembali menciut mendengar desisan Victor. Apakah dia salah bicara? “Aku hanya memintamu untuk membelikanku makanan, tapi kau sendiri yang menggali kuburmu.”

Victor yang semua bersandar di dinding ruangan Callie berdiri dan berjalan mendekati Callie. Belum sempat Callie beranjak dari duduknya, Victor sudah meletakkan tangannya di kedua sandaran kursi. “Sepertinya kau lupa dengan pengkhianatanmu. Apa perlu ku ingatkan?”

Callis membelalakkan matanya. Victor terlihat sangat menyeramkan sekarang. “Apa yang akan kau lakukan, Victor.”

“Menurutmu?”

“Ak-” ucapan Callis terpotong saat Victor menciumnya. Callis sempat tertegun sejenak sebelum dirinya memberontak dalam kukungan Victor. Victor menahan kepala Callis dengan menekan tengkuknya agar dirinya dapat memperdalam ciumannya.

Air mata Callis menetes. Kenangan malam itu menghantam dirinya lagi. Dengan sisa tenaga dan tangan yang gemetar, Callis memukul punggung Victor, meminta Victor untuk berhenti. Oksigen yang masuk di dalam tubuhnya pun menipis.

“Bukankah kau sudah ingat tentang pengkhianatanmu?” tanya Victor dengan menatap tajam Callis. Kening mereka saling menempel. Sedangkan keduannya berlomba-lomba untuk menghirup pasokan oksigen.

“Victor, tolong percaya padaku. Itu semua hanya kesalahpahaman,” ucap Callis dengan nada lemah. Sebisa mungkin dirinya menyembunyikan tangannya yang bergetar dari Victor.

“Diamlah, Callie. Atau aku benar-benar akan mengulai peristiwa malam itu,” desis Victor sebelum dirinya menjauh dari kursi Callie.

Victor berjalan menuju pintu kantor. “Ah ya. Apakah malam itu menghasilkan bayi?” pertanyaan Victor berhasil membuat tubuh Callis menegang. Beruntunglah Victor membelakanginya sehingga tidak dapat melihat ekspresi Callis yang memucat. “Sepertinya menyenangkan jika ada anak yang bermain-main di antara kita.”

Setelah itu, Victor meninggalkan ruangan Callis. Callis menangis menyedihkan di kursinya. Victor benar-benar iblis. Callis bersumpah. Dirinya tidak akan sekalipun menampakkan Reis di hadapan Victor. Toh, selama ini Reis juga tidak pernah mencari sosok ayahnya.

Callie memukul kepalanya frustasi. Kalau saja Victor memberinya waktu sedikit saja untuk menjelaskan semuanya, kesalahpahaman ini tidak akan menjadi lebih panjang. Callie hanya bisa berharap agar Victor tidak pernah menemukan Reis. Tangan Callie masih gemetar. Kedua tangannya saling menggenggam, mencoba menghilangkan gemetar di tanganku.

“Callis, ada apa?”

Callis tersentak mendengar suara Karina dan juga sentuhannya di bahunya. Callis mendongak dan melihat Karina yang terlihat khawatir dengan keadaan Callis. Callis hanya menggeleng. Dengan perlahan, Callis melepaskan genggaman tangan Karina di bahunya.

“Aku cuma pusing aja. Belum biasa aja,” Callis memaksakan senyumnya pada Karina. Karina tentu saja tidak percaya dengan senyum palsu yang ditunjukkan Callis.

Karina hanya mengangguk. Karina tahu jika Callis ada masalah. Dirinya juga tahu kalau Callis membutuhkan privasi. Tadinya, Karina ingin mempertanyakan sesuatu pada Callis. Tapi melihat kondisi Callis seperti ini, Karina tahu waktunya tidak tepat. Walaupun begitu, dia sudah yakin satu hal.

***

Victor memasuki ruangannya dengan tangan mengepal. Niatnya tadi Victor hanya ingin menjahili Callie, tapi siapa sangka Callie malah mematik kemarahannya. Victor mengusap wajahnya kasar. Dirinya bukan tidak tahu bahwa tadi Callie menangis. Di sudut hatinya, Victor sangat ingin menghapus air mata itu.

Victor memilih untuk memeriksa laporan dan proposal di hadapannya ketimbang memikirkan Callie. Entah kenapa dia sangat membenci Callie tapi dirinya tidak tega untuk menyiksa Callie seperti dirinya memberi pelajaran pada karyawan-karyawannya yang pernah berkhianat kepadanya.

Victor merasa dirinya hanya ingin bermain-main dengan Callie. Yang diinginkannya adalah Callie tunduk padanya. Mungkin dengan begitu dirinya lebih mudah untuk membalaskan dendamnya pada Callie.

Victor menghubungi Reza, asistennya selama di sini, untuk memberikan kartu presidential suit milik Nick di hotel ini. Tak lama, datanglah Callie dengan wajah menunduk, sepertinya menutupi mata sembabnya dari Victor, dan berjalan mendekati meja kerja Victor. Victor menyeringai. Callie mengangsurkan kartu suite pada Victor.

Alih-alih mengambil kartu yang ada di hadapannya, Victor malah menggenggam tangan Callie. Callie mengangkat wajahnya dan meminta Victor untuk melepaskan genggaman tangannya. “Mr. Barnett, tolong lepaskan tangan saya,” pinta Callie.

“Rasanya tadi ada yang memanggilku dengan tidak formal. Kenapa sekarang menjadi formal?”

Callie menundukkan kepalanya dan tetap mencoba untuk melepaskan genggaman tangan Victor padanya. “Maafkan saya, Mr. Barnett. Tidak akan saya ulangi lagi. Saya izin undur diri,” ucap Callie. Rasanya, Callie ingin segera pergi dari hadapan lelaki ini. Callie merasa terancam jika berada satu ruangan dengan Victor.

Pasalnya, Victor sangat cerdas. Dia takut nantinya Victor akan menyadari jika Callie menyembunyikan sesuatu darinya. Lebih tepatnya, menyembunyikan anaknya. Untuk saat ini,  sepertinya akan lebih baik jika mereka menjaga jarak satu sama lain. Namun sepertinya Victor tidak sependapat dengannya.

“Bukankah tugasmu untuk mengantar tamu VIP ke suitenya?”

Eh,” Callie hanya bisa pasrah begitu Victor menyeretnya keluar. Beberapa karyawan menatap mereka aneh begitu melihat Victor yang menarik tangan Callie dengan lembut.

Callie mencoba melepaskan genggaman Victor. Tentu saja dirinya risih saat ditatap oleh karyawan yang lainnya. “Mr. Barnett, tolong lepaskan tanganmu,” pinta Callie pada atasannya tersebut.

Alih-alih melepaskan, Victor malah merangkul bahu Callie. Callie mendengar bisik-bisik dari rekan kerjanya. Mereka menebak-tebak hubungan antara Callie dan Victor. Callie hanya bisa menundukkan kepalanya. Dia berdoa, semoga saat ini dirinya bisa menghilang dari hadapan semua orang. Dapat dipastikan setelah ini akan ada gosip yang menyebar di hotel.

Sesampainya di presidential suite milik Nick, Victor baru melepaskan rangkulannya. Namun Victor tetap menggenggam tangan Callie. “Lakukan tugasmu,” Victor lalu melemparkan kartu suite itu kepada Callie.

Dengan sigap Callie langsung menangkapnya. Dengan gugup Callie membuka pintu suite itu. Callie melakukannya dengan sangat lamban. “Gugup, eh?”

Ejekan Victor tentu saja menggores harga diri Callie. Walaupun sebenarnya Callie sudah tidak punya muka di hadapan Victor mengingat bagaimana Victor mengintimidasinya tadi. Namun Callie harus tetap mempertahankan sisa-sisa harga dirinya di hadapan Victor. Jika Victor tidak ingin mendengar sedikitpun penjelasannya, jangan harap Callie akan bersikap baik kepadanya.

“Saya tidak gugup, Mr. Barnett,” Callie menatap mata Victor. Callie mencoba dengan keras agar tidak goyah saat beradu mata dengan mata Victor. Tatapan mata Victor sangat tajam… serta memabukkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status