Callis menghembuskan nafasnya sebelum turun dari mobil Victor. “Tetaplah di sini. Beri aku waktu lima menit dan aku akan membawa Reis kemari,” ucap Callis. Victor tidak menjawab, tapi dirinya memundurkan kursi mobil dan menyamankan dirinya di sana. Tindakan Victor tersebut Callis anggap sebagai jawaban “ya”.
Callis sedikit berbasa basi pada Bunda. “Bunda, aku mau bawa Reis pulang ya,” ucap Callis akhirnya.
“Kamu udah selesai dinas luar kotanya?” Callis bahkan lupa jika dirinya membohongi Bunda dengan dinas ke luar kota.
“Sudah, Bunda. Ternyata jadwalnya dipercepat,” ucap Callis dengan senyuman. “Omong-omong, Reis di mana ya, Bunda?”
“Reis ada di depan, tadi kayanya lagi main di deket gerbang.” Callis mengangguk dan berbalik. “Mau Bunda anter?” tanya Bunda dengan beranjak dari kasurnya. Memang kesehatan Bunda beberapa hari ini sedang tidak baik. Biasanya, kalau
“Victor nyalakan lampunya!” pekik Callis ketakutan, Callis langsung berlari dan memeluk Victor. Beruntungnya dirinya tidak menabrak apapun saat berlari. Callis sangat takut dengan hantu.Victor lalu menyalakan lampu dengan tertawa. “Aku menghemat listrik,” bohong Victor.“Astaga Victor! Kau tidak akan bangkrut hanya karena menyalakan lampu saat malam hari.” Callis sangat tahu kalau sekarang Victor sedang menggodanya.“Aku hanya menyalakan lampu di kamarku.”“Kau menjebakku, Victor,” desis Callis kesal.Victor mengedikkan bahunya. “Kalau kau tidak mau tidur di kamarku, aku akan menguncinya.”“Aku tidur di kamarmu.”***Callis masih terdiam di dalam kamar mandi. Dirinya merasa gugup harus satu kamar dengan Victor. Kenyataan mereka satu kamar sekarang membuatnya—secara tidak sengaja—mengingat malam itu. Walaupun samar, Callis masih meng
Hati Callis rasanya seperti diremas. Banyak spekulasi yang kini hinggap di kepalanya. Tidak ada satupun yang Callis ketahui jawabannya, dan Callis juga tidak ingin mencari jawabannya. Callis takut kecewa jika dirinya terlanjur tahu jawabannya dan ternyata jawaban itu menentang hatinya.Namun, ada satu pertanyaan yang terus berputar di benak Callis. Pertanyaan yang mungkin saja menjelaskan semua pertanyaan lainnya. Pertanyaan yang mungkin memberikan dampak yang sangat besar baginya nanti. Serta, pertanyaan yang tidak ingin dia tanyakan pada Victor karena ketakutannya.Victor membawa Callis ke Sidney sebagai apa?***Callis berjalan dengan tangan kanan menyeret kopernya dan tangan menggandeng tangan kecil Reis. Sebenarnya, koper yang dibawa oleh Callis tidak memuat banyak barang. Callis merasa, Victor hanya penasaran tentangnya dan Reis. Setelah rasa penasarannya hilang, Callis dan Reis akan ditinggal kembali. Jika memang benar hal tersebut akan terjadi, Ca
Callis menatap kedekatan mereka berdua dengan sesak. Apakah dirinya kekasih Victor? Lalu kenapa Victor masih ingin menguasai Reis jika dirinya sudah memiliki kekasih? Apa Victor benar-benar mendekatinya hanya karena balas dendam?“Oh maaf, aku tidak tahu jika wanita ini bersamamu,” ucap Olive dengan menatap Callis. “Siapa mereka, Victor?” tanya Olive dengan menatap Callis dan Reis—yang ada digendongan Victor—secara bergantian.“Dia Callis.” Oh bahkan Victor tidak menyebutkan nama panggilannya untuk Callis di hadapan wanita ini. Sepele memang, tapi entah kenapa Callis menjadi sakit hati.“Dan ini?” tanya Olive dengan menunjuk Reis.“Ini Reis, dia-”“Dia ‘anakku’.” Callis menekankan kata ‘anakku’ dan langsung merebut Reis dari gendongan Victor.*** Callis duduk di
Callis menatap wajah Victor. Wajah Victor terlihat datar. Victor sama sekali tidak terpengaruh dengan tempat ini. Sepertinya, di sini hanya Callis yang masih menyimpan kenangan mereka. Tak apalah. Toh Callis sudah tidak mengharapkan apapun dari Victor. “Kau mau ice cream matcha?” tawar Callis. Sejak saat Callis membelikan Victor ice cream matcha, Victor selalu memesan rasa itu. Victor mengeluarkan seringaian sinis. “Seleraku sudah berubah. Ku rasa semua hal dari tujuh tahun lalu tidak ada apapun lagi.” Callis hanya menunduk. Dirinya hanya menawarkan ice cream pada Victor, tapi kenapa jawaban Victor menusuk hatinya. Andaikan Victor tahu apa yang terjadi pada malam itu, mungkin Victor tidak akan membencinya seperti ini. *** “Callie, kau akan bekerja di TBGroup sebagai asisten pribadiku.” Callis menatap Victor dengan pandangan lelahnya. Lalu Callis mengangguk. “Bisakah kita istirahat sekarang?” Victor memiringkan kepalanya. “Kau t
Olive lalu menatap Callis dengan pandangan memperingatkan. “Ingatlah Callis. Aku tidak peduli apapun hubunganmu dengan Victor di Indonesia. Yang pasti, kau tidak akan mendapatkan Victor. Aku dan Victor sudah memiliki ikatan.”Olive dan Victor sudah memiliki ikatan? Ikatan apa yang dimaksudnya?Callis melihat Olive yang pergi dengan anggunnya dari kamar Victor. Callis meraba dadanya. Di sana, jantung Callis berdetak dengan menyakitkan. Sepertinya, Victor memang tidak ada perasaan apapun lagi kepadanya.Callis lalu memeluk Reis yang masih tertidur di sampingnya. Tangisnya tumpah di sana.***Victor memilih untuk tidur di kamar yang tadi malam ditempati oleh Reis. Tadi, dia sempat melihat punggung Callie yang bergetar dengan memeluk Reis yang terlelap. Apakah sakitnya separah itu?Victor ingin menanyai keadaan Callie, tapi dirinya enggan. Victor tidak akan dapat menahan dirinya lagi jika Callie bersikap seperti tadi. Dirinya bukan l
Sebelum Victor menjawab ucapan Dave, satu pesan masuk ke ponselnya. Dan itu dari Olive. Olive memberi tahunya jika dirinya kesakitan sekarang.“Aku akan menghubungimu nanti, Dave.”[Kau akan menyesal, Victor. Olive tidak sebaik yang kau kira.]Itu adalah ucapan Dave sebelum Dave memutus panggilannya. Untuk saat ini, fokusnya adalah Olive yang meringkik ke sakitan di rumahnya. Salahkan Abraham yang memberikannya pelajaran untuk berdedikasi dan bertanggung jawab akan segala sesuatu. Maka sekarang, Victor akan bertanggung jawab dengan apa yang telah dirinya perbuat.“Callie, aku akan ke rumah Olive. Mungkin aku pulang malam.”***Sejak hari di mana Victor mengatakan bahwa dirinya menemui Olive, Victor semakin sering keluar dan mengunjungi Olive. Awalnya, Victor akan memberitahunya jika akan mengunjungi Olive. Namun, beberapa hari ini Victor pergi tanpa memberitahunya.Sudah sekitar tiga minggu Callis bekerja di pe
“Hei, bagaimana keadaan Meghan?” Callis menengokkan kepalanya saat mendengar suara yang tadi didengarnya di panggilan.“Dia saat ini-”“Callista?” Ucapan Callis terputus saat lelaki itu menyebut namanya.“Kau mengenalku?” Callis memiringkan kepalanya dengan menatap lelaki ini dengan intens. Lelaki ini mengetahui namanya. Mungkin saja temannya saat kuliah. Tapi tidak. Callis sama sekali asing dengan wajah itu.“Ah itu….” Lelaki di hadapannya hanya menggaruk kepalanya. Dia merutuki mulutnya yang keceplosan memanggil nama wanita yang ada di hadapannya. Dirinya tadi hanya bingung, bagaimana bisa Callis berada di sini.“Apa kita pernah bertemu?” tanya Callis sekali lagi karena lelaki itu tidak meneruskan ucapannya.“Aku teman Victor.” Callis hanya menganggukkan kepalanya paham. “Tapi bisakah kau menyembunyikan kejadian ini dari Victor?”*
Callis menekan kombinasi angka sandi di samping pintu apartemen Victor. Begitu pintu terbuka, Callis dapat melihat Victor yang duduk di sofa dengan menatapnya tajam. Victor beranjak dari duduknya dan menghampiri Callis.“Apa yang kau lakukan sampai pulang larut malam?” Victor mengatakannya dengan nada tajam. Dave dapat melihat raut wajah Callis yang tegang karena intimidasi Victor.“Aku-”“Easy, bro. Aku yang mengajak Callis jalan-jalan.” Dave mengatakannya dengan santai. Dirinya sama sekali tidak terganggu dengan tatapan tajam Victor yang mengarah padanya. “Sudahlah, Callis. Jangan pikirkan Victor. Setelah ini tidur lah. Kau terlihat kelelahan. Aku akan menjemputmu besok saat pulang kerja.”Dave mendorong Callis agar memasuki unit Victor dan menutup pintu unit tersebut. Dave berjalan keluar dari lobby dengan perasaan senang. Dirinya sangat puas melihat wajah Victor yang merah padam menahan