Callis menekan kombinasi angka sandi di samping pintu apartemen Victor. Begitu pintu terbuka, Callis dapat melihat Victor yang duduk di sofa dengan menatapnya tajam. Victor beranjak dari duduknya dan menghampiri Callis.
“Apa yang kau lakukan sampai pulang larut malam?” Victor mengatakannya dengan nada tajam. Dave dapat melihat raut wajah Callis yang tegang karena intimidasi Victor.
“Aku-”
“Easy, bro. Aku yang mengajak Callis jalan-jalan.” Dave mengatakannya dengan santai. Dirinya sama sekali tidak terganggu dengan tatapan tajam Victor yang mengarah padanya. “Sudahlah, Callis. Jangan pikirkan Victor. Setelah ini tidur lah. Kau terlihat kelelahan. Aku akan menjemputmu besok saat pulang kerja.”
Dave mendorong Callis agar memasuki unit Victor dan menutup pintu unit tersebut. Dave berjalan keluar dari lobby dengan perasaan senang. Dirinya sangat puas melihat wajah Victor yang merah padam menahan
Victor hanya menggeliatkan tubuhnya malas. Victor membuka matanya sekilas dan kembali menutup matanya dengan lengan kanan. Callis masih tidak menyerah untuk membangunkan Victor.“Diamlah, Callie. Aku hanya ingin istirahat. Besok ada meeting pagi.”“Victor, kita makan ya?”“Aku lelah, Callie. Biarkan aku istirahat.”Callis merasa bersalah karena membuat Victor kelelahan. “Victor, jangan membuatku semakin merasa bersalah. Ayo kita makan.” Callis tidak berhenti untuk merayu Victor. Saat ini, kesehatan Victor adalah yang nomor satu.Victor akhirnya mau membuka matanya. “Aku akan makan, asal kau berjanji untuk merawatku besok dan tidak pergi dengan Dave.”Callis bingung sekarang. Dirinya sudah berjanji pada Meghan dan Dave, tapi Callis juga tidak mungkin meninggalkan Victor yang sedang sakit seperti ini. Tapi Callis juga tidak bisa mengingkari janjinya dengan Meghan. Callis sedikit mende
Sebenarnya, Callis bisa saja meminta orang ini untuk meluruskan keslaahpahaman di antara dirinya dan Victor. Namun Callis tidak memilih cara itu karena dirinya tahu betul jika lelaki ini tidak lagi bisa dipercaya. Callis takut jika lelaki itu semakin memperunyam masalah, seperti tujuh tahun yang lalu.“Callista, ku mohon. Bisakah kita berbicara sebentar saja?” Callis langsung menghentakkan lengannya yang dicekal oleh lelaki itu.“”Ku pikir tidak ada yang perlu kita bahas untuk saat ini,” ucap Callis dengan nada dingin.“Callista, tolonglah. Aku benar-benar telah merasa bersalah setelah kejadian itu,” ucap lelaki itu dengan nada lemah.“Bukankah itu memang tujuanmu? Kau sudah mencapai tujuanmu, maka tinggalkan aku. Sekarang,” tekan Callis.“Callista, aku benar-benar menyesal. Biarkan aku memperbaiki semua kessalahnku di masa lalu.”“Kau kira aku masih wanita polos seperti
“Victor, aku tahu kau menuntut jawaban dariku. Tapi sungguh, tidak terjadi apapun. Aku hanya memikirkan beberapa hal yang tidak penting. Salah satunya, aku homesick.”“Apa kau konyol? Homesick? Bahkan kau menghabiskan empat tahun untuk kuliah di sini. Jangan bercanda padaku, Callie.”“Astaga, bahkan orang yang sudah menghabiskan setengah waktunya di negara orang juga bisa merasakan homesick, Victor. Sudahah, Victor. Aku tidak ingin berdebat denganmu. Sebaiknya kau beristirahat,” ucap Callis dengan beranjak dari ranjang Victor agar terhindar dari pertanyaan Victor lainnya.“Apakah janjimu dengan Dave termasuk hal yang kau pikirkan?” tanya Victor.“Apa yang kau mak-” Ucapan Callis terpotong saat Victor menunjukkan layar ponselnya yang menyala. Layar ponsel itu menunjukkan ruang obrolan dengan nomor yang belum disimpan olehnya.[Unknown]:Hai, Callis. Ini aku
Callis menganggukkan palanya. “Sepertinya dia mencari sesuatu di unitmu.”Victor mengibaskan tangannya. “Abaikan saja, dia sedang bekerja.” Setelah itu Victor beranjak dari ranjangnya dan hendak menuju ke tempat Adam.“Victor, makanlah dulu. Aku sudah membuatkanmu lasagna.” Callis menunjukkan nampan di tangannya kepada Victor.“Aku memiliki urusan dengan Adam, letakkan dulu di sana.” Tunjuk Victor ke arah meja kecil di kamarnya.“Jika kau memakannya nanti, ini akan menjadi dingin. Kau tahu sendiri dirimu tidak menyukai makanan dingin. Makanlah dulu,” gerutu Callis.Victor berdecak. “Kau cerewet sekali. Kau bisa menghangatkannya nanti.”“Astaga, Victor. Apa kita harus berdebat hanya untuk makan siang? Kau hanya perlu memakan ini lalu kau bisa menghampiri Adam. Sekarang sudah waktunya kau meminum obat, Victor.” Callis menahan emosinya karena Victor. Ya Tuhan, V
“Adam, antarkan Callie.” Victor mengatakan hal tersebut pada Adam yang langsung diangguki oleh Adam.“Kau tidak akan memberikan ponselku?” tanya Callis pada Victor saat Victor hendap keluar dari ruang kerjanya. Victor tidak menjawabnya dan pergi tanpa meliriknya. Callis menghembuskan nafasnya, mencoba mengontrol emosinya.Adam tertawa saat Callis sudah duduk di kursi penumpang. Callis menatap Adam dengan sengit. “Diamlah, Adam. Kau tahu betul jika Victor menyebalkan.”“Mr. Barnett tidak semenyebalkan itu, Callis.”Callis berdecak mendengar ucapan Adam. “Bela saja atasanmu itu. Kau sama menyebalkannya dengan Victor.”“Sudahlah. Kepalaku akan panas jika kita membahas Victor yang menyebalkan itu. seharian ini dia benar-benar aneh. Aku tidak melakukan kesalahan apapun, tapi dia terlihat uring-uringan.”“Mr. Barnett mungkin menyukaimu,” ucap Adam dengan bersungguh
Olive lalu terkekeh saat tidak mendapatkan sautan dari Callis. “Ternyata kalian memiliki hubungan di masa lalu. Kenapa kau mau kembali pada Victor? Kau kehabisan uang dan menjadikan anakmu menjadi alat untuk memeras Victor?” tanya Olive dengan nada mencemooh.“Kau salah, Olive. Victor lah yang mendatangi kami. Victor bahkan memaksa kami untuk tinggal di sini.” Callis memilih untuk jujur pada Olive.Olive lalu bertepuk tangan dengan pelan. “Sudah ku duga,” ucap Olive dengan seringainya. “Kau tahu kenapa Victor memaksa anakmu untuk tinggal di sini?” tanya Olive dengan seringai yang masih bertahan di bibirnya.Callis tidak pernah memikirkan alasan Victor yang memboyong mereka kembali ke Australia. “Karena Reis adalah anaknya dan Victor ingin dekat dengan darah dagingnya,” ucap Callis dengan ragu. Sejujurnya, Callis juga tidak tahu alasan Victor bertindak sejauh ini.Olive tertawa seolah apa yang tel
Zero melihat sekilas ponselnya. Sepertinya ada pesan yang masuk dan itu terlihat penting karena air muka Zero yang berubah menjadi tegang. Zero menarik tangan Callis dan mengenggamnya. “Aku akan menjelaskan padamu nanti, Callista. Sekarang istriku sedang ada di rumah sakit. Aku harus ke sana,” ucap Zero.Callis mengangguk dan melepaskan genggaman tangan Zero. Callis dan Zero berdiri dan hendak keluar dari ruangan itu. “Callis, percaya padaku. Dari dulu, aku selalu menganggapmu sebagai adikku. Dan sekarang aku tidak ingin kehilangan adikku lagi.”***Callis berjalan dengan gontai menuju kubikelnya. Dalam hatinya, Callis mempertimbangkan langkah apa yang akan dipilihnya setelah ini, mempercayai Zero dan menjelaskan semuanya kepada Victor atau membiarkan kesalahpahaman ini tetap berlalu. Apapun langkah yang dipilihnya, hasilnya akan tetap sama. Reis akan menjadi pewaris kerajaan bisnis TBGroup.Selama sisa jam, Callis tidak berpapasan
“Victor, kau sudah melewati batasmu,” ucap Callis terengah setelah Victor melepas pangutannya. Callis dapat melihat sorot mata gairah dalam bola mata Victor.“Kau ingin mendapatkan status di sini, kan? Aku akan memberikannya kepadamu. Sekarang cukup layani aku.” Victor menyentuh kancing piyama Callis.“Victor, aku tidak bisa. Ini salah.” Callis mencoba menyingkirkan tangan Victor darinya. Callis memang mencintai Victor, tapi bukan berarti dirinya akan mengulangi kesalahannya lagi. Meskipun di budaya Victor, having sex adalah hal yang bisa, namun tidak bagi budaya Callis. Callis hanya ingin melakukannya jika Victor dan dirinya sudah sama-sama jujur dengan perasaan mereka. Bukan di saat keduanya dilingkupi emosi seperti ini. Bagi Callis, tidak ada yang namanya having sex, dirinya hanya mengenal making love dan tersebut sakral baginya.“Persetan dengan hal salah, Callie. Aku menginginkanmu sekarang.” Pikiran Victor se