Cerita Victor dan Callis berakhir di sini.... Jangan lupa follow instag**m-ku yaa @fish.tro Aku ada rencana debutin cerita lain jadi AU di X* (twi**er). Aku sedang mempersiapkannya dengan matang. Jadi, jangan lupa follow juga eX (twi**er) ku @fish_tro yaa. Aku juga berencana buat debutin cerita baru. So stay tune on my eX and instag**m... Buat semua yang sudah baca, terima kasih... Sampai bertemu di ceritaku selanjutnya
Aku meregangkan otot punggungku sebelum aku benar-benar berdiri dari kursiku. Setelah seharian berkutat dengan pekerjaanku—yang sepertinya—tidak akan ada habisnya, aku memilih untuk langsung pulang, alih-alih mengikuti teman kerjaku untuk bersama-sama melepas penat di salah satu café dekat hotel. Masih ada satu lagi tanggung jawabku yang sudah menanti. “Callis, lu nggak mau nongki dulu?” tanya Raya, salah satu temanku. Aku menggeleng. “Nggak dulu Ray. Masih ada urusan.” Raya sedikit memberengut. “Lu nggak pernah ikut, Call. Sekali-kali lah main bareng yang lain.” Aku tertawa. “Gue orang sibuk,” setelah mengatakan itu, aku beranjak dari meranjak dari belakang meja resepsionis. &nbs
Setelah Callis membayar argo taksi. Callis dan Reis turun dan memasuki rumah sederhana mereka. Setahun yang lalu, Callis mengontrak rumah ini saat harganya sedang turun. Mungkin, jika pemilik rumah ini menerapkan harga normal, Callis tidak bisa mengontraknya. Namun pada saat itu, pemilik rumah membutuhkan pengontrak cepat karena dirinya harus cepat-cepat pindah ke luar kota bersama anaknya, atau entahlah. Callis tidak terlalu paham juga. Yang kuingat, pemilik rumah ini memberikan Callis potongan harga hingga 25%. Dan Callis seketika merasa mendapatkan durian jatuh.Setiap Callis memasuki rumah, tak lupa Callis berdoa pada Tuhan agar tidak dipertemukan lagi dengannya…***Reis menyentuh kelopak mataku dan aku refleks menutup mata. “Mata Mommy warnanya coklat. Kenapa warna mata Reis gini?”"Warna mata Reis spesial. Jadi, kecuali di sekolah dan pergi sama Mommy, Reis harus pake kaca mata hitam ya,” ucapku.Re
Victor mengambil gelang emas simple dengan satu liontin bintang di tengahnya. Mata Victor menggelap saat menatap gelang ini. Victor sangat membenci pemilik gelang ini, tapi dia tak ingin memusnahkan gelang ini. Bagi Victor, pemilik gelang ini merupakan pengkhianat terbesar dalam hidupnya. Tujuh tahun lalu, Victor merasa dikhianati dengan sangat. Saat ini, mungkin Victor akan menyusun rencana untuk membalaskan dendamnya pada pemilik gelang ini. Setiap kali ada pengkhianat di perusahaannya, dirinya selalu mengingat pemilik gelang ini. Wajah polos—sok polos—itu menghantui pikirannya. Sangat menjijikkan jika dirinya harus dibayangi wajah ular itu. Victor menggenggam gelang itu sebelum melemparkan membali gelang tersebut ke dalam laci paling bawah meja kerjanya.
“Pulanglah, Adam. Semua laporan sudah kau periksa. Sebentar lagi aku istirahat,” Victor melihat jam dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Dirinya merasa telah mengeksploitasi pekerja.“Sebentar lagi, tuan. Anda istirahatlah dulu. Besok Anda mengambil penerbangan pagi.”“Pulanglah. Besok kau tak perlu mengantarku. Tolong jaga mommy dan daddy selama aku tidak di sini.”Adam mengangguk dan meregangkat otot tubuhnya. Dia dari tadi memang menahan kantuknya. Setelah berpamitan dengan Victor, Adam melangkahkan kakinya keluar dari apartemen milik Victor.Sedangkan Victor, kini dirinya sedang menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Matanya masih terfokus pada laporan yang diberikan oleh Dave di ponselnya. Victor menghafal setiap informasi yang ada di sana. Khusus untuk Callista, dia akan sedikit bermain-main dengannya. Mengingat kepribadian Callista dulu, sepertinya mempermainkan Call
Resepsionis ini mengangguk dan memaksakan senyum ramah. Bukan tanpa alasan dirinya dongkol kepada lelaki di depannya ini. Pasalnya, dia tahu bahwa sedari tadi, pria ini tidak mendengarkannya berbicara namun malah menatap Callis. Ah dirinya semakin kesal dengan Callis yang selalu mendapatkan perhatian.Dirinya segera menghubungi Karina, asisten Pak Gunawan. Tak lama, Karina datang dan segera mengantarkan Victor menemui Pak Gunawan. Sebenarnya Karina cukup terkejut karena dirinya melihat lelaki tampan yang mengenakan baju polo dengan jaket dan celana hitam. Untuk ukuran utusan Mr. Nick Roberto, orang ini cukup terlihat santai.Victor mengikuti Karina dan segera memasuki ruangan Pak Gunawan. Victor segera meminta salinan kontrak tersebut pada Pak Gunawan. Karena jujur saja, kepalanya sudah pusing dan dirinya juga lelah. Setelah mendapatkan salinan kontrak tersebut, Victor menyeringai.Permainan dimulai.***Sudah seminggu Callis dibimbing lan
Dengan wajah datarnya, Callis dapat melihat kilatan mata Mr. Barnett yang berkobar. “Kau ingin aku percaya dengan pengkhianat sepertimu?” desis Mr. Barnett dengan penuh penekanan di setiap katanya. Callis bahkan sedikit ketakutan mendengar aura yang dikeluarkan Mr. Barnett. Tentu saja Callis tidak menunjukkan ketakutannya. Bisa-bisa lelaki di depannya ini semakin besar kepala.“Saya tidak pernah berbohong. Saat itu saya juga dijebak. Tolong percaya pada saya,” Callis menelengkupkan tangannya di depan dada. Meminta belas kasih dari Mr. Barnett. Di dalam hatinya, Callis mengumpat dan mengatai atasannya ini. Tidak bisakah dirinya mendengar apa yang sebenarnya terjadi malam itu?“Hentikan omong kosongmu dan keluarlah dari ruanganku. Jika kau memilih resign, aku akan lebih menghancurkan hidupmu lagi.”Callis tidak memiliki pilihan lagi. Dirinya harus merelakan ketenangan hidupnya agar Mr. Barnett tidak sampai mengetahui keberadaan
Sesampainya di presidential suite milik Nick, Victor baru melepaskan rangkulannya. Namun Victor tetap menggenggam tangan Callie. “Lakukan tugasmu,” Victor lalu melemparkan kartu suite itu kepada Callie.Dengan sigap Callie langsung menangkapnya. Dengan gugup Callie membuka pintu suite itu. Callie melakukannya dengan sangat lamban. “Gugup, eh?”Ejekan Victor tentu saja menggores harga diri Callie. Walaupun sebenarnya Callie sudah tidak punya muka di hadapan Victor mengingat bagaimana Victor mengintimidasinya tadi. Namun Callie harus tetap mempertahankan sisa-sisa harga dirinya di hadapan Victor. Jika Victor tidak ingin mendengar sedikitpun penjelasannya, jangan harap Callie akan bersikap baik kepadanya.“Saya tidak gugup, Mr. Barnett,” Callie menatap mata Victor. Callie mencoba dengan keras agar tidak goyah saat beradu mata dengan mata Victor. Tatapan mata Victor sangat tajam… serta memabukkan.
Victor hanya menatap Callie dengan dalam. Baik Victor maupun Callie tidak mengatakan apapun. Mereka berdua hanyut ke dalam tatapan mereka sendiri. Kerinduan, kebencian, dan kegelisahan menjadi satu. Mereka sedang membagikan luka mereka selama tujuh tahun ini melalui tatapan satu sama lain.Tanpa dapat ditahan, Callie meloloskan satu air dari mata hazelnya. Mata yang memang sudah jernih itu terlihat semakin bersinar karena pantulan cahaya pada air matanya. Sejujurnya, saat ini Callie sangat ingin mencurahkan semua kesedihannya yang telah dirinya lalui. Mulai dari menjadi ibu tunggal bagi Reis, hingga dirinya harus tidur di jalanan karena kehabisan uang. Tapi lidahnya sangat kelu mengingat Victor masih menganggapnya sebagai pengkhianat.“Aku sungguh membencimu hingga aku ingin mengajakmu ke neraka,” ucapan tajam Victor menusuk tepat di hati Callie.***Callis segera pamit setelah dirinya mendengar ucapan dari Victor. Satu menit saja Callis di sa