Victor mengambil gelang emas simple dengan satu liontin bintang di tengahnya. Mata Victor menggelap saat menatap gelang ini. Victor sangat membenci pemilik gelang ini, tapi dia tak ingin memusnahkan gelang ini. Bagi Victor, pemilik gelang ini merupakan pengkhianat terbesar dalam hidupnya. Tujuh tahun lalu, Victor merasa dikhianati dengan sangat. Saat ini, mungkin Victor akan menyusun rencana untuk membalaskan dendamnya pada pemilik gelang ini.
Setiap kali ada pengkhianat di perusahaannya, dirinya selalu mengingat pemilik gelang ini. Wajah polos—sok polos—itu menghantui pikirannya. Sangat menjijikkan jika dirinya harus dibayangi wajah ular itu. Victor menggenggam gelang itu sebelum melemparkan membali gelang tersebut ke dalam laci paling bawah meja kerjanya.
Tangannya mulai menghubungi Dave, salah satu mafia sekaligus temannya, yang biasa membantunya menangani masalah Victor yang selain masalah perusahaan. Victor memang berteman dengan mafia kejam ini, namun Victor sama sekali tidak terlibat dalam shadow market.
“Dave, cari wanita itu. Callista Efigenia.”
***
Hari sabtu merupakan hari yang sibuk bagi Callis. Jika biasanya hari sabtu adalah weekend, tapi tidak untuk Callis. Weekend bagi Callis adalah minggu dan senin. Sedangkan Ries, dia seperti siswa pada umumnya, libur pada hari Sabtu dan Minggu.
Pagi-pagi buta, Callis harus mengantarkan Ries ke panti asuhan agar ada yang menjaga Ries. Dan panti asuhan itu arahnya berlawanan dengan hotel tempatnya bekerja. Sehingga dia harus bangun sebelum matahari terbit dan menyiapkan semua kebutuhan Ries selama Callis meninggalkan Ries untuk bekerja.
Callis sudah menyiapkan sarapan, mainan serta baju ganti untuk Ries. Callis juga membawakan beberapa kue untuk saudara-saudaranya yang berada di panti asuhan. Ya. Callis dulunya tinggal di panti asuhan sebelum mendapatkan beasiswa di Australia. Maka dari itu, anak-anak yang berada di panti asuhan merupakan adik-adiknya.
“Ries. Wakey wakey! Ries harus ke Bunda—ibu panti—nanti kesiangan,” ucapku mencoba membangunkan Ries. Hari Sabtu harusnya Ries bisa tidur lebih lama di pagi hari, tapi Ries malah harus bangun lebih awal dari biasanya. Dari rumah, Callis membutuhkan waktu setidaknya 45 menit untuk mencapai panti asuhan.
“Mommy, Ries masih ngantuk.”
Aku terpaksa menggendong Ries dan memandiikannya secara paksa. Sebenarnya, hampir setiap hari aku melakukan ini karena Ries sangat sulit dibangunkan. Setelah mendandani Ries, aku segera mengganti bajuku dan berangkat menuju panti.
Aku berpelukan sebentar dengan Bunda. “Bunda, Callis langsung berangkat kerja ya. Titip Reis.”
Bunda tersenyum hangat kepadaku. “Kamu nggak makan dulu?”
Callis menggelengkan kepalanya. “Callis udah makan tadi di rumah.”
Callis merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan Ries. “Ries jangan nakal ya. Nggak boleh ngerepotin Bunda sama temen yang lain,” ucapku pada Ries.
Ries memberikan hormat kepadaku. “Aye aye captain,” Callis mencium pipi kanan Ries dan memeluknya singkat. Setelah Callis pamitan kepada pengasuh di panti yang lain, Callis berjalan menuju halte bus yang terletak tak jauh dari panti. Kalau sedang tidak bersama Ries, Callis lebih memilih untuk menggunakan kendaraan umum agar lebih menghemat uangnya.
Callis segera memasuki ruangan ganti begitu dia sampai di hotel tempatnya bekerja. Huh 06.55. Callis pasti akan kembali mendapatkan teguran karena tidak datang tepat waktu. Harusnya, dia datang maksimal 15 menit sebelum pergantian shift berlangsung.
***
“Melihat perangaimu ini, kau lebih cocok menjadi mafia dibandingkan denganku,” ejek Dave begitu dirinya duduk di depan Victor yang sedang bersandar dan menyilangkan tangannya di depan dada. Jika kalian menganggap mafia memiliki sifat yang dingin dan misterius, hal tersebut menjadi pengecualian untuk Dave. Dave memiliki sifat yang ceria dan sedikit berisik. Bahkan dirinya sangat jarang menggunakan baju hitam khas mafia. Dave sangat memedulikan stylenya, mengingat orang awam mengenalnya sebagai seorang model papan atas.
Bisa dikatakan, Dave memiliki kerja sampingan sebagai seorang model.
“Apakah kau sudah mendapatkan informasi tentangnya?”
Dave tersenyum mengejek, “hei dude, jangan terlalu menyepelekan diriku.”
Dave lalu memberikan sebauh chip pada Victor. Dave memang selalu bisa diandalkan. Walaupun di luar dia terlihat slengean dan cerewet. Dave memiliki koneksi yang sangat luas. Di dunia mafia, dia terkenal sebagai mafianya para mafia. Dia akan menghabisi orang yang dianggapnya menganggu. Bahkan dia bisa membunuh orang itu beserta keluarganya. Dave sangat ahli menggunakan pistol, bahkan dengan mata yang tertutup. Dirinya juga memiliki insting yang kuat.
Victor menyimpan chip itu dan hendak pergi meninggalkan Dave karena dirinya ada jadwal meeting sebentar lagi.
“Tapi ada yang aneh dari wanita itu…” walaupun Dave mengatakan dengan pelan, Victor mendengarnya. Victor kembali duduk dan menatap Dave.
“Apa yang aneh?”
Dave menggeleng. Dirinya masih belum menemukan jawabannya. Lebih baik Victor tidak mengetahuinya terlebih dahulu. Dave yang mengenal Victor sejak junior high school tentu tahu jika gelengan kepala tidak akan memuaskan rasa penasaran Victor. Dengan cepat dirinya mencari alasan. “wanita itu aneh hingga kau ingin kembali berurusan dengannya setelah tujuh tahun lamanya.”
Sedangkan Victor hanya berdecak dan menatap tajam Dave. Dave hanya nyengir konyol dan melambaikan tangan tanda mengusir Victor dari private room ini. Setelah kepergian Victor, Dave menghubungi beberapa orang kepercayaannya dan meminta orang-orang kepercayaannya untuk menyelediki Callista lebih lanjut.
Di sudut kota lain, tepatnya di ruangan Victor, Victor membaca dengan seksama profil dari Callista yang telah diberikan oleh Dave. Indonesia? Panti asuhan? Gumam Victor saat dirinya membaca profil Callista.
Dan yang membuat Victor mengeluarkan seringai tajamnya adalah Callista bekerja di Roberto Paradise Hotel and Residences. Memang hotel itu bukan cabang dari perusahaannya, namun hotel tersebut adalah milik Nick, salah satu sahabatnya. Bukankah ini akan menjadi kejadian yang mengejutkan untuk Callista nantinya?
Yang lebih mengejutkannya lagi, dirinya dan Nick memang berniat untuk memasuki pasar Indonesia. Jika awalnya proyek ini dia serahkan sepenuhnya kepada Nick, sepertinya sekarang dirinya akan menangani langsung proyek ini. Victor segera menghubungi Nick dan mengajak Nick untuk meeting dadakan.
“Adam, kau tangani dulu kantor pusat. Perintah sepenuhnya akan ditangani ayahku. Aku akan fokus pada proyekku yang ada di Indonesia,” ucap Victor tanpa melihat Adam, sekretaris Victor, karena fokus pada proyek-proyek lain yang harus Victor selesaikan sebelum minggu depan aku berangkat ke Indonesia.
Sebenarnya Adam bingung. Jika dilihat dari grafik pasar, Indonesia tidak terlalu menguntungkan. Biasanya, Victor hanya akan terjun langsung memimpin proyek-proyek besar. Namun untuk sekarang, Victor rela memimpin proyek “kecil” ini. Setelah mengenal Victor enam tahun belakangan ini. Adam tahu betul, dibalik proyek kecil ini pasti ada “proyek besar misterius” di baliknya. Adam hanya mengiyakan ucapan Victor. Toh dirinya memang tidak bisa menentangnya.
Victor menghentikan sebentar kegiatannya dan menerima panggilan dari ponsel pribadinya. Id caller Daddy memaksa Victor untuk mengangkat panggilan itu.
“Are you crazy?!” Bentakan Daddy langsung terdengar begitu Victor menekan ikon hijau di layar ponselnya.
“Calm down, Dad. Nanti darah tinggimu akan naik,” ucap Victor. Walaupun Victor terlihat dingin saat di luar, tapi nyatanya dia tidak sedingin itu. Victor masih memiliki “sedikit” perhatian pada keluarganya.
“Kenapa kau mengambil alih proyek ini? Sebenarnya apa tujuanmu? Jangan katakan kau akan membuat kerusuhan di sana.”
Ucapan Daddynya membuat Victor sedikit terkekeh. Daddynya terlalu mengenal dirinya, “You know me so well, Dad.”
“I don’t fucking care about this. Selesaikan ‘urusanmu’ itu dan cepatlah kembali ke sini atau kau benar-benar akan melihatku mati karena harus kembali ke kantor,” Abraham—daddy Victor—mematikan ponselnya sebelum Victor sempat menimpali ucapannya.
Victor mengedikkan bahunya tak acuh dan kembali fokus pada proposal-proposal di hadapannya. Satu minggu ke depan, jadwal meeting Victor sangat padat. Dia harus mengurus, paling tidak, proposal-proposal paling tidak hingga satu bulan ke depan. Dirinya tidak akan setega itu untuk meninggalkan semua pekerjaannya pada Abraham. Seperti yang dikatakan Daddynya tadi, Abraham bisa benar-benar mati karena darah tinggi jika Victor melakukannya.
Victor bersyukur memiliki Adam yang sangat loyal padanya. Selama dirinya lembur, Adam juga ikut menyelesaikan tugas ini. Bahkan Adam mengikutinya ke apartemen miliknya untuk menyelesaikan tugasnya. Ketimbang sekretaris dan asisten pribadi, Adam lebih mirip sahabatnya. Tak jarang, Adam juga ikut berkumpul bersamanya, Nick, dan Dave. Bahkan, Adam tidak akan segan untuk mengkritik pekerjaan Victor jika Victor tidak fokus.
“Pulanglah, Adam. Semua laporan sudah kau periksa. Sebentar lagi aku istirahat,” Victor melihat jam dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Dirinya merasa telah mengeksploitasi pekerja.
“Sebentar lagi, tuan. Anda istirahatlah dulu. Besok Anda mengambil penerbangan pagi.”
“Pulanglah. Besok kau tak perlu mengantarku. Tolong jaga mommy dan daddy selama aku tidak di sini.”
Adam mengangguk dan meregangkan otot tubuhnya. Dia dari tadi memang menahan kantuknya. Setelah berpamitan dengan Victor, Adam melangkahkan kakinya keluar dari apartemen milik Victor.
Sedangkan Victor, kini dirinya sedang menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Matanya masih terfokus pada laporan yang diberikan oleh Dave di ponselnya. Victor menghafal setiap informasi yang ada di sana. Khusus untuk Callista, dia akan sedikit bermain-main dengannya. Mengingat kepribadian Callista dulu, sepertinya mempermainkan Callista bukan hal yang buruk.
Akhirnya Victor tertidur dengan ponsel yang masih menunjukkan informasi pribadi tentang Callista.
“Pulanglah, Adam. Semua laporan sudah kau periksa. Sebentar lagi aku istirahat,” Victor melihat jam dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Dirinya merasa telah mengeksploitasi pekerja.“Sebentar lagi, tuan. Anda istirahatlah dulu. Besok Anda mengambil penerbangan pagi.”“Pulanglah. Besok kau tak perlu mengantarku. Tolong jaga mommy dan daddy selama aku tidak di sini.”Adam mengangguk dan meregangkat otot tubuhnya. Dia dari tadi memang menahan kantuknya. Setelah berpamitan dengan Victor, Adam melangkahkan kakinya keluar dari apartemen milik Victor.Sedangkan Victor, kini dirinya sedang menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Matanya masih terfokus pada laporan yang diberikan oleh Dave di ponselnya. Victor menghafal setiap informasi yang ada di sana. Khusus untuk Callista, dia akan sedikit bermain-main dengannya. Mengingat kepribadian Callista dulu, sepertinya mempermainkan Call
Resepsionis ini mengangguk dan memaksakan senyum ramah. Bukan tanpa alasan dirinya dongkol kepada lelaki di depannya ini. Pasalnya, dia tahu bahwa sedari tadi, pria ini tidak mendengarkannya berbicara namun malah menatap Callis. Ah dirinya semakin kesal dengan Callis yang selalu mendapatkan perhatian.Dirinya segera menghubungi Karina, asisten Pak Gunawan. Tak lama, Karina datang dan segera mengantarkan Victor menemui Pak Gunawan. Sebenarnya Karina cukup terkejut karena dirinya melihat lelaki tampan yang mengenakan baju polo dengan jaket dan celana hitam. Untuk ukuran utusan Mr. Nick Roberto, orang ini cukup terlihat santai.Victor mengikuti Karina dan segera memasuki ruangan Pak Gunawan. Victor segera meminta salinan kontrak tersebut pada Pak Gunawan. Karena jujur saja, kepalanya sudah pusing dan dirinya juga lelah. Setelah mendapatkan salinan kontrak tersebut, Victor menyeringai.Permainan dimulai.***Sudah seminggu Callis dibimbing lan
Dengan wajah datarnya, Callis dapat melihat kilatan mata Mr. Barnett yang berkobar. “Kau ingin aku percaya dengan pengkhianat sepertimu?” desis Mr. Barnett dengan penuh penekanan di setiap katanya. Callis bahkan sedikit ketakutan mendengar aura yang dikeluarkan Mr. Barnett. Tentu saja Callis tidak menunjukkan ketakutannya. Bisa-bisa lelaki di depannya ini semakin besar kepala.“Saya tidak pernah berbohong. Saat itu saya juga dijebak. Tolong percaya pada saya,” Callis menelengkupkan tangannya di depan dada. Meminta belas kasih dari Mr. Barnett. Di dalam hatinya, Callis mengumpat dan mengatai atasannya ini. Tidak bisakah dirinya mendengar apa yang sebenarnya terjadi malam itu?“Hentikan omong kosongmu dan keluarlah dari ruanganku. Jika kau memilih resign, aku akan lebih menghancurkan hidupmu lagi.”Callis tidak memiliki pilihan lagi. Dirinya harus merelakan ketenangan hidupnya agar Mr. Barnett tidak sampai mengetahui keberadaan
Sesampainya di presidential suite milik Nick, Victor baru melepaskan rangkulannya. Namun Victor tetap menggenggam tangan Callie. “Lakukan tugasmu,” Victor lalu melemparkan kartu suite itu kepada Callie.Dengan sigap Callie langsung menangkapnya. Dengan gugup Callie membuka pintu suite itu. Callie melakukannya dengan sangat lamban. “Gugup, eh?”Ejekan Victor tentu saja menggores harga diri Callie. Walaupun sebenarnya Callie sudah tidak punya muka di hadapan Victor mengingat bagaimana Victor mengintimidasinya tadi. Namun Callie harus tetap mempertahankan sisa-sisa harga dirinya di hadapan Victor. Jika Victor tidak ingin mendengar sedikitpun penjelasannya, jangan harap Callie akan bersikap baik kepadanya.“Saya tidak gugup, Mr. Barnett,” Callie menatap mata Victor. Callie mencoba dengan keras agar tidak goyah saat beradu mata dengan mata Victor. Tatapan mata Victor sangat tajam… serta memabukkan.
Victor hanya menatap Callie dengan dalam. Baik Victor maupun Callie tidak mengatakan apapun. Mereka berdua hanyut ke dalam tatapan mereka sendiri. Kerinduan, kebencian, dan kegelisahan menjadi satu. Mereka sedang membagikan luka mereka selama tujuh tahun ini melalui tatapan satu sama lain.Tanpa dapat ditahan, Callie meloloskan satu air dari mata hazelnya. Mata yang memang sudah jernih itu terlihat semakin bersinar karena pantulan cahaya pada air matanya. Sejujurnya, saat ini Callie sangat ingin mencurahkan semua kesedihannya yang telah dirinya lalui. Mulai dari menjadi ibu tunggal bagi Reis, hingga dirinya harus tidur di jalanan karena kehabisan uang. Tapi lidahnya sangat kelu mengingat Victor masih menganggapnya sebagai pengkhianat.“Aku sungguh membencimu hingga aku ingin mengajakmu ke neraka,” ucapan tajam Victor menusuk tepat di hati Callie.***Callis segera pamit setelah dirinya mendengar ucapan dari Victor. Satu menit saja Callis di sa
“Reis sama mama aja, ya,” Callis lalu memberikan Reis ke gendongan Karina. Karina yang masih shock dengan keadaan pun langsung menerima Reis tanpa basa basi. “Mama…” Reis menyamankan tidurnya di gendongan Karina. “See? Dia anaknya Karina dan lelaki di hadapannya.” Victor masih tidak dapat mempercayai ucapannya. Pasalnya, anak lelaki itu sama sekali tidak mirip dengan Karina, bahkan lelaki itu. Tapi Victor hanya diam. Victor tahu dirinya tidak akan mendapatkan jawaban apapun sekarang, sekalipun dirinya memaksa Callis. Victor mengangkat bahunya tak acuh lalu memasuki mobilnya. Setelah mobil Victor berbelok, Callis lalu memegang pundak Andre untuk menopang tubuhnya yang terasa lemas. Semoga saja Victor percaya. Beruntunglah Reis dari dulu memanggil Karina dengan panggilan mama. Paling tidak, hal tersebut membantunya untuk saat ini. “Kirimkan aku profil Karina dan Callista.” *** Callis masih terpikirkan kejadian t
Andre terpaku sebentar. Apakah perjuangannya akan selesai di sini? “Kamu mau balikan sama dia?”Callis menggeleng dengan tegas. “Aku malah pengen dia nggak pernah tahu kalau Reis itu anaknya.”Walau Callis mengucapkannya dengan nada getir, tak dapat dipungkiri bahwa Andre bersyukur. Setidaknya perjuangannya belum selesai. “Terus habis ini kamu mau gimana?” tanya Andre hati-hati. Dirinya tahu bahwa suasana hati Callis sedang tidak baik.Callis mengedikkan bahunya. “mungkin aku bakalan kabur lagi, kaya yang dulu-dulu.”Andre lalu mengenggam tangan Callis. Jika biasanya Callis akan menolak, sekarang Callis hanya bisa pasrah. “Kita lalui ini bareng-bareng, Lis.”Callis mendongakkan kepalanya, menatap mata Andre yang terlihat bersungguh-sungguh. “Nikah sama aku. Dengan begitu lelaki itu tidak akan lagi menganggu kalian.”***Setelah beberapa hari berlalu, Reza membawa
Saat Callis hendak membersihkan luka Victor, dirinya tercekat melihat berkas yang ada di bawah tangan Victor. Callis mengobati tangan Victor dengan tangan bergetar ketakutan. Jika Victor mendapatkan informasi tentang Andre dengan mudah, bukan tidak mungkin Victor juga mendapatkan onformasi tentang Reis.Victor sengaja memiringkan punggung tangannya saat Callis meneteskan betadine di tangannnya. Betadine itu mengotori profil Andre. Dengan tangan masih bergetar, Callis mencoba membersihkan tetesan merah itu dari profil di hadapannya.“Bukankah itu profil calon suamimu?”Callis menunduk dan tidak melanjutkan kegiatannya yang mengobati tangan Victor. tubuhnya menggigil. Bahkan Callis merasa ingin menangis ketakutan di sini. Callis bukan orang yang cengeng, tapi dirinya selalu tidak berdaya jika berada di hadapan Victor. Victor sangat pintar untuk memainkan emosinya.“Kau tahu kan jika aku membencimu. Selain dirimu, tentu saja aku akan mengha
“Jangan sungkan, Callis. Tidak mungkin kalian selamanya tinggal di unit. Suatu saat kalian pasti membutuhkan rumah. Oleh karena itu, lebih baik kalian memilih rumah secepatnya. Aku akan merasa sangat sedih karena kalian menolak hadiah pernikahan dariku.” Callis semakin merasa bersalah saat mendengar ucapan terakhir Abraham. Bukannya ingin menolak, Callis hanya merasa sangat tidak enak jika menerima hadiah semahal itu. “Aku akan mendiskusikannya dengan Victor terlebih dahulu, Mom, Dad.” “Aku selalu setuju dengan pilihanmu, Callie. Semua keputusanmu adalah keputusanku juga.” Callis ingin mencakar mulut Victor yang tersenyum usil di sebelah sana. Bukannya membantu, Victor malah semakin mendorongnya. Lihat saja nanti, Callis pastikan bahwa Victor akan tidur di luar. *** Victor beserta keluarganya memasuki rumah yang menjadi kado pernikahannya. Rumah ini sangat luas bagi Callis. Namun, jika dibandingkan dengan mansion milik keluarga Abraham tentu tidak ada apa-apanya. Callis memang mem
“Yow! Kedua sahabatku sedang bercengkrama tanpa mengajakku.” Nick menyenggolkan bahunya kepada Victor dan Dave dengan wajah cengengesan.“Sudah lama kita tidak bertemu,” ujar Dave pada sahabatnya itu.“Yah, Si Diktaktor itu memaksaku untuk mengurus cabang di Indonesia setelah dia memaksa untuk mengambil alih cabang itu sebelumnya,” sindir Nick pada Victor. “Aku membutuhkan banyak adaptasi saat di sana,” keluhnya.Victor hanya meliriknya malas. Dia sangat paham bahwa Nick sangat suka mendramatisir semua hal. “Wow! Siapa wanita cantik yang sedang bersama istrimu itu, Bro?” tunjuk Nick pada Meghan.“Alihkan tatapanmu dari kekasihku, atau akan ku keluarkan bola matamu dari tempatnya, Nick.”***Callis dan Victor saat ini sudah berada di kamar pengantin. Tubuh Callis terasa sangat lelah, namun Callis merasa sangat puas. Pesta pernikahan yang dijalani nyatanya sangat jauh lebih menyenangkan dibandingkan yang pernah diimpikannya. Victor sangat bersungguh-sungguh saat dirinya berkata bahwa a
Tanpa bantahan, Callis bergerak ke arah Victor dan menyandarkan kepalanya ke dada Victor. Tangan Victor juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengelus rambut wanitanya. “Tadi katanya ingin membahas tentang pernikahan kita?” tanya Victor untuk membuka percakapannya. “Sebentar.” Callis segera beranjak dan mengambil tabnya yang dia simpan di meja yang berada di sudut kamar. Setelah mendapatkannya, Callis kembali ke posisi awal. “Tanpa mengingat pilihanku, aku ingin kau memilih dekorasi serta hal lain yang kita butuhkan untuk pernikahan kita.” Cassie menyodorkan tab yang sudah menayangkan beberapa pilihan itu pada Victor. Malam itu dihabiskan oleh sepasang suami istri, yang akan kembali menikah, dengan diskusi. *** Waktu berlalu dengan cukup baik. Baik Callis maupun Victor, mereka akhirnya menyiapkan pernikahan ini dengan bersungguh-sungguh. Hari besar yang dinantikan akhirnya datang juga. Saat ini, Callis sedang mempersiapkan dirinya untuk pemberkatan. Isabella, sang ibu, serta
Dengan pelan, Callis menggerakkan kepalanya hingga tatapan mata mereka saling berbalas. “Tidak perlu meminta maaf, Vic. Yang terpenting, tidak ada lagi salah paham di antara kita.” Callis mengucapkannya dengan nada bergetar karena harus menahan tangisannya.“Aku ingin memulai semuanya dengan benar, Callis.”Ucapan Victor membuat Callis harus mengernyitkan dahinya karena tidak paham dengan maksud Victor.“Ayo kita melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh pasangan yang akan menikah. Mulai dari persiapan pernikahan, pemberkatan, hingga resepsi. Aku ingin melakukan semuanya denganmu. Aku ingin merasakan menjadi kekasih yang menunggu pasangannya untuk fitting baju. Aku ingin melakukan foto pra-nikah, aku ingin mengucapkan janji untuk selalu menjadi saksimu di hadapan Tuhan dan aku ingin memiliki foto pernikahan yang dapat dipajang di ruang tamu. Bahkan jika kau mau, aku juga ingin melakukan rangkaian budaya pernikahan seperti yang biasanya Mom ceritakan padaku saat aku kecil. Aku ingin m
Begitu sampai di kantor, banyak karyawan yang menyapa ketiganya. Namun, hanya Callis yang membalas sapaan mereka. Baik Victor maupun Reis hanya diam dan berjalan lurus. Callis menggelengkan kepalanya melihat Victor dan Reis yang bergandengan tangan meninggalkannya di belakang. Callis sengaja memperlambat jalannya dan benar dugaannya. Victor dan Reis terlalu fokus pada jalan di depannya tanpa mempedulikan sekitar. Begitu kedua lelaki berbeda generasi itu hendak mencapai lift, Callis mempercepat langkahnya agar keduanya tidak sadar bahwa dirinya sempat terhindar.Dasar dua lelaki sok keren, gumam Callis dengan sedikit kekehan.Adam yang sudah menunggu di samping lift para petinggi segera menekan tombol pada lift agar terbuka. “Selamat siang, Tuan Barnett, Tuan Muda Barnett… dan Nyonya Barnett.”Callis berdecih dan masuk ke lift bersama ketiganya–Victor, Reis, dan Adam. Callis sangat tahu bahwa Adam sedang mengejeknya dan itu membuatnya kesal. Callis ingin sekali memukul lengan Adam. Nam
Callis masih setia mengelus punggung Reis yang masih sesenggukan di dadanya. Bahkan, Reis duduk di pangkuan Callis karena masih tidak ingin lepas dari ibunya. “Nangisnya udahan dong, sayang.” Callis mencoba melepaskan pelukan Reis padanya.Pelukan Reis terlepas. Callis akhirnya dapat melihat wajah Reis yang memerah sebab tangis. Bahkan, mata Reis masih basah karena air mata yang belum kering. Air mata Reis kembali menetes saat menatap wajah ibu yang sangat dirindukannya.“Gantengnya Mommy jadi jelek soalnya nangis mulu,” ledek Callis dengan mengelap wajah Reis yang basah karena air mata dan keringat. “Reis kangen banget sama Mommy,” rengek Reis dengan kembali memeluk Callis, tapi tidak seerat tadi. “Mommy juga kangen banget sama anak Mommy yang paling ganteng ini.”“Mommy, aku laper banger,” rengek Reis yang dijawab dengan kekehan oleh Callis.***Callis dan Reis sampai di Four Season, salah satu restoran yang berkolaborasi dengan TBGroup. Sejak mereka hidup dengan Victor, lelaki it
Callis! Ini bukan pengalaman pertamamu! Jangan berlaga seperti orang suci! Teriak Callis dalam hatinya.Akan tetapi, tidak bisa. Callis tidak bisa mengontrol dirinya. Victor dan posisi mereka yang terbilang cukup intim membuatnya tidak bisa mengendalikan dirinya. Kaki Callis terasa sangat lemas seperti jeli. Namun, dirinya tidak akan terjatuh dan membuatnya malu.Tuhan! Tolong hamba, jerit Callis.“I love you, Baby Girl.” Belum sedetik Callis mencerna ucapan Victor, bibir Callis langsung menjadi sasaran Victor.***Callis terbangun saat dirinya merasa pelukan hangat yang semalaman telah memanjakannya menghilang. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya matahari yang ternyata sudah terang. Callis terlambat bangun!Callis segera beranjak dari tidurnya begitu sadar bahwa dirinya sudah sangat terlambat untuk bangun. Kepala Callis sontak terasa pening karena berdiri dengan cepat dari tidurnya.“Hi, dear. Jangan terburu-buru. Reis sudah berangkat ke sekolah diantar oleh ma
Callis dan Victor berjalan beriringan. Setelah sampai di unitnya, Victor segera memasuki kamar pribadinya untuk membersihkan tubuh. Callis berdiri di tengah ruang tamu, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Callis ingin membersihkan dirinya. Namun, kamar yang digunakan selama di sini adalah kamar utama, dengan kata lain kamar Victor. Rasanya, Callis akan merasa canggung jika masuk ke kamar tersebut tanpa permisi. Lama tidak tinggal di unit Victor membuat Callis menjadi asing padahal tidak ada yang berubah dari tempat tinggal Victor tersebut.Tak lama, Victor keluar dari kamarnya dan segera menghampiri Callis. Victor sudah mengganti tuksedonya dengan pakaian yang lebih santai. Rambut Victor terlihat sedikit basah dan berantakan. Ketampanan Victor meningkat berkali-kali lipat dengan penampilan tersebut.“Kau tidak ingin membersihkan diri?” tanya Victor dengan heran.“Aku… Um… Aku.” Callis bingung harus bagaimana untuk menyuarakan kecanggungannya.“Aku akan keluar sebentar.” Victor men
Callis menitipkan belanjaannya di tempat penitipan. Setelah itu, dirinya bergerak untuk menuju ke tempat di mana Victor menunggunya. Di sana, terdapat Victor yang sedang menikmati ice cream dengan tenang, sangat kontras pemudi yang menatap Victor dengan menunjukkan ekspresi tertarik yang ketara.“Cih.” Callis berdecih melihat segerombolan pemudi itu. Di umur segitu, mereka harusnya fokus belajar. Bukannya malah nongkrong tidak jelas di kafe. Lagi pula, apakah mereka tidak sadar jika Victor terlihat jauh lebih tua dibandingkan mereka. Atau malah mereka mencari lelaki seumur Victor untuk dijadikan ayah gula?Sebelum menghampiri Victor, Callis memasang senyum yang sangat manis. Dirinya lalu bergerak dengan riang mendekati Victor. “Ah, maaf sekali, Sayang. Karena menungguku, kau harus menunggu di sini dengan bosan,” ujar Callis dengan manja. Tak lupa, Callis juga membubuhkan satu kecupan di pipi kanan Victor.***Victor mengernyitkan alisnya saat melihat gelagat aneh dari Callis. “Apa yan