Sesampainya di presidential suite milik Nick, Victor baru melepaskan rangkulannya. Namun Victor tetap menggenggam tangan Callie. “Lakukan tugasmu,” Victor lalu melemparkan kartu suite itu kepada Callie.
Dengan sigap Callie langsung menangkapnya. Dengan gugup Callie membuka pintu suite itu. Callie melakukannya dengan sangat lamban. “Gugup, eh?”
Ejekan Victor tentu saja menggores harga diri Callie. Walaupun sebenarnya Callie sudah tidak punya muka di hadapan Victor mengingat bagaimana Victor mengintimidasinya tadi. Namun Callie harus tetap mempertahankan sisa-sisa harga dirinya di hadapan Victor. Jika Victor tidak ingin mendengar sedikitpun penjelasannya, jangan harap Callie akan bersikap baik kepadanya.
“Saya tidak gugup, Mr. Barnett,” Callie menatap mata Victor. Callie mencoba dengan keras agar tidak goyah saat beradu mata dengan mata Victor. Tatapan mata Victor sangat tajam… serta memabukkan.
***
Victor merangkul bahu Callie. Callie mendengar bisik-bisik dari rekan kerjanya. Mereka menebak-tebak hubungan antara Callie dan Victor. Callie hanya bisa menundukkan kepalanya. Dia berdoa, semoga saat ini dirinya bisa menghilang dari hadapan semua orang. Dapat dipastikan setelah ini akan ada gosip yang menyebar di hotel.
Sesampainya di presidential suite milik Nick, Victor baru melepaskan rangkulannya. Namun Victor tetap menggenggam tangan Callie. “Lakukan tugasmu,” Victor lalu melemparkan kartu suite itu kepada Callie.
Dengan sigap Callie langsung menangkapnya. Dengan gugup Callie membuka pintu suite itu. Callie melakukannya dengan sangat lamban. “Gugup, eh?”
Ejekan Victor tentu saja menggores harga diri Callie. Walaupun sebenarnya Callie sudah tidak punya muka di hadapan Victor mengingat bagaimana Victor mengintimidasinya tadi. Namun Callie harus tetap mempertahankan sisa-sisa harga dirinya di hadapan Victor. Jika Victor tidak ingin mendengar sedikitpun penjelasannya, jangan harap Callie akan bersikap baik kepadanya.
“Saya tidak gugup, Mr. Barnett,” Callie menatap mata Victor. Callie mencoba dengan keras agar tidak goyah saat beradu mata dengan mata Victor. Tatapan mata Victor sangat tajam… serta memabukkan.
***
Victor saat ini benar-benar menguji kesabarannya. Dia bertingkah seperti anak kecil yang kebutuhannya harus persis sama dengan yang ada di bayangannya. Callie sungguh akan terkena serangan jantung jika dalam dua jam ke depan masih berhadapan dengan Victor.
He’s fucking annoying.
“Apakah AC di sini rusak? Kenapa AC nya sama sekali tidak terasa? Bisa kah kau mengatur suhunya?”
Callie mencoba mengulas senyum terbaiknya. Dia tidak akan menyerah dengan Victor. Callie tak ingin lagi melihat wajah congak Victor karena berhasil membuatnya kesal. “AC ini sudah berfungsi dengan baik, Mr. Barnett. Mungkin Anda yang memiliki masalah,” ucap Callie dengan nada yang dirinya lembut-lembutkan.
“Kau menghinaku bermasalah?”
“Tentu tidak. Siapalah saya yang sanggup menghina seorang Barnett,” ujar Callie dengan senyum manis yang terlihat menjengkelkan bagi Victor.
“Ah sudahlah. Buatkan aku espresso. Kepalaku rasanya pecah dengan semua fasilitas yang memuakkan ini,” Victor duduk di sofa dengan wajah yang kesal.
Di sini kau lah satu-satunya yang memuakkan! “Baiklah, kan ku minta office boy untuk membelikan Anda espresso,” Callie menundukkan kepalanya dan memutar tubuhnya menuju pintu suite.
“Bukankah kau FOM manager di sini? Harusnya kau yang melayaniku. Kenapa meminta petugas lain?”
“Baiklah, saya akan belikan espresso di café terdekat.”
Callie mendengar Victor berdecak. “Ingatkan aku untuk meminta Nick memperketat perekrutan karyawan. Bahkan sekelas FOM manager pun sangat tidak berguna. Apa susahnya membuat espresso sendiri? Bukankah sudah ada bahannya di dapur,” gerutuan Victor membuat telingan Callie sangat panas.
Callie memutar kembali tubuhnya agar berhadapan dengan Victor yang sedang duduk dan kembali mengulas senyum yang terlihat sangat masam. Kesabarannya sudah mencapai limit. Callie perlu menyegarkan kepalanya sekarang. “Akan saya buatkan, Mr. Barnett,” Callie lalu menuju bar.
“Ingatkan aku untuk meminta Nick memperketat perekrutan karyawan. Bahkan sekelas FOM manager pun sangat tidak berguna. Apa susahnya membuat espresso sendiri? Bukankah sudah ada bahannya di dapur,” Callie mengulangi ucapan Victor dengan nada malas. “Cih, dia pikir dia yang paling berkuasa di sini? Dasar bossy,” gumam Callie sangat kesal.
“Ternyata aku juga mendapatkan fasilitas gerutuan? Fasilitas di hotel ini memang sangat menyedihkan. Nick benar-benar rugi telah membangun hotel ini dengan karyawan yang sama sekali tidak berpotensi,” Callie dikejutkan dengan Victor yang berada di belakangnya.
Callie segera membalikkan badannya dan tanpa sengaja kopi panas itu tumpah di tangan Victor. “Ah…” Victor mengerang merasakan panas air yang mengenai kulitnya. Kulit Victor yang berwarna tan memerah dan melepuh di beberapa bagian.
Callie langsung menarik tangan Victor dan membawanya ke wastafel. Callie mengaliri tangan Victor yang melepuh dengan air yang mengalir. Callie berkali-kali menggumamkan kata maaf pada Victor. Setelah itu, masih dengan tangan Callie yang menggenggam Victor, Callie mengobati tangan Victor dengan lembut. Dirinya juga membebat tangan Victor.
“Maafkan saya, Mr. Barnett. Saya sungguh tidak sengaja,” ucap Callie tulus. Walaupun Victor menyebalkan, namun Callie tidak mungkin membalas Victor dengan kekerasan seperti ini. Callie sungguh merasa bersalah.
“Fasilitas-”
“Demi Tuhan, Victor. Bisakah kau hentikan itu. Kau sungguh menjengkelkan,” ucap Callie tak tahan dengan ucapan Victor yang mengkritik tentang fasilitas hotel ini dengan alasan yang sangat tidak masuk akal.
Victor mengangkat tangannya. “Baiklah. Tapi bisakah kau membelikanku makanan? Aku lapar.”
Callie mengangguk dan segera keluar dari suite Victor. Dia berjalan keluar kantor untuk membelikan Victor makanan di salah satu restoran terdekat di hotelnya. Sebenarnya, bisa saja Callie membelikan makanan di restoran hotel, tapi Callie yakin Victor akan protes jika dirinya benar melakukannya. Dari dulu, Victor memang rewel jika urusan makanan.
Tiga puluh menit berlalu dan Callie kembali ke suite Victor dengan membawa spagetti carbonara dan lemon mint tea kesukaannnya. Saat Callie menuju kamar Victor, terlihat Victor yang tertidur di ranjangnya. Dari wajahnya, Victor terlihat kelelahan. Daripada membangunkannya, Callie memilih untuk mengamati wajah Victor sejenak. Pada saat Victor sadar, Callie tentu tidak bisa menatap wajah Victor.
Tidak ada perubahan berarti dari Victor setelah tujuh tahun. Mungkin hanya wajahnya yang terlihat semakin tegas dengan kumis tipis yang belum dicukur. Dengan sekali lihat saja semua orang akan tahu bahwa Victor orang yang dingin dan bijaksana. Padahal, dari sikap dingin Victor, sebenarnya Victor sangat jahil bahkan kekanakan. Namun dengan wajah yang terpahat dengan sempurna ini mendukung Victor untuk membuat image yang susah didekati oleh orang lain.
Bukankah Victor adalah perwujudan nyata dari pemeran utama pria di novel remaja yang sering Callie baca? Tampan bak dewa Yunani, dingin seperti kutub utara dengan harta yang tidak habis hingga turunan ke tujuh nantinya. Di depannya, Callie melihat visualisasi sebenarnya.
Dengan penasaran Callie melirik jemari Victor. Ada helaan nafas lega yang tak disadarinya saat Callie melihat jari telunjuk Victor polos tanpa hiasan cincin. Callie lalu menggeleng. Kenapa dirinya merasa senang?
“Eungh…”
Callie segera mengenyahkan pikirannya dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan Victor. Callie lalu kembali dengan membawa nampan setelah memindahkan spagetti carbonara dan lemon mint tea ke piring dan gelas. “Kau sudah datang,” ucap Victor dengan suara seraknya.
Victor lalu beranjak dari ranjangnya dan duduk di sofa yang ada di dalam kamarnya. “Cuma satu porsi?” tanya Victor dengan mata yang menyipit menahan kantuk.
Callie mengangguk dan meletakkan nampannya di meja. Victor menepuk sofa di sampingnya, mengajak Callie duduk. Callie akhirnya duduk dengan kikuk di samping Victor. Victor lalu menyandarkan kepalanya di bahu Callie. “Proyek resort ini memuakkan,” ucap Victor dengan nada mengeluh.
Dengan gerakan kaku Callie mengelus kepala Victor. Victor yang seperti ini sama dengan Victor yang dikenalnya tujuh tajun yang lalu. Setiap kali lelah Victor akan menyenderkan kepalanya di bahu Callie. Bahkan hingga tertidur di sana. Begitu juga dengan Callie.
Callie mendengar dengkuran Victor dengan samar. Callie lalu menepuk pipi Victor. “Victor, bangun. Makan dulu.”
Setelah beberapa saat Victor bangun dan hendak melepaskan perban yang melingkar di pergelangan tangan hingga jarinya. Callie segera menahannya. “Jangan dilepas,” ucap Callie menghentikan gerakan Victor.
“Kau pikir bagaimana aku makan jika jariku di perban? Oh shit, ini sungguh menganggu pergerakanku.”
Callie terlihat berpikir sejenak. “Boleh ku bantu?”
Victor sontak menatap Callie saat mendengar ucapan Callie. Dirinya berpikir sejenak. “Ya, harusnya memang kau bertanggung jawab tentang ini,” Victor lalu mendorong makanannya ke hadapan Callie dan menyampingkan duduknya agar dapat menghadap Callie.
Dengan ragu-ragu, Callie mengangsurkan makanan ke Victor. Victor membuka mulutnya tanpa komentar apapun. Jika seperti ini, Callista merasa seperti sedang menyuapi Reis. Walaupun tidak mirip, Reis dan Vector memiliki tingkah laku yang hampir sama. Pernah terlintas di kepala Callie jika mereka bertiga hidup bersama. Pasti akan menyenangkan dan merepotkan sekaligus. Namun dengan cepat Callie menepis tiap pikiran tersebut merasuki dirinya. Callie dan Victor tidak pernah bisa bersama.
“Callie…”
Panggilan dari Victor melempar dirinya pada kenangan tujuh tahun yang lalu. Callie selalu menyukai bagaimana cara Victor memanggilnya. Dan saat ini, Callie merasa rindunya sudah tertuntaskan. Sekuat tenaga Callie menahan senyumnya. Setelah semua yang dilaluinya hingga saat ini, nyatanya dirinya masih mencintai Victor.
“Callie,” panggil Victor sekali lagi.
“Eh, iya,” Callie menyadarkan dirinya dari lamunan. Sekaligus menyadarkan dirinya pada kenyataan. Selama Victor belum mau mendengarkannya, selama itu pula Victor hanya mendekatinya karena ingin membalaskan dendamnya.
Victor hanya menatap Callie dengan dalam. Baik Victor maupun Callie tidak mengatakan apapun. Mereka berdua hanyut ke dalam tatapan mereka sendiri. Kerinduan, kebencian, dan kegelisahan menjadi satu. Mereka sedang membagikan luka mereka selama tujuh tahun ini melalui tatapan satu sama lain.
Tanpa dapat ditahan, Callie meloloskan satu air dari mata hazelnya. Mata yang memang sudah jernih itu terlihat semakin bersinar karena pantulan cahaya pada air matanya. Sejujurnya, saat ini Callie sangat ingin mencurahkan semua kesedihannya yang telah dirinya lalui. Mulai dari menjadi ibu tunggal bagi Reis, hingga dirinya harus tidur di jalanan karena kehabisan uang. Tapi lidahnya sangat kelu mengingat Victor masih menganggapnya sebagai pengkhianat.
“Aku sungguh membencimu hingga aku ingin mengajakmu ke neraka,” ucapan tajam Victor menusuk tepat di hati Callie.
Victor hanya menatap Callie dengan dalam. Baik Victor maupun Callie tidak mengatakan apapun. Mereka berdua hanyut ke dalam tatapan mereka sendiri. Kerinduan, kebencian, dan kegelisahan menjadi satu. Mereka sedang membagikan luka mereka selama tujuh tahun ini melalui tatapan satu sama lain.Tanpa dapat ditahan, Callie meloloskan satu air dari mata hazelnya. Mata yang memang sudah jernih itu terlihat semakin bersinar karena pantulan cahaya pada air matanya. Sejujurnya, saat ini Callie sangat ingin mencurahkan semua kesedihannya yang telah dirinya lalui. Mulai dari menjadi ibu tunggal bagi Reis, hingga dirinya harus tidur di jalanan karena kehabisan uang. Tapi lidahnya sangat kelu mengingat Victor masih menganggapnya sebagai pengkhianat.“Aku sungguh membencimu hingga aku ingin mengajakmu ke neraka,” ucapan tajam Victor menusuk tepat di hati Callie.***Callis segera pamit setelah dirinya mendengar ucapan dari Victor. Satu menit saja Callis di sa
“Reis sama mama aja, ya,” Callis lalu memberikan Reis ke gendongan Karina. Karina yang masih shock dengan keadaan pun langsung menerima Reis tanpa basa basi. “Mama…” Reis menyamankan tidurnya di gendongan Karina. “See? Dia anaknya Karina dan lelaki di hadapannya.” Victor masih tidak dapat mempercayai ucapannya. Pasalnya, anak lelaki itu sama sekali tidak mirip dengan Karina, bahkan lelaki itu. Tapi Victor hanya diam. Victor tahu dirinya tidak akan mendapatkan jawaban apapun sekarang, sekalipun dirinya memaksa Callis. Victor mengangkat bahunya tak acuh lalu memasuki mobilnya. Setelah mobil Victor berbelok, Callis lalu memegang pundak Andre untuk menopang tubuhnya yang terasa lemas. Semoga saja Victor percaya. Beruntunglah Reis dari dulu memanggil Karina dengan panggilan mama. Paling tidak, hal tersebut membantunya untuk saat ini. “Kirimkan aku profil Karina dan Callista.” *** Callis masih terpikirkan kejadian t
Andre terpaku sebentar. Apakah perjuangannya akan selesai di sini? “Kamu mau balikan sama dia?”Callis menggeleng dengan tegas. “Aku malah pengen dia nggak pernah tahu kalau Reis itu anaknya.”Walau Callis mengucapkannya dengan nada getir, tak dapat dipungkiri bahwa Andre bersyukur. Setidaknya perjuangannya belum selesai. “Terus habis ini kamu mau gimana?” tanya Andre hati-hati. Dirinya tahu bahwa suasana hati Callis sedang tidak baik.Callis mengedikkan bahunya. “mungkin aku bakalan kabur lagi, kaya yang dulu-dulu.”Andre lalu mengenggam tangan Callis. Jika biasanya Callis akan menolak, sekarang Callis hanya bisa pasrah. “Kita lalui ini bareng-bareng, Lis.”Callis mendongakkan kepalanya, menatap mata Andre yang terlihat bersungguh-sungguh. “Nikah sama aku. Dengan begitu lelaki itu tidak akan lagi menganggu kalian.”***Setelah beberapa hari berlalu, Reza membawa
Saat Callis hendak membersihkan luka Victor, dirinya tercekat melihat berkas yang ada di bawah tangan Victor. Callis mengobati tangan Victor dengan tangan bergetar ketakutan. Jika Victor mendapatkan informasi tentang Andre dengan mudah, bukan tidak mungkin Victor juga mendapatkan onformasi tentang Reis.Victor sengaja memiringkan punggung tangannya saat Callis meneteskan betadine di tangannnya. Betadine itu mengotori profil Andre. Dengan tangan masih bergetar, Callis mencoba membersihkan tetesan merah itu dari profil di hadapannya.“Bukankah itu profil calon suamimu?”Callis menunduk dan tidak melanjutkan kegiatannya yang mengobati tangan Victor. tubuhnya menggigil. Bahkan Callis merasa ingin menangis ketakutan di sini. Callis bukan orang yang cengeng, tapi dirinya selalu tidak berdaya jika berada di hadapan Victor. Victor sangat pintar untuk memainkan emosinya.“Kau tahu kan jika aku membencimu. Selain dirimu, tentu saja aku akan mengha
“Aku tahu tentang anak itu,” ucapan Victor membuat bulu kuduk Callis meremang.“Anak apa? Anaknya Mbak Karina?” Callis meletakkan tangannya di belakang tubuhnya. Dirinya tidak ingin Victor melihat tangannya yang sudah bergetar ketakutan.“Aku sudah menebak bahwa kau tidak akan langsung mengaku.” Victor meletakkan dua amplop—yang tadinya tidak disadari oleh Callis—dan meletakkannya di atas meja.Callis menatap kedua amplop itu dengan pandangan bingung. Callis dapat membaca tulisan di amplop itu dengan jelas. Di sana tertera logo rumah sakit dan juga pengadilan tinggi. Hatinya menjadi tidak tenang. Dengan perlahan Callis membuka kedua amplop tersebut.Pengalihan hak asuh anak dan hasil tes DNA.***Pengalihan hak asuh anak dan hasil tes DNA.Callis menatap Victor tak percaya. Victor terlihat sama sekali tidak terganggu dengan pandangan Callis padanya. Callis kembali mengalihkan panda
Detik pertama panggilan itu tersambung, Callis sudah mendengarkan bentakan Victor. dari nada bicaranya, sepertinya Victor benar-benar marah. Tangan Callis bahkan sampai bergetar dibuatnya. “Ak-aku…” Callis kehilangan suaranya. Walaupun di balik panggilan, Callis seperti dapat merasakan aura kemarahan Victor.Lantas ada mobil hitam yang berhenti di depannya. Kaca mobil tebuka, pria di balik kemudi adalah pria yang sama dengan lelaki yang tadi menatapnya di café. [Masuklah ke mobil itu dan jangan coba-coba mengelak atau kau akan menyesal,” desis Victor lalu memutuskan panggilan begitu saja.Callis tidak menghiraukan Victor dan hendak menjauhi mobil utusan Victor. “Nona, masuklah. Jika tidak, nyawa anak Anda dalam bahaya,” ucap lelaki itu.Callis menghentikan langkahnya. “Apa maksudmu?”Lelaki itu menatap Callis dengan pandangan tidak enak. “Mr. Barnett nanti akan menjelaskannya. Tolong ikuti saja
Callis menghembuskan nafasnya sebelum turun dari mobil Victor. “Tetaplah di sini. Beri aku waktu lima menit dan aku akan membawa Reis kemari,” ucap Callis. Victor tidak menjawab, tapi dirinya memundurkan kursi mobil dan menyamankan dirinya di sana. Tindakan Victor tersebut Callis anggap sebagai jawaban “ya”.Callis sedikit berbasa basi pada Bunda. “Bunda, aku mau bawa Reis pulang ya,” ucap Callis akhirnya.“Kamu udah selesai dinas luar kotanya?” Callis bahkan lupa jika dirinya membohongi Bunda dengan dinas ke luar kota.“Sudah, Bunda. Ternyata jadwalnya dipercepat,” ucap Callis dengan senyuman. “Omong-omong, Reis di mana ya, Bunda?”“Reis ada di depan, tadi kayanya lagi main di deket gerbang.” Callis mengangguk dan berbalik. “Mau Bunda anter?” tanya Bunda dengan beranjak dari kasurnya. Memang kesehatan Bunda beberapa hari ini sedang tidak baik. Biasanya, kalau
“Victor nyalakan lampunya!” pekik Callis ketakutan, Callis langsung berlari dan memeluk Victor. Beruntungnya dirinya tidak menabrak apapun saat berlari. Callis sangat takut dengan hantu.Victor lalu menyalakan lampu dengan tertawa. “Aku menghemat listrik,” bohong Victor.“Astaga Victor! Kau tidak akan bangkrut hanya karena menyalakan lampu saat malam hari.” Callis sangat tahu kalau sekarang Victor sedang menggodanya.“Aku hanya menyalakan lampu di kamarku.”“Kau menjebakku, Victor,” desis Callis kesal.Victor mengedikkan bahunya. “Kalau kau tidak mau tidur di kamarku, aku akan menguncinya.”“Aku tidur di kamarmu.”***Callis masih terdiam di dalam kamar mandi. Dirinya merasa gugup harus satu kamar dengan Victor. Kenyataan mereka satu kamar sekarang membuatnya—secara tidak sengaja—mengingat malam itu. Walaupun samar, Callis masih meng