Andre terpaku sebentar. Apakah perjuangannya akan selesai di sini? “Kamu mau balikan sama dia?”
Callis menggeleng dengan tegas. “Aku malah pengen dia nggak pernah tahu kalau Reis itu anaknya.”
Walau Callis mengucapkannya dengan nada getir, tak dapat dipungkiri bahwa Andre bersyukur. Setidaknya perjuangannya belum selesai. “Terus habis ini kamu mau gimana?” tanya Andre hati-hati. Dirinya tahu bahwa suasana hati Callis sedang tidak baik.
Callis mengedikkan bahunya. “mungkin aku bakalan kabur lagi, kaya yang dulu-dulu.”
Andre lalu mengenggam tangan Callis. Jika biasanya Callis akan menolak, sekarang Callis hanya bisa pasrah. “Kita lalui ini bareng-bareng, Lis.”
Callis mendongakkan kepalanya, menatap mata Andre yang terlihat bersungguh-sungguh. “Nikah sama aku. Dengan begitu lelaki itu tidak akan lagi menganggu kalian.”
***
Setelah beberapa hari berlalu, Reza membawa
Saat Callis hendak membersihkan luka Victor, dirinya tercekat melihat berkas yang ada di bawah tangan Victor. Callis mengobati tangan Victor dengan tangan bergetar ketakutan. Jika Victor mendapatkan informasi tentang Andre dengan mudah, bukan tidak mungkin Victor juga mendapatkan onformasi tentang Reis.Victor sengaja memiringkan punggung tangannya saat Callis meneteskan betadine di tangannnya. Betadine itu mengotori profil Andre. Dengan tangan masih bergetar, Callis mencoba membersihkan tetesan merah itu dari profil di hadapannya.“Bukankah itu profil calon suamimu?”Callis menunduk dan tidak melanjutkan kegiatannya yang mengobati tangan Victor. tubuhnya menggigil. Bahkan Callis merasa ingin menangis ketakutan di sini. Callis bukan orang yang cengeng, tapi dirinya selalu tidak berdaya jika berada di hadapan Victor. Victor sangat pintar untuk memainkan emosinya.“Kau tahu kan jika aku membencimu. Selain dirimu, tentu saja aku akan mengha
“Aku tahu tentang anak itu,” ucapan Victor membuat bulu kuduk Callis meremang.“Anak apa? Anaknya Mbak Karina?” Callis meletakkan tangannya di belakang tubuhnya. Dirinya tidak ingin Victor melihat tangannya yang sudah bergetar ketakutan.“Aku sudah menebak bahwa kau tidak akan langsung mengaku.” Victor meletakkan dua amplop—yang tadinya tidak disadari oleh Callis—dan meletakkannya di atas meja.Callis menatap kedua amplop itu dengan pandangan bingung. Callis dapat membaca tulisan di amplop itu dengan jelas. Di sana tertera logo rumah sakit dan juga pengadilan tinggi. Hatinya menjadi tidak tenang. Dengan perlahan Callis membuka kedua amplop tersebut.Pengalihan hak asuh anak dan hasil tes DNA.***Pengalihan hak asuh anak dan hasil tes DNA.Callis menatap Victor tak percaya. Victor terlihat sama sekali tidak terganggu dengan pandangan Callis padanya. Callis kembali mengalihkan panda
Detik pertama panggilan itu tersambung, Callis sudah mendengarkan bentakan Victor. dari nada bicaranya, sepertinya Victor benar-benar marah. Tangan Callis bahkan sampai bergetar dibuatnya. “Ak-aku…” Callis kehilangan suaranya. Walaupun di balik panggilan, Callis seperti dapat merasakan aura kemarahan Victor.Lantas ada mobil hitam yang berhenti di depannya. Kaca mobil tebuka, pria di balik kemudi adalah pria yang sama dengan lelaki yang tadi menatapnya di café. [Masuklah ke mobil itu dan jangan coba-coba mengelak atau kau akan menyesal,” desis Victor lalu memutuskan panggilan begitu saja.Callis tidak menghiraukan Victor dan hendak menjauhi mobil utusan Victor. “Nona, masuklah. Jika tidak, nyawa anak Anda dalam bahaya,” ucap lelaki itu.Callis menghentikan langkahnya. “Apa maksudmu?”Lelaki itu menatap Callis dengan pandangan tidak enak. “Mr. Barnett nanti akan menjelaskannya. Tolong ikuti saja
Callis menghembuskan nafasnya sebelum turun dari mobil Victor. “Tetaplah di sini. Beri aku waktu lima menit dan aku akan membawa Reis kemari,” ucap Callis. Victor tidak menjawab, tapi dirinya memundurkan kursi mobil dan menyamankan dirinya di sana. Tindakan Victor tersebut Callis anggap sebagai jawaban “ya”.Callis sedikit berbasa basi pada Bunda. “Bunda, aku mau bawa Reis pulang ya,” ucap Callis akhirnya.“Kamu udah selesai dinas luar kotanya?” Callis bahkan lupa jika dirinya membohongi Bunda dengan dinas ke luar kota.“Sudah, Bunda. Ternyata jadwalnya dipercepat,” ucap Callis dengan senyuman. “Omong-omong, Reis di mana ya, Bunda?”“Reis ada di depan, tadi kayanya lagi main di deket gerbang.” Callis mengangguk dan berbalik. “Mau Bunda anter?” tanya Bunda dengan beranjak dari kasurnya. Memang kesehatan Bunda beberapa hari ini sedang tidak baik. Biasanya, kalau
“Victor nyalakan lampunya!” pekik Callis ketakutan, Callis langsung berlari dan memeluk Victor. Beruntungnya dirinya tidak menabrak apapun saat berlari. Callis sangat takut dengan hantu.Victor lalu menyalakan lampu dengan tertawa. “Aku menghemat listrik,” bohong Victor.“Astaga Victor! Kau tidak akan bangkrut hanya karena menyalakan lampu saat malam hari.” Callis sangat tahu kalau sekarang Victor sedang menggodanya.“Aku hanya menyalakan lampu di kamarku.”“Kau menjebakku, Victor,” desis Callis kesal.Victor mengedikkan bahunya. “Kalau kau tidak mau tidur di kamarku, aku akan menguncinya.”“Aku tidur di kamarmu.”***Callis masih terdiam di dalam kamar mandi. Dirinya merasa gugup harus satu kamar dengan Victor. Kenyataan mereka satu kamar sekarang membuatnya—secara tidak sengaja—mengingat malam itu. Walaupun samar, Callis masih meng
Hati Callis rasanya seperti diremas. Banyak spekulasi yang kini hinggap di kepalanya. Tidak ada satupun yang Callis ketahui jawabannya, dan Callis juga tidak ingin mencari jawabannya. Callis takut kecewa jika dirinya terlanjur tahu jawabannya dan ternyata jawaban itu menentang hatinya.Namun, ada satu pertanyaan yang terus berputar di benak Callis. Pertanyaan yang mungkin saja menjelaskan semua pertanyaan lainnya. Pertanyaan yang mungkin memberikan dampak yang sangat besar baginya nanti. Serta, pertanyaan yang tidak ingin dia tanyakan pada Victor karena ketakutannya.Victor membawa Callis ke Sidney sebagai apa?***Callis berjalan dengan tangan kanan menyeret kopernya dan tangan menggandeng tangan kecil Reis. Sebenarnya, koper yang dibawa oleh Callis tidak memuat banyak barang. Callis merasa, Victor hanya penasaran tentangnya dan Reis. Setelah rasa penasarannya hilang, Callis dan Reis akan ditinggal kembali. Jika memang benar hal tersebut akan terjadi, Ca
Callis menatap kedekatan mereka berdua dengan sesak. Apakah dirinya kekasih Victor? Lalu kenapa Victor masih ingin menguasai Reis jika dirinya sudah memiliki kekasih? Apa Victor benar-benar mendekatinya hanya karena balas dendam?“Oh maaf, aku tidak tahu jika wanita ini bersamamu,” ucap Olive dengan menatap Callis. “Siapa mereka, Victor?” tanya Olive dengan menatap Callis dan Reis—yang ada digendongan Victor—secara bergantian.“Dia Callis.” Oh bahkan Victor tidak menyebutkan nama panggilannya untuk Callis di hadapan wanita ini. Sepele memang, tapi entah kenapa Callis menjadi sakit hati.“Dan ini?” tanya Olive dengan menunjuk Reis.“Ini Reis, dia-”“Dia ‘anakku’.” Callis menekankan kata ‘anakku’ dan langsung merebut Reis dari gendongan Victor.*** Callis duduk di
Callis menatap wajah Victor. Wajah Victor terlihat datar. Victor sama sekali tidak terpengaruh dengan tempat ini. Sepertinya, di sini hanya Callis yang masih menyimpan kenangan mereka. Tak apalah. Toh Callis sudah tidak mengharapkan apapun dari Victor. “Kau mau ice cream matcha?” tawar Callis. Sejak saat Callis membelikan Victor ice cream matcha, Victor selalu memesan rasa itu. Victor mengeluarkan seringaian sinis. “Seleraku sudah berubah. Ku rasa semua hal dari tujuh tahun lalu tidak ada apapun lagi.” Callis hanya menunduk. Dirinya hanya menawarkan ice cream pada Victor, tapi kenapa jawaban Victor menusuk hatinya. Andaikan Victor tahu apa yang terjadi pada malam itu, mungkin Victor tidak akan membencinya seperti ini. *** “Callie, kau akan bekerja di TBGroup sebagai asisten pribadiku.” Callis menatap Victor dengan pandangan lelahnya. Lalu Callis mengangguk. “Bisakah kita istirahat sekarang?” Victor memiringkan kepalanya. “Kau t