Resepsionis ini mengangguk dan memaksakan senyum ramah. Bukan tanpa alasan dirinya dongkol kepada lelaki di depannya ini. Pasalnya, dia tahu bahwa sedari tadi, pria ini tidak mendengarkannya berbicara namun malah menatap Callis. Ah dirinya semakin kesal dengan Callis yang selalu mendapatkan perhatian.
Dirinya segera menghubungi Karina, asisten Pak Gunawan. Tak lama, Karina datang dan segera mengantarkan Victor menemui Pak Gunawan. Sebenarnya Karina cukup terkejut karena dirinya melihat lelaki tampan yang mengenakan baju polo dengan jaket dan celana hitam. Untuk ukuran utusan Mr. Nick Roberto, orang ini cukup terlihat santai.
Victor mengikuti Karina dan segera memasuki ruangan Pak Gunawan. Victor segera meminta salinan kontrak tersebut pada Pak Gunawan. Karena jujur saja, kepalanya sudah pusing dan dirinya juga lelah. Setelah mendapatkan salinan kontrak tersebut, Victor menyeringai.
Permainan dimulai.
***
Sudah seminggu Callis dibimbing langsung oleh mantan FOM sebelumnya. Kini, Callis sudah mengerti apa saja tanggung jawab yang ditanggungnya. Semasa pelatihan, Callis sudah menemui beberapa pengunjung yang complain akan fasilitas hotel. Menurut mantan FOM, Callis akan menemui lebih banyak jenis orang lagi di masa depan.
“Hai, Callis. Semangat buat official hari pertamanya,” Karina mengepalkan tangannya dan mengangkatnya ke atas. Memberikan semangat pada Callis yang mulai hari ini benar-benar melalukan tugasnya sendirian, tanpa pendamping dari mantan FOM dan Karina.
Callis menghembuskan nafasnya dan tersenyum. “Semangat!” lirihnya pada Karina dan berjalan memasuki ruangannya. Callis lalu membaca beberapa dokumen yang ada di hadapannya. Ada beberapa tamu VIP yang harus disambutnya nanti. Callis membaca dengan seksama. Tidak ada yang dilewatkannya satupun.
Setelah membaca beberapa profil tamu VIP, Callis sempat melirik laporan tentang direktur pengganti Mr. Roberto. Belum sempat Callis membuka laporan itu, Dina, salah satu resepsionis depan, memanggil Callis karena direktur pengganti Mr. Roberto akan segera datang. Callis sendiri merasa gugup. Pasalnya dia sama sekali belum menyentuh profil tersebut sama sekali.
Dengan sedikit terburu-buru menuju lobby. Callis memberikan sedikit pengarahan pada karyawan di departemennya. Sementara itu, Callis didampingi manager bersiap menyambut pengganti Mr. Roberto di barisan terdepan. Sialnya, Callis tidak tahu nama pengganti tersebut.
“Mohon maaf, Pak. Siapa nama…”
Ucapan Callis terpotong saat manager hotel meletakkan jari telunjuknya di bibir. Callis yang tahu isyarat dari manager langsung diam. Pengganti Mr. Roberto sudah datang.
Callis membelalakkan matanya saat matanya bertubrukan dengan mata hijau dengan abu itu. Sontak saja jantung Callis berdetak tak karuan. Di antara jutaan manusia di dunia, kenapa harus dia? Callis segera menormalkan wajahnya. Berharap lelaki itu tidak mengenalinya. Dan sepertinya benar, lelaki itu tidak mengenalinya. Lelaki itu hanya melihat Callis sekilas dan kembali fokus pada manager hotel.
Manager hotel menjelaskan beberapa hal tentang hotel ini. Harusnya Callis membantu manager hotel dalam mejelaskan seluk beluk hotel. Namun suara Callis kelu. Hal yang dibutuhkan Callis saat ini hanya pegangan. Kaki Callis terasa seperti jelly. Dirinya tidak bisa berdiri dengan benar saat ini.
“Siapa dia?”
“Maafkan saya, Mr. Barnett. Perkenalkan saya Callista Efigenia. Call me Callis. Saya front office manager di sini,” Callista berdoa, semoga Mr. Barnett tidak mengenali namanya. Bukankah tujuh tahun waktu yang cukup untuk melupakan sebuah nama?
“Bukankah tugas front office manager untuk memanduku? Kenapa kau hanya diam?” ucapan Mr. Barnett terdengar dingin.
“Maafkan saya, Mr. Barnett,” Callis menundukkan kepalanya merasa bersalah. “Mari saya antar ke ruangan Anda,” Callis mempersilahkan Mr. Barnett untuk mengikutinya.
“Callis, tolong kamu handle ya. Saya ada urusan sebentar,” manager hotel meminta Callis. Hal tersebut tentu saja membuat Callis lebih gugup lagi. Namun apalah daya, Callis harus menyetujui ucapan manager hotel.
Saat kami memasuki ruangan direktur, Mr. Barnett meminta jajaran direksi yang tadi mengikutinya untuk melanjutkan urusan mereka sendiri-sendiri. Di ruangan direktur hanya tinggal mereka berdua, Mr. Barnett dan Callis. Wajah Mr. Barnett langsung datar ketika ruangan itu sudah tertutup. Callis yang menyadari perubahan wajah Mr. Barnett memundurkan langkahnya.
Mr. Barnett yang duduk di meja kerjanya hanya menatap Callis dengan wajah tanpa ekspresinya dan menyilangkan tangannya di dada. “Kenapa hotel ini bisa memilih front office manager yang tidak kompeten seperti ini?”
Callis yang merasa tersinggung sontak menengadahkan kepalanya menatap Mr. Barnett. “Maaf sebelumnya, tapi bagian mana dari saya yang tidak kompeten. Untuk persoalan tadi saya minta maaf. Saya rasa, manager hotel lebih berhak berbicara kepada saya. Tapi sekarang, kenapa Anda—dengan seenaknya—mengatakan saya tidak kompeten?”
Mr. Barnett mengeluarkan senyum miringnya. “Apa kau tidak mengenalku?”
Callis merasa aliran darahnya berhenti sejenak. Dikiranya, pria di hadapannya ini tidak mengenalnya. Ternyata dia salah. Lelaki ini mengingatnya!
“Anda Mr. Barnett. Direktur pengganti Mr. Roberto,” ucap Callis dengan gugup. Jika saja pria itu tidak mengenalnya, sepertinya akan lebih mudah bagi Callis.
“You know what I mean, Callie,” Mr. Barnett menekankan kata Callie. Nama panggilan dan hanya dirinya yang boleh menyebut nama itu.
“A… Sepertinya Anda salah mengenali orang. Saya permisi,” Callista segera memundurkan tubuhnya dan segera meraih pintu ruangan Mr. Barnett.
Sial! Pintunya terkunci.
“Melihat reaksimu, sepertinya aku tidak salah orang,” tubuh Callis merinding saat merasakan hembusan nafas di tengkuknya. Callis sama sekali tidak berani untuk membalikkan tubuhnya. “Apa aku harus mengingatkanmu? Malam panas itu? Apa kau mau aku melakukannya lagi?”
Callis menggeleng pelan. Baginya, malam itu adalah neraka baginya. Dia sama sekali tidak ingin kembali merasakannya. “Maafkan aku, Mr. Barnett. Tapi bisakah kau melepaskanku? Aku memiliki banyak pekerjaan dan kau pun begitu,” ucap Callis hati-hati.
Mr. Barnett membalikkan tubuh Callis. Callis langsung memejamkan matanya saat merasakan punggung tubuhnya terhentak di pintu yang tertutup. Bahkan sekarang wajahnya panas karena hembusan nafas Mr. Barnett. “Katakan padaku, apa yang harus kulakukan pada pengkhianat sepertimu?” desis Mr. Barnett yang terdengar menyeramkan.
“A… Saya minta maaf. Saya akan mengundurkan diri dari hotel ini. Saya tidak akan muncul lagi di kehidupanmu. Kita lupakan saja masa lalu kita,” Callis mengatakannya dengan suara bergetar dan masih memejamkan matanya.
“Bagaimana kalau aku ingin membalas semuanya? Kita jadikan saja hidupmu menjadi neraka. Bukankah itu menarik?”
Callis menggeleng pelan. Sekeluarnya dirinya di sini, dia akan segera membuat surat pengunduran diri. Saat menandatangani kontrak kerja, sekilas dirinya melihat dendanya. Sekitar 125 juta. Sepertinya dirinya bisa meminjam uang tersebut. Daripada hidup di bawah perintah orang yang jelas-jelas membencinya, Callis memilih untuk berutang ke sana-sini. Apalagi, kehadiran pria ini bisa mengancam kehidupan Ries.
“Setelah ini saya akan keluar dari hotel ini. Tolong maafkan saya. Saat itu saya benar-benar tidak tahu.”
Mr. Barnett masih enggan untuk melepaskan kukungannya dari Callis. “Kau mau resign? Apakah kau tahu konsekuensinya?”
Callis menganggukkan kepalanya. “Saya akan mencari pinjaman untuk membayarkan denda itu secepatnya,” ucap Callis ragu. Uang sebanyak itu, dari mana dirinya akan mendapatkannya?
Mr. Barnett tersenyum miring. “Sudah kuduga. Kau akan seceroboh ini untuk tidak membaca kotrak itu dengan baik.”
Dalam hati Callis, dirinya merasa dipermainkan. Ternyata kenaikan jabatannya bukan karena kinerjanya, namun karena campur tangan lelaki di hadapannya ini. Ingin sekali dirinya marah. Tapi sekarang Callis berada pada posisi terhimpit. Callis tidak boleh bertindak gegabah.
Mr. Barnett memberi jarak pada Callis dan menuju ke meja kerjanya. Callis sedikit bisa bernafas saat itu. Mr. Barnett melemparkan kontrak kerja yang Callis duga adalah miliknya. “Bacalah kontrak itu dengan teliti.”
Dengan langkah ragu Callis mendekati meja kerja Mr. Barnett dan membaca dengan teliti kontrak kerja itu. Tubuh Callis menjadi lemas saat membaca denda yang tercantum di sana. Callis menyesal saat itu terburu-buru untuk menandatangani kontrak itu tanpa menelitinya secara seksama.
Jika pihak kedua mengakhiri kontrak kerja secara sepihak sebelum masa kontrak berakhir, pihak kedua dikenakan denda sebesar Rp 125.000.000,00 serta kurungan penjara selama enam bulan.
Callis merasa dibohongi. “Ini tidak adil. Ini termasuk eksploitasi tenaga kerja!” ucap Callis dengan menatap Mr. Barnett berani.
Mr. Barnett mengedikkan bahunya tak acuh. “Bukankah kau sudah menandatanganinya? Itu berarti kau setuju dengan isi kontrak ini beserta dendanya.”
Jika saja Callis tidak memiliki Reis, dia rela dipenjara selama enam bulan. Tapi dia tidak mungkin meninggalkan Reis sendirian. “Kenapa kontrak ini berubah? Bukankah kontrak kerja di sini harusnya tidak seperti ini? Mr. Barnett kau sungguh keterlaluan.”
“Bukankah sudah ku katakan bahwa aku ingin membalaskan dendamku padamu? Lebih baik kau ikuti saja permainan ini.”
Saat mengenal Mr. Barnett dulu, Callis tahu bahwa pria di hadapannya ini tidak bisa di ajak bicara dengan keras. Callis melembutkan wajahnya. “Apakah jika saya mengatakan yang sebenarnya kau akan percaya?”
Dengan wajah datarnya, Callis dapat melihat kilatan mata Mr. Barnett yang berkobar. “Kau ingin aku percaya dengan pengkhianat sepertimu?” desis Mr. Barnett dengan penuh penekanan di setiap katanya. Callis bahkan sedikit ketakutan mendengar aura yang dikeluarkan Mr. Barnett. Tentu saja Callis tidak menunjukkan ketakutannya. Bisa-bisa lelaki di depannya ini semakin besar kepala.
“Saya tidak pernah berbohong. Saat itu saya juga dijebak. Tolong percaya pada saya,” Callis menelengkupkan tangannya di depan dada. Meminta belas kasih dari Mr. Barnett. Di dalam hatinya, Callis mengumpat dan mengatai atasannya ini. Tidak bisakah dirinya mendengar apa yang sebenarnya terjadi malam itu?
“Hentikan omong kosongmu dan keluarlah dari ruanganku. Jika kau memilih resign, aku akan lebih menghancurkan hidupmu lagi.”
Callis tidak memiliki pilihan lagi. Dirinya harus merelakan ketenangan hidupnya agar Mr. Barnett tidak sampai mengetahui keberadaan Reis. Sepertinya dirinya harus kembali membatasi kehidupan sosial Reis.
Maafkan Mommy, Reis.
Dengan wajah datarnya, Callis dapat melihat kilatan mata Mr. Barnett yang berkobar. “Kau ingin aku percaya dengan pengkhianat sepertimu?” desis Mr. Barnett dengan penuh penekanan di setiap katanya. Callis bahkan sedikit ketakutan mendengar aura yang dikeluarkan Mr. Barnett. Tentu saja Callis tidak menunjukkan ketakutannya. Bisa-bisa lelaki di depannya ini semakin besar kepala.“Saya tidak pernah berbohong. Saat itu saya juga dijebak. Tolong percaya pada saya,” Callis menelengkupkan tangannya di depan dada. Meminta belas kasih dari Mr. Barnett. Di dalam hatinya, Callis mengumpat dan mengatai atasannya ini. Tidak bisakah dirinya mendengar apa yang sebenarnya terjadi malam itu?“Hentikan omong kosongmu dan keluarlah dari ruanganku. Jika kau memilih resign, aku akan lebih menghancurkan hidupmu lagi.”Callis tidak memiliki pilihan lagi. Dirinya harus merelakan ketenangan hidupnya agar Mr. Barnett tidak sampai mengetahui keberadaan
Sesampainya di presidential suite milik Nick, Victor baru melepaskan rangkulannya. Namun Victor tetap menggenggam tangan Callie. “Lakukan tugasmu,” Victor lalu melemparkan kartu suite itu kepada Callie.Dengan sigap Callie langsung menangkapnya. Dengan gugup Callie membuka pintu suite itu. Callie melakukannya dengan sangat lamban. “Gugup, eh?”Ejekan Victor tentu saja menggores harga diri Callie. Walaupun sebenarnya Callie sudah tidak punya muka di hadapan Victor mengingat bagaimana Victor mengintimidasinya tadi. Namun Callie harus tetap mempertahankan sisa-sisa harga dirinya di hadapan Victor. Jika Victor tidak ingin mendengar sedikitpun penjelasannya, jangan harap Callie akan bersikap baik kepadanya.“Saya tidak gugup, Mr. Barnett,” Callie menatap mata Victor. Callie mencoba dengan keras agar tidak goyah saat beradu mata dengan mata Victor. Tatapan mata Victor sangat tajam… serta memabukkan.
Victor hanya menatap Callie dengan dalam. Baik Victor maupun Callie tidak mengatakan apapun. Mereka berdua hanyut ke dalam tatapan mereka sendiri. Kerinduan, kebencian, dan kegelisahan menjadi satu. Mereka sedang membagikan luka mereka selama tujuh tahun ini melalui tatapan satu sama lain.Tanpa dapat ditahan, Callie meloloskan satu air dari mata hazelnya. Mata yang memang sudah jernih itu terlihat semakin bersinar karena pantulan cahaya pada air matanya. Sejujurnya, saat ini Callie sangat ingin mencurahkan semua kesedihannya yang telah dirinya lalui. Mulai dari menjadi ibu tunggal bagi Reis, hingga dirinya harus tidur di jalanan karena kehabisan uang. Tapi lidahnya sangat kelu mengingat Victor masih menganggapnya sebagai pengkhianat.“Aku sungguh membencimu hingga aku ingin mengajakmu ke neraka,” ucapan tajam Victor menusuk tepat di hati Callie.***Callis segera pamit setelah dirinya mendengar ucapan dari Victor. Satu menit saja Callis di sa
“Reis sama mama aja, ya,” Callis lalu memberikan Reis ke gendongan Karina. Karina yang masih shock dengan keadaan pun langsung menerima Reis tanpa basa basi. “Mama…” Reis menyamankan tidurnya di gendongan Karina. “See? Dia anaknya Karina dan lelaki di hadapannya.” Victor masih tidak dapat mempercayai ucapannya. Pasalnya, anak lelaki itu sama sekali tidak mirip dengan Karina, bahkan lelaki itu. Tapi Victor hanya diam. Victor tahu dirinya tidak akan mendapatkan jawaban apapun sekarang, sekalipun dirinya memaksa Callis. Victor mengangkat bahunya tak acuh lalu memasuki mobilnya. Setelah mobil Victor berbelok, Callis lalu memegang pundak Andre untuk menopang tubuhnya yang terasa lemas. Semoga saja Victor percaya. Beruntunglah Reis dari dulu memanggil Karina dengan panggilan mama. Paling tidak, hal tersebut membantunya untuk saat ini. “Kirimkan aku profil Karina dan Callista.” *** Callis masih terpikirkan kejadian t
Andre terpaku sebentar. Apakah perjuangannya akan selesai di sini? “Kamu mau balikan sama dia?”Callis menggeleng dengan tegas. “Aku malah pengen dia nggak pernah tahu kalau Reis itu anaknya.”Walau Callis mengucapkannya dengan nada getir, tak dapat dipungkiri bahwa Andre bersyukur. Setidaknya perjuangannya belum selesai. “Terus habis ini kamu mau gimana?” tanya Andre hati-hati. Dirinya tahu bahwa suasana hati Callis sedang tidak baik.Callis mengedikkan bahunya. “mungkin aku bakalan kabur lagi, kaya yang dulu-dulu.”Andre lalu mengenggam tangan Callis. Jika biasanya Callis akan menolak, sekarang Callis hanya bisa pasrah. “Kita lalui ini bareng-bareng, Lis.”Callis mendongakkan kepalanya, menatap mata Andre yang terlihat bersungguh-sungguh. “Nikah sama aku. Dengan begitu lelaki itu tidak akan lagi menganggu kalian.”***Setelah beberapa hari berlalu, Reza membawa
Saat Callis hendak membersihkan luka Victor, dirinya tercekat melihat berkas yang ada di bawah tangan Victor. Callis mengobati tangan Victor dengan tangan bergetar ketakutan. Jika Victor mendapatkan informasi tentang Andre dengan mudah, bukan tidak mungkin Victor juga mendapatkan onformasi tentang Reis.Victor sengaja memiringkan punggung tangannya saat Callis meneteskan betadine di tangannnya. Betadine itu mengotori profil Andre. Dengan tangan masih bergetar, Callis mencoba membersihkan tetesan merah itu dari profil di hadapannya.“Bukankah itu profil calon suamimu?”Callis menunduk dan tidak melanjutkan kegiatannya yang mengobati tangan Victor. tubuhnya menggigil. Bahkan Callis merasa ingin menangis ketakutan di sini. Callis bukan orang yang cengeng, tapi dirinya selalu tidak berdaya jika berada di hadapan Victor. Victor sangat pintar untuk memainkan emosinya.“Kau tahu kan jika aku membencimu. Selain dirimu, tentu saja aku akan mengha
“Aku tahu tentang anak itu,” ucapan Victor membuat bulu kuduk Callis meremang.“Anak apa? Anaknya Mbak Karina?” Callis meletakkan tangannya di belakang tubuhnya. Dirinya tidak ingin Victor melihat tangannya yang sudah bergetar ketakutan.“Aku sudah menebak bahwa kau tidak akan langsung mengaku.” Victor meletakkan dua amplop—yang tadinya tidak disadari oleh Callis—dan meletakkannya di atas meja.Callis menatap kedua amplop itu dengan pandangan bingung. Callis dapat membaca tulisan di amplop itu dengan jelas. Di sana tertera logo rumah sakit dan juga pengadilan tinggi. Hatinya menjadi tidak tenang. Dengan perlahan Callis membuka kedua amplop tersebut.Pengalihan hak asuh anak dan hasil tes DNA.***Pengalihan hak asuh anak dan hasil tes DNA.Callis menatap Victor tak percaya. Victor terlihat sama sekali tidak terganggu dengan pandangan Callis padanya. Callis kembali mengalihkan panda
Detik pertama panggilan itu tersambung, Callis sudah mendengarkan bentakan Victor. dari nada bicaranya, sepertinya Victor benar-benar marah. Tangan Callis bahkan sampai bergetar dibuatnya. “Ak-aku…” Callis kehilangan suaranya. Walaupun di balik panggilan, Callis seperti dapat merasakan aura kemarahan Victor.Lantas ada mobil hitam yang berhenti di depannya. Kaca mobil tebuka, pria di balik kemudi adalah pria yang sama dengan lelaki yang tadi menatapnya di café. [Masuklah ke mobil itu dan jangan coba-coba mengelak atau kau akan menyesal,” desis Victor lalu memutuskan panggilan begitu saja.Callis tidak menghiraukan Victor dan hendak menjauhi mobil utusan Victor. “Nona, masuklah. Jika tidak, nyawa anak Anda dalam bahaya,” ucap lelaki itu.Callis menghentikan langkahnya. “Apa maksudmu?”Lelaki itu menatap Callis dengan pandangan tidak enak. “Mr. Barnett nanti akan menjelaskannya. Tolong ikuti saja