Aku meregangkan otot punggungku sebelum aku benar-benar berdiri dari kursiku. Setelah seharian berkutat dengan pekerjaanku—yang sepertinya—tidak akan ada habisnya, aku memilih untuk langsung pulang, alih-alih mengikuti teman kerjaku untuk bersama-sama melepas penat di salah satu café dekat hotel. Masih ada satu lagi tanggung jawabku yang sudah menanti.
“Callis, lu nggak mau nongki dulu?” tanya Raya, salah satu temanku.
Aku menggeleng. “Nggak dulu Ray. Masih ada urusan.”
Raya sedikit memberengut. “Lu nggak pernah ikut, Call. Sekali-kali lah main bareng yang lain.”
Aku tertawa. “Gue orang sibuk,” setelah mengatakan itu, aku beranjak dari meranjak dari belakang meja resepsionis.
Sebelum pulang, aku tadi sudah memesan taksi online. Walaupun memakan biaya yang cukup mahal, namun tiap berangkat dan pulang kerja aku harus menggunakan taksi agar anakku merasa nyaman. Aku juga tidak keberatan, toh aku bukan wanita yang suka menghamburkan uang untuk berbelanja. Jarak hotel tempatku kerja dengan sekolah anakku cukup dekat. Beruntunglah aku. Apalagi sekolah ini fullday sehingga aku tidak perlu mencari daycare lagi untuk anakku.
“Mommy!” Teriakan itu langsung memenuhi telingaku begitu aku keluar dari taksi online setelah meminta sopir taksi untuk menungguku. Aku berjongkok dan merentangkan tanganku untuk dipeluk olehnya.
“Hi, Boy. Kamu tunggu Mommy dulu ya. Mommy mau ngobrol dulu sama Bu Dara,” aku melepaskan pelukan kami dan mengelus kepalanya pelan.
“Aye aye captain,” dia memberiku hormat dan aku balas mencubit pipinya gemas.
“Mari, Bu,” Bu Dara—yang tadi mengikuti anakku keluar—mempersilahkanku untuk memasuki kantornya.
Setelah kami berbasa-basi singkat, Bu Dara menyodorkan selembar formulir kepadaku. Formulir tersebut berisi tentang data diri wali dan siswa. Aku mengisi menyoretkan tinta di data diri ibu siswa. Setelah itu, aku juga mengisi data diri dari anakku. Selanjutnya, aku menatap ragu pada data diri ayah yang harus aku isi.
Callista Efigenia. 26 Tahun.
Aku akhirnya menuliskan data diriku di formulir ayah. Bu Dara hanya diam dan tersenyum kalem kepadaku. Aku tahu, Bu Dara tidak sekepo itu hingga mempertanyakan, kenapa aku hanya mengisi data diriku di kedua formulir itu. dan aku sangat bersyukur akan hal itu.
“Jadi gimana perkembangan Ries akhir-akhir ini, Bu Dara?” tanyaku.
“Dibandingkan satu tahun yang lalu—tahun di mana Ries baru memasuki sekolah ini—Ries mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ries sudah mulai membuka dirinya dan ikut bermain dengan anak lainnya. Namun beberapa kali saya mengetahui ada anak yang mengejek warna mata Ries. Tapi untuk sekarang, Ries sudah bisa bersikap santai atas ejekan itu. bahkan dirinya mulai membanggakan warna matanya,” Bu Dara menjelaskan padaku tentang perkembangan dari Ries, anakku.
Yups. Aku baru pindah kembali ke Indonesia setelah sebelumnya aku tinggal di Singapura. Aku memilih kembali ke Indonesia karena aku sudah merindukan tanah airku. Setelah aku berkuliah di Australia dan tinggal di Singapura setelah lulus, aku sangat merindukan masakan Indonesia. Di dua negara itu, masakan Indonesia sangatlah mahal sehingga aku harus berpikir dua kali untuk membelinya.
“Warna mata…” Lirihku.
Ries memiliki wajah dengan dominasi wajahku. Namun, mata Ries merupakan turunan dari mata lelaki itu. Ries adalah diriku versi miniboy dengan mata lelaki itu. Dan itulah yang sangat aku takutkan. Setahuku, warna mata Ries sangat jarang ditemui. Dan apabila ditemukan, itu berarti pemilik mata itu ada kemungkinan merupakan keturunan dari lelaki itu. saat ini, Aku hanya bisa berdoa agar Riesku tidak pernah bertemu dengannya.
Awalnya aku bersyukur saat aku melahirkan Ries karena bola matanya yang berwarna hijau emerald. Namun diusianya yang beberapa bulan, aku harus menahan Ries di rumah dan tidak bertemu dengan orang banyak karena mata Ries yang perlahan berubah menjadi warna yang mirip dengan warna mata lelaki itu. Percayalah, aku sangat hancur kala itu. Perubahan warna mata Ries bagaikan bom dalam hidupku. Dan sejak saat itu, Ries dan aku hanya berdiam diri di rumah dan mengandalkan uang beasiswaku untuk hidup.
Saat aku di Australia, benar-benar merasa seperti berada di penjara. Maksudku, aku mengisolasi diriku dari dunia luar. Bahkan, seingatku aku tidak memiliki teman yang benar-benar teman di sana. Aku juga tidak pernah mengikuti kegiatan apapun. Setiap hari aku selalu berharap agar diriku tidak dipertemukan oleh lelaki itu. Sejujurnya, aku bahkan tidak mengetahui nama lelaki itu. Namun aku sangat ingat dengan jelas bagaimana rupanya, serta nama belakangnya yang terkenal itu. Bisa saja aku mencari tahu namanya. Namun aku lebih memilih untuk mengeluarkan diriku dari lingkungan sekitarnya. Beruntunglah pada saat itu, aku hanya tinggal satu semester, sehingga aku langsung terbang ke Singapura setelah aku mendapatkan ijazah.
“Bu Callisa…” Tepukan Bu Dara di bahuku menyadarkanku dalam lamunanku. Aku meminta maaf kepadanya karena aku sempat melamun. Bu Dara hanya menganggukkan kepalaku dan memaklumi diriku. Setelah mendengar perkembangan dari Ries. Aku pamit kepada Bu Dara. Beliau juga mengantarkanku ke depan gerbang sekolah.
Aku menghampiri Ries yang sedang mengobrol dengan Pak Satpam. Setelah berpamitan dengan Pak Satpam dan Bu Dara, aku memasuki taksi bersama Ries. Tak lupa, aku juga meminta maaf kepada Pak Satpam yang telah menungguku cukup lama.
Selama perjalanan, Ries menceritakan kehidupan bersekolahnya kepadaku. Saat Ries bercerita, aku selalu menempatkan diriku untuk menjadi temannya. Semata-mata agar dia lebih nyaman bercerita denganku.
“Mommy. Soflent itu apa?” Tanya Ries kepadaku.
Aku memiringkan kepalaku menatapnya. “Kamu tau dari mana kata soflent?” Tanyaku bingung. Pasalnya aku tidak pernah mengajarkan kata itu.
“Tadi pas di sekolah, Tiara nanya Reis. Kenapa Reis pake soflent.”
Aku menganggukkan kepalaku paham. Lalu kuelus kepala Reis. Entahlah. Mengelus kepala Reis pada saat aku memberitahukannya hal baru sudah menjadi kebiasaanku.
“Soflent itu alat yang ada di mata. Kalo Reis make soflent biru, warna mata Reis jadi biru. Paham?” Tanyaku setelah ku jelaskan secara singkat. Sejujurnya, aku juga bingung bagaimana menyederhanakan pengertian soflent pada Reis.
Reis menganggukkan kepalanya serius. Lalu dia menatapku. “Reis nggak paham, Mom,” lalu dia tertawa.
Aku ikut tertawa gemas melihatnya. Dengan tampangnya yang serius tadi. Ku kira Reis sudah memahami perkataanku. Ternyata zonk.
Setelah tawa kami reda, Reis menyentuh kelopak mataku dan aku refleks menutup mata. “Mata Mommy warnanya coklat. Kenapa warna mata Reis gini?”
“Warna mata Reis spesial. Jadi, kecuali di sekolah dan pergi sama Mommy, Reis harus pake kaca mata hitam ya,” ucapku.
Reis menelengkan kepalanya menatapku. “Kalo spesial harus dipamerin dong, Mom. Biar semua orang tau kalo Reis punya mata spesial.”
“Malah yang yang spesial yang harus dijaga. Nanti kalo dipamerin banyak yang iri. Reis nggak mau kan kalo matanya diambil orang?” Sebenarnya aku bergidik juga mendengarkan ucapanku sendiri. tidak bisa membayangkan bagaimana jika mata Ries betulan hilang. Aku menggelengkan kepalaku. Ngeri juga.
Dengan gemas Ries menutup kedua matanya dan menggelengkan kepalanya. “Nggak. Ries nggak mau, Mom. Nanti Ries nggak punya mata lagi.”
Aku terkekeh dan menarik turun tangan Ries. Sejujurnya, aku tidak terlalu mengkhawatirkan bahwa ada orang yang akan mengenali mata Ries karena setahuku, perusahaan raksasa milik keluarganya belum memasuki pasar Indonesia—walaupun aku tidak terlalu yakin, mengingat aku bukan orang ekonomi yang memperhatikan pasar dan perekonomian di Indonesia. Semoga saja tidak pernah.
Setelah aku membayar argo taksi. Aku dan Reis turun dan memasuki rumah sederhana kami. Setahun yang lalu, aku mengontrak rumah ini saat harganya sedang turun. Mungkin, jika pemilik rumah ini menerapkan harga normal, aku tidak bisa mengontraknya. Namun pada saat itu, pemilik rumah membutuhkan pengontrak cepat karena dirinya harus cepat-cepat pindah ke luar kota bersama anaknya, atau entahlah. Aku tidak terlalu paham juga. Yang kuingat, pemilik rumah ini memberikanku potongan harga hingga 25%. Dan aku seketika merasa mendapatkan durian jatuh.
Setiap aku memasuki rumah, tak lupa aku berdoa pada Tuhan agar tidak dipertemukan lagi dengannya…
Setelah Callis membayar argo taksi. Callis dan Reis turun dan memasuki rumah sederhana mereka. Setahun yang lalu, Callis mengontrak rumah ini saat harganya sedang turun. Mungkin, jika pemilik rumah ini menerapkan harga normal, Callis tidak bisa mengontraknya. Namun pada saat itu, pemilik rumah membutuhkan pengontrak cepat karena dirinya harus cepat-cepat pindah ke luar kota bersama anaknya, atau entahlah. Callis tidak terlalu paham juga. Yang kuingat, pemilik rumah ini memberikan Callis potongan harga hingga 25%. Dan Callis seketika merasa mendapatkan durian jatuh.Setiap Callis memasuki rumah, tak lupa Callis berdoa pada Tuhan agar tidak dipertemukan lagi dengannya…***Reis menyentuh kelopak mataku dan aku refleks menutup mata. “Mata Mommy warnanya coklat. Kenapa warna mata Reis gini?”"Warna mata Reis spesial. Jadi, kecuali di sekolah dan pergi sama Mommy, Reis harus pake kaca mata hitam ya,” ucapku.Re
Victor mengambil gelang emas simple dengan satu liontin bintang di tengahnya. Mata Victor menggelap saat menatap gelang ini. Victor sangat membenci pemilik gelang ini, tapi dia tak ingin memusnahkan gelang ini. Bagi Victor, pemilik gelang ini merupakan pengkhianat terbesar dalam hidupnya. Tujuh tahun lalu, Victor merasa dikhianati dengan sangat. Saat ini, mungkin Victor akan menyusun rencana untuk membalaskan dendamnya pada pemilik gelang ini. Setiap kali ada pengkhianat di perusahaannya, dirinya selalu mengingat pemilik gelang ini. Wajah polos—sok polos—itu menghantui pikirannya. Sangat menjijikkan jika dirinya harus dibayangi wajah ular itu. Victor menggenggam gelang itu sebelum melemparkan membali gelang tersebut ke dalam laci paling bawah meja kerjanya.
“Pulanglah, Adam. Semua laporan sudah kau periksa. Sebentar lagi aku istirahat,” Victor melihat jam dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Dirinya merasa telah mengeksploitasi pekerja.“Sebentar lagi, tuan. Anda istirahatlah dulu. Besok Anda mengambil penerbangan pagi.”“Pulanglah. Besok kau tak perlu mengantarku. Tolong jaga mommy dan daddy selama aku tidak di sini.”Adam mengangguk dan meregangkat otot tubuhnya. Dia dari tadi memang menahan kantuknya. Setelah berpamitan dengan Victor, Adam melangkahkan kakinya keluar dari apartemen milik Victor.Sedangkan Victor, kini dirinya sedang menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Matanya masih terfokus pada laporan yang diberikan oleh Dave di ponselnya. Victor menghafal setiap informasi yang ada di sana. Khusus untuk Callista, dia akan sedikit bermain-main dengannya. Mengingat kepribadian Callista dulu, sepertinya mempermainkan Call
Resepsionis ini mengangguk dan memaksakan senyum ramah. Bukan tanpa alasan dirinya dongkol kepada lelaki di depannya ini. Pasalnya, dia tahu bahwa sedari tadi, pria ini tidak mendengarkannya berbicara namun malah menatap Callis. Ah dirinya semakin kesal dengan Callis yang selalu mendapatkan perhatian.Dirinya segera menghubungi Karina, asisten Pak Gunawan. Tak lama, Karina datang dan segera mengantarkan Victor menemui Pak Gunawan. Sebenarnya Karina cukup terkejut karena dirinya melihat lelaki tampan yang mengenakan baju polo dengan jaket dan celana hitam. Untuk ukuran utusan Mr. Nick Roberto, orang ini cukup terlihat santai.Victor mengikuti Karina dan segera memasuki ruangan Pak Gunawan. Victor segera meminta salinan kontrak tersebut pada Pak Gunawan. Karena jujur saja, kepalanya sudah pusing dan dirinya juga lelah. Setelah mendapatkan salinan kontrak tersebut, Victor menyeringai.Permainan dimulai.***Sudah seminggu Callis dibimbing lan
Dengan wajah datarnya, Callis dapat melihat kilatan mata Mr. Barnett yang berkobar. “Kau ingin aku percaya dengan pengkhianat sepertimu?” desis Mr. Barnett dengan penuh penekanan di setiap katanya. Callis bahkan sedikit ketakutan mendengar aura yang dikeluarkan Mr. Barnett. Tentu saja Callis tidak menunjukkan ketakutannya. Bisa-bisa lelaki di depannya ini semakin besar kepala.“Saya tidak pernah berbohong. Saat itu saya juga dijebak. Tolong percaya pada saya,” Callis menelengkupkan tangannya di depan dada. Meminta belas kasih dari Mr. Barnett. Di dalam hatinya, Callis mengumpat dan mengatai atasannya ini. Tidak bisakah dirinya mendengar apa yang sebenarnya terjadi malam itu?“Hentikan omong kosongmu dan keluarlah dari ruanganku. Jika kau memilih resign, aku akan lebih menghancurkan hidupmu lagi.”Callis tidak memiliki pilihan lagi. Dirinya harus merelakan ketenangan hidupnya agar Mr. Barnett tidak sampai mengetahui keberadaan
Sesampainya di presidential suite milik Nick, Victor baru melepaskan rangkulannya. Namun Victor tetap menggenggam tangan Callie. “Lakukan tugasmu,” Victor lalu melemparkan kartu suite itu kepada Callie.Dengan sigap Callie langsung menangkapnya. Dengan gugup Callie membuka pintu suite itu. Callie melakukannya dengan sangat lamban. “Gugup, eh?”Ejekan Victor tentu saja menggores harga diri Callie. Walaupun sebenarnya Callie sudah tidak punya muka di hadapan Victor mengingat bagaimana Victor mengintimidasinya tadi. Namun Callie harus tetap mempertahankan sisa-sisa harga dirinya di hadapan Victor. Jika Victor tidak ingin mendengar sedikitpun penjelasannya, jangan harap Callie akan bersikap baik kepadanya.“Saya tidak gugup, Mr. Barnett,” Callie menatap mata Victor. Callie mencoba dengan keras agar tidak goyah saat beradu mata dengan mata Victor. Tatapan mata Victor sangat tajam… serta memabukkan.
Victor hanya menatap Callie dengan dalam. Baik Victor maupun Callie tidak mengatakan apapun. Mereka berdua hanyut ke dalam tatapan mereka sendiri. Kerinduan, kebencian, dan kegelisahan menjadi satu. Mereka sedang membagikan luka mereka selama tujuh tahun ini melalui tatapan satu sama lain.Tanpa dapat ditahan, Callie meloloskan satu air dari mata hazelnya. Mata yang memang sudah jernih itu terlihat semakin bersinar karena pantulan cahaya pada air matanya. Sejujurnya, saat ini Callie sangat ingin mencurahkan semua kesedihannya yang telah dirinya lalui. Mulai dari menjadi ibu tunggal bagi Reis, hingga dirinya harus tidur di jalanan karena kehabisan uang. Tapi lidahnya sangat kelu mengingat Victor masih menganggapnya sebagai pengkhianat.“Aku sungguh membencimu hingga aku ingin mengajakmu ke neraka,” ucapan tajam Victor menusuk tepat di hati Callie.***Callis segera pamit setelah dirinya mendengar ucapan dari Victor. Satu menit saja Callis di sa
“Reis sama mama aja, ya,” Callis lalu memberikan Reis ke gendongan Karina. Karina yang masih shock dengan keadaan pun langsung menerima Reis tanpa basa basi. “Mama…” Reis menyamankan tidurnya di gendongan Karina. “See? Dia anaknya Karina dan lelaki di hadapannya.” Victor masih tidak dapat mempercayai ucapannya. Pasalnya, anak lelaki itu sama sekali tidak mirip dengan Karina, bahkan lelaki itu. Tapi Victor hanya diam. Victor tahu dirinya tidak akan mendapatkan jawaban apapun sekarang, sekalipun dirinya memaksa Callis. Victor mengangkat bahunya tak acuh lalu memasuki mobilnya. Setelah mobil Victor berbelok, Callis lalu memegang pundak Andre untuk menopang tubuhnya yang terasa lemas. Semoga saja Victor percaya. Beruntunglah Reis dari dulu memanggil Karina dengan panggilan mama. Paling tidak, hal tersebut membantunya untuk saat ini. “Kirimkan aku profil Karina dan Callista.” *** Callis masih terpikirkan kejadian t