"Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam
Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan
Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr
Seharusnya ini hari bahagia untuknya, tapi semua sirna saat mendengar kabar itu. “Aku hanya ingin melihat akhir hidup wanita perebut milik orang lain.” Dengan dagunya yang angkuh laki-laki itu menunjuk pusara mbak Nina. “Apa maksudmu?” Tangan Kia terkepal dengan erat mendengar ucapan laki-laki itu, andai saja ini bukan di depan pusara kakaknya yang baru saja meninggal, tentu akan dengan senang hati dia memaki laki-laki ini. “Sudah jelas bukan kalau kakakmu hanya wanita simpanan suami sepupuku.” Kia menarik napas dalam berusaha mengumpulkan rasa sabar, duka yang dari tadi deras menyelimutinya selama perjalanan dari gedung tempat dia wisuda ke tempat peristirahatan terakhir kakaknya itu berubah menjadi amarah yang siap meledak. Padahal mbak Nina, kemarin masih menghubunginya dan meminta maaf tidak bisa ikut mendampinginya wisuda karena sedang hamil muda. Itu sebuah berita yang sangat membahagikan, apalagi Kia juga mendapat kabar kalau dia mendapat ipk terbaik. Sungguh Kia tida
Sudah sepuluh kali panggilan dan semuanya langsung ditolak. Dengan gemas Kia mengulang lagi panggilannya, dia punya cukup waktu saat ini apalagi untuk mencerca kakak iparnya itu. Demi Tuhan kakaknya baru saja meninggal dan suaminya meninggalkannya seperti sampah yang tak berguna. “Mas dimana kenapa tidak ada di rumah saat mbak Nina meninggal?” Itu bunyi pesan yang Kia kirimkan, tapi hanya ada dua centang biru saja tanpa ada balasan.Tak sabar, Kia menelpon lagi nomer kakak iparnya itu dan hal yang sama juga terjadi. “Sialan!” Kia mengganggam erat ponselnya. Otaknya berputar cepat. Dia ingin tahu apa yang sedang terjadi, tiba-tiba matanya menatap pintu kamar sang kakak. Memang sejak menikah Mbak Nina hanya beberapa kali menginap di kamar itu, tapi tidak ada salahnya bukan mencoba. Perlahan Kia berdiri diiringi pandangan bingung kedua orang tuanya. “Nduk kamu mau kemana?” tanya sang ibu dengan parau. Kia menatap wajah kedua orang tuanya sebentar lalu berkata. “Kia ingin meme
Kia sering mendengar pepatah yang mengatakan mulutmu adalah harimaumu. Pepatah yang sangat pas untuk mengungkapkan keadaan keluarganya saat ini, tapi bedanya bukan mulut mereka yang menjadi harimau tapi mulut para tetangga yang bergunjing telah berhasil menerkam kenyamanan keluarga Kia, bahkan saat pengajian kematian kakaknya, nyinyiran tetangga tak juga berkurang. “Apa Kang Sardi dulu tidak tahu kalau Nina itu istri kedua? Seharusnya menikah kan ada surat-surat,” kalimat lembut penuh racun itu terucap dari bibir salah satu adik ayahnya yang saat ini menghadiri pengajian tujuh hari meninggalnya mbak Nina. Mereka bahkan tidak peduli saat kalam-kalam Allah dibaca dengan begitu indahnya. Kedatangan paman dan bibi Zafran, juga absennya laki-laki itu semenjak kematian mbak Nina membuat gosip makin santer terdengar, bahkan tak jarang Kia harus pulang dengan amarah yang menguasai dirinya setelah keluar rumah, syukurlah ibu punya jalan keluar yang sangat bagus untuk itu yaitu, tidak mempe
Hanya berjarak beberapa hari bendera kuning di depan rumah Kia kembali dikibarkan. “Kasihan ya pak Sardi, dia juga ikut mendapat karma karena perbuatan Nina.” Gerombolan kecil ibu-ibu itu bahkan tak peduli kalau suara mereka jelas terdengar oleh orang lain, padahal kini mereka sedang ada di halaman rumah Kia bersama para pelayat yang lain.“Pak Sardi juga salah mau-maunya menikahkan anaknya dengan suami orang.” “Iya juga, mungkin ini doa istri pertama yang tersakiti, apalagi keluarga Zafran pernah ke sini.”“Oh iya aku dengar itu, padahal sudah kejadian kayak gini mereka tidak kapok juga minta uang pada Zafran.” “Mereka tidak minta, keluarga Zafran yang memberi sebagai kompensasi, tapi mereka tak mau.” “Halah itu pasti cuma sok saja, setelah mereka pulang pasti telepon Zafran minta uangnya ditransfer saja.” “Bisa jadi, sayang sekali padahal dulu mereka orang baik.” “Siapa yang tidak suka dengan uang,” kata salah satu dari mereka yang diiringi anggukan setuju yang lain. Geromb
"Pergilah, di sini tidak ada yang bisa kamu lakukan." Kia menggeleng. "Tidak Kia, tidak akan meninggalkan ibu sendiri." "Tak ada yang bisa kamu lakukan di sini, maksud ibu... kamu tidak bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dari ini di sini." Kia meluruskan kertas di depannya dan menatap surat itu dengan pandangan bimbang, dia tidak mungkin meninggalkan ibunya sendiri di sini menghadapi semuanya. Sudah hampir empat puluh hari kematian bapaknya tapi perlakuan orang-orang masih saja sama yang menganggap mereka sampah bau yang patut dihindari. Beberapa bulan yang lalu Kia memang memasukkan lamaran ke perusahaan ini, itu sebelum mbak Nina meninggal dan tentu saja saat semuanya masih baik-baik saja. Rencana Kia, dia akan bekerja di perusahaan itu. Bukan perusahaan favorit memang tapi gaji yang ditawarkan cukup besar untuk ukuran lulusan baru seperti dirinya dan yang paling penting lokasinya tidak jauh dari... rumah mbak Nina.Bahkan bapak dan ibunya dulu setuju karena Kia tidak akan
Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr
Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan
"Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam
Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem
"Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya
"Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa
Tidak ada senyum di wajah Renata sepanjag acara itu berlangsung. Bagi Kia hal itu cukup wajar, Jika dia yang mendapati suaminnya menikah lagi, mungkin bukan hanya wajahnya yang masam, tapi dia akan langsung balik badan dan tak akan mau melihat wajah mereka lagi. Kia akan sangat mengagumi ketegaran Renata, andai saja.... "Kenapa tidak langsung menikah?" bisik Kia pada Biru yang pandangannya masih terpaku pada prosesi tukar cincin pada pasangan calon pengantin. "Wanita itu anak orang kaya bukan, dia pasti ingin pesta yang selayaknya." "Meski dia istri kedua," kata KIa sinis. "Yah mau bagaimana lagi, dia cintanya sama mas Zafran.""Kamu yakin itu cinta, bukan karena tujuan lain?" Sepertinya Kia sudah ketularan penyakit julid LIta. Biru kembali mengangkat bahunya. "Kamu bilang ingin melihat mereka menikah, tapi kamu kenapa pertanyaanmu seolah kamu tidak suka dengan calon istri mas Zafran." "Bukan tidak suka sih, hanya kok tidak masuk akal saja." "Bukankah cinta katanya mem
"Kamu yakin ini rumah calon istri ketiga Zafran?" tanya Kia sekali lagi. Dia sampai melangkah ke depan Biru dan menatap laki-laki itu tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Tentu saja mbak Rena minggu lalu mengajakku kemari, dan maaf kali ini tidak seperti pernikahan mas Zafran dan kakakmu yang hanya diketahui mereka saja, sekarang semua keluarga besar tahu." "Mereka juga mendukung, termasuk om dan tantemu?" tanya Kia dan anggukan yang diberikan Biru membuat Kia menggelenng tak percaya. "Dan kamu juga mendukungnya?" "Kalau bisa aku ingin menghentikannya, untuk itulah aku mengajakmu ke sini." "Aku tidak punya hak." "Aku tahu, tapi kamu akan mengingatkan mereka pada kasus kakakmu, lagi pula ini acara keluarga dan sudah sepantasnya aku mengajak teman dekatku," jawab Biru mantap. Kia tak menjawab dia kembali berbalik dan menatap bangunan di depannya, bukan bangunan modern yang megah memang, bahkan bagian depan di dominasi oleh kayu berukir rumit khas jawa. "Sepertinya me
"Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.