Share

Karma Pelakor

Hanya berjarak beberapa hari bendera kuning di depan rumah Kia kembali dikibarkan. 

“Kasihan ya pak Sardi, dia juga ikut mendapat karma karena perbuatan Nina.”  Gerombolan kecil ibu-ibu itu bahkan tak peduli kalau suara mereka jelas terdengar oleh orang lain, padahal kini mereka sedang ada di halaman rumah Kia bersama para pelayat yang lain.

“Pak Sardi juga salah mau-maunya menikahkan anaknya  dengan suami orang.” 

“Iya juga, mungkin ini doa istri pertama yang tersakiti, apalagi keluarga Zafran pernah ke sini.”

“Oh iya aku dengar itu, padahal sudah kejadian kayak gini mereka tidak kapok juga minta uang pada Zafran.” 

“Mereka tidak minta, keluarga Zafran yang memberi sebagai kompensasi, tapi mereka tak mau.” 

“Halah itu pasti cuma sok saja, setelah mereka pulang pasti telepon Zafran minta uangnya ditransfer saja.” 

“Bisa jadi, sayang sekali padahal dulu mereka orang baik.” 

“Siapa yang tidak suka dengan uang,” kata salah satu dari mereka yang diiringi anggukan setuju yang lain. 

Gerombolan kecil ibu-ibu itu melongok sebentar ke dalam rumah dan mendapati pemilik rumah yang sedang berduka, mereka tak mengatakan apa-apa dan berusaha pergi secepatnya dari sana. 

Tidak ingin tertular kutukan pelakor, begitu pikir mereka. 

Sedangkan di dalam rumah sederhana itu, Kia duduk sambil bersandar pada tembok, air mata tak henti mengalir dari pipinya, tangannya memegang erat satu-satu belahan jiwa yang dia punya saat ini, orang yang paling penting untuknya setelah dua orang lain berturut-turut pergi. Ibunya. 

Bahkan Kia tak berniat melepaskan genggaman tangannya meski sang ibu yang sekarang menatap sendu pada beberapa saudara yang tengah menenangkannya. 

Sejenak Kia berpikir apakah benar ini semua adalah karma karena kakaknya merebut suami orang. Rasa ragu itu menyusup dalam hatinya membuatnya begitu nelangsa, lebih nelangsa dari pada kehilangan mereka sendiri. 

Akan tetapi genggaman tangan hangat itu menyadarkannya kalau dia tak mungkin salah mengenali kakaknya sendiri, jikapun Mbak Nina melakukan itu semua dia pasti punya alasan kuat yang sangat bagus. Meski jujur saja Kia sama sekali tidak bisa menebak alasan apa itu. 

“Kamu mau ikut memandikan bapak, Nduk?” tanya ibunya pelan saat seseorang baru saja mengatakan kalau tempat mandi jenasah telah siap. 

Tangan Kia bergetar dalam genggaman ibunya, dia tidak pernah memandikan orang mati, dan dia yakin tidak akan sanggup menahan air matanya saat melihat wajah pucat bapak yang tidak lagi memandangnya dengan senyuman, atau mulut yang terkatup rapat, tak lagi bisa memberikan nasehat bijak padanya. Bapak hanya akan diam, tentu saja dan Kia pasti tidak akan sanggup melupakan kenangan itu. 

“Kamu ingat bukan kalau bapak sangat senang kamu mau mengurusnya saat beliau sakit, ibu pikir-“ 

Suara ibunya tersedak dalam tangis dan tidak dapat melanjutkan apapun, bi Asih merangkul kakaknya lebih erat lagi dan ibu mengusap air mata yang tak mau berhenti lalu menatap Kia penuh harap. 

Keraguan itu muncul lagi, tapi Kia tahu ibunya benar bapak pasti akan sangat senang jika putri kecilnya bisa mengurusnya dengan baik. 

“Baiklah,” kata Kia. 

“Tapi kalau memang nggak sanggup tidak perlu dipaksa, nduk.” Bi Asih menatap Kia dengan khawatir lalu berganti menatap ibu Kia, tapi ibu hanya menatap Kia dan anggukan itu sudah cukup untuk Kia bahwa dia bisa melakukannya. 

Kia merasakan kehampaan saat tubuh ayahnya tertimbun tanah merah, air mata sudah lama berhenti mengalir dari matanya, sekarang yang dia rasakan kini adalah... kehampaan. 

Semua yang terjadi hari ini serasa mimpi buruk untuknya dan dia tak sabar untuk segera bangun dan mengakhiri semuanya. 

Andai bisa...

Hidupnya sekarang tak lagi sama, tak ada bapak dan mbak Nina yang menjadi tulang punggung dan penyokong keluarga mereka, baru Kia sadari selama ini dia hanya beban untuk keluarganya. 

Kia tak tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini, dia memang sudah mengantongi gelar sarjananya dengan nilai yang sangat baik, tapi itu tidak bisa menutup fakta kalau dirinya hanya pengangguran yang bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. 

Sedangkan sang ibu setelah ayahnya sakit hanya membuat kue dan masakan jika ada yang memesan  dan setelah apa yang terjadi pada keluarga mereka Kia tak berani berharap ada orang yang akan menggunakan jasa ibunya. 

Karma untuk pelakor. 

Kalimat itu tercetak jelas diingatannya, dan seperti di cap di atas keningnya dan semua orang bisa membacanya. 

Pemakaman bapaknya telah usai. Banyak saudara yang kemarin datang untuk acara tujuh hari meninggalnya mbak Nina, masih tetap tinggal untuk pengajian meninggalnya sang bapak nanti malam. 

“Kami akan pulang nanti malam setelah pengajian.” 

Langkah kaki Kia yang akan masuk ruang tamu langsung terhenti, dia melihat ibunya sedang bicara dengan adik ayahnya itu, tapi mata ibunya yang menatap hampa membuatnya tahu ada yang tidak beres. 

Langkah kaki Kia yang akan menghampiri mereka langsung terhenti saat sang bibi kembali berkata. “Sebaiknya rumah ini segera dijual, Yu. Dan ingat ada hak kami di sini juga.” 

Kia menatap bibinya dengan mulut ternganga takjub. 

Luar biasa bukan, belum ada satu jam bapaknya dikuburkan, tapi adik sang bapak bahkan sudah minta bagian warisan. 

“Apa maksudmu dengan itu!” 

Kia langsung bisa merasakan kemarahan sang ibu yang biasanya selalu sabar itu dan Kia tak mau kejadian seperti bapaknya kemarin terulang. 

“Bibi boleh pulang sekarang saja  kalau mau.” 

“Kamu mengusirku!” Mata itu melotot tajam pada Kia dan ibunya, tapi Kia sama sekali tidak takut akan hal itu. 

Rasa hormat pada sang bibi sudah lama hilang. “Benar,” jawab Kia kalem tapi menusuk, sedangkan sang ibu menghela napas dalam tapi tidak mencegahnya seperti biasa. 

“Kamu tidak punya hak, aku juga berhak ada di sini ingat aku adik Kang Sardi.” 

“Apa bibi mau kena imbas karma juga.” 

Dan sepertinya kalimat sederhana itu mampu membuat bibinya takut, wajah yang tadinya merah padam itu sekarang berganti menjadi sepucat kapas, Kia bahkan takut bibinya akan menyusul bapaknya dan membuat rumor itu makin santer terdengar, meski tentu saja sedikit pun dia tidak mempercayainya. 

“Kamu menyumpahiku.” 

“Tidak aku hanya mengingatkan, bukankah semua orang takut, tapi bibi malah ingin mengambil bagian dari rumah ini, rumah yang dibangun bapak dan ibu.” 

Bi Sanah terlihat tak terima, wajahnya yang masih menunjukkan mimik ketakutan itu menatap Kia dengan tajam yang bukannya membuat Kia takut malah ingin tertawa. “Ibumu tidak bekerja yang kerja kakakku.” 

“Begitu, itu bisa dibicarakan dengan orang yang lebih mengerti soal waris, tapi seperti yang aku bilang tadi apa bibi tidak takut seperti yang dibicarakan orang-orang diluar sana.” Sang bibi akan menyela tapi dia mengangkat tangannya. “Oh ya bibi tidak lupa bukan kalau masih punya hutang pada mbak Nina.” 

Kia hanya tersenyum kecut saat sang bibi langsung mengajak anaknya pulang secepatnya bahkan menolak makanan yang diberikan ibu Kia untuk dibawa pulang. 

Tapi yang membuat Kia merasa bersalah adalah kalimat sang ibu yang diucapkan dengan lirih. 

“Kamu juga berpikir ini karma kakakmu, Nduk?” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status