“Kamu benar tidak punya hubungan apapun dengan laki-laki itu, Ki?”
Kia langsung cemberut saat bi Asih lagi-lagi bertanya hal itu untuk kesekian kalinya, tindakan isengnya membuat gosip tentang keluarga mereka semakin liar, bahkan ibunya yang sekarang sudah janda menjadi korban, banyak para ibu yang dulu berteman dengan ibunya menjauh, takut suaminya direbut. Kia bukannya merasa bersalah tapi malah ingin tertawa mendengar cerita bibinya itu. “Ibu-ibu itu kayaknya kurang piknik, aku Cuma bercanda mereka kira serius.” Sejujurnya Kia sudah muak dengan gosip yang mengatakan mbak Nina perebut suami orang, meski banyak bukti mengungkap kebenarannya tapi Kia tidak yakin Mbak Nina akan melakukan itu dengan sengaja, dia pasti punya alasan dan karena dia belum tahu alasan itu, cara terbaik adalah dengan mengalihkan mereka pada isu yang lain. “Kamu itu sudah tahu mereka tidak bisa bercanda malah kamu goda seperti itu“Maaf pak Amir masih ada meeting dengan direktur sampai jam sepuluh.” Cobaan pertama saat memulai kehidupan kerjanya adalah ... menunggu. Di surat panggilan kerja itu tertulis jelas kalau dia harus hadir jam tujuh tepat untuk tanda tangan kontrak, tapi ternyata kepala HRD yang menanganinya sedang ada meeting. Bukan cobaan besar sebenarnya tapi membuat sebal juga. Perlahan Kia melangkah ke sofa yang ditunjukkan resepsionis tadi. Apa ini karma karena dia menolak sarapan pagi yang disiapkan sang ibu sejak hari masih gelap tadi. Ah kenapa kata itu sekarang sangat familiar di kehidupannya. Kia menggeleng berusaha mengenyahkan pikiran tak penting.Berusaha menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya karena untuk kembali ke kontrakan malas sekali rasanya jika nanti harus bolak-balik. Game membasmi zombie menjadi pilihannya, mungkin dengan banyaknya zombie yang bisa dia basmi akan mengurangi karma
“Ibu masih punya uang simpanan untuk kita makan tiga bulan ke depan,” kata ibu tiba-tiba yang membuat Kia langsung mengerutkan keningnya tak mengerti. “Apa kamu tidak nyaman dengan pekerjaan itu?” Kalau ini bukan ibunya, Kia pasti berpikir kalau Ibu mengikutinya tadi atau yang lebih modern menempelkan alat pelacak pada dirinya, untuk mengetahui apa yang terjadi padanya hari ini. “Semuanya baik-baik saja, Bu,” kata Kia lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri, semuanya memang baik-baik saja, dia sudah diterima kerja dengan tugas yang menurutnya tak terlalu berat dan gaji yang lumayan besar. Jadi tidak ada masalah bukan, kecuali... Dan Kia yakin dia akan bisa mengatasinya. “Kamu yakin?” tanya sang ibu sekali lagi. Kia terdiam sebentar haruskan dia mengatakan pada sang ibu tentang pertemuannya dengan Biru? Setelah terdiam sejenak akhirnya Kia berkata. “Ibu ingat Sabiru bukan, l
“Mbak Nina memang pelakor,” gumam Kia lirih. CITTT! Brak! “KALAU KAMU INGIN MATI JANGAN DI DEPAN MOBILKU!” Kia langsung mendongak saat mengenali suara bentakan itu, matanya menatap nanar pada laki-laki yang berjalan ke arahnya dengan wajah marah. Tubuhnya jatuh terduduk di aspal tanpa dia sadari. Jiwa Kia rasanya melanyang setelah menemukan surat ini, dia bahkan tidak tahu bagaimana bisa kembali ke daerah ini. Kia berushaa berdiri, tapi kakinya terasa sakit sekali, dengan tangan bergetar dia meraba kakinya yang sakit dan mengangkat tangannya begitu menyentuh cairan berwarna merah... darahnya. Dipaksa tubuhnya untuk berdiri tapi rasa nyeri itu seperti tangan yak kasat mata yang menghalanginya. Biru menatap Kia dengan mata menyipit, berjalan mendekati wanita itu dan mendengus saat melihat kakinya yang terluka. Dengan muka masam dia mengulurkan tangannya bermak
Kupu-kupu yang indah memang lebih disukai orang dari pada ulat yang menggelikan. Kia bergidik sendiri saat menganalogikan dirinya sebagai ulat dan Biru sebagai kupu-kupu, ada rasa tak terima tapi itulah yang terjadi sekarang. Jika Biru yang bicara dan mengurus semuanya, semua dokter dan perawat itu memperlakukannya seperti pasien prioritas yang sedang sekarat.Meski ada untungnya juga mereka tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan perawatan dan perawat muda tadi juga dengan senang hati mengambilkan obat untuk Kia, ‘adik Biru’ yang telah membuatnya terpesona. Dan Biru yang sadar betul dengan semua pesona yang dia miliki memanfaatkan itu sebaik mungkin untuk mempermudah urusannya meski masih dengan wajah datar tanpa senyum. Kia sampai heran sendiri, apa yang menarik dari laki-laki berwajah papan seperti itu? apa selera para wanita sekarang sudah berubah atau memang dia yang ketinggalan jaman? “Aku akan mengantarmu ke kontrakanmu,” gumam Biru tanpa menatap Kia. “Kamu tahu kontrak
Hidup memang penuh dengan pilihan. Bahkan kadang dia tidak mampu untuk memilih satupun di antara, tapi tetap saja kita harus memilih yang terbaik dari yang terburuk sekalipun bukan. Setidaknya itulah yang dilakukan Kia saat ini. Dia dan sang ibu sudah membayar lunas rumah kontrakan ini selama satu tahun ke depan dan karena mereka bukan orang kaya yang bisa menghamburkan uang seenaknya, jadi pilihan mereka tinggal tetap menempati rumah kontrakan ini meski tidak menyukai pemiliknya kalau mereka masih ingin makan dengan benar paling tidak sebulan ke depan. “Jadi apa yang kamu lakukan dengan bapak ganteng itu, dek. Gosipnya menyebar dengan cepat.” Pagi-pagi sekali mbak Dilla memang sudah menyambangi kontrakannya dengan alasan akan mengajaknya berbelanja bulanan, tapi Kia curiga kalau itu hanya alasan saja supaya dia mendengar berita tadi malam dari mulutnya. “Dia menabrakku dan mengantarku pulang,” kata Kia sengaja menghilangkan bagian d
“Kia apa yang kamu lakukan! Siapa dia!” Kia menoleh pada mbak Dila yang berdiri dengan napas terangah-engah, mungkin wanita itu berlari mengikutinya juga. “Mbak ayo kejar mobil itu,” kata Kia yang membuat mbak Dila menotot. “Kita tidak bawa kendaraan Ki, dengan apa mengejar dan kita juga tidak punya sayap, kalau kamu lupa,” kata mbak Dila lambat-lambat seperti menerangkan pada anak kecil bandel, membuat Kia kesal. “Taksi pesan taksi... ponselku mati.. ayolah, mbak!” kata Kia mendesak.“Jika dia memang tidak ingin bicara denganmu percuma saja kamu mengejarnya.” Kata mbak Dilla yang dengan perlahan membuka tasnya dan mengerluarkan ponselnya dari sana. Kia diam tidak ingin mengganggu, meski dia sudah tak sabar untuk mendapatkan taksi untuk mengejar mobil Zafran. “Aku sudah pesan tapi perlu waktu.” “Apa disekitar sini tidak ada taksi offline, biasanya mereka banyak di-“ “Memang tapi itu di depan sa
"KIa apa yang kamu lakukan, pergilah. Mas mohon," kata Zafran dengan raut wajah khawatir. Tapi Kia sama sekali tidak menggubris hal itu, dia tahu tindakannya ini salah dan sangat ceroboh, tapi rasa sakit dan kecewa dalam hatinya tidak bisa dia tahan lagi. Mbak Nina, kakaknya yang berharga diperlakukan seperti sampah oleh laki-laki yang harusnya melindunginya, apapun alasan pernikahan mereka Kia tidak terima mbak NIna diperlakukan seperti ini. "Kenapa aku harus pergi?" tanya Kia dengan nada menantang. "Ki, mas akan berikan apapun yang kamu inginkan. Mobil, uang yang banyak, rumah barang mewah semuanya, katakan saja, tapi tolong sekarang kamu pergi dulu," kata Zafran penuh permohonan. "Baguslah kalau mas sadar diri dan mau mengabulkan semua keinginanku," kata Kia sambil tersenyum lebar. Zafran menghela napas lega dan menarik tangan KIa ke luar pagar, tapi Kia tetap berdiri di tempatnya. "Tapi sayang bukan itu yang aku inginkan," kata Kia lamat-lamat, memastikan Zafran mendengar u
Kia langsung menendang selimutnya begitu membuka mata dan mendapati jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Tidur lagi setelah subuh membuatnya sulit bangun tepat waktu. Kemarin memang bukan hari yang baik untuknya, tapi dia tidak ingin hari ini juga seburuk hari kemarin. "Ibu kenapa tidak bangunin Kia," protes KIa sambil menyahut handuk dan berlari ke kamar mandi. Suara heboh guyuran air segera terdengar dan tak lama kemudian Kia sudah keluar dengan tubuh terbungkus handuk karena lupa membawa baju ganti. "Kia menatap ibunya dengan cemberut tapi sang ibu hanya tersenyum kecil. "Itu akibatnya kamu tidak mendengarkan ibu." "Tapi tetap saja, Bu-" "Kamu akan makin telat kalau terus protes." Kalimat itu cukup ampuh untuk membuat Kia berlari kembali ke kamar dan buru-buru mengenakan bajunya, juga buru-buru mengunakan make up ala kadarnya.
Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr
Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan
"Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam
Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem
"Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya
"Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa
Tidak ada senyum di wajah Renata sepanjag acara itu berlangsung. Bagi Kia hal itu cukup wajar, Jika dia yang mendapati suaminnya menikah lagi, mungkin bukan hanya wajahnya yang masam, tapi dia akan langsung balik badan dan tak akan mau melihat wajah mereka lagi. Kia akan sangat mengagumi ketegaran Renata, andai saja.... "Kenapa tidak langsung menikah?" bisik Kia pada Biru yang pandangannya masih terpaku pada prosesi tukar cincin pada pasangan calon pengantin. "Wanita itu anak orang kaya bukan, dia pasti ingin pesta yang selayaknya." "Meski dia istri kedua," kata KIa sinis. "Yah mau bagaimana lagi, dia cintanya sama mas Zafran.""Kamu yakin itu cinta, bukan karena tujuan lain?" Sepertinya Kia sudah ketularan penyakit julid LIta. Biru kembali mengangkat bahunya. "Kamu bilang ingin melihat mereka menikah, tapi kamu kenapa pertanyaanmu seolah kamu tidak suka dengan calon istri mas Zafran." "Bukan tidak suka sih, hanya kok tidak masuk akal saja." "Bukankah cinta katanya mem
"Kamu yakin ini rumah calon istri ketiga Zafran?" tanya Kia sekali lagi. Dia sampai melangkah ke depan Biru dan menatap laki-laki itu tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Tentu saja mbak Rena minggu lalu mengajakku kemari, dan maaf kali ini tidak seperti pernikahan mas Zafran dan kakakmu yang hanya diketahui mereka saja, sekarang semua keluarga besar tahu." "Mereka juga mendukung, termasuk om dan tantemu?" tanya Kia dan anggukan yang diberikan Biru membuat Kia menggelenng tak percaya. "Dan kamu juga mendukungnya?" "Kalau bisa aku ingin menghentikannya, untuk itulah aku mengajakmu ke sini." "Aku tidak punya hak." "Aku tahu, tapi kamu akan mengingatkan mereka pada kasus kakakmu, lagi pula ini acara keluarga dan sudah sepantasnya aku mengajak teman dekatku," jawab Biru mantap. Kia tak menjawab dia kembali berbalik dan menatap bangunan di depannya, bukan bangunan modern yang megah memang, bahkan bagian depan di dominasi oleh kayu berukir rumit khas jawa. "Sepertinya me
"Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.