Sudah sepuluh kali panggilan dan semuanya langsung ditolak.
Dengan gemas Kia mengulang lagi panggilannya, dia punya cukup waktu saat ini apalagi untuk mencerca kakak iparnya itu. Demi Tuhan kakaknya baru saja meninggal dan suaminya meninggalkannya seperti sampah yang tak berguna. “Mas dimana kenapa tidak ada di rumah saat mbak Nina meninggal?” Itu bunyi pesan yang Kia kirimkan, tapi hanya ada dua centang biru saja tanpa ada balasan. Tak sabar, Kia menelpon lagi nomer kakak iparnya itu dan hal yang sama juga terjadi. “Sialan!” Kia mengganggam erat ponselnya. Otaknya berputar cepat. Dia ingin tahu apa yang sedang terjadi, tiba-tiba matanya menatap pintu kamar sang kakak. Memang sejak menikah Mbak Nina hanya beberapa kali menginap di kamar itu, tapi tidak ada salahnya bukan mencoba. Perlahan Kia berdiri diiringi pandangan bingung kedua orang tuanya. “Nduk kamu mau kemana?” tanya sang ibu dengan parau. Kia menatap wajah kedua orang tuanya sebentar lalu berkata. “Kia ingin memeriksa kamar mbak Nina siapa tahu ada petunjuk bolehkan pak, bu?” Kia membuka pintu kamar itu diikuti kedua orang tuanya di belakang. Kamar ini masih tidak berubah sejak Kia terakhir kali ada di sini, waktu itu kakaknya masih gadis. Kia melangkah cepat ke arah nakas dan mengeluarkan semua isinya tidak ada hal yang berguna di sana, lalu dia beralih ke lemari pakaian, hanya ada baju dan kertas-kertas yang sudah menguning, tapi meski Kia sudah mencoba mengamati tulisan di sana tetap saja tidak menjelaskan apapun. Tidak ada jejak sama sekali kalau kamar ini pernah dihuni pasangan yang saling mencintai, sprei dan gorden juga masih berwarna pink, warna kesukaan mbak Nina, juga poster-poter band kesukaan mbak Nina. Beberapa helai pakaian laki-laki di sana juga sama sekali tak mengubah perpektif itu. “Mbakmu pasti menyimpan barang pribadinya di rumahnya,” kata ibu. Kia mengangguk dengan enggan, rumah mereka ada di luar kota, bisa saja Kia datang ke sana untuk memeriksa tapi masalahnya dia tidak yakin Zafran akan mengijinkannya mengingat bagaimana laki-laki itu kini sama sekali tidak peduli dengan kakaknya yang baru saja dikubur. “Ibu dan bapak tahu dari mana kalau Mbak Nina istri kedua?” tanya Kia pada kedua orang tuanya yang hanya bisa menunduk dalam diam. “Apa bapak dan ibu sejak awal sudah tahu?” tanya Kia lagi. “ibu dan bapak juga baru tahu hari ini,” jawab sang ibu lirih. “Siapa yang mengatakannya?” Kia meremas tangannya dengan kuat, apa meninggalnya mbak Nina ada hubungannya dengan Zafran dan kemungkinan... istrinya yang lain? “Ad-“ “Ada tamu di luar.” Belum juga sang ibu mengatakan siapa yang memberitahu mereka. Bi asih yang merupakan adik ibunya, masuk dengan tergopoh-gopoh. “Siapa, Sih?” “Nggak tahu mbak yu, orang kaya sepertinya, mobilnya bagus.” Kia hanya bisa berdiri diam saat melihat kedua orang tuanya mengikuti langkah bi Asih ke ruang tamu. Mungkin salah satu teman kerja mbak Nina dulu. Kia kembali masuk ke dalam kamar kakaknya dan meneliti setiap jengkal sudut kamar itu, tapi sama sekai tidak ada petunjuk yang dia inginkan. Lelah. Kia tertutup di lantai dengan pandangan pada foto dua orang yang tergantung di dinding. Dia dan mbak Nina berangkulan berdua dengan tawa lebar. Air mata Kia langsung menetes. Dia tidak ingin percaya mbak Nina melakukan ini semua. Kakaknya sangat baik dan cerdas dia tidak mungkin melakukan sesuatu seperti itu. Kia sama sekali tidak percaya. “Orang kampung sombong!” Kia langsung bangkit dari duduknya mendengar suara bentakan dari ruang tamu. Kesedihannya berubah menjadi keterkejutan. Ini rumah duka, tidakkah mereka berempati. sedikit saja. Kia berlari secepat yang dia bisa ke ruang tamu, saat tiba di sana dia hanya bisa termangu dengan geram. Dua orang tamu yang dikatakan bi Asih menatap kedua orang tuanya dengan berang, sedangkan di meja berserakan uang berwarna merah. “Ada apa, pak. Bu?” tanya Kia mendekati kedua orang tuanya yang duduk dalam diam. “Kamu siapanya Nina?” tanya sang tamu dengan pongah. Kia menatap wanita paruh baya berpenampilan mahal itu dengan kening berkerut. “Anda siapa?” tanya Kia balik. Ini rumahnya, rumah kedua orang tuanya tepatnya, dan tidak ada satu orang pun yang bisa bertindak kurang ajar di rumah ini. “Orang kampung tidak sopan, ditanya malah balik nanya,” umpat wanita itu. Kia hanya diam, tapi pandangannya begitu tajam pada wanita itu. “Sudahlah, bu. Kami pamannya Zafran. Kamu adiknya Nina pasti.” “Untuk apa anda kesini? Di mana mas Zafran bukankah dia harusnya di sini, istrinya baru saja meninggal,” kata Kia dengan kesal. “Hei anak kecil, kamu kira kakakmu siapa? Dia hanya simpanan yang kalau sudah bosan dibuang!” Lutut Kia rasanya tak kuat lagi untuk berdiri, betapapun dia mempercayai kalau mbak Nina tidak akan seperti yang mereka tuduhkan, tapi fakta yang ada kenapa selalu bertolak belakang dengan keinginannya. Andai Kia tidak memandang ayah dan ibunya yang sedang berduka, tentu dia akan dengan senang hati menampar mulut wanita paruh baya di depannya. “Jadi benar mas Zafran punya istri yang lain.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Kia. “Tentu saja, Nina hanya seorang pelakor dan sekarang Zafran sudah kembali pada istri yang dicintainya, kami harap kalian tidak lagi menganggu mereka.” “Kenapa kalian yang bilang apa Zafran terlalu pengecut untuk datang ke sini,” sinis sekali suara Kia, dia bahkan meninggalkan panggilan mas pada kakak iparnya itu... ah mantan kakak ipar lebih tepatnya. “Ckk kalian tidak penting sampai harus Zafran sendiri yang datang.” Mereka dulu bahagia. mbak Nina dan mas Zafran. Kakaknya yang cantik dan lembut sangat serasi dengan mas Zafran yang tampan. Kia bahkan sering diam-diam berdo’a semoga nanti bisa mendapat suami yang mencintainya seperti mas Zafran mencintai mbak Nina. Sorot mata keduanya tidak mungkin menipu, keduanya saling mencinta. Karena itu Kia tidak percaya kalau Zafran ternyata adalah bajingan yang tega mempermainkan kakaknya. “Baiklah, mbak Nina juga sudah meninggal, kami juga tidak ingin kenal lagi laki-laki pengecut seperti itui,” kata Kia dengan tegas. Dia lalu menatap kedua tamu, kemudian pada ibunya yang berusaha menenangkan ayahnya. “Kalian bisa pulang sekarang,” kata Kia sesopan mungkin, tapi sepertinya mereka orang yang terbiasa dihormati dan disanjung itu tak terima. “Kalau bukan karena Zafran kami juga jijik menginjakkan kaki di rumah ini,” katanya sinis. “Sudahlah, Ma. Kita pulang. Kami kemari hanya ingin menyampaikan bela sungkawa dan memberikan uang duka, tapi ternyata kalian memang tidak tahu sopan santun.” Kali ini yang laki-laki berbicara dengan sinis. Kia menatap uang yang berserakan mengambilnya dan memasukkannya ke dalam kantong yang ada di sana. “Kami tidak butuh uang dari kalian, terima kasih kalian boleh pergi.” “Sombong, sudah sepantasnya kakakmu dibuang dia sama sekali tidak sebanding dengan istri Zafran.” Darah Kia mendidih mendengar kakaknya sekali lagi di hina. Dia langsung menjejalkan amplop berisi uang itu ke tangan sang wanita dan berkata dengan pelan. “Dari sikap kalian aku tahu kenapa Zafran menikahi kakakku.” Gadis itu lalu berjalan cepat kearah pintu dan membukanya lebar-lebar mempersilahkan mereka keluar, tapi saat melihat keluar dia geram bukan main. Mereka sedang berduka, tidakkah ada empati sedikit saja.Kia sering mendengar pepatah yang mengatakan mulutmu adalah harimaumu. Pepatah yang sangat pas untuk mengungkapkan keadaan keluarganya saat ini, tapi bedanya bukan mulut mereka yang menjadi harimau tapi mulut para tetangga yang bergunjing telah berhasil menerkam kenyamanan keluarga Kia, bahkan saat pengajian kematian kakaknya, nyinyiran tetangga tak juga berkurang. “Apa Kang Sardi dulu tidak tahu kalau Nina itu istri kedua? Seharusnya menikah kan ada surat-surat,” kalimat lembut penuh racun itu terucap dari bibir salah satu adik ayahnya yang saat ini menghadiri pengajian tujuh hari meninggalnya mbak Nina. Mereka bahkan tidak peduli saat kalam-kalam Allah dibaca dengan begitu indahnya. Kedatangan paman dan bibi Zafran, juga absennya laki-laki itu semenjak kematian mbak Nina membuat gosip makin santer terdengar, bahkan tak jarang Kia harus pulang dengan amarah yang menguasai dirinya setelah keluar rumah, syukurlah ibu punya jalan keluar yang sangat bagus untuk itu yaitu, tidak mempe
Hanya berjarak beberapa hari bendera kuning di depan rumah Kia kembali dikibarkan. “Kasihan ya pak Sardi, dia juga ikut mendapat karma karena perbuatan Nina.” Gerombolan kecil ibu-ibu itu bahkan tak peduli kalau suara mereka jelas terdengar oleh orang lain, padahal kini mereka sedang ada di halaman rumah Kia bersama para pelayat yang lain.“Pak Sardi juga salah mau-maunya menikahkan anaknya dengan suami orang.” “Iya juga, mungkin ini doa istri pertama yang tersakiti, apalagi keluarga Zafran pernah ke sini.”“Oh iya aku dengar itu, padahal sudah kejadian kayak gini mereka tidak kapok juga minta uang pada Zafran.” “Mereka tidak minta, keluarga Zafran yang memberi sebagai kompensasi, tapi mereka tak mau.” “Halah itu pasti cuma sok saja, setelah mereka pulang pasti telepon Zafran minta uangnya ditransfer saja.” “Bisa jadi, sayang sekali padahal dulu mereka orang baik.” “Siapa yang tidak suka dengan uang,” kata salah satu dari mereka yang diiringi anggukan setuju yang lain. Geromb
"Pergilah, di sini tidak ada yang bisa kamu lakukan." Kia menggeleng. "Tidak Kia, tidak akan meninggalkan ibu sendiri." "Tak ada yang bisa kamu lakukan di sini, maksud ibu... kamu tidak bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dari ini di sini." Kia meluruskan kertas di depannya dan menatap surat itu dengan pandangan bimbang, dia tidak mungkin meninggalkan ibunya sendiri di sini menghadapi semuanya. Sudah hampir empat puluh hari kematian bapaknya tapi perlakuan orang-orang masih saja sama yang menganggap mereka sampah bau yang patut dihindari. Beberapa bulan yang lalu Kia memang memasukkan lamaran ke perusahaan ini, itu sebelum mbak Nina meninggal dan tentu saja saat semuanya masih baik-baik saja. Rencana Kia, dia akan bekerja di perusahaan itu. Bukan perusahaan favorit memang tapi gaji yang ditawarkan cukup besar untuk ukuran lulusan baru seperti dirinya dan yang paling penting lokasinya tidak jauh dari... rumah mbak Nina.Bahkan bapak dan ibunya dulu setuju karena Kia tidak akan
“Bawa tamunya masuk, nduk. Kita perlu bicara baik-baik apapun masalahnya.” Sekilas Kia menoleh dan mendapati ibunya berdiri di depan pintu dengan wajah cemas, dan tidak perlu jadi jenius untuk menebak kenapa sang ibu bereaksi demikian. Kejadian yang akhir-akhir ini terjadi pada keluarganya juga wajah sangarnya pasti sudah mengatakan kalau ada masalah yang terjadi. Kia menyesal kenapa dia tak langsung mengusir laki-laki ini. “Kamu dengar bukan,” katanya tanpa menoleh pada laki-laki itu dan melangkah masuk ke dalam rumah. Tanpa kata sang ibu mengelus bahu Kia dan membimbingnya masuk ke dalam rumah, senyum menenangkan menghiasi bibirnya, memuat Kia begitu heran bagaimana ibunya masih bisa tersenyum setenang itu saat keadaan seperti ini. Dan jujur saja Kia... iri melihatnya. “Kamu siapa, Nak?” tanya ibu begitu mereka sudah duduk dengan benar, sebenarnya sang ibu sudah meminta Kia untuk mengambilkan minuman dan makanan kecil untuk si tamu, tapi Kia dengan bandel malah masih tetap
“Kamu benar tidak punya hubungan apapun dengan laki-laki itu, Ki?” Kia langsung cemberut saat bi Asih lagi-lagi bertanya hal itu untuk kesekian kalinya, tindakan isengnya membuat gosip tentang keluarga mereka semakin liar, bahkan ibunya yang sekarang sudah janda menjadi korban, banyak para ibu yang dulu berteman dengan ibunya menjauh, takut suaminya direbut. Kia bukannya merasa bersalah tapi malah ingin tertawa mendengar cerita bibinya itu. “Ibu-ibu itu kayaknya kurang piknik, aku Cuma bercanda mereka kira serius.” Sejujurnya Kia sudah muak dengan gosip yang mengatakan mbak Nina perebut suami orang, meski banyak bukti mengungkap kebenarannya tapi Kia tidak yakin Mbak Nina akan melakukan itu dengan sengaja, dia pasti punya alasan dan karena dia belum tahu alasan itu, cara terbaik adalah dengan mengalihkan mereka pada isu yang lain. “Kamu itu sudah tahu mereka tidak bisa bercanda malah kamu goda seperti itu
“Maaf pak Amir masih ada meeting dengan direktur sampai jam sepuluh.” Cobaan pertama saat memulai kehidupan kerjanya adalah ... menunggu. Di surat panggilan kerja itu tertulis jelas kalau dia harus hadir jam tujuh tepat untuk tanda tangan kontrak, tapi ternyata kepala HRD yang menanganinya sedang ada meeting. Bukan cobaan besar sebenarnya tapi membuat sebal juga. Perlahan Kia melangkah ke sofa yang ditunjukkan resepsionis tadi. Apa ini karma karena dia menolak sarapan pagi yang disiapkan sang ibu sejak hari masih gelap tadi. Ah kenapa kata itu sekarang sangat familiar di kehidupannya. Kia menggeleng berusaha mengenyahkan pikiran tak penting.Berusaha menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya karena untuk kembali ke kontrakan malas sekali rasanya jika nanti harus bolak-balik. Game membasmi zombie menjadi pilihannya, mungkin dengan banyaknya zombie yang bisa dia basmi akan mengurangi karma
“Ibu masih punya uang simpanan untuk kita makan tiga bulan ke depan,” kata ibu tiba-tiba yang membuat Kia langsung mengerutkan keningnya tak mengerti. “Apa kamu tidak nyaman dengan pekerjaan itu?” Kalau ini bukan ibunya, Kia pasti berpikir kalau Ibu mengikutinya tadi atau yang lebih modern menempelkan alat pelacak pada dirinya, untuk mengetahui apa yang terjadi padanya hari ini. “Semuanya baik-baik saja, Bu,” kata Kia lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri, semuanya memang baik-baik saja, dia sudah diterima kerja dengan tugas yang menurutnya tak terlalu berat dan gaji yang lumayan besar. Jadi tidak ada masalah bukan, kecuali... Dan Kia yakin dia akan bisa mengatasinya. “Kamu yakin?” tanya sang ibu sekali lagi. Kia terdiam sebentar haruskan dia mengatakan pada sang ibu tentang pertemuannya dengan Biru? Setelah terdiam sejenak akhirnya Kia berkata. “Ibu ingat Sabiru bukan, l
“Mbak Nina memang pelakor,” gumam Kia lirih. CITTT! Brak! “KALAU KAMU INGIN MATI JANGAN DI DEPAN MOBILKU!” Kia langsung mendongak saat mengenali suara bentakan itu, matanya menatap nanar pada laki-laki yang berjalan ke arahnya dengan wajah marah. Tubuhnya jatuh terduduk di aspal tanpa dia sadari. Jiwa Kia rasanya melanyang setelah menemukan surat ini, dia bahkan tidak tahu bagaimana bisa kembali ke daerah ini. Kia berushaa berdiri, tapi kakinya terasa sakit sekali, dengan tangan bergetar dia meraba kakinya yang sakit dan mengangkat tangannya begitu menyentuh cairan berwarna merah... darahnya. Dipaksa tubuhnya untuk berdiri tapi rasa nyeri itu seperti tangan yak kasat mata yang menghalanginya. Biru menatap Kia dengan mata menyipit, berjalan mendekati wanita itu dan mendengus saat melihat kakinya yang terluka. Dengan muka masam dia mengulurkan tangannya bermak
Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr
Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan
"Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam
Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem
"Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya
"Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa
Tidak ada senyum di wajah Renata sepanjag acara itu berlangsung. Bagi Kia hal itu cukup wajar, Jika dia yang mendapati suaminnya menikah lagi, mungkin bukan hanya wajahnya yang masam, tapi dia akan langsung balik badan dan tak akan mau melihat wajah mereka lagi. Kia akan sangat mengagumi ketegaran Renata, andai saja.... "Kenapa tidak langsung menikah?" bisik Kia pada Biru yang pandangannya masih terpaku pada prosesi tukar cincin pada pasangan calon pengantin. "Wanita itu anak orang kaya bukan, dia pasti ingin pesta yang selayaknya." "Meski dia istri kedua," kata KIa sinis. "Yah mau bagaimana lagi, dia cintanya sama mas Zafran.""Kamu yakin itu cinta, bukan karena tujuan lain?" Sepertinya Kia sudah ketularan penyakit julid LIta. Biru kembali mengangkat bahunya. "Kamu bilang ingin melihat mereka menikah, tapi kamu kenapa pertanyaanmu seolah kamu tidak suka dengan calon istri mas Zafran." "Bukan tidak suka sih, hanya kok tidak masuk akal saja." "Bukankah cinta katanya mem
"Kamu yakin ini rumah calon istri ketiga Zafran?" tanya Kia sekali lagi. Dia sampai melangkah ke depan Biru dan menatap laki-laki itu tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Tentu saja mbak Rena minggu lalu mengajakku kemari, dan maaf kali ini tidak seperti pernikahan mas Zafran dan kakakmu yang hanya diketahui mereka saja, sekarang semua keluarga besar tahu." "Mereka juga mendukung, termasuk om dan tantemu?" tanya Kia dan anggukan yang diberikan Biru membuat Kia menggelenng tak percaya. "Dan kamu juga mendukungnya?" "Kalau bisa aku ingin menghentikannya, untuk itulah aku mengajakmu ke sini." "Aku tidak punya hak." "Aku tahu, tapi kamu akan mengingatkan mereka pada kasus kakakmu, lagi pula ini acara keluarga dan sudah sepantasnya aku mengajak teman dekatku," jawab Biru mantap. Kia tak menjawab dia kembali berbalik dan menatap bangunan di depannya, bukan bangunan modern yang megah memang, bahkan bagian depan di dominasi oleh kayu berukir rumit khas jawa. "Sepertinya me
"Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.