Share

Istri Simpanan

Sudah sepuluh kali panggilan dan semuanya langsung ditolak. 

Dengan gemas Kia mengulang lagi panggilannya, dia punya cukup waktu saat ini apalagi untuk mencerca kakak iparnya itu. 

Demi Tuhan kakaknya baru saja meninggal dan suaminya meninggalkannya seperti sampah yang tak berguna. 

“Mas dimana kenapa tidak ada di rumah saat mbak Nina meninggal?” 

Itu bunyi pesan yang Kia kirimkan, tapi hanya ada dua centang biru saja tanpa ada balasan.

Tak sabar, Kia menelpon lagi nomer kakak iparnya itu dan hal yang sama juga terjadi. 

“Sialan!” 

Kia mengganggam erat ponselnya. Otaknya berputar cepat. 

Dia  ingin tahu apa yang sedang terjadi, tiba-tiba matanya menatap pintu kamar sang kakak. 

Memang sejak menikah Mbak Nina hanya beberapa kali menginap di kamar itu, tapi tidak ada salahnya bukan mencoba. 

Perlahan Kia berdiri diiringi pandangan bingung kedua orang tuanya. 

“Nduk kamu mau kemana?” tanya sang ibu dengan parau. 

Kia menatap wajah kedua orang tuanya sebentar lalu berkata. “Kia ingin memeriksa kamar mbak Nina siapa tahu ada petunjuk bolehkan pak, bu?” 

Kia membuka pintu kamar itu diikuti kedua orang tuanya di belakang. 

Kamar ini masih tidak berubah sejak Kia terakhir kali ada di sini, waktu itu kakaknya  masih gadis. 

Kia melangkah cepat ke arah nakas dan mengeluarkan semua isinya tidak ada hal yang berguna di sana, lalu dia beralih ke lemari pakaian, hanya ada baju dan kertas-kertas yang sudah menguning, tapi meski Kia sudah mencoba mengamati tulisan di sana tetap saja  tidak menjelaskan apapun. Tidak ada jejak sama sekali kalau kamar ini pernah dihuni pasangan yang saling mencintai, sprei dan gorden juga masih berwarna pink, warna kesukaan mbak Nina, juga poster-poter band kesukaan mbak Nina. 

Beberapa helai pakaian laki-laki di sana juga sama sekali tak mengubah perpektif itu. 

“Mbakmu pasti menyimpan barang pribadinya di rumahnya,” kata ibu. 

Kia mengangguk dengan enggan, rumah mereka ada di luar kota, bisa saja Kia datang ke sana untuk memeriksa tapi masalahnya dia tidak yakin Zafran akan mengijinkannya mengingat bagaimana laki-laki itu kini sama sekali tidak peduli dengan  kakaknya yang baru saja dikubur. 

“Ibu dan bapak tahu dari mana kalau Mbak Nina istri kedua?” tanya Kia pada kedua orang tuanya yang hanya bisa menunduk dalam diam. 

“Apa bapak dan ibu sejak awal sudah tahu?” tanya Kia lagi.

“ibu dan bapak juga baru tahu hari ini,” jawab sang ibu lirih.

“Siapa yang mengatakannya?” Kia meremas tangannya dengan kuat, apa meninggalnya mbak Nina ada hubungannya dengan Zafran dan kemungkinan... istrinya yang lain? 

“Ad-“

“Ada tamu di luar.” Belum juga sang ibu mengatakan siapa yang memberitahu mereka. Bi asih yang merupakan adik ibunya, masuk dengan tergopoh-gopoh. 

“Siapa, Sih?” 

“Nggak tahu mbak yu, orang kaya sepertinya,  mobilnya bagus.” 

Kia hanya bisa berdiri diam saat melihat kedua orang tuanya mengikuti langkah bi Asih ke ruang tamu. Mungkin salah satu teman kerja mbak Nina dulu. 

Kia kembali masuk ke dalam kamar kakaknya dan meneliti setiap jengkal sudut kamar itu, tapi sama sekai tidak ada petunjuk yang dia inginkan. 

Lelah. Kia tertutup di lantai dengan pandangan pada foto dua orang yang tergantung di dinding. 

Dia dan mbak Nina berangkulan berdua dengan tawa lebar. 

Air mata Kia langsung menetes. Dia tidak ingin percaya mbak Nina melakukan ini semua. Kakaknya sangat baik dan cerdas dia tidak mungkin melakukan sesuatu seperti itu. Kia sama sekali tidak percaya.

“Orang kampung sombong!” 

Kia langsung bangkit dari duduknya mendengar suara bentakan dari ruang tamu. 

Kesedihannya berubah menjadi keterkejutan. Ini rumah duka, tidakkah mereka berempati. sedikit saja. 

Kia berlari secepat yang dia bisa ke ruang tamu, saat tiba di sana dia hanya bisa termangu dengan geram. 

Dua orang tamu yang dikatakan bi Asih menatap kedua orang tuanya dengan berang, sedangkan di meja berserakan uang berwarna merah. 

“Ada apa, pak. Bu?” tanya Kia mendekati kedua orang tuanya yang duduk dalam diam. 

“Kamu siapanya Nina?” tanya sang tamu dengan pongah. 

Kia menatap wanita paruh baya berpenampilan mahal itu dengan kening berkerut. “Anda siapa?” tanya Kia balik. 

Ini rumahnya, rumah kedua orang tuanya tepatnya, dan tidak ada satu orang pun yang bisa bertindak kurang ajar di rumah ini. 

“Orang kampung tidak sopan, ditanya malah balik nanya,” umpat wanita itu. 

Kia hanya diam, tapi pandangannya begitu tajam pada wanita itu. 

“Sudahlah, bu. Kami pamannya Zafran. Kamu adiknya Nina pasti.” 

“Untuk apa anda kesini? Di mana mas Zafran bukankah dia harusnya di sini, istrinya baru saja meninggal,” kata Kia dengan kesal. 

“Hei anak kecil, kamu kira kakakmu siapa? Dia hanya simpanan yang kalau sudah bosan dibuang!” 

Lutut Kia rasanya tak kuat lagi untuk berdiri, betapapun dia mempercayai kalau mbak Nina tidak akan seperti yang mereka tuduhkan, tapi fakta yang ada kenapa selalu bertolak belakang dengan keinginannya. 

Andai Kia tidak memandang ayah dan ibunya yang sedang berduka, tentu dia akan dengan senang hati  menampar mulut wanita paruh baya di depannya. 

“Jadi benar mas Zafran punya istri yang lain.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Kia. 

“Tentu saja, Nina hanya seorang pelakor dan sekarang Zafran sudah kembali pada istri yang dicintainya, kami harap kalian tidak lagi menganggu mereka.” 

“Kenapa kalian yang bilang apa Zafran terlalu pengecut untuk datang ke sini,” sinis sekali suara Kia, dia bahkan meninggalkan panggilan mas pada kakak iparnya itu... ah mantan kakak ipar lebih tepatnya. 

“Ckk kalian tidak penting sampai harus Zafran sendiri yang datang.” 

Mereka dulu bahagia. mbak Nina dan mas Zafran. Kakaknya yang cantik dan lembut sangat serasi dengan mas Zafran yang tampan. 

Kia bahkan sering diam-diam berdo’a semoga nanti bisa mendapat suami yang mencintainya seperti mas Zafran mencintai mbak Nina. 

Sorot mata keduanya tidak mungkin menipu, keduanya  saling mencinta. Karena itu Kia tidak percaya kalau Zafran ternyata adalah bajingan yang tega mempermainkan kakaknya. 

“Baiklah, mbak Nina juga sudah meninggal, kami juga tidak ingin kenal lagi laki-laki pengecut seperti itui,” kata Kia dengan tegas. 

Dia lalu menatap kedua tamu, kemudian pada ibunya yang berusaha menenangkan ayahnya. 

“Kalian bisa pulang sekarang,” kata Kia sesopan mungkin, tapi sepertinya mereka orang yang terbiasa dihormati dan disanjung itu tak terima. 

“Kalau bukan karena Zafran kami juga jijik menginjakkan kaki di rumah ini,” katanya sinis. 

“Sudahlah, Ma. Kita pulang. Kami kemari hanya ingin menyampaikan bela sungkawa dan memberikan uang duka, tapi ternyata kalian memang tidak tahu sopan santun.”

Kali ini yang laki-laki berbicara dengan sinis. 

Kia menatap uang yang berserakan mengambilnya dan memasukkannya ke dalam kantong yang ada di sana. “Kami tidak butuh uang dari kalian, terima kasih kalian boleh pergi.” 

“Sombong, sudah sepantasnya kakakmu dibuang dia sama sekali tidak sebanding dengan istri Zafran.” 

Darah Kia mendidih mendengar kakaknya sekali lagi di hina. Dia langsung menjejalkan amplop berisi uang itu ke tangan sang wanita dan berkata dengan pelan. 

“Dari sikap kalian aku tahu kenapa Zafran menikahi kakakku.” Gadis itu lalu berjalan cepat kearah pintu dan membukanya lebar-lebar mempersilahkan mereka keluar, tapi saat melihat keluar dia geram bukan main. 

Mereka sedang berduka, tidakkah ada empati sedikit saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status